18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komunikasi Massa Definisi komunikasi Massa yang dikemukakan oleh Bittner (Rakhmat, 2003:188), yakni : komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people). Media massa yang dimaksud dalam komunikasi massa ialah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid, buletin) dan media elektronik (radio, televisi). Definisi komunikasi massa yang lebih perinci dikemukakan oleh ahli komunikasi lain, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967) “ Mass communication is the technologically and institutionally based production and ditribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial sicieties”.( Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri (Ardianto dkk, 2007:3) Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan oleh perorangan, melainkan harus oleh lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi tertentu, sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri. Menurut Wright, bentuk baru komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama sebagai berikut: diarahkan pada khalayak yang relatif besar, heterogen dan anonim; pesan disampaikan secara terbuka, seringkali dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, bersifat
19
sekilas, komunikator cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompleks yang melibatkan biaya besar. Seperti halnya Gerbner yang mengemukakan bahwa komunikasi massa itu akan melibatkan lembaga, maka Wright secara khusus mengemukakan bahwa komunikator bergerak dalam organisasi yang kompleks. Organisasi yang kompleks itu menyangkut berbagai pihak yang terlibat dalam proses komunikasi massa, mulai dari menyusun pesan sampai pesan diterima oleh komunikan. Misalnya bila pesan disampaikan melalui media cetak (majalah, dan surat kabar), maka pihak yang terlihat diantaranya adalah pemimpin redaksi, editor, lay-out man, korektor. Sedangkan bila pesan disampaikan melalui media televisi, maka pihak yang terlibat diantaranya adalah penyiar dan operator. Bila pesan disampaikan melalui media televisi, maka pihak yang terlibat akan lebih banyak lagi, seperti camera man, floor man, lighting man, pengarah acara, sutradara, operator , dan petugas audio. Penggunaan seperangkat alat teknologi dengan sendirinya menyebabkan komunikasi massa itu membutuhkan biaya relatif besar. (Ardianto dkk, 2007:5) Ahli komunikasi lainnya, Joseph A. DeVito merumuskan definisi komunikasi massa yang pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa serta tentang media yang digunakannya. Ia mengemukakan definisinya dalam dua item, yakni: “pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi, tetapi ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya
20
agak sukar didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan / atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logisbila didefinisikan menurut bentuknya : televisi, radio siaran, surat kabar, majalah, dan film” (Ardianto dkk, 2007: 6) B. Peranan Komunikasi Massa Masyarakat banyak menghabiskan waktu dengan menggunakan berbagai bentuk dari komunikasi massa. Terutama dalam kehidupan sehari-hari, menurut Gamble dan Gamble (2001) mengatakan, sejak lahir sampai meninggal, semua bentuk komunikasi memainkan peranan dan menjadi bagian yang menyatu dalam kehidupan manusia. Apapun pekerjaan, kegiatan atau waktu luang seseorang, komunikasi merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan dalam kehidupan mereka. (Ardianto dkk, 2007:13) Komunikasi merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan dalam kehidupan manusia. Hal ini dapat dilihat dan diamati dengan cara orang-orang akan menghabiskan waktu luang dari waktu kesehariannya dalam bekerja, maka sebagian besar yang mereka lakukan ialah berkomunikasi. Misalnya menonton berita atau hiburan lainnya seperti film, mendengarkan radio, membaca koran, majalah, dan lain-lain. Peranan atau terpaan media massa terhadap ibu itu sangat besar. Secara sadar atau tidak sadar, pola hidupnya sudah dikendalikan oleh media massa. Banyak orang menghabiskan waktunya sekitar tujuh jam untuk mengonsumsi media massa di tengah kesibukan pekerjaannya. Mereka juga memiliki pilihan
21
media yang sangat spesifik, seperti majalah atau tabloid yang berkaitan dengan pekerjaannya. C. Fungsi komunikasi Massa Para pakar mengemukakan tentang sejumlah fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi massa menurut Dominick (Ardianto dkk, 2007:14 - 17) terdiri dari surveillannce (pengawasan), Interpretation (penafsiran), linkage (keterkaitan), transmission of values (penyebaran nilai) dan entertainment (hiburan). 1. Surveillance (Pengawasan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: a. Pengawasan peringatan ; fungsi ini terjadi ketika media massa menginformasikan tentang ancaman dari angin topan, meletusnya gunung merapi, kondisi yang memprihatinkan, tayangan inflasi atau adanya serangan militer. Sebuah stasiun televisi mengelola program untuk menayangkan sebuah peringatan atau menayangkannya dalam jangka panjang. b. Fungsi
pengawasan
instrumental
adalah
penyampaian
atau
penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya bagaimana harga-harga saham di bursa efek, produk-produk baru, ide-ide tentang mode, resep masakan dan sebagainya. 2. Interpretation (Penafsiran) Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran
22
terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. 3. Linkage (Pertalian) Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu. 4. Transmission of Values (Penyebaran Nilai-Nilai) Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini juga disebut sosialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu kepada cara, di mana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar dan dibaca. Media massa memperlihatkan kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang mereka harapkan. 5. Entertainment (Hiburan) Sulit dibantah lagi bahwa pada kenyataannya hampir semua media menjalankan fungsi hiburan. Televisi adalah media massa yang mengutamakan sajian hiburan. Hampir tiga perempat bentuk siaran televisi setiap hari merupakan tayangan hiburan. Begitupun radio siaran, siarannya banyak memuat acara hiburan. Memang ada beberapa stasiun televisi dan radio siaran yang lebih mengutamakan tayangan berita. Demikian pula halnya dengan majalah. Tetapi, ada beberapa majalah yang lebih mengutamakan berita seperi Time dan News Week, Tempo dan Gatra.
23
D. Efek Komunikasi Massa Donald K. Robert (Ardianto dkk, 2007: 49) mengungkapkan, ada yang beranggapan bahwa “efek hanyalah perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa”. 1. Efek kehadiran Media Massa Menurut Steven M. Chaffe (Ardianto dkk, 2007: 50), ada lima jenis kehadiran media massa sebagai benda fisik, yaitu: efek ekonomis, efek sosial, efek pada penjadwalan kegiatan, efek penyaluran/penghilangan perasaan tertentu, dan efek pada perasaan orang terhadap media. a. Efek Ekonomi Kehadiran media massa di tengah kehidupan manusia dapat menumbuhkan berbagai usaha produksi, distribusi, dan konsumsi jasa media massa. b. Efek Sosial Efek sosial berkaitan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial sebagai akibat dari kehadiran media massa. Sebagai contoh, misalnya kehadiran televisi dapat meningkatkan status sosial pemiliknya. Majalah yang beredar telah menuntun pembacanya untuk memilih majalah yang menjadi kebutuhannya, misalnya majalah Gadis umumnya dikonsumsi oleh para remaja putri, majalah Otomotif, dikonsumsi oleh para pencinta otomotif, dan sebagainya.
24
c. Penjadwalan Kegiatan Sehari-hari Sebelum pergi ke kantor, masyarakat kota pada umumnya membaca koran dahulu. Anak-anak Sekolah Dasar yang biasanya selalu mandi pagi pada hari minggu setelah hadirnya acara televisi untuk anak-anak pada pagi hari, mengubah jadwal mandi pagi menjadi jadwal menonton televisi. Pada waktu Maghrib, anak-anak yang biasanya mengaji setelah shalat menjadi lebih senang menonton televisi setelah stasiun televisi menyajikan acara hiburan tertentu pada waktu tersebut. d. Efek Hilangnya Perasaan Tidak Nyaman Orang
menggunakan
media
untuk
memuaskan
kebutuhan
psikologinya dengan tujuan untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman, misalnya untuk menghilangkan perasaan kesepian, marah, kesal, kecewa dan sebagainya. e. Efek Menumbuhkan Perasaan Tertentu Kehadiran media massa bukan saja dapat menghilangkan perasaan tidak nyaman pada diri seseorang, tetapi dapat juga menumbuhkan perasaan tertentu. Terkadang orang akan mempunyai perasaan positif atau negatif terhadap media tertentu. Misalnya, seseorang akan mempunyai perasaan positif terhadap harian Kompas dari pada Media Indonesia,dapat disimpulkan bahwa tumbuhnya perasaan senang atau percaya pada suatu media massa tertentu erat kaitannya dengan pengalaman individu bersama media massa tersebut.
25
2. Efek Pesan a. Efek Kognitif Menurut McLuhan (Ardianto dkk, 2007:53), media massa adalah perpanjangan alat indra kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan oleh media adalah realitas yang sudah diseleksi. Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampillkan dan mengesampingkan tokoh yang lainnya. Surat kabar, melalui proses yang disebut gatekeeping menyaring berbagai berita tentang “darah dan dada” (blood and breast). Karena kita tidak dapat, bahkan tidak sempat mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media, kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata bersandarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, maka sudah tentu media massa akan memengaruhi pemebentukan citra tentang lingkungan sosaila yang timpang, bias dan tidak cermat. Oleh karena itu, muncullah apa yang disebut dengan stereotipe, yaitu gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat kllisedan seringkali timpang dan tidak benar (Ardianto dkk, 2007:53). Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi pada masyarakat modern karena mereka memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa. Pada saat yang sama mereka sukar mengecek
26
kebenaran yang disajikan oleh media. Media massa, dapat mengubah citra khalayaknya tentang lingkungan mereka karena media massa memberikan rincian analisis dan tinjauan tentang berbagai peristiwa. b. Efek Afektif Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada efek kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan sekadar memberitahu khalayak tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, khalayak diharapkan dapat turut merasakan perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya. Faktor-faktor yang memengaruhi intensitas rangsangan emosional pesan media massa antara lain: suasana emosional, skema kognitif, suasana terpaan, predisposisi individual dan identifikasi khalayak dengan tokoh dalam media massa. c. Efek Behavioral Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau film akan menyebabkan orang menjadi beringas. Siaran kesejahteraan keluarga yang banyak disiarkan dalam televisi menyebabkan para ibu rumah tangga memiliki keterampilan baru. Pernyataan-pernyataan ini mencoba mengungkapkan tentang efek komunikasi massa pada perilaku tindakan dan gerakan khalayak yang tampak dalam kehidupan mereka sehari-hari.
27
E. Headline Sebagai Bentuk Penonjolan dan Penekanan Isu Bila satu media, apalagi sejumlah media, menaruh sebuah kasus sebagai headline, diasumsikan kasus itu memperoleh perhatian yang besar dari khalayak. Ini tentu berbeda jika, misalnya kasus tersebut dimuat di halaman dalam, bahkan pojok bawah pula. Faktanya konsumen media jarang memperbincangkan kasus yang tidak dimuat oleh media, yang boleh jadi kasus itu justru sangat penting untuk masyarakat. Memang, setiap peristiwa yang dianggap dapat menarik minat pembaca, selalu dijadikan headline atau diletakkan pada halaman muka surat kabar. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa umumnya pembaca ketika akan membaca atau membeli sebuah surat kabar, yang pertama dilihatnya adalah headline berita pada hari itu atau berita-berita yang ada di halaman mukanya. Hal ini didukung oleh pendapat Rivers dan Mathews (Sobur, 2009: 167) yang menyatakan bahwa sekitar 98% dari semua pembaca surat kabar membaca berita yang terdapat di halaman muka. Pembaca media saat ini terkena dengan apa yang disebut headline syndrome, yaitu dengan semakin tingginya mobilitas serta aktivitas khalayak terhadap headline. Pembaca seperti ini lebih suka menelusuri judul-judul berita ketimbang membaca berita secara keseluruhan. Menurut Assegaf pembaca surat kabar Amerika sering disebut sebagai “headline reader”, pembaca judul atau pembaca kepala berita. Hal ini tidak menjadi masalah jika judul-judul berita tersebut mencerminkan isi berita. Persoalannya bisa muncul jika judul berita yang ditampilkan secara sensasional (Sobur, 2009: 168).
28
Apabila dikaitkan dengan framing, yang dilakukan oleh suatu media, headline merupakan aspek sintaksis atau cara wartawan menyusun fakta dari wacana berita dengan tingkat kemenonjolan yang tinggi yang menunjukkan kecenderungan berita. Pembaca cenderung lebih mengingat headline yang dipakai dibandingkan bagian berita. Headline mempunyai fungsi framing yang kuat. Headline memengaruhi bagaimana kisah dimengerti untuk kemudian digunakan dalam membuat pengertian isu dan peristiwa sebagaimana dibeberkan oleh media. Headline dapat menunjukkan bagaimana wartawan mengkonstruksi isu. Headline sebagai berita utama, merupakan hasil konstruksi wartawan atau media, sebab bagaimana realitas itu dijadikan sebagai headline (berita utama) sangat bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai pada wartawan yang meliputnya. Proses pemaknaan oleh wartawan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita yang dijadikan sebagai
headline
merupakan pencerminan realitas. Buktinya realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, dengan porsi pemberitaan yang berbeda dan diproduksi menjadi jenis berita yang berbeda. Dalam tradisi jurnalistik di Indonesia, headline biasanya ditentukan lewat rapat redaksi yang melibatkan pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, serta beberapa wartawan. Dalam rapat ini dikumpulkan semua berita yang masuk dan kemudian dibahas, berita mana saja yang layak dan harus dimuat. Dari rapat itu, diputuskanlah berita yang akan menjadi headline. Pada umumnya, ukuran dan pertimbangan semua media dalam memilih headline sama. Ukuran tersebut pada
29
umumnya adalah berita yang dinilai actual, besar dan sangat penting bagi banyak orang, juga cocok untuk karakter medianya. Pemilihan judul berita memang merupakan hak prerogatif dari surat kabar yang bersangkutan. Juga terkadang merupakan gaya (style) atau ciri khas dari masing-masing surat kabar. Namun sesuai dengan prinsip jurnalistik, judul berita jangan sampai menghilangkan atau meengaburkan fakta yang sebenarnya. Dengan kata lain, jurnalis atau editor sebaiknya tidak membuat judul yang provokatif tetapi mengelabui pembaca atau cenderung mereduksi fakta demi menarik perhatian pembaca (Sobur, 2009: 168). Konsep framing Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat alokasi lebih besar dari pada isu lain. Framing memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan/dianggap oleh pembuat teks. Kata penonjolan itu sendiri dapat didefinisikan membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat oleh khalayak. Informasi yang menonjol kemungkinan lebih diterima oleh khalayak, lebih terasa dan tersimpan dalam memori dibandingkan dengan yang disajikan secara biasa. Bentuk penonjolan tersebut bisa beragam; menempatkan satu aspek informasi lebih menonjol dibandingkan yang lain, lebih mencolok, melakukan pengulangan informasi yang dipandang penting atau dihubungkan dengan aspek budaya yang akrab dibenak khalayak. Dengan bentuk seperti itu, sebuah
30
ide/gagasan/informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat, dan ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Karena kemenonjolan adalah produk interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame dalam teks bisa jadi tidak seperti yang dideteksi oleh peneliti, khalayak sangat mungkin mempunyai pandangan apa yang dia pikirkan atas suatu teks dan bagaimana teks tersebut dikonstruksi dalam pikiran khalayak (Eriyanto 2005: 220) F. Paradigma Konstruksionis Konsep
mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiologi
interpretative, Peter L. Berger. Bersama Thomas Luckman, ia banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konsruksi sosial atas realitas. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Berger dan Luckman menyatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Berger menyebut proses dialektis tersebut sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa (Eriyanto, 2005: 14-15). 1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke
31
tempat di mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia─dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. 2. objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan mengahadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya. Atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. 3. Internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur
32
dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebaga gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda/ plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu
akan menafsirkan realitas sosial itu dengan
konstruksi masing-masing. Selain plural, komstruksi sosial itu juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2005: 15). Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis/ paradigma transmisi (Eriyanto, 2005: 37). Kalau asumsi trasmisi melihat komunikasi sebagai proses penyebaran (pengiriman dan penerimaan pesan), maka paradigma konstruksionis melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana orang mengirimkan pesan, tetapi bagaimana masing-masing pihak dalam lalu-lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan
33
makna. Di sini diandaikan tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial di mana mereka berada (Eriyanto, 2005: 40). Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada
politik pemaknaan dan proses
bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah suatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai
mirror of reality
yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam
menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri (Eriyanto, 2005: 40-41). Dalam konteks berita, sebuah teks tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa saja mempunyai pandangan dan pemaknaan yang
34
berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Di sini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta (Eriyanto, 2005: 17). Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan diuraikan satu per satu di bawah ini: 1. Fakta/ peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Di sini tidak ada realitas yang bersifat objektif., karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dari pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta/ realitas pada dasarnya dikonstruksi. Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas bergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi. Dalam kata-kata yang ekstrim, realitas atau fakta itu tergantung pada bagaimana ia dilihat. Pikiran dan konsepsi kitalah yang
35
membentuk dan mengkreasikan fakta yang berbeda-beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda (Eriyanto, 2005: 20-21). 2. Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan seolah-olah media sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrument yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Kalau ada demonstrasi mahasiswa selalu diberitakan dengan anarkime, itu bukan menunjukkan realitas sebenarnya, tetapi juga menggambarkan
bagaimana
media
ikut
berperan
dalam
mengkonstruksikan realitas. Apa yang tersaji dalam berita, dan kita baca tiap hari, adalah produk dari pembentukan realitas media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak (Eriyanto, 2005: 23). 3. Berita bukan refleksi dari realitas, Ia hanyalah konstruksi dari realitas. Dalam pandangan kaum konstruksionis, berita itu ibaratnya sebagai drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita
36
adalah hasil dari konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda 4. Berita bersifat subjektif/ konstruksi atas realitas. Pandangan konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai subjektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standard yang rigid, seperti halnya positivis. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Berita bersifat subjektif dan opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standard tidak bisa dipakai. Kalau ada perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap sebagai kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas suatu realitas (Eriyanto, 2005: 27). 5. Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya; karena ia merupakan bagian yang
37
intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Dalam banyak kasus: topik apa yang diangkat dan siapa yang diwawancarai disediakan oleh kebijakan redaksional tempat wartawan bekerja, bukan semata-mata bagian dari pilihan profesioanal individu. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan juga dipandang sebagai aktor/ agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan peristiwa. Sebagai aktor sosial, wartawan turut mendefinisikan apa yang terjadi, dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka. Wartawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja. Karena dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif, dalam berada di luar diri wartawan. Realitas bukanlah sesuatu yang “berada di luar” yang objektif, yang benar, yang seakan-akan ada sebelum diliput oleh wartawan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya, bersifat subjektif, yang terbentuk lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan (Eriyanto, 2005: 2830). 6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Dalam pendekatan konstruksionis, aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan
38
bukanlah robot yang memilih apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu adalah bagian
integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan
mengkonstruksikan realitas. Wartawan di sini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, tetapi mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati (Eriyanto, 2005: 32). 7. Nilai, etika dan pilihan moral peneliti menjadi bagian yang integral dalam penelitian. Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai. Pilihan, etika, moral atau keberpihakan peneliti mejadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses penelitian. Peneliti adalah entitas dengan berbagai nilai dan keberpihakan yang berbeda-beda. Karenanya, bisa jadi objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda di tangan peneliti. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilkan temuan yang berbeda pula (Eriyanto, 2005: 33-34). 8. Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Dalam pandangan konstruksionis khalayak dipandang bukanlah subjek yang pasif. Ia adalah subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat
39
dalam pesan/ berita yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi (penyebaran) dari pembuat berita ke pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi (Eriyanto, 2005: 35). G. Analisis Framing Analisis framing merupakan strategi konstruksi dalam memproses berita, perangkat kognisi yang dipergunakan dalam memperoleh informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dalam rutinitas dan konvensi pembentukan berita. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas. Menurut Gitlin, frame adalah bagian yang pasti hadir dalam praktik jurnalistik. Dengan frame, jurnalis memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan yang mengemasnya sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada khalayak. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan di dalamnya konsepsi dan skema
40
interpretasi wartawan. Pesan, secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia hidup, membentuk, dan menginterpretasikan makna di dalamnya. Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah realitas dikemas dan disajikan dalam presentasi media. Oleh karena itu, frame sering diidentifikasi sebagai cara bercerita (story line) yang menghadirkan konstruksi makna spesifik tentang objek wacana. Framing secara umum dirumuskan sebagai proses penyeleksian dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas yang tergambar dalam teks komunikasi dengan tujuan agar aspek itu menjadi lebih jelas bagi khalayak. Framing juga dapat dipandang sebagai penempatan informasiinformasi dalam konteks yang khas sehingga elemen isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar dalam kognisi individu, sehingga lebih besar pula kemungkinannya untuk mempengaruhi pertimbangan individu (individual judgment). Proses framing lebih dari sekedar proses rekonstruksi dan interpretasi realitas. Framing
pada dasarnya adalah proses perekayasaan peristiwa, serta
proses menandai apa yang signifikan dari perist iwa –sehari-hari. Framing, adalah sebuah strategi bagaimana realitas/ dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-perisiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Frame adalah prinsip dari seleksi, penekanan, dan presentasi dari realitas. Frame media pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan frame dalam pengertian sehari-hari yang sering kali kita lakukan. Setiap hari jurnalis berhadapan dengan beragam peristiwa dengan berbagai pandangan dan kompleksitasnya. Lewat frame, jurnalis mengemas peristiwa yang
41
kompleks itu menjadi peristiwa yang dapat dipahami, dengan perspektif tertentu dan lebih menarik perhatian khalayak. Frame media dengan demikian adalah bentuk yang muncul dari pikiran (kognisi), penafsiran, dan penyajian, dari seleksi, penekanan, dan pengucilan dengan menggunakan simbol-simbol yang dilakukan secara teratur dalam wacana yang terorganisir, baik dalam bentuk verbal maupun visual. Dengan frame, jurnalis memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemasnya sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada khalayak (Eriyanto, 2005: 68-69). Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/ realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin memilih peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang diberitakan dan bagian mana dari realitas ang tidak diberitakan ? penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bias jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu
akan
menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau perist iwa yang lain. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata,
42
kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/ peristiwa yang diberitakan, asosiasi dengan simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar, dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat, atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapat alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek yang lain. Semua aspek itu, dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak (Eriyanto, 2005: 69-70). Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Realitas yang begitu kompleks dan penuh dimensi, ketika dimuat dalam berita bisa jadi akan menjadi realitas satu dimensi. Perbedaan muncul karena realitas pada dasarnya bukan ditangkap dan ditulis, realitas sebaliknya dikonstruksi. Dalam proses konstruksi tersebut ada banyak penafsiran dan pemaknaan yang berbeda-beda dalam memahami realitas. Analisis framing membantu kita untuk mengetahui bagaimana realitas/ peristiwa yang sama itu dikemas secara berbeda oleh wartawan sehingga menghasilkan berita yang secara radikal berbeda.
43
Salah satu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi, dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana beraturan dan memenuhi logika tertentu.
Framing
menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak untuk memproses informasi ke dalam kategori yang dikenal, kata-kata kunci dan citra tertentu. Khalayak bukan disediakan informasi yang rumit, melainkan informasi yang tinggal ambil, kontekstual, berarti bagi dirinya dan dikenal dalam benak mereka. Teori framing menunjukkan bagaimana jurnalis membuat simplifikasi, prioritas, dan struktur tertentu dari peristiwa. Karenanya framing menyediakan kunci bagaimana peristiwa dipahami oleh media dan ditafsirkan ke dalam bentuk berita. Karena media melihat peristiwa dari kacamata tertentu maka realitas setelah dilihat khalayak adalah realitas yang sudah terbentuk oleh bingkai media. Di sini media cenderung melihat realitas sebagai sesuatu yang sederhana. Misalnya, liputan terorisme yang kompleks disederhanakan sebagai tindakan tidak bermoral. Konflik etnis, rasial, diberitakan semata sebagai konflik atau kerusuhan (Eriyanto, 2005: 140). Ada beberapa hal yang menjadi ciri suatu frame antara lain 1. Menonjolkan aspek tertentu-mengaburkan aspek lain. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Dalam penulisan sering disebut sebagai fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan pada aspek tertentu. Akibatnya, ada aspek lainnya yang tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Pemberitaan
44
suatu peristiwa dari perspektif politik misalnya, mengabaikan aspek lain: ekonomi, sosial, dan sebagainya. 2. Menampilkan sisi tertentu melupakan sisi lain. Sebut misalnya pemberitaan media mengenai aksi mahasiswa. Berita misalnya, banyak menampilkan bagaimana demonstrasi akhirnya diwarnai dengan bentrokan. Berita secara panjang lebar menggambarkan proses bentrokan, mahasiswa yang nekad menembus barikade, dan akhirnya diwarnai dengan puluhan mahasiswa yang luka-luka. Dengan menampilkan sisi seperti ini dalam berita, ada sisi lain yang dilupakan. Yakni,
apa
tuntutan
dari
mahasiswa
tersebut?
Seolah
dengan
menggambarkan berita seperti itu, demonstrasi tersebut tidak ada gunanya. Mahasiswa hanya bermaksud mencari sensasi dan berusaha membuat keributan saja di tengah masyarakat. Berita misalnya, ditandai dengan gerutuan sopir angkutan yang tidak suka dengan demonstrasi karena menyebabkan kemacetan, dan sebagainya. Di sini, menampilkan aspek terterntu menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami relaitas tidak mendapatkan liputan yang memadai dalam berita. 3. Menampilkan aktor tertentu menyembunyikan aktor lainnya. Berita sering kali juga memfokuskan pemberitaan pada aktor tertentu. Ini tentu saja tidak salah. Tetapi efek yang segera terlihat adalah memfokuskan pada satu pihak atau aktor tertentu menyebabkan aktor lain yang mungkin relevan dan penting dalam pemberitaan menjadi tersembunyi (Eriyanto, 2005: 141-142).
45
Sasaran dari analisis framing, sebagai salah satu metode analisis wacana, adalah menemukan “aturan dan norma” yang tersembunyi di balik sebuah teks. Teknik ini dipergunakan untuk mengetahui perspektif atau pendekatan yang dipergunakan oleh sebuah media dalam mengkonstruksikan sebuah peristiwa. Analisis ini membantu kita melihat secara lebih mendalam bagaimana pesan diorganisir, digunakan, dan dipahami. H. Media dan Berita Dilihat dari Paradigma Konstruksionis Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan diuraikan satu persatu dibawah ini. Fakta/ Peristiwa Adalah Hasil Konstruksi. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda , tergantung pada baimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta/realitas pada dasarnya dikonstruksi. Fakta ada dalam konsepsi pikiran sesorang. Kitalah yang secara aktif mendefinisikan dan memaknai peristiwa yang terjadi. Manusia adalah makhluk yang aktif dalam mendefinisikan realitas. Fakta yang satu dengan fakta yang lain, yang tidak beraturan dirangkai. Fakta tersebut juga dipahami sehingga mempunyai makna tertentu.
46
Media Adalah Agen Konstruksi dalam pandangan konstruksionis, media dilihat sebagai saluran yang bebas, ia juga subjek yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. Entmant, dalam Eriyanto (2005: 163) melihat framing dalam dua dimensi besar yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Perspektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya, ditonjolkannya dan dibuangnya. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti, atau lebih diingat oleh khalayak.
47
Seleksi isu
Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang dikeluar (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu.
Penonjolan
Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika
aspek tertentu aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut dipilih, dari isu
bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.
Sumber : Eriyanto, 2005:187 Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberitaan definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.
48
Define Problems
Bagaimana suatu peristiwa /isu dilihat? Sebagai
(pendefinisian masalah)
apa? Atau sebagai masalah apa?
Diagnose causes
Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh
(Memperkirakan
apa? Apa
masalah yang dianggap sebagai penyebab dari suatu
atau sumber masalah)
masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah?
Make moral judgement
Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan
(membuat keputusan moral) masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan? Treatment Recommendation Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi (Menekankan penyelesaian)
masalah/isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?
Sumber: Eriyanto, 2005:188 Konsepsi mengenai framing dari Entman tersebut menggambarkan secara luas bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh wartawan. Define problems (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame / bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Diagone causes (memperkirakan penyebab masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa.
49
Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian
masalah
yang
sudah
dibuat.
Ketika
masalah
sudah
didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Contoh gerakan mahasiswa, kalau wartawan memaknai demonstrasi mahasiswa sebagai upaya pertahanan diri, dalam teks berita bisa dijumpai serangakaian pilihan moral yang diajukan. Misalnya disebut dalam teks, “mahasiswa adalah kelompok yang tidak mempunyai kepentingan, dan berjuang di garis moral”. Element framing lain adalah Treatment recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah.