BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RIBA DAN BUNGA BANK A. Riba dan Bunga 1. Pengertian Riba dan Landasan Hukumnya Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.1 Menurut Ahmad Rofiq, "riba merupakan kebiasaan dalam tradisi berekonomi masyarakat jahiliyah. Karena itu pelarangannya pun dilakukan secara bertahap, karena menjadi kebiasaan yang mendarah daging".2 Sebab itu, istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam, sehingga terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang muslim Amerika, Cyril Glasse yang dikutip Dawam Raharjo, tidak diberlakukan di negeri Islam modern mana pun. Sementara itu, tidak banyak yang tahu bahwa di dunia Kristen selama satu millennium, riba adalah barang terlarang dalam pandangan teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang. Tetapi memang praktek itu sulit diberantas, sehingga
1
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 37. 2 Ahmad Rofiq, Fiqh Aktual: Sebuah Ikhtiar Menjawab Berbagai Persoalan Umat, Semarang: Putra Mediatama Press, 2004, hlm. 190.
12
13
berbagai penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang itu.3 Secara etimologi, kata riba berasal dari bahasa Arab, secara bahasa
ّ ) اﻟyang berarti "tambahan".4 Pengertian yang bermakna "al-ziyadah" (ﺰﻳﺎدة sama terdapat dalam Kamus al-Munawwir bahwa riba berarti tambahan, kelebihan.5 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata riba dengan singkat berarti pelepasan uang, lintah darat, bunga uang, rente.6 Menurut terminologi, kata riba dirumuskan secara berbeda-beda sesuai dengan titik berat pendekatan masing-masing. Hal ini tidak berbeda dengan definisi hukum dalam ilmu hukum barat pun tidak ada kesepakatan para ahli tentang apa itu hukum? Kurang lebih 200 tahun yang lalu Immanuel Kant pernah menulis sebagai berikut: “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffi von Recht” (masih juga para sarjana hukum mencari-cari suatu definisi tentang hukum).7 Demikian pula definisi riba menurut syara masih menjadi perselisihan para ahli fikih, sesuai dengan pengertian masing-masing menurut sebab penetapan haramnya.8
3
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan KonsepKonsep Kunci, Jakarta, Paramadina, 2002, hlm. 594. 4 Abdurrahmân al-Juzairi, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, juz II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972, hlm. 193. 5 Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 469 6 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 955 7 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 35. 8 Abu Sura'i Abdul Hadi, al-Riba wa al-Qurud, Terj. M. Thalib, "Bunga Bank Dalam Islam", Surabaya: al-Ikhlas, 1993, hlm. 24.
14
Meskipun demikian, sebagai pegangan, definisi sangat penting diungkapkan meskipun tidak seluruhnya tapi satu atau dua pun masih lebih baik daripada tidak, di antaranya: 1. Menurut Abdurrrahmân al-Juzairi, riba adalah nilai tambahan pada salah satu dari dua barang yang sejenis yang ditukar tanpa ada imbalan (imbangan) terhadap tambahan tersebut.9 2. Menurut Sayyid Sabiq, riba adalah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit ataupun banyak.10 3. Menurut Maulana Muhammad Ali, riba adalah suatu tambahan di atas pokok yang dipinjamkan.11 Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa riba adalah kelebihan atau tambahan tanpa ada ganti atau imbalan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa secara bahasa riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur, tambahan), seperti terdapat dalam ayat berikut ini:
ﺑﻬِﻴ ٍﺞ ﺝ ٍ ﻭ ﺯ ﺖ ﻣِﻦ ﹸﻛﻞﱢ ﺘﺒﻭﺃﹶﻧ ﺖ ﺑﺭ ﻭ ﺕ ﺰ ﺘﻫ ﺎﺀ ﺍﺎ ﺍﹾﻟﻤﻴﻬﻋﹶﻠ ﺎﺰﹾﻟﻨ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﺃﹶﻧ (5:)ﺍﳊﺞ Artinya: kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi itu dan subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Q.S. al-Hajj: 5).12
9 Abdurrrahmân al-Juzairi, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972, hlm. 196. 10 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 147. 11 Maulana Muhammad Ali, The Rligion of Islam, Terj. R. Kaelan dan M. Bachrun, "Islamologi (Dînul Islâm)", Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977, hlm. 484. 12 Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 512.
15
(92 :ﻣ ٍﺔ )ﺍﻟﻨﺤﻞ ﻦ ﺃﹸ ﻰ ِﻣﺭﺑ ﻲ ﹶﺃ ﻣ ﹲﺔ ِﻫ ﺗﻜﹸﻮ ﹶﻥ ﹸﺃ ﺃﹶﻥ Artinya: disebabkan adanya suatu ummat (Islam) yang bertambah banyak jumlahnya dari ummat yang lain. (Q.S. al-Nahl: 92).13 Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam al-Qur'an dan al-Hadis. Pernyataan al-Qur'an tentang larangan riba terdapat pada surat alBaqarah ayat 275, 276, 278 dan 279.
ﻴﻄﹶﺎ ﹸﻥﺸ ﻪ ﺍﻟ ﺒ ﹸﻄﺨ ﺘﻳ ﻡ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻳﻘﹸﻮ ﺎﻮ ﹶﻥ ِﺇﻻﱠ ﹶﻛﻤﻳﻘﹸﻮﻣ ﺎ ﹶﻻﺮﺑ ﻳ ﹾﺄ ﹸﻛﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﺍﻟ ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﻊ ﻴﺒﻪ ﺍﹾﻟ ﺣﻞﱠ ﺍﻟﻠﹼ ﻭﹶﺃ ﺎﺮﺑ ﻊ ِﻣﹾﺜﻞﹸ ﺍﻟ ﻴﺒﺎ ﺍﹾﻟﻧﻤﻢ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﹾﺍ ِﺇ ﻧﻬﻚ ِﺑﹶﺄ ﺲ ﹶﺫِﻟ ﻤ ﻦ ﺍﹾﻟ ِﻣ (275 :ﺎ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺮﺑ ﻡ ﺍﻟ ﺮ ﺣ ﻭ Artinya: Orang-orang yang memakan (memungut) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran gangguan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba... (alBaqarah: 275).14 Surat al-Baqarah ayat 275 di atas mengecam keras pemungutan riba dan mereka diserupakan dengan orang yang kerasukan Setan. Selanjutnya ayat ini membantah kesamaan antara riba dan jual-beli dengan menegaskan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Larangan riba dipertegas kembali pada ayat 278, pada surat yang sama, dengan perintah meninggalkan seluruh sisa-sisa riba, dan dipertegas kembali pada ayat 279
13 14
Ibid., hlm. 416. Ibid., hlm. 69.
16
ﻢﺎ ﺇِﻥ ﹸﻛﻨﺘﺮﺑ ﻦ ﺍﻟ ﻲ ِﻣ ﺑ ِﻘ ﺎﻭﹾﺍ ﻣﻭ ﹶﺫﺭ ﻪ ﺗﻘﹸﻮﹾﺍ ﺍﻟﹼﻠﻮﹾﺍ ﺍﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ (278 :ﲔ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﺆ ِﻣِﻨ ﻣ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Baqarah: 278).15
ﻢ ﻢ ﹶﻓﹶﻠﻜﹸ ﺘﺒﺗ ﻭﺇِﻥ ﻮِﻟ ِﻪﺭﺳ ﻭ ﻦ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﻣ ﺏ ٍ ﺮ ﺤ ﻮﹾﺍ ِﺑﻌﻠﹸﻮﹾﺍ ﹶﻓ ﹾﺄ ﹶﺫﻧ ﺗ ﹾﻔ ﻢ ﹶﻓﺈِﻥ ﱠﻟ (279 :ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺗ ﹾﻈﹶﻠﻤ ﻭ ﹶﻻ ﻮ ﹶﻥﺗ ﹾﻈِﻠﻤ ﻢ ﹶﻻ ﺍِﻟ ﹸﻜﻣﻮ ﺱ ﹶﺃ ﻭﺭﺅ Artinya: Jika kamu tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok hartamu. Tidak ada di antara kamu orang yang menganiaya dan tidak ada yang teraniaya. (Q.S. al-Baqarah: 279)16 Mengapa praktek riba dikecam dengan keras dan kemudian diharamkan? Ayat 276 memberikan jawaban yang merupakan kalimat kunci hikmah pengharaman riba, yakni Allah bermaksud menghapuskan tradisi riba dan menumbuhkan tradisi shadaqah. Sedang illat pengharaman riba agaknya dinyatakan dalam ayat 279, la tazlimuna wala tuzlamun. Maksudnya, dengan menghentikan riba engkau tidak berbuat zulm (menganiaya) kepada pihak lain sehingga tidak seorangpun di antara kamu yang teraniaya. Jadi tampaklah bahwasanya illat pengharaman dalam surat al-Baqarah adalah zulm (eksploatasi; menindas, memeras dan menganiaya).
15 16
Ibid., hlm. 69 Ibid., hlm. 70
17
Keempat ayat dalam surat al-Baqarah tentang kecaman dan pengharaman riba ini didahului 14 ayat (2:261 sampai dengan 274) tentang seruan infaq fi sabilillah, termasuk seruan shadaqah dan kewajiban berzakat. Antara lain dinyatakan bahwa Allah akan mengganti dan melipatgandakan balasan shadaqah dengan 700 kali lipat bahkan lebih banyak lagi, bahwa sesungguhnya Setan selalu menakuti dengan kekhawatiran jatuh miskin sehingga manusia cenderung berbuat keji (dengan bersikap kikir, enggan bershadaqah dan melakukan riba). Selain itu, rangkaian empat ayat tentang kecaman dan pengharam riba diakhiri dengan ayat 280 berisi seruan moral agar berbuat kebajikan kepada orang yang dalam kesulitan membayar hutang dengan menunda tempo pembayaran atau bahkan dengan membebaskannya dari kewajiban melunasi hutang. Pernyataan al-Qur'an tentang keharaman riba juga terdapat di dalam surat Ali Imran (3:130).
ﻪ ﺗﻘﹸﻮﹾﺍ ﺍﻟﹼﻠﺍﻋ ﹶﻔ ﹰﺔ ﻭ ﺎﻣﻀ ﺎﻓﹰﺎﺿﻌ ﺎ ﹶﺃﺮﺑ ﺗ ﹾﺄ ﹸﻛﻠﹸﻮﹾﺍ ﺍﻟ ﻮﹾﺍ ﹶﻻﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ (130 :ﻮ ﹶﻥ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥﺗ ﹾﻔِﻠﺤ ﻢ ﻌﻠﱠﻜﹸ ﹶﻟ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Ali Imran:130).17 Larangan memakan harta riba dalam surat Ali Imran ini berada dalam konteks antara ayat 129 sampai dengan 136. Di sana antara lain dinyatakan
17
Ibid., hlm. 97.
18
bahwa kesediaan meninggalkan praktek riba menjadi tolok ukur ketaatan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Lalu dinyatakan bahwa menafkahkan harta di jalan Allah baik dalam kondisi sempit maupun lapang merupakan sebagian pertanda orang yang bertakwa. Pernyataan Hadis Nabi mengenai keharaman riba antara lain:
ﺒ ﹶﺔﻴﺷ ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﺑ ﺎ ﹸﻥﻋﹾﺜﻤ ﻭ ﺏ ٍ ﺮ ﺣ ﻦ ﺑ ﻴﺮﻫ ﻭﺯ ﺡ ِ ﺎﺼﺒ ﻦ ﺍﻟ ﺑ ﺪ ﺤﻤ ﻣ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺭﺳ ﻦ ﻌ ﺎِﺑ ٍﺮ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻟﻦ ﺟ ﻋ ﻴ ِﺮﺑﺰ ﻮ ﺍﻟﺎ ﹶﺃﺑﺮﻧ ﺒﺧ ﻢ ﹶﺃ ﻴﺸ ﻫ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻢ ﻫ ﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻳ ِﻪﺪ ﺎ ِﻫﻭﺷ ﺒﻪﻭﻛﹶﺎِﺗ ﺆ ِﻛﹶﻠﻪ ﻭﻣ ﺎﺮﺑ ﻢ ﺁ ِﻛ ﹶﻞ ﺍﻟ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ (ﺍ ٌﺀ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﺳﻮ 18
Artinya: Telah mengabarkan Muhammad bin al-Shabah dan Zuhair bin Harbi dan Usman bin Abu Syaibah kepada kami dari Husyaim dari al-Zubair dari Jabir berkata: Rasulullah SAW. melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba, penulis dan saksi riba". Kemudian beliau bersabda: "mereka semua adalah sama. (H.R. Muslim).
ﺴِﻠ ٍﻢ ﻦ ﻣ ﺑ ﻤﻌِﻴ ﹸﻞ ﺳ ﺎ ِﺇﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻊ ﻭﻛِﻴ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺒ ﹶﺔﻴﺷ ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﺑ ﺑ ﹾﻜ ِﺮ ﻮﺎ ﹶﺃﺑﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻱ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺪ ِﺭ ﺨ ﺳﻌِﻴ ٍﺪ ﺍﹾﻟ ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﻋ ﻲ ﺎ ِﺟﻮ ﱢﻛ ِﻞ ﺍﻟﻨ ﺘﻮ ﺍﹾﻟﻤﺎ ﹶﺃﺑﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻱ ﺒ ِﺪﻌ ﺍﹾﻟ ﹸﺔﺍﹾﻟ ِﻔﻀﺐ ﻭ ِ ﻫ ﺑِﺎﻟﺬﱠﻫﺐ ﻢ ﺍﻟﺬﱠ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺢ ﺑِﺎﹾﻟ ِﻤ ﹾﻠ ِﺢ ﺍﹾﻟ ِﻤ ﹾﻠﻤ ِﺮ ﻭ ﺘﺮ ﺑِﺎﻟ ﻤ ﺍﻟﺘﺸ ِﻌ ِﲑ ﻭ ﺑِﺎﻟﺸ ِﻌﲑ ﺍﻟ ﻭﺒﺮ ﺑِﺎﹾﻟﺒﺮﺍﹾﻟﻀ ِﺔ ﻭ ﺑِﺎﹾﻟ ِﻔ ﻌﻄِﻲ ﻓِﻴ ِﻪ ﻤ ﺍﹾﻟﻰ ﺍﻟﹾﺂ ِﺧﺬﹸ ﻭﺭﺑ ﺪ ﹶﺃ ﺩ ﹶﻓ ﹶﻘ ﺍﺘﺰﺳ ﺩ ﹶﺃ ِﻭ ﺍ ﺍﻦ ﺯ ﻤ ﻴ ٍﺪ ﹶﻓﺍ ِﺑﻳﺪ ِﻣﹾﺜﻠﹰﺎ ِﺑ ِﻤﹾﺜ ٍﻞ 19
(ﺍ ٌﺀ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﺳﻮ
Artinya: Telah mengabarkan Abu Bakri bin Abi Syaibah kepada kami dari Waqi' dari Ismail bin Muslim al-'Abdi dari Abu alMutawakkil al-Naji dari Abu Said al-Khudri bahwa 18
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz. 3,. Mesir : Tijariah Kubra, tth, hlm. 50. 19 Ibid., hlm. 44.
19
Rasulullah saw bersabda: (jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, jagung dengan jagung, gandum dengan gandum, korma dengan korma, garam dengan garam itu dalam jumlah yang sama dan tunai serta diserahkan seketika, dan barangsiapa yang menambah atau meminta tambah, termasuk riba. Yang menerima dan yang memberi, dalam hal ini sama dosanya. (H.R. Muslim).
ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﺑ ﻰﺤﻴ ﻳ ﺎﺮﻧ ﺒﺧ ﺍ ِﻡ ﹶﺃﻌﻮ ﻦ ﺍﹾﻟ ﺑ ﺩ ﺎﻋﺒ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺮ ﹶﺓ ﺴ ﻴﻣ ﻦ ﺑ ﺍ ﹸﻥﻤﺮ ﺎ ِﻋﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻪﻋﻨ ﺭﺿِﻲ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻦ ﹶﺃﺑِﻴ ِﻪ ﻋ ﺮ ﹶﺓ ﺑ ﹾﻜ ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﺑ ﻤ ِﻦ ﺣ ﺮ ﺍﻟﺒﺪﻋ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻕ ﺎﺳﺤ ِﺇ ﺐ ِ ﻫ ﺍﻟﺬﱠﻀ ِﺔ ﻭ ﻀ ِﺔ ﺑِﺎﹾﻟ ِﻔ ﻋ ِﻦ ﺍﹾﻟ ِﻔ ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻲ ﻨِﺒﻰ ﺍﻟﻧﻬ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻒ ﻴﻀ ِﺔ ﹶﻛ ﺐ ﺑِﺎﹾﻟ ِﻔ ﻫ ﻉ ﺍﻟﺬﱠ ﺎﺒﺘﻧ ﺎ ﹶﺃ ﹾﻥﺮﻧ ﻣ ﻭﹶﺃ ﺍ ٍﺀﺴﻮ ﺍ ًﺀ ِﺑﺳﻮ ﺐ ِﺇﻟﱠﺎ ِ ﻫ ﺑِﺎﻟﺬﱠ 20
ﺎﻒ ِﺷﹾﺌﻨ ﻴﺐ ﹶﻛ ِ ﻫ ﻀ ﹶﺔ ﺑِﺎﻟﺬﱠ ﺍﹾﻟ ِﻔﺎ ﻭِﺷﹾﺌﻨ
Artinya: Telah mengabarkan 'Imran bin Maisyaroh kepada kami dari 'Abad bin al-'Awam dari Yahya bin Abu Ishaq dari Abdur Rahman bin Abu Bakrah dari Bapaknya ra. Rasulullah SAW. melarang menjual perak dengan perak, kecuali sama beratnya emas dengan emas dan membolehkan kita menjual emas dengan perak atau perak dengan emas sesuai kehendak kita. (H.R. al-Bukhary) 2. Macam-Macam Riba Sebagaimana definisi riba, macam-macam riba pun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa riba terdapat dalam dua perkara, yaitu pada jual beli dan pada jual beli tanggungan, pinjaman atau lainnya. Riba dalam jual beli menurutnya ada dua macam: nasi'ah (riba dengan penundaan pembayaran) dan tafadul (riba dengan pelebihan pembayaran). Sedangkan riba pada jual beli tanggungan juga terbagi dua kategori, salah satunya adalah riba jahiliyah
20
Abu Abdillah al-Bukhary, Sahih al-Bukhari, Juz. 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 26.
20
yang telah disepakati para ulama tentang keharamannya.21 Demikian pula Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary membagi riba kedalam riba fadl, riba nasa dan riba yad.22 Namun demikian, para jumhur ulama fikih membagi riba dalam dua kategori: Riba nasi'ah dan riba fadl.23 Pandangan yang sama juga dikemukakan al-Jaziri. Riba nasiah adalah riba yang terjadi karena penundaan pembayaran hutang, suatu jenis riba yang diharamkan karena keharaman jenisnya atau keadaannya sendiri. Sedangkan riba fadl adalah riba yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda atau bahan yang sejenis.24 Definisi riba al-nasi'ah menurut Wahbah al-Zuhaily25 adalah
ﻓﻀﻞ ﺍﳊﻠﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺟﻞ ﻭﻭﻓﻀﻞ ﺍﻟﻌﲔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﰱ ﺍﳌﻜﻴﻠﲔ ﺍﻭﺍﳌﻮﺯﻭﻧﲔ ﻋﻨﺪ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﳉﻨﺲ ﺍﻭﰱ ﻏﲑﺍﳌﻜﻴﻠﲔ ﺍﻭﺍﳌﻮﺯﻭﻧﲔ ﻋﻨﺪﺍﲢﺎﺩ ﺍﳉﻨﺲ Artinya: "Penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau penambahan 'ain (barang kontan) atas dain (harga utang)" terhadap barang berbeda jenis yang ditimbang atau ditakar atau terhadap barang sejenis yang tidak ditakar atau ditimbang".
21
Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, juz II, Beirut: Dâr AlJiil, 1409 H/1989, hlm. 96. 22 Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, Fath al-Mu’în, Semarang: Toha Putera , tth, hlm. 68 23 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa ‘Adilatuh, juz IV, Beirut: Dâr al-Fikr, 1989, hlm. 671. 24 Abdurrahmân al-Jazirî, op. cit, hlm. 192 25 'Wahbah al-Zuhaily, op.cit., hlm. 672.
21
Menurut Abdurrahmân al-Juzairi:26
ﻭﻫﻮ ﺍﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﻓﻠﻰ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﺗﺄﺧﲑ ﺍﻟﺪﻓﻊ Artinya: "Riba al-nasi'ah adalah riba atau tambahan (yang dipungut) sebagai imbangan atas penundaan pembayaran". Selanjutnya al-Jazirî memberi contoh, jika seseorang menjual satu kuintal gandum yang diserahkan pada musim kemarau dengan satu setengah kuintal gandum yang ditangguhkan pembayarannya pada musim hujan, di mana tambahan harga setengah kuintal tersebut dipungut tanpa imbangan mabi' (obyek jual beli), melainkan semata-mata sebagai imbangan dari penundaan waktu pembayaran, maka yang demikian ini adalah praktek riba al-nasi'ah27 Jual beli barang sejenis secara tidak kontan seperti pada contoh di atas sekalipun tidak disertai penambahan pembayaran menurut Wahbah al-Juhaily tergolong riba Nasi'ah.28 Dari uraian di atas dapat disimpulkan dua macam (kasus) riba nasi'ah. Pertama, penambahan dari harga pokok sebagai kompensasi penundaan waktu pembayaran. Kedua, penundaan penyerahan salah satu dari barang yang dipertukarkan dalam jual-beli barang ribawi yang sejenis.
26
Abdur Rahman al-Juzairi, op.cit., Juz II, hlm. 198. Ibid., hlm. 198 28 Hal ini sebagaimana dinyatakan dan dicontohkan oleh Wahbah al-Zuhaily, seorang fuqaha Hanafiyah, dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, hm. 672. Menurutnya alasan keharaman jual-beli benda sejenis tidak secara kontan adalah tidak adanya kesepadanan qimah. Sebagaimana dimaklumi bahwasanya qimah yang dibayarkan secara kontan adalah lebih berharga dari qimah yang ditangguhkan pembayarannya sebagaimana dimaklumi bahwasanya 'ain lebih berharga dari pada dain. 27
22
Adapun riba al-fadhl adalah penambahan pada salah satu dari benda yang dipertukarkan dalam jual-beli benda ribawi yang sejenis, bukan karena faktor penundaan pembayaran.29 Para fuqaha sepakat bahwasanya riba al-fadhl hanya berlaku pada harta benda ribawi. Mereka juga sepakat terhadap tujuh macam harta benda sebagai harta-benda ribawi karena dinyatakan secara tegas dalam nash Hadis. Ketujuh harta benda tersebut adalah: (1) emas, (2) perak, (3) burr, jenis gendum, (4) syair, jenis gandum, (5) kurma, (6) zabib, anggur kering, dan (7) garam. Selain tujuh macam harta benda tersebut fuqaha berselisih pandangan.30
3. Riba dan Bunga Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga,
akan
menjadikan
peminjam
tidak
pernah
keluar
dari
ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah utang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan
29 30
Abdur Rahman al-Juzairi, op.cit., Juz II, hlm. 198. Wahbah al-Zuhaily, op. cit, hlm. 675.
23
suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara pengutang harus berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah utang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separoh masyarakat dunia.31 Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan, misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapa pun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan: berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.32 Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak
dapat
menghindari
diri
dari
bermuamalah
dengan
bank
konvensional, yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya; ibadah haji di Indonesia, umat Islam harus memakai jasa bank. Tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Para ulama dan cendekiawan muslim masih tetap berbeda pendapat 31
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 67 32 Ibid
24
tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank. Perbedaan pendapat mereka seperti yang disimpulkan Masjfuk Zuhdi adalah sebagai berikut a. Pendapat Syekh Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abul A'la Al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah Al-Arabi, penasihat hukum pada Islamic Congress Cairo, dan lain-lain, menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba nasi'ah yang dilarang oleh Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Mereka mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.33 b. Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis), bahwa bunga bank, seperti di negara Indonesia ini bukan riba yang diharamkan karena tidak bersifat ganda sebagaimana dinyatakan dalam surat Ah Imran ayat 130.34 c. Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur tahun 1968 memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas halal dan haramnya. Sesuai dengan petunjuk hadis, umat Islam harus berhati-hati menghadapi masalah yang masih syubhat. Oleh karena itu, jika dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan hajat, artinya keperluan yang 33
Rachmat Syafe'i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 274. A. Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Jilid 1 – 2, Bandung: CV Diponegoro, 2003, hlm. 678 34
25
mendesak/penting, barulah diperbolehkan bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga itu sekedarnya saja.35 Menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syiria bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang ini merupakan realitas yang tak dapat dhindari. Oleh karena itu, umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Hal ini karena, umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem bunga untuk menyelamatkan umat Islam dari cengkeraman bank bunga (conventional bank).36
B. Bank 1. Pengertian Bank Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bank adalah badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.37 O.P. Simorangkir menegaskan bank adalah salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa.38 Dalam Kamus Ekonomi, bank dirumuskan sebagai sebuah
35 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT.Toko Gunung agung, 1997, Cet ke10, hlm. 111 - 112. 36 Rachmat Syafei, op. cit, hlm. 274 – 275. 37 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III, Cet 2, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 103-104 38 O.P. Simorangkir, Kamus Perbankan Inggris Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985, hlm. 33.
26
lembaga untuk meminjamkan uang, mengeluarkan uang kertas, atau yang membantu menyimpankan uang.39 Dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan bahwa dalam pasal 1 butir 2 menyebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.40 Menurut Masjfuk Zuhdi, Bank non-Islam atau conventional bank ialah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga; sedangkan Bank Islam, ialah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum syari'at Islam. Sudah tentu Bank Islam tidak memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang oleh Islam.41 Dalam kerangka ekonomi umat Islam, istilah bank memiliki konsep tersendiri, yakni bank Syari'ah yang beroperasi berdasarkan ajaran (syari'at) Islam, yang memiliki prinsip operasional berbeda dengan prinsip operasional bank konvensional (convensional bank). Menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi'i Antonio, bank Syari'ah memiliki dua pengertian, yaitu:
39 40
9
41
Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris – Indonesia), Bandung: Alumni, 1984, hlm. 29 Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988, hlm. 109
27
1. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari'at Islam; 2. Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuanketentuan al-Qur'an dan al-Hadits.42 Dalam pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bank Syari'ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang operasionalnya disesuaikan dengan prinsip syari'at Islam. Dalam pengertian ini, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utama.43 Selain itu, banyak juga orang yang terjebak ke dalam pengertian bahwa bank Syari'ah itu sama dengan bank tanpa bunga (Zero interest = bunga nol). Pengertian ini memang tidak terlalu salah, karena bank Syari'ah tidak mengenal bunga. Namun pengertian bank Syari'ah tidak hanya mesti sampai di situ, tetapi ia harus dipahami secara komprehensif dan universal. Pemahaman tentang bank Syari'ah tidak hanya dilihat dari aspek praktis operasional, tetapi harus pula dilihat dari perspektif ekonomi makro ke-Islamannya.44 Berdasarkan keterangan di atas ada pula yang merumuskan bank Syari’ah sebagai suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang
42
Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Syari’ah, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992, hlm. 1. 43 Abdul Aziz Dahlan, dkk (Ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997, hlm; 194. 44 Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan) Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, 54-55.
28
membutuhkannya dengan sistem tanpa bunga.45 Dengan singkat, Muhammad merumuskan, Bank Syari’ah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan Bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.46 2. Prinsip-Prinsip Bank Syari'ah Bank Islam dalam menjalankan usahanya mempunyai prinsip operasional yang terdiri dari (1) sistem simpanan; (2) bagi hasil; (3) margin keuntungan; (4) sewa; (5) fee (1) Prinsip Simpanan Murni Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh Bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk Al Wadiah. Fasilitas Al Wadiah biasa diberikan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito. Dalam dunia perbankan konvensional al Wadiah identik dengan giro. (2) Bagi Hasil 45
Masjfuk Zuhdi, op. cit, hlm. 143. Muhammad, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003, hlm. 13. 46
29
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan peyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah Mudharabah dan Musyarakah. (3) Prinsip Jual Beli dan Margin Keuntungan Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin/mark-up).47 (4) Prinsip Sewa Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada 2 jenis: a. Ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan traktor dan alat-alat produk lainnya. b. Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (finansial lease).
47
Muhammad, Bank Syari’ah: Analisis, Ancaman, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, hlm. 17-18
Kekuatan,
Peluang,
Kelemahan dan
30
(5) Prinsip fee (Jasa) Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, JasaTransfer, dll. Secara syari'ah prinsip ini didasarkan pada konsep al ajr wal umulah.48 3. Perbedaan Bank Islam Dengan Bank Konvensional Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer,
teknologi
komputer
yang
digunakan
dan
sebagainya.49
Sedangkan perbedaannya sebagai berikut; Dalam bank syariah, akad memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka,
tapi
tidak
demikian
bila
perjanjian
tersebut
memiliki
pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.50 Setiap akad dalam perbankan syariah, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut 1. Rukun, Seperti: adanya penjual, pembeli, barang, harga, akad/ijabqabul.
48
Muhammad, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003, hlm. 27. 49 Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah dari Teori Ke Praktik, Jakarta: gema Insani, 2001, hlm. 29 50 Ibid.,
31
2. Syarat, seperti syarat berikut barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah. Harga barang dan jasa harus jelas. Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal.51 Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah. Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.52 Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antar bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.53
51
Ibid, hlm. 29 Muhammad, Bank Syari'ah: Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, hlm. 79. 52 53
32
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.54 Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibanding bank konvensional. Karena itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional. Dewan Pengawas Syariah harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bank bersangkutan. Tugas lain Dewan Pengawas Syariah adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. Dengan demikian, Dewan Pengawas Syariah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk ditelitikembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.55
54 55
Muhammad Syafi'i Antonio, op. cit, hlm. 30 – 31. Ibid, hlm. 31.
33
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di Tanah Air, berkembang pulalah jumlah DPS yang berada dan mengawasi masing-masing lembaga tersebut Banyaknya dan beragamnya DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu halyangharus disyukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman di Tanah Air, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional atau DSN.56 Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia dipimpin oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris serta beberapa anggota.57 Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produkproduk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga56
Zainul Arifin, Memahami Bank Syari'ah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta: Alvabet, 2000, hlm. 26. 57 Ibid, hlm. 27
34
lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.58 Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan. Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.59 Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan Syariah Nasional telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.60 Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak 58
Muhammad Syafi'i Antonio, op. cit, hlm. 32. Ibid 60 Ibid 59
35
mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah.61 Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan. Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, di antaranya sebagai berikut:62 1. Apakah objek pembiayaan halal atau haram? 2. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat? 3. Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila? 4. Apakah proyek berkaitan dengan perjudian? 5. Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal? 6. Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung? Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Di samping itu, karyawan bank syariah harus skilljul dan profesional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work di mana informasi merata di seluruh fungsional organisasi 61
Ibid, hlm. 33. Muhammad Umer Chapra, Islam and Economic Development, Terj. Ikhwan Abidin Basri, "Islam dan Pembangunan Ekonomi", Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 80. 62
36
(tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syari'ah. Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga. Nabi saw. mengatakan bahwa senyum adalah sedekah.63 Sebagai Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut: BANK SYARI’AH 1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja 2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa 3. Profit dan falah oriented.64 4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan. 5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syari’ah
BANK KONVENSIONAL Investasi yang halal dan haram Memakai perangkat bunga Profit oriented Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-debitor Tidak terdapat dewan sejenis
Berpijak dari uraian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan, bahwa bank syari’ah memiliki perbedaan dengan bank konvensional di antaranya yang paling populer adalah penggunaan perangkat bunga bagi bank konvensional. Sedangkan bank syari’ah berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa.
hlm. 59.
63
Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: LPPI, 2001,
64
Falah berati mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.