BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Video Klip Sebagai Media Komunikasi Massa Menurut Bittner, komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan
melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people). Jadi, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa.7 Ahli komunikasi lainnya, Joseph A. Devito merumuskan definisi komunikasi massa yang pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa serta tentang media yang digunakannya. Ia mengemukakan definisinya dalam dua item. Salah satunya, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan/ visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan logis bila didefinisikan menurut bentuknya: televisi, radio siaran, surat kabar, majalah, dan film. 8 Sementara, menurut Janowitz, komunikasi massa terdiri atas lembaga dan teknik dari kelompok tertentu yang menggunakan alat teknologi (pers, radio, film,
7
Elvinaro Ardianto. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2007 hal 3 8 Ibid.
9
10
dan sebagainya) untuk menyebarkan konten simbolis kepada khalayak yang besar, heterogen, dan sangat tersebar.9 Video sebagai media baru komunikasi massa merupakan satu bagian dari media elektronik dan memiliki karakteristik film. Sejalan dengan pendapat McQuail, video juga dapat digunakan dalam dunia musik, salah satunya digunakan sebagai video klip.10 Video klip adalah kumpulan potongan-potongan visual yang dirangkai dengan atau tanpa efek-efek tertentu dan disesuaikan berdasarkan ketukanketukan pada irama lagu, nada, lirik, instrumennya dan penampilan band, kelompok musik untuk mengenalkan dan memasarkan produk (lagu) agar masyarakat dapat mengenal yang selanjutnya membeli kaset, CD, dan DVD. Video klip mengandung kekuatan citra yang dapat memberi sensasi tontonan yang memiliki kekuatan sentuhan pribadi (personal touch) dan ingatan (memorable). Pada pencitraan ini seseorang dapat dibuat seperti mengalami sendiri apa yang dilihat, dengan mengingat-ingat kejadian yang sedang berlangsung.11 Moller dalam tulisannya berjudul Redefining Music Video menyatakan bahwa video klip merupakan film pendek yang mengintegrasikan lagu dengan gambar yang diproduksi untuk tujuan promosi atau artistik.12
9
Denis McQuail. Teori Komunikasi Massa McQuail Edisi 6. Jakarta: Salemba Humanika. 2011 hal 62 10 Denis McQuail. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. 1987 hal 43 11 http://jurusankomunikasi.blogspot.com/2009/04/video-klip.html 12 Haqi Achmad. My Life as Video Music Director. Jakarta: PT. Bentang Pustaka. 2012 hal 31
11
Sejarah mencatat titik awal video klip dimulai di tahun 1894, ketika itu seorang pria bernama George Thomas membuat sebuah konsep visual dari lagu berjudul The Little Last Child yang diputar di sebuah gedung pertunjukan. Pada saat itu, Thomas memotret dan mengambil gambar yang memvisualisasikan lagu The Little Last Child kemudian pada saat musisi memainkan lagu tersebut, Thomas akan menampilkan slide yang berisi foto-foto yang menjadi bentuk visual dari lagu itu. Pada tahun 1926, film pendek musikal banyak diproduksi. Pada waktu itu, Warner Bros memproduksi Vitaphone yang menampilkan banyak musisi, penari dan kelompok musik. Di tahun 1930 diproduksi sebuah seri video musik berjudul Spooney Melodies dengan durasi tidak lebih dari enam menit dan menampilkan animasi bergaya art deco yang dikombinasikan dengan foto, gambar atau penampilan musisi yang sedang bernyanyi. Secara bertahap para penyanyi mulai membuat film pendek berdasarkan lagu yang mereka buat.13 Di pertengahan tahun 1940, Louis Jordan membuat film pendek dari lagunya yang kemudian menjadi bagian dari film Suster Lookout. Di akhir tahun 1950-an di Perancis, ditemukan tipe baru jukebox bernama Scopitone. Penemuan tersebut membuat para seniman di sana memproduksi banyak film pendek yang menjadi visualisasi dari lagu-lagu yang mereka buat.14 Pada tahun 1961, di Kanada, seroang penyanyi bernama Manny Pittson mulai merekam ulang audio sebuah musik, yang kemudian memasang rekaman musik tersebut di lokasi syuting di mana dia (Manny Pittson) kemudian memvideokan para musisinya dengan teknik lip-sync, lalu menggabungkan 13 14
Ibid. hal 35 Ibid. hal 36
12
keduanya (audio dan video) melalui proses editing. Dan sejak saat itu video klip terus berkembang dan bervariasi.15 Pada era tahun 80-an inovasi di bidang video klip sudah sangat berkembang dan mulai mencari cara agar produksi video-video klip menjadi lebih efektif dan efisien. Dan 80-an merupakan era “D.I.Y” (Do It Yourself), atau dikatakan sebagai era semangat independen. Di mana sebuah artis dan band memilih untuk memproduksi musik dan video klip mereka sendiri, tanpa membutuhkan bantuan sebuah perusahaan rekaman yang besar. Pada tahun 1981, sebuah perusahaan televisi Amerika, MTV, membuat sebuah program acara berjudul “Video Killed The Radio Star” dan memulai era “video musik selama 24 jam non-stop setiap hari”.
2.2.
Komunikasi Nonverbal Dalam Video Klip Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-
kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E.Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; jadi definisi mencakup perilaku yang disengaja juga yang tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan
15
Ernest J. Dick Remembering Singalong Jubilee. Formac Publishing Company. ISBN 9780887806421. 2004.
13
nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain. 16 Sebagaimana kata-kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang merupakan bawaan. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun kebanyakan ahli sepakat bahwa dimana, kapan dan kepada siapa kita menunjukkan emosi ini dipelajari, dan karenanya dipengaruhi oleh konteks dan budaya. Kita belajar menatap, memberi isyarat, memakai parfum, menyentuh berbagai bagian tubuh orang lain, dan bahkan kapan kita diam. Berbeda dengan kebanyakan perilaku verbal yang bersifat eksplisit dan diproses secara kognitif, perilaku nonverbal kita bersifat spontan, ambigu, sering berlangsung cepat dan di luar kesadaran dan kendali kita. Karena itulah, Edward T. Hall menamai bahasa nonverbal ini sebagai “bahasa diam” (silent language) dan “dimensi tersembunyi” (hidden dimension) suatu budaya. Disebut diam dan tersembunyi, karena pesan-pesan nonverbal tertanam dalam konteks komunikasi. Selain isyarat situasional dan relasional dalam transaksi komunikasi, pesan nonverbal memberi kita isyarat-isyarat kontekstual. Bersama isyarat verbal dan isyarat konstektual, pesan nonverbal membantu kita menafsirkan seluruh makna pengalaman komunikasi.17
16
Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2004 hal 308 17 Ibid. hal 309
14
Menurut Knapp dan Hall, isyarat nonverbal, sebagaimana simbol verbal, jarang punya makna denotatif tunggal. Salah satu faktor yang memengaruhinya adalah konteks tempat perilaku berlangsung. Makna isyarat nonverbal akan semakin rumit jika mempertimbangkan berbagai budaya.18 Jurgen Ruesch mengklasifikasikan isyarat nonverbal menjadi tiga bagian. Pertama, bahasa tanda (sign language) – acungan jempol untuk numpang mobil gratis; bahasa isyarat tuna rungu; kedua, bahasa tindakan (action language) – semua gerakan tubuh yang tidak digunakan secara eksklusif untuk memberikan sinyal, misalnya; berjalan; dan ketiga, bahasa objek (object language) – pertunjukan benda, pakaian, dan lambang nonverbal bersifat public lainnya, seperti ukuran ruangan, bendera, gambar (lukisan), musik (misalnya marching band), dan sebagainya, baik secara sengaja maupun tidak.19 Jika definisi harfiah komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa bahasa atau komunikasi tanpa kata, maka tanda nonverbal berarti tanda minus bahasa atau tanda minus kata. Jadi, secara sederhana, tanda nonverbal dapat kita artikan semua tanda yang bukan kata-kata. Ada beberapa cara untuk menggolongkan tanda-tanda. Cara itu yakni: (i) tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui pengalamannya; (ii) tanda yang ditimbulkan oleh binatang; (iii) tanda yang ditimbulkan oleh manusia.
18 19
Ibid. hal 342 Ibid. hal 317
15
Tanda yang ditimbulkan oleh manusia dapat dibedakan atas yang bersifat verbal dan yang bersifat nonverbal. Tanda yang bersifat verbal adalah tanda-tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara, sedangkan yang bersifat nonverbal dapat berupa: (i) tanda yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan bicara; (ii) suara; (iii) tanda yang diciptakan oleh manusia untuk menghemat waktu, tenaga, dan menjaga kerahasiaan; (iv) benda-benda yang bermakna kultural dan ritual. 20 Dalam video klip terdapat unsur-unsur komunikasi nonverbal, yakni (i) bahasa ritme (irama), (ii) bahasa musikalisasi (instrument musik), (iii) bahasa nada, dan (iv) bahasa performa (penampilan). Penggunaan bahasa performa (penampilan) meliputi dari bahasa tubuh, ekspresi wajah, unsur pakaian (fashion), dan segala atribut yang ada dalam video klip.21
2.3.
Body Painting Body painting merupakan salah satu contoh kegiatan styling make up.
Body painting adalah suatu bentuk karya seni yang dilakukan dengan melukis pada tubuh. Body painting yang dilukiskan di tubuh bersifat sementara, dan hanya dapat bertahan beberapa jam atau paling lama dua minggu. 22 Body painting atau melukis tubuh merupakan teknik yang sudah digunakan sejak lama oleh beberapa suku primitif, salah satunya Suku Mentawai 20
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2003 hal 122 http://jurusankomunikasi.blogspot.com/2009/04/video-klip.html 22 http://news.maranatha.edu/?p=242 21
16
dengan tatonya. Beberapa suku di Amerika, Afrika, dan Australia juga menggunakan teknik melukis tubuh. Mereka melukis diri mereka menggunakan bahan-bahan dari alam seperti warna dengan buah-buahan atau tumbuh-tumbuhan. Menurut beberapa sejarawan, melukis tubuh penting dalam kehidupan sehari-haridan kehidupan spiritual, seperti untuk penunjuk status, saran ritual, persiapan untuk perang, berburu, keperluan pernikahan, dan penanda kematian. Melukis tubuh pertama kali dilakukan dengan mengecat tubuh sepenuhpenuhnya pada tahun 1933. Max Factor sr, adalah seorang penggagas ide ini pada acara World Fair di Chicago. Max melukis dengan media wanita telanjang bernama Sally Rand. Dari ide Max ini memunculkan ide-ide bagi seniman masa depan dan sekarang ini. Melukis tubuh pun mulai booming lagi pada tahun 1960 dan dibawa oleh seniman ‘Barat’ yang merasa menemukan cara baru untuk menunjukan ekspresi mereka dalam bentuk sensasional dan mengejutkan yang kemudian disebarkan melalui media. Sehingga menjadikan melukis tubuh (body painting)
sebuah
komoditas
bagi
para
seniman
yang
nantinya
bisa
diperjualbelikan melalui jasa dan dimodifikasi sesuai dengan jamannya. Tubuh sebagai media lukis dapat diasosiasikan dengan kepuasan diri manusia. Tubuh merupakan entitas materi yang dapat memantapkan posisinya sebagai titik pusat diri. Tubuh merupakan bagian dari manusia yang bisa digunakan untuk berekpresi, mempromosikan diri manusia melalui tubuh dan memvisualisasikan diri manusia. Bisa dikatakan bahwa tubuh adalah pusat dari segalanya dari diri manusia. Tubuh manusia merupakan identitas dari manusia itu sendiri yang terlontar karena keinginan hati dan ide pemikiran dari manusia.
17
Dalam kehidupan manusia, Hatib Abdul Kadir Olong mengatakan bahwa tubuh adalah bagian materi yang dimiliki oleh jiwa sehingga tubuh sendiri bisa dipandang, diraba, bahkan yang paling kejam tubuh bisa disakiti. Kenyataan yang dimiliki oleh tubuh sebagai bentuk yang nyata dari diri manusia menyebabkan tubuh digunakan sebagai penyampai maksud dan simbol yang nyata untuk setiap jiwa yang tidak beraturan. Tubuh tidak lepas dari pemaknaan manusia. Dari tubuh manusia bisa menyampaikan pesan yang ingin dibuat manusia kepada manusia lain. Salah satunya lukis tubuh yang merupakan bagian dari ekspresi dari hasil seni dan mewujudkan ide dari diri kita. Hal ini tentu menyangkut kepuasan dari sang pelaku seni dan isi yang disampaikan.23
2.3.1. Ekspresi Wajah Ekspresi wajah manusia dapat bersifat sadar dan tak sadar. Pada tahun 1963, ahli psikologi Paul Ekman mendirikan uman Interaction Laboratory di Jurusan Psikiatri, University of California San Fransisco, yang bertujuan mempelajari sinyal wajah. Turut bergabung dalam penyelidikannya adalah Wallace V. Friesen di tahun 1965 dan Maureen O’Sullivan di tahun 1974. Selama bertahun-tahun, Ekman dan timnya menentukan ekspresi-ekspresi wajah tertentu sebagai tanda universal bagi emosi-emosi spesifik. Mereka menunjukkan bahwa dengan membagi-bagi ekspresi wajah menjadi komponen-komponen karakteristik – posisi alis, bentuk mata, bentuk mulut, ukuran lubang hidung, dan seterusnya – 23
http://dwirupaetnofotografi.wordpress.com/2013/07/20/body-paint-bentuk-ekspresi-diri-dangender-melalui-tubuh/
18
dalam pelbagai kombinasi akan menentukan bentuk, X, dan makna, Y, dari ekspresi bersangkutan. Ekman mendapati sedikiti sekali variasi pelbagai budaya dari segi sifat komponen dan kombinasinya. Malah, ia menunjukkan bahwa mungkin saja untuk menulis “gramatika” wajah yang mengandung lebih sedikit variasi kultural dibanding gramatika dalam bahasa. Empat sketsa ekspresi wajah berikut ini menunjukkan cara kita menafsirkan komponen wajah dari segi emosi: Pertama, si terhibur; kedua, si marah; ketiga, terkejut; keempat, sedih. Alasan ini berdasarkan pada cara mata, alis, dan mulut saling berorientasi satu sama lain. Pada efeknya semua ini adalah penanda tak sadar universal yang menciptakan tanda wajah terhibur, marah, terkejut, dan sedih. Namun, kisah semiotik wajah manusia tidak berhenti pada studi sinyal yang terprogram secara biologis ini. Wajah dipandang sebagai tanda Diri. Inilah mengapa cenderung mengevaluasi kepribadian orang yang tak dikenal berdasarkan penampilan wajahnya dan hiasan, serta pengubahan pada wajah menjadi sokongan dan kegiatan representasi Diri yang teramat penting, yang dapat dirunut hingga asal-muasal budaya. Seperti yang dikatakan oleh Helen Fisher, bukti arkeologis yang memang menyiratkan bahwa wajah yang dikonstruksi secara seksual adalah ciri dari fenomenon representasi Diri yang berasal dari moyang Cro-Magnon kita, yang menghabiskan waktu berjam-jam mendandani diri, mengepang rambut, dan memakai karangan bunga agar bisa saling pamer satu sama lain dalam cahaya api unggun. Industri kosmetik dan perhiasan kontemporer adalah versi zaman modern dari tradisi lama ini.
19
Persepsi atas wajah sebagai penyedia keberadaan Diri atau persona, demikian keberadaan Diri kadang disebut, merasuk dalam semiosfir di seluruh dunia. Inilah mengapa menggunakan ekspresi konotatif yang mengukuhkan persepsi sebuah wajah adalah tanda yang merepresentasikan orang di baliknya. Persepsi ini mendasari praktik pembuatan potret diri. Potret diri adalah representasi visual subjek yang penampilan wajahnya berdasarkan gambaran pelukis, secara tipikal ditafsirkan oleh mereka yang melihatnya sebagai penanda Diri – sebuah tanda yang dalam tafsiran kita mengungkapkan sifat, status sosial, profesi, dan seterusnya, dari subjek. Potret adalah alat untuk memeriksa sifat manusia.24
2.3.2. Warna Warna adalah suatu hal yang penting dalam menentukan respons dari orang, merupakan hal pertama yang dilihat oleh seseorang, setiap warna akan memberikan kesan dan identitas tertentu, walaupun hal ini tergantung dari latar belakang pengamatnya.25 Kemampuan untuk mempersepsikan warna dalam pelbagai wujud merupakan dasar dari banyak aktivitas pembuatan dan penggunaan tanda di seluruh dunia. Pada level denotatif, kita menafsirkan tanda sebagai gradasi rona pada spektrum cahaya. Rona adalah ciri yang menuntun kita dalam pemberian nama pada warna – misalnya, merah, oranye, kuning, hijau, biru, atau violet. 24 25
Marcel Danesi. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. 2010 hal 69 Eko Nugroho. Pengenalan Teori Warna. Yogyakarta: Andi Publisher. 2008 hal 1
20
Namun proses penamaan ini tidak terbebas dari faktor pribadi dan budaya. Istilahistilah warna yang digunakan dalam bahasa Inggris mendorong kita untuk cenderung melihat “kategori-kategori yang berbeda” dalam rona. Dalam pengertian yang nyata, warna sesuai dengan apa yang disebutkan oleh istilah kita untuknya. Tidak ada sesuatu yang “alamiah: secara inheren dalam skema pengaturan kita; skema ini merupakan reflex dari kosakata bahasa Inggris, bukan dari Alam. Sebaliknya, penutur bahasa lain akan cenderung melihat kategori-kategori warna yang berbeda pada spektrum yang sama. Dalam hal ini, “kenyataan” adalah persis apa yang “dikatakan” oleh orang-orang yang berbeda tentang kenyataan itu. Namun, ini tidak berarti bahwa penggunaan seperangkat istilah warna yang spesifik menghalangi orang dari melihat kenyataan sebagaimana yang dilihat orang lain. Kategori warna spesifik yang kita peroleh dalam konteks kultural tidak mencegah adanya kemampuan untuk menangkap kategori warna yang digunakan dalam budaya lain. Dari segi semiotik, istilah warna adalah penanda verbal yang mendorong orang untuk cenderung memerhatikan terutama rona-rona yang disandikan penanda tersebut. Di seluruh dunia, warna-warna digunakan untuk tujuan konotatif. Catatan arkelogis dengan kuat menyiratkan bahwa, pada kenyataannya, makna inderawi dan emosional yang dilekatkan pada warna mungkin bahkan merupakan asal istilah-istilah warna itu sendiri. Ini mengungkapkan bahwa kita mempersepsikan warna jauh lebih dari sekedar fenomenon yang melibatkan persepsi visual semata. Dalam tiap masyarakat, warna memainkan fungsi yang sangat penting dalam wilayah simbolisme. Suku Navajo di Amerika Utara,
21
misalnya, mengalokasikan hierarki pentingnya sesuatu secara simbolis melalui warna – biru berarti “baik” dan merah berarti “buruk”; masyarakat suatu bangsa menangkap adanya signifikasi penting dalam warna-warna bendera dan emblem nasional, dan daftar ini dapat terus berlanjut.26
2.3.3. Representasi Visual Titik, garis, dan bentuk, ini semua merupakan penanda visual, atau wujud minal dari representasi visual, yang dapat dikombinasikan dalam bermacam cara. Penanda-penanda ini bisa lurus, bulat, melengkung, dan seterusnya, dan digunakan dalam pelbagai kombinasi. Penanda visual yang dirancang untuk menunjukkan bentuk garis luar dari sesuatu dikenal dengan nama bentuk. Segala sesuatu yang kita lihat dapat direpresentasikan melalui kombinasi garis dan bentuk: misalnya, awan adalah bentuk, cakrawala adalah garis. Unsur-unsur lain termasuk nilai, warna, dan tekstur. Nilai mengacu pada gelap atau terang dalam sebuah garis atau bentuk, Warna menyampaikan suasana, perasaan, atmosfir.. Seperti di Cina, misalnya, kuning berkonotasi kerajaan. Sementara, tekstur mengacu pada perasaan indera sentuhan yang digugah secara imajistik saat kita melihat sebuah permukaan. Garis yang bergelombang menciptakan perasaan yang lebih nyaman dalam diri kita dibanding garis yang bersudut. Ada bukti kuat bahwa semiosis bersifat antar mode, yang artinya melibatkan lebih dari satu modalitas inderawi pada saat bersamaan. Istilah yang digunakan untuk
26
Marcel Danesi. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. 2010 hal 97
22
menyiratkan fenomenon ini adalah sinestesia. Perasaan-perasaan di atas terkait dengan sentuhan, tetapi digugah oleh tanda-tanda visual merupakan contoh reaksi sinestesis. Secara kebetulan, istilah estesia, biasanya digunakan untuk mengacu pada pengaktifan semua modalitas inderawi dalam cara yang holistik. Saat kita menyebut apresiasi sebuah karya seni sebagai “pengalaman estetik”, maksud kita secara harfiah adalah bahwa kita mengalami dan merasaka makna karya seni secara keseluruhan. Pengalaman estetik juga dapat ditimbulkan oleh bentuk dan dimensi spesifik dari wujud-wujud sederhana. Ilmu geometri juga merupakan hasil keterkaitan ini. Geometri berkutat dengan “wujud visual ideal” seperti segitiga, lingkaran, dan bujur sangkar. Wujud-wujud geometris dasar disusupi oleh simbolisme dalam pelbagai budaya di seluruh dunia. Berikut beberapa contohnya: a. Bujur sangkar. Di zaman kuno bujur sangkar melambangkan permukaan bumi, dan mengindikasikan empat penjuru dalam kompas atau poin-poin paling luar pada bumi. b. Segitiga Segitiga memperoleh banyak makna simbolis di seluruh dunia, dan di antaranya ide tentang “trinitas” langsung terbesit di benak kita.
23
c. Lingkaran Lingkaran telah menjadi simbol kesempurnaan dan keabadian sejak zaman kuno. Ini mungkin dikarenakan fakta bahwa lingkaran menyiratkan perulangan yang kekal. d. Tanda Silang Telah dipergunakan untuk merepresentasikan segala sesuatu dari agama Kristen sampai tanda plus. Jika dimiringkan tanda silang akan menjadi X, yang dapat menggantikan tanda tangan, melambangkan sesuatu yang tidak beres, tanda x, sesuatu yang terlarang (seperti dalam fim rating X), dan seterusnya.27 2.3.4. Ketelanjangan Manusia adalah satu-satunya hewan yang tidak dapat “tampil telanjang”, demikian istilahnya, tanpa memicu reaksi tertentu dari masyarakat (kecuali, tentu saja, jika lingkungan sosialnya berupa kamp nudis). Memang, ketelanjangan hanya dapat ditafsirkan secara kultural. Kita semua lahir telanjang, namun kita dengan cepat belajar bahwa ketelanjangan memiliki konotasi negatif. Terlebih lagi, bagian badan mana yang dianggap “boleh diperlihatkan” akan berbeda secara signifikan antarbudaya, meskipun menutupi alat kelamin pada umumnya tampak sebagai aturan yang melintasi batas budaya.
27
Ibid. hal 104
24
Untuk melihat bagaimana kita memberikan makna bagi ketelanjangan, mari kita lihat “seni” striptis. Striptis adalah tindakan “menanggalkan pakaian” yang erotis. Seperti pendapat yang diajukan pakar psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), mengenakan pakaian pada tubuh secara paradox telah merangsang keingintahuan dan hasrat pada tubuh itu sendiri. Menutupi tubuh adalah tindakan yang menuruti kepatutan. Tetapi pada efeknya tindakan ini menimbulkan hasrat rahasia pada tubuh. Maka, dalam pertunjukan striptis, menanggalkan pakaian mengakibatkan beberapa hal simbolis sekaligus; batasan moral yang diberlakukan atas seksualitas dihilangkan; bagian-bagian tubuh yang tertutup dan menjadi dihasratkan disingkapkan; penonton dilibatkan dalam sebuah ritual komunal yang mirip dengan banyak karnaval yang digelar di seluruh dunia Tubuh telanjang, singkatnya adalah sebuah tanda yang kuat. Inilah mengapa perupa visual selalu tertarik dengan sosok telanjang. Patung-patung telanjang para prajurit laki-laki Yunani dan Romawi Kuno, patung David yang mengesankan karya Michelangelo (1475-1564), patung telanjang The Thinker karya Rodin (1840-1917), semuanya menyiratkan kekuatan dalam tubuh laki-laki. Citra tubuh macam inilah yang meningkatkan daya tarik laki-laki dalam masyarakat kita. Anatomi manusia jelas menguggah sebuah sistem makna yang tersandi. Sistem ini mendasari representasi dalam semua wilayah kehidupan sosial manusia. Tubuh dengan sendirinya memang merupakan sistem tanda yang benarbenar kuat! Para seniman memahami hal ini lebih dari orang lain. Bahkan dalam gambar-gambar ilmiahnya, Leonardo Da Vinci (1452-1519) selalu menekankan
25
keindahan yang terkandung dalam proporsi manusia yang dibuat ideal, seperti dapat dilihat, misalnya, dalam gambar, klasiknya yang disebut Vitruvian man. Sensor adalah upaya untuk mengendalikan bentuk dan isi dari kegiatankegiatan representatif, dengan alasan atas dasar kepentingan masyarakat. Memandang tubuh manusia yang digambarkan dalam pose atau aktivitas seksual mengungkapkan, setidaknya bagi Marcel Danesi, adanya kekuatan penandaan dalam oposisi antara pakaian dan ketelanjangan. Memang, dalam representasi seksual, pakaian, memainkan peran sentral dalam menekankan seksual, bukan menyembunyikannya. Inilah mengapa stoking, dan pelengkap lainnya digunakan dalam representasi erotis. Barulah saat penggambaran semacam itu dikekang, minat yang berbahaya pada kegiatan memandang representasi seksual muncul ke permukaan. Sadar akan hal ini, sebagian orang yang disebut “kaum nudis” bahkan telah menyarankan praktik tidak mengenakan pakaian semata-mata atas dasar prinsip. Para pendukung nudism menyatakan bahwa pakaian harus dibuang bila tidak ada kondisi cuaca yang mengharuskan kita memakainya, sebab pakaian menimbulkan perhatian bersifat erotis yang terfokus pada tubuh, dan oleh karenanya memicu kertetarikan tak sehat pada seks. Rasa malu yang biasanya dihubungkan dengan ketelanjangan pada sebagian besar masyarakat modern, menurut kaum nudis, diakibatkan oleh pengkondisian kultural selama berabadabad yang menentang penyingkapan tubuh secara menyeluruh di depan umum. Dengan mengoreksi perasaan malu yang salah ini dalam diri para pengikutnya, nudism bertujuan meningkatkan keyakinan diri mereka dan memberikan apresiasi
26
baru atas keindahan hakiki dan martabat yang ada pada tubuh manusia. Apapun masalahnya, saling pengaruh antara pakaian dan ketelanjangan sebagai sistem tanda tidak dapat diabaikan. Keduanya saling terjalin dan saling terhubung dengan keseluruhan tatanan penandaan dalam sebuah budaya.28
2.4.
Illuminati Illuminati adalah bentuk plural dari bahasa Latin illuminatus yang berarti
“tercerahkan”. Illuminati merupakan nama yang diberikan kepada beberapa kelompok, baik yang nyata (historis) maupun fiktif. Secara historis, nama ini merujuk pada Illuminati Bavaria, sebuah kelompok rahasia pada Zaman Pencerahan yang didirikan pada tanggal 1 Mei tahun 1776. Sejak diterbitkannya karya fiksi ilmiah postmodern berjudul The Illuminatus! Trilogy (1975-7) karya Robert Shea dan Robert Anton Wilson, nama illuminati
menjadi
banyak
digunakan
untuk
menunjukkan
organisasi
persengkokolan yang dipercaya mendalangi dan mengendalikan berbagai peristiwa di dunia melalui pemerintah dan korporasi untuk mendirikan Tatanan Dunia Baru atau yang dikenal New World Order. Gerakan ini didirikan di Ingolstadt (Bavaria Atas) dengan nama Ordo Illuminati dan beranggotakan awal sebanyak lima orang. Dipelopori oleh Adam Weishaupt yang merupakan Yesuit (salah satu serikat dari ordo Gereja Katolik Roma) adalah profesor hukum kanon di Universitas Ingolstadt. Kelompok ini 28
Ibid. hal 264
27
terdiri dari para pemikir bebas sebagai perwujudan Pencerahan dan nampaknya mencontoh Freemason. Anggota Illuminati melakukan sumpah rahasia dan berikrar untuk mengabdi kepada atasan mereka. Dibagi menjadi tiga kelas, masing-masing dengan beberapa tingkatan, dan banyak cabang illuminati menarik anggota dari loji Mason yang sudah ada. Pada awalnya Weishaupt berencana bahwa kelompok itu akan dinamai “Perfectibilists”. Kelompok itu juga disebut Illuminati Bavaria dengan ideologi “Illuminisme”. Banyak intelektualis dan politisi progresif terkenal yang menjadi anggotanya. Organisasi ini memiliki cabang dibanyak negara di Eropa dengan sekitar 2000 anggota dalam kurun waktu 10 tahun. Beberapa kelompok persaudaraan modern mengklaim sebagai “pewaris Illuminati Bavaria dan telah secara terang-terangan menggunakan nama “illuminati” dalam pelaksanaan ritus mereka. Beberapa misalnya banyak kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Ordo Illuminati. Antara tahun 1797 dan 1798 buku Memoirs Illustrating the History of Jacobnism karya Augustin Barruel dan Profs of a Conspiracy karya John Robison mengemukakan teori bahwa Illuminati terus bertahan dan melaksanakan persengkongkolan internasional yang masih berlangsung. Mereka mengklaim bahwa Illuminati merupakan dalang dibalik Revolusi Prancis. Karya-karya mereka juga memberikan pengaruh di Amerika Serikat. Ketertarikan terhadap Illuminati pada masa sekarang berawal dari diterbitkannya buku The Illuminatus! Trilogy karya fiksi ilmiah postmodern yang
28
menampilkan Illuminati sebagai penguasa dunia. Banyak dari teori tersebut mengemukakan bahwa banyak kejadian di dunia dikendalikan dan dimanipulasi oleh kelompok rahasia yang menyebut diri mereka sebagai Illuminati. Para penganut teori konspirasi mengklaim banyak orang terkenal yang menjadi anggota Illuminati. Presiden Amerika Serikat menjadi sasaran sering menjadi sasaran yang umum untuk klaim semacam itu.29 Illuminati adalah organisasi rahasia yang melakukan konspirasi menentang Tuhan.30 Namun keberadaan organisasi tersebut dianggap aktif sampai sekarang walaupun tidak ada bukti secara nyata akan keberadaan organisasi tersebut. Illuminati didirikan atas inisiatif keluarga Rothschild yang kemudian memilih Adam Weishaupt untuk membentuk dan memimpin Illuminati. Arti “tercerahkan dari istilah Illuminati tadi mengacu pada Lucifer “pembawa Cahaya”.31 Menurut keyakinan umat Kristen dalam Al-Kitab Yesaya disebutkan Lucifer (sebutan iblis sebelum keluar dari surga) dikeluarkan surga seperti cahaya jatuh dari langit. Junus dalam bukunya berjudul “Membongkar Illuminati” menyebutkan beberapa simbol yang sering digunakan, sebagai berikut:32
29
http://id.wikipedia.org/wiki/Illuminati/ Henry Makow. Illuminati: The Cult that Hijacked the World. Silas Green. 2011 hal 111 31 Henry Makow. Illuminati: Dunia Dalam Genggaman Setan (Terjemahan). Jakarta: Ufuk Press. 2012 hal 140 32 Rifky Junus. Membongkar Illuminati. Jakarta: Gramedia/Seven Books. 2013 30
29
a. Ankh
Gambar 2.4.a
merupakan salah satu kekuatan terdahsyat dari dunia. Berbentuk salib dengan buatan seperti kepala kunci di atasnya. Bila ditelusuri sejarahnya, Ankh berasal dari mistik Mesir kuno yang bermakna keabadian hidup. b. Pentagram,
Gambar 2.4.b
berhubungan dengan Lucifer (pemuja setan). Jika pentagram diputar secara terbalik, bentuknya semacam bintang bertanduk melambangkan setan. Pentagram dihubungkan dengan dunia sihir dan banyak digunakan oleh kaum paganisme sebagai kalung. Namun di satu sisi tidak sedikit juga yang menggunakan bentuk ini bukanlah pemercaya setan. c. Mata Horus
Gambar 2.4.c
dikenal juga Mata ra adalah sosok dewa yang berhubungan dengan matahari. Ia merupakan simbol mistik dari kekuatan gelap yang bermakna
30
Maha Tahu dan Maha Melihat. Simbol ini juga sering disebut dengan nama All Seeing Eye sekaligus juga sebagai simbol kebangkitan dan keselamatan. d. Phoenix
Gambar 2.4.d
adalah salah satu simbol spiritual dan militer tertinggi. Illuminati menggunakan ritual penyadaran dalam pelatihan mereka. e. Heksagram
Gambar 2.4.e
terdiri dari dua segitiga yang posisi saling berlawanan, sehingga membentuk enam sudut. Simbol ini sering dipergunakan dalam ritual musik hitam untuk memanggil Lucifer.
31
f. Obelisk
Gambar 2.4.f
Adalah monumen tinggi, ramping bersisi empat yang dimahkotai kemuncak berbentuk piramida dan merupakan seni orang Mesir kuno. Ini adalah simbol phallic, terhubung dengan dewa Ra (Dewa Matahari). Dalam budaya pagan, obelisk merupakan simbol control patriarkal massa. 33
Menurut Junus, Illuminati memang banyak menggunakan mitologi Yunani dan Romawi dalam program mereka. Selain simbol-simbol di atas ada simbol lain yang bisa ditemukan dalam simbolisasi Illuminati. Semua simbol tersebut juga terkadang ditemukan dalam simbolisasi Illuminati baik secara ikon atau berupa indeks. Mereka tidak terlihat karena mereka hanya menggunakan logo dan simbol untuk menyatakan keberadaan mereka di antara anggotanya.34 Para penganut paham atau teori konspirasi mengatakan bahwa tujuan Illuminati adalah menciptakan The New World Order (Tatanan Dunia Baru) yang dirancang dalam menciptakan satu dunia yang hanya diisi oleh mereka sebagai tuan dan manusia selain mereka sebagai budak. Dengan kata lain, tidak ada kelas 33 34
http://mkydmi.wordpress.com/2013/08/17/simbol-melawan-paganisme/ Makow, op.cit. hal 64
32
menengah. Di era ini semua manusia hanya memiliki satu agama, yakni pluralisme. Sementara Islam, Kristen, Katolik, dan agama-agama lainnya akan hancur. Dalam tatanan dunia baru ini, Sekulerisme menjadi panglima dan kelompok konspiran globalis akan menjadikan Amerika Serikat sebagai kendaraan utamanya. Oleh karena itu, mereka menguasai hampir seluruh industri opini, industri tren, industri budaya pop, industri pendidikan, dan industri pemberitaan dunia demi mewujudkan New World Order. 35 Metode mind controlling, ada salah satu cara yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Teknik pencucian otak ini menggunakan serangkaian sumber, semisal narkoba, propaganda, pemujaan, video game, musik, film, dan acara-acara di televisi.36 Simbolisme Illuminati itu kemudian masuk ke industri hiburan, melalui para pelaku, yakni artis, tokoh, musisi, atau seni hiburan lain sebagai anggotanya. Para artis ini nantinya akan diolah sedemikian rupa sehingga mencapai sebuah ketenaran dalam industri tersebut. Tujuannya agar artis-artis Illuminati yang membawa pesan mereka kepada massa dapat merubah massa secara perlahan seperti mereka. Demi mewujudkan New World Order agar seluruh manusia pada akhirnya memiliki pandangan yang sama terhadap Ketuhanan.
35
http://votreesprit.wordpress.com/2012/09/01/simbol-freemason-illuminati-dalam-industrihiburan/ 36 http://fractnumulusense.blogspot.com/2013/10/40-teknik-illuminati-dalam-menguasai.html
33
Musik menjadi salah satu cara pemujaan baru dan untuk melanjutkan penambahan cara pemujaan yang sudah ada. 37
2.5.
Semiotika Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala
yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tandatanda
lain,
pengirimannya
dan
penerimaannya
oleh
mereka
yang
menggunakannya.38 Secara singkat kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotika (semiotical analysis) merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambanglambang pesan atau teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang (signs) baik yang terdapat pada media massa (seperti berbagai paket tayangan televisi, karikatur media cetak, film, sandiwara radio, dan berbagai bentuk iklan) maupun yang terdapat di luar media massa (seperti karya lukis, patung, candi, monumen, fashion show, dan menu masakan pada food festival). Urusan analisis semiotika adalah melacak makna-makna yang diangkat dengan teks berupa lambang-lambang (signs). Dengan kata lain, pemaknaan
37
http://indocropcircles.wordpress.com/2012/09/24/target-illuminati-dan-komite-300/ Rachmat Kriyantono. Tekhnik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006 hal 265 38
34
terhadap lambang-lambang dalam tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik.39
2.5.1. Pengertian Semiotika Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefnisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Sementara secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/wacana tertentu. Analisis bersifat paradigmatic dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal tersembunyi di balik sebuah teks. Maka orang sering mengatakan semiotika adalah upaya menemukan makna ‘berita di balik berita’.40 Tanda-tanda (sign) adalah basis atau dasar dari seluruh komunikasi kata pakar Komunikasi Littlejohn yang terkenal dengan bukunya: “Theories on Human 39 40
Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara. 2007 hal 155-156 Indiwan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. 2011 hal 5
35
Behaviour” (1996). Menurut Littlejohn, manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya dan banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini. Sedangkan Umberto Eco ahli semiotika yang lain, kajian semiotika sekarang membedakan dua jenis semiotika yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima, kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi, dan acuan yang dibicarakan. Sementara, semiotika signifikasi tidak ‘mempersoalkan’ adanya tujuan berkomunikasi. Pada jenis yang kedua, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan ketimbangan prosesnya.41 Dengan demikian semiotik mempelajari keberadaan suatu tanda. Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai “kebohongan”; dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri.42 Analisis Semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut.
41 42
Ibid. hal 6 Alex Sobur. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2001 hal 87
36
Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada.43 Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda itu tidak pernah membawa makna tunggal. Kenyatannya teks media memiliki ideologi atau kepentingan tertentu, memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut.44 Sebagai seluruh cabang keilmuan semiotika memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat dan luas, signifikansi semiotika tidak saja sebagai metode kajian (decoding), akan tetapi juga sebagai metode penciptaan (encoding). Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, media studies, cultural studies. Sebagai metode penciptaan, semiotika mempunyai pengaruh pula pada bidang-bidang desain produk, arsitektur, komunikasi visual, seni tari, seni rupa, dan juga seni film. 45 2.5.2. Model Analisis Semiotika Tokoh-tokoh penting dalam bidang semiotik adalah Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang ahli filsafat dan logika Amerika. Kajian semiotik Saussure lebih mengarah pada 43
Rachmat Kriyantono. Tekhnik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006 hal 266 44 Indiwan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. 2011 Hal7 45 Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra. 2009 hal ix
37
penguraian sistem tanda yang berkaitan dengan linguistik, sedangkan Pierce lebih menekankan pada logika dan filosofi dari tanda-tanda yang ada di masyarakat.46 2.5.3. Model Analisis Semiotik Charles S. Peirce Semiotika berangkat dari tiga elemen utama, yang disebut Peirce teori segitiga makna atau triangle meaning a. Tanda Adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera
manusia
dan
merupakan
sesuatu
yang
merujuk
(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut objek. b. Acuan Tanda (Objek) Adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. c. Pengguna Tanda (Interpretant) Konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke sesuatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Yang dikupas dari teori segitiga, maka adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu
46
Kriyantono, op.cit., hal 7
38
berkomunikasi. Hubungan antara tanda, objek, dan interpretant digambarkan Peirce.
SIGN
INTERPRETANT
OBJECT 47
Gambar 2.5.3
2.5.4. Model Analisis Semiotik Ferdinand Saussure Ferdinand De Saussure lebih terfokus pada semiotika linguistik. Studi tersebut menelusuri perkembangan kata-kata dan ekspresi sepanjang sejarah, mencari faktor-faktor yang berpengaruh seperti geografi, perpindahan penduduk dan faktor lain yang mempengaruhi perilaku linguistik manusia.48 Menurut Saussure, tanda terbuat atau terdiri dari: 1.
Bunyi-bunyi dan gambar (sound and images), disebut “Signifier”
2.
Konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar (The concept these sounds and images), disebut ”Signified” berasal dari kesepakatan.
Tanda (Sign) adalah sesuatu yang berbentuk fisik (any sound-image) yang dapat dilihat dan didengar yang biasanya merujuk kepada sebuah objek atau aspek dari realitas yang ingin dikomunikasikan. Objek tersebut dikenal dengan “referent”. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim
47 48
Kriyantono, op.cit., hal 267 Seto , op.cit., hal 15
39
makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Syaratnya komunikator dan komunikan harus mempunyai bahasa atau pengetahuan yang sama terhadap sistem tanda. 49 Kode merupakan sistem pengorganisasian tanda. Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode, yaitu: 1.
Paradigmatik Merupakan sekumpulan tanda yang dari dalamnya dipilih satu untuk digunakan.
2.
Syntagmatic Merupakan pesan yang dibangun dari paduan tanda-tanda yang dipilih.50
2.5.5. Model Semiotik Roland Barthes Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of significations”. 51
49
Kriyantono, op.cit., hal 270 Kriyantono, op.cit., hal 271 51 Kriyantono, op.cit., hal 272 50
40
Gambar 2.5.5 52 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes
tatanan pertama
realitas
tatanan kedua
tanda penanda
denotasi
kultur bentuk isi
petanda
konotasi
mitos
Tahapan pertama adalah pemaknaan tanda yang berdasarkan atas realitas dari tanda dan tahapan kedua adalah tahapan penandaan yang didasarkan atas kultur atau budaya yang ada di dalam masyarakat. Dari kedua tahapan penandaan ini kemudian muncullah istilah denotasi, konotasi dan mitos. Keterangan lebih detail tentang signifikansi penandaan Barthes adalah sebagai berikut: 1. Denotasi Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. 2. Konotasi Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai
52
John Fiske. Cultural and Communication Studies: Sebuah pengantar paling komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. 2004 hal 122
41
kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. 3. Mitos Cara kedua dari tiga cara Barthes mengenai cara bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melalui mitos. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara mengonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan tatanan kedua dari petanda.53 Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign). Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menujukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna subjektif atau paling intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif.
53
Ibid. hal 118-119
42
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi Mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya.54
2.5.6. Semiotika Visual Semiotika visual (visual semiotics) pada dasarnya merupakan salah satu bidang semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual senses). Apabila kita konsisten mengikuti pengertian ini, maka semiotika visual tidak lagi terbatas pada pengkajian seni rupa (seni lukis, patung, dan seterusnya) dan arsitektur semata-mata melainkan juga segala macam tanda visual yang kerap kali atau biasanya dianggap bukan karya seni. Adapun isu-isu pokok di dalam semiotika visual, berdasarkan atas pembedaan tiga cabang penyelidikan (dimensi) menurut Charles Morris, yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. a. Sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax): Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal di antara satu tanda dengan tanda-tanda lainnya”. Dengan kata lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah
54
Seto, op.cit., hal 17
43
yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengertian sintaktik kurang-lebih adalah semacam “gramatika”.55 Persoalan di dalam dimensi sintaktik berkisar pada homologi di antara bahasa dan gambar/lukisan. Sebagian pakar semiotika berpendapat bahwa struktur sebuah representasi visual dapat dipilah ke dalam satuan-satuan pembentuknya yang sedikit-banyak analog dengan sistem kebahasaan, kendati hal ini tidak sekaligus menunjukkan adanya artikulasi ganda (double articulation) yaitu satuan terkecil yang bermakna dan satuan terkecil yang membedakan makna.56 Saint Martin misalnya mencoba mempostulatkan satuan-satuan dasar di dalam bahasa piktorial dan skulptural yang dapat dianggap sebagai satuan-satuan terkecil (minimal units), yaitu apa yang disebutnya sebagai colorome yaitu zona dari medan bahasa visual yang berkolerasi dengan suatu sentrasi pandangan mata. Elemen dasar bahasa visual ini tersusun dari suatu gugus variabel visual, yang analog dengan fonem yang tersusun dari suatu gugus variabel auditoris atau akustik (misalnya tekanan bunyi, tonalitas, timbre, harmoni, dan sebagainya).57
b. Semantik (semantics) Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya”. 55
Kris Budiman. Semiotika Visual. Yogyakarta: Jalasutra. 2011 hal 4 Ibid. hal 10 57 Ibid. hal 12 56
44
Bagi Morris, yang dimaksud dengan designate adalah makna tandatanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.58 Masalah-masalah yang menyangkut dimensi semantik juga merupakan salah satu isu sentral dalam pendekatan semiotika visual. Hal-hal yang menjadi pokok perdebatan, antara lain, adalah pertanyaan apakah tanda-tanda visual dicirikan oleh ikonisitas atau justru indeksikalitas dan simbolisitas? Para pakar semiotika mengajukan klaim bahwa relasi tanda visual dan objeknya bukan bersifat ikonik semata-mata, melainkan juga simbolik atau bersifat konvensional. Hal ini dipahami seperti pernyataan Peirce bahwa tanda-tanda yang sempurna adalah justru tanda-tanda yang keseimbangan sifat ikonik, indeksikal, dan simbolik sekaligus. 59
c. Pragmatik (pragmatic) Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara
tanda-tanda
dengan
interpreter-interpreter
atau
para
pemakainya”- pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.60 Persoalan dalam dimensi pragmatik adalah pertanyaan tentang fungsifungsi apakah yang dominan di dalam proses komunikasi (seni) visual. Apakah fungsi puitik dan/atau fungsi estetik yang dominan di 58
Ibid. hal 4 Ibid. Hal: 13-14 60 Ibid. hal 4 59
45
dalamnya? Fungsi puitik mengandaikan adanya pemusatan atas pesan itu sendiri di dalam proses produksi dan konsumsi tanda. Sedangkan fungsi estetik dicirikan oleh gejala fiksionalitas, sehingga tanda-tanda estetik dapat disebut sebagai tanda-tanda autotelik atau mengacu pada dirinya sendiri (self-referential). Polemik tentang fungsi sosial pada karya (seni) visual ini pada akhirnya mesti memperhitungkan bahwa komunikasi sesungguhnya bukanlah sebuah proses yang berdimensi tunggal.61
61
Ibid. hal 14-15