BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Teori tentang Komunikasi
II.1.1. Pengertian dan Bentuk Komunikasi Dalam keseluruhan bidang organisasi dan manajemen, komunikasi merupakan salah satu konsep yang paling sering dibahas, meskipun di dalam kenyataannya jarang sekali dipahami secara tuntas. Kreitner dan Kinicki (2005), menyatakan bahwa “Komunikasi merupakan pertukaran informasi antar pengirim dan penerima, dan kesimpulan (persepsi) makna antara individu-individu yang terlibat”. Menurut Daft (2006) bahwa “Komunikasi adalah proses dimana informasi ditukar dan dipahami oleh dua orang atau lebih, biasanya dengan maksud untuk memotivasi atau mempengaruhi perilaku”. Sedangkan menurut Robbbins (2007), komunikasi adalah penyampaian dan pemahaman makna. Menurut Sofyandi dan Garniwa (2007), pengertian komunikasi dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu: 1.
Pengertian komunikasi yang berorientasi pada sumber menyatakan bahwa “Komunikasi adalah kegiatan dengan mana seseorang (sumber) secara sungguh-sungguh memindahkan stimuli guna mendapatkan tanggapan”. Dengan melihat unsur kesungguhan dalam komunikasi, maka pengertian itu cenderung berpandangan bahwa semua komunikasi pada dasarnya adalah
Universitas Sumatera Utara
persuasif. Lebih jauh lagi, komunikasi yang berorientasi pada sumber menekankan pentingnya variabel-variabel tertentu dalam proses komunikasi, seperti isi pesan, dan sifat persuasifnya. Dengan kata lain, komunikasi menurut pandangan ini memfokuskan perhatian pada produksi pesan-pesan yang efektif. 2.
Pengertian komunikasi yang berorientasi pada penerima memandang bahwa “Komunikasi sebagai semua kegiatan di mana seseorang (penerima) menanggapi stimulus atau rangsangan”. Tegasnya, proses komunikasi menurut pandangan ini berkenaan dengan pemahaman dan arti, karena tekanan diletakkan pada bagaimana penerima melihat dan menafsirkan suatu pesan. Pandangan ini tidak membatasi diri pada perilaku yang bersifat intentional saja, dan karenanya memperluas lingkup dari situasi komunikasi. Kekhasan bentuk komunikasi yang menempatkan manusia sebagai unsur
penting dalam organisasi haruslah diwarnai oleh sikap dan pola komunikasi yang bijak. Sikap dalam hal ini lebih mengekspresikan bagaimana manusia diletakkan pada posisi yang terhormat, dan dipandang berharga. Kondisi semacam ini apakah mewarnai dalam sistem komunikasi antara pimpinan pimpinan dengan bawahan dan antar sesamanya. Pengamatan dapat dilakukan sejauhmana pimpinan memperlakukan bawahan dalam komunikasi baik formal maupun non formal. Substansi lain yang perlu mendapatkan perhatian di samping sikap, adalah pola komunikasi. Apa yang menjadi fokus dalam konteks komunikasi organisasi
Universitas Sumatera Utara
adalah meliputi bentuk komunikasi, jalur/saluran hubungan komunikasi, dan sumber informasi, jenis berita yang dikomunikasikan. Menurut Sulistiyani dan Rosidah (2009), bentuk komunikasi organisasi secara umum dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Komunikasi Formal Bentuk komunikasi formal adalah bentuk hubungan komunikasi yang diciptakan secara terencana, melalui jalur-jalur formal dalam organisasi, yang melekat pada saluran-saluran yang ditetapkan sebagaimana telah ditunjukkan melalui struktur. Bentuk khas dari komunikasi formal ini adalah berupa komunikasi dalam tugas. 2. Komunikasi Non Formal Bentuk komunikasi non formal adalah komunikasi yang ada di luar struktur, biasanya melalui saluran-saluran non formal yang munculnya bersifat insidental, menurut kebutuhan atau hubungan interpersonal yang baik, atau atas dasar kesamaan kepentingan, hobi dan lain-lain. Jalur/saluran komunikasi diperlihatkan oleh adanya jalur-jalur komunikasi formal yang dirancang dalam organisasi. Saluran hubungan yang bersifat sentralistik diwakili oleh bentuk komunikasi komando, yang menyalurkan komunikasi dari atas ke bawah (down-ward communication). Biasanya bentuk saluran komunikasi semacam itu diimbangi dengan saluran ke atas atau dikenal dengan up-ward communication. Bentuk lain yang sering tampak dalam organisasi publik adalah komunikasi diagonal yang memberikan ruang terjadinya komunikasi antar sesama.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk terapan yang sering ditemui dalam organisasi publik pada umumnya merupakan bentuk komunikasi yang sentralistik. Pada saluran hubungan yang sentralistik biasanya didominasi oleh pimpinan sebagai sumber berita. Pimpinan dalam hal ini akan bertindak sebagai orang pertama yang memberi informasi, sedangkan anak buah tinggal menjadi pelaksana. Kondisi semacam ini menempatkan pimpinan sebagai satu-satunya orang yang menguasai informasi. Komunikasi yang tersentral jauh lebih miskin variasi atau corak informasi. Hanya terdapat dua jenis komunikasi yang cukup menonjol dalam hal ini, yaitu perintah dan pertanggungjawaban. Sedangkan pada komunikasi yang lebih terbuka, sangat memungkinkan terbentuknya variasi informasi, baik yang berasal dari inisiatif atasan maupun bawahan. Komunikasi yang berupa konsultasi, pembimbingan, saran nasihat, kritik, dan lain-lain merupakan variasi yang dapat ditampung pada pola komunikasi yang fleksibel. II.1.2. Proses Komunikasi Proses komunikasi berkaitan dengan bagaimana komunikasi itu berlangsung. Untuk memahami proses komunikasi, sebagai acuan dikemukakan oleh Daft (2006). Menurut Daft (2006), ada dua elemen umum dalam setiap situasi komunikasi, yaitu pengirim dan penerima. Pengirim (sender) adalah orang yang ingin menyampaikan ide atau konsep kepada orang lain, mencari informasi, atau mengungkapkan pemikiran atau emosi. Penerima (receiver) adalah orang kepada siapa pesan tersebut dikirimkan. Pengirim encode (encodes) ide dengan memilih simbol-simbol yang digunakan untuk menyusun sebuah pesan.
Universitas Sumatera Utara
Pesan (message) adalah perumusan yang nyata dari ide yang dikirimkan untuk penerima. Pesan tersebut dikirim lewat sebuah saluran (channel), yang merupakan pembawa komunikasi. Saluran tersebut bisa berupa laporan formal, panggilan telepon atau pesan e-mail, atau pertemuan dengan berhadapan secara langsung. Penerimanya dekodekan (decodes) simbol-simbol untuk menginterpretasikan arti pesan tersebut. Enkode dan dekode merupakan sumber berbagai kesalahan komunikasi karena pengetahuan, sikap, dan latar belakang bertindak sebagai filter dan menciptakan “gangguan” (noise) ketika menerjemahkan dari simbol-simbol menjadi arti. Akhirnya, umpan-balik (feedback) muncul ketika penerima merespons komunikasi pengiriman dengan pesan balasan. Tanpa umpan balik, komunikasi menjadi satu arah (one-way). Dengan adanya umpan-balik, komunikasi menjadi dua arah (two-way). Umpan balik merupakan bantuan yang sangat ampuh untuk mendapatkan efektivitas komunikasi, karena umpan balik memungkinkan pengirim untuk menentukan apakah penerima menginterpretasikan pesan dengan dengan benar. PENGIRIM
PENERIMA
ENKODE
DEKODE
PESAN
PESAN
(Pesan balasan didekode)
(Pesan balasan dienkode)
Putaran umpan balik
Sumber: Daft (2006)
Gambar II.1. Model Proses Komunikasi
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sofyandi dan Garniwa (2007), untuk memahami proses komunikasi, sebagai acuan dikemukakan model Shannon dan Weaver yang unsur-unsur pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Sumber Informasi Ini adalah awal dari proses komunikasi. Sumber ini memuat informasi dan memasukan berbagai bentuk keinginan dan tujuan yang ada di pihak pengirim. 2. Transmisi Transmisi mengubah (encodes) data ke dalam pesan dan mengirimkannya kepada penerima. Bentuk utama dari proses pengubahan adalah bahasa yang diartikan sebagai setiap pola tanda-tanda, lambang, atau sinyal. Bahasa inilah yang dipindahkan melalui berbagai macam alat/media seperti: gelombang, listrik, atau selembar kertas. 3. Kebisingan/Gangguan Segala sesuatu yang mengganggu dan terjadi antara transmisi dan penerima. Masalah arti kata, bahasa, atau distorsi pesan adalah contoh adanya gangguan, dan hal ini sering kali tidak bisa dihindarkan di dalam proses komunikasi. 4. Penerima Di sini komunikasi telah melewati tahap antara pengirim dan penerima, di mana terjadi proses yang disebut decoding yaitu pemberian makna atau penafsiran atas pesan yang dikirimkan.
Universitas Sumatera Utara
5. Tujuan Akhir Ini adalah bagian terakhir dari proses komunikasi atau yang menjadi tanda selesainya komunikasi atau yang menjadi tanda selesainya dan telah dilaksanakannya proses komunikasi. Tujuan akhir ini bisa berupa pejabat, penyelia, atau pihak lainnya yang diharapkan memberikan reaksi terhadap pesan yang diterimanya. II.1.3. Fungsi Komunikasi Komunikasi di dalam organisasi penting sekali dan dapat dipakai untuk melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut (Sofyandi dan Garniwa, 2007): 1. Fungsi Kontrol Komunikasi dapat dipakai untuk mengontrol atau mengendalikan perilaku anggota organisasi dalam berbagai cara. Organisasi memiliki hirarki wewenang dan pedoman yang diikuti oleh pegawai. Manakala para pegawai diminta untuk melaporkan hasil kerja atau keluhannya, menjalankan tugas sesuai dengan deskripsi, maka komunikasi sebagai pengontrol. 2. Fungsi Motivasi Komunikasi dapat juga dipakai sebagai cara untuk menjelaskan bagaimana pegawai seharusnya bekerja agar dapat meningkatkan kemampuan dan kinerjanya. Dalam hal seperti ini, komunikasi berfungsi sebagai motivasi.
Universitas Sumatera Utara
3. Fungsi Informasi Pengambilan keputusan dalam organisasi memerlukan informasi. Komunikasi berfungsi menyediakan informasi yang berguna bagi individu atau kelompok untuk membuat keputusan yang dikehendaki. Ketiga fungsi di atas sama pentingnya bagi organisasi. Tak ada satu fungsi pun yang bisa dikatakan lebih penting dari yang lainnya. Sebab, untuk dapat menghasilkan kinerja yang efektif, kelompok atau organisasi perlu mengontrol perilaku anggotanya, memotivasi, mewadahi ekspresi perasaan anggota, dan membuat keputusan. II.1.4. Komunikasi dalam Kelompok Pegawai dalam satu kelompok kerja mesti secara bersama-sama melakukan tugas dan untuk itu diperlukan komunikasi dalam struktur kelompok kerja, dan itu mempengaruhi kinerja dan kepuasan kerja pegawai. Menurut Tampubolon (2008), ada 3 (tiga) macam aspek komunikasi dalam kelompok kerja, yaitu jaringan kerja (networks), keterbukaan dalam komunikasi (open communication), dan diskusi (dialogue). 1. Jaringan Kerja Berdasarkan pengalaman dari penelitian para ahli perilaku keorganisasian, terdapat dua karakteristik jaringan kerja dalam suatu organisasi, yaitu jaringan kerja terpusat (centralized network), dan kebebasan pegawai dalam jaringan kerja (decentralizaed network).
Universitas Sumatera Utara
Jaringan kerja terpusat (centralized network) merupakan karakteristik komunikasi, di mana setiap anggota kelompok kerja dalam mengatasi dan memecahkan permasalahan diharuskan berkomunikasi melalui satu orang untuk membuat keputusan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pengertiannya, keputusan atas permasalahan dikendalikan oleh seseorang saja, biasanya atasan langsung dalam kelompok kerja. Kebebasan pegawai dalam jaringan kerja (decentralizaed network) adalah di mana setiap pegawai atau anggota kelompok kerja diberikan kebebasan berkomunikasi di antara sesama pegawai. Setiap pegawai dapat membuat keputusan setelah melakukan proses komunikasi sesuai kebutuhan bersama setelah semua pegawai yang lainnya setuju. 2. Komunikasi Terbuka Komunikasi terbuka dilandasi oleh data base yang sama yang dipergunakan seluruh pegawai atau anggota organisasi. Data base disusun berdasarkan informasi dari seluruh pegawai dan dipergunakan untuk semua pegawai dalam organisasi, baik secara lintas fungsional maupun berdasarkan semua tingkat hierarki dalam organisasi. Misalnya, suatu organisasi bisnis memberi kebebasan bagi semua level hierarki pegawai untuk mengetahui rugi laba perusahaan, tujuannya agar semua pegawai memahami dan turut aktif untuk mendukung pencapaian laba organisasi, dengan cara peningkatan disiplin kerja, melakukan pengawasan melekat, serta berpikir efektif dan efisien dalam
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan tugas sehingga pada akhirnya, target organisasi tersebut benarbenar dapat dicapai. 3. Dialog Dialog merupakan proses komunikasi yang kreatif, yang didasari budaya dalam memecahkan permasalahan secara kolektif (collaboration), kelancaran (fluidity), saling percaya (trust), dan intensif berkomunikasi untuk mencapai tujuan bersama. Keadaan seperti demikian dapat dilakukan apabila didukung kapasitas sumber daya manusia yang berkemampuan tinggi (high education and experiences). Umumnya, organisasi bisnis dengan profesionalisme tinggi selalu melakukan dialog agar ditemukan solusi secara kolektif pada setiap permasalahan di dalam kelompok kerja dan organisasi secara keseluruhan. II.1.5. Hambatan-hambatan terhadap Komunikasi yang Efektif Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), setiap fungsi manajemen dan aktivitas pasti melibatkan beberapa bentuk komunikasi baik langsung maupun tidak langsung. Apakah ketika melakukan perencanaan dan pengorganisasian atau pengarahan dan kepemimpinan, para manajer mendapati diri mereka berkomunikasi dengan dan melalui yang orang lain. Keputusan manajemen dan kebijakan organisasi tidak akan efektif kecuali jika dipahami dengan penuh tanggung jawab oleh mereka yang akan melaksanakannya. Para ahli manajemen juga mengatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah landasan dari perilaku organisasi yang beretika. Menurut Ardana dkk (2008), hambatan-hambatan terhadap komunikasi yang efektif dalam suatu organisasi antara lain adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Penyaringan Informasi Komunikator cenderung memanipulasi informasi supaya lebih dapat diterima dengan baik oleh komunikan/penerima. Minat pribadi dan persepsi mengenai apa yang menurut komunikator penting bagi penerima sangat mempengaruhi penyaringan dan hasilnya. Semakin banyak jumlah tingkatan dalam struktur organisasi yang harus dilalui oleh suatu informasi semakin besar kemungkinan untuk penyaringan. Di sisi lain, hal ini wajar terjadi karena dalam struktur organisasi, semakin ke bawah semakin spesialis di bidang masing-masing. 2. Persepsi yang Selektif Penerima dalam proses komunikasi menyeleksi apa yang mereka terima berdasarkan kebutuhan, motivasi, latar belakang pengalaman dan karakteristik pribadi lainnya. Penerima atau komunikan juga memproyeksikan minat dan harapan mereka pada saat melakukan decoding (mengartikan simbol-simbol). 3. Emosional Bagaimana perasaan komunikan/penerima pada saat ia menerima pesan akan mempengaruhi interpretasinya mengenai pesan tersebut. Pesan yang sama akan diinterpretasikan berbeda pada keadaan marah atau emosi netral. Emosiemosi yang ekstrim seperti gembira yang berlebihan atau sedih sangat mungkin menghalangi komunikasi yang efektif.
Universitas Sumatera Utara
4. Bahasa Kata-kata yang sama dapat berarti berbeda untuk orang yang tidak sama. Usia, pendidikan dan latar belakang budaya merupakan tiga variabel yang biasanya mempengaruhi bahasa yang digunakan dan arti yang diberikan kepada katakata. Di dalam suatu organisasi, pegawai berasal dari latar belakang yang tidak sama. Ditambah lagi pengelompokan dalam unit kerja tertentu berdasarkan spesialisasi yang pada akhirnya menciptakan/mengembangkan istilah-istilah teknis dan ungkapan-ungkapan yang khas, dan sering pegawai tidak tahu istilah-istilah khusus yang digunakan. Komunikator cenderung berpendapat bahwa kata-kata atau istilah yang mereka gunakan mempunyai arti yang sama bagi komunikan/penerima. 5. Kurang Perhatian Kesalahpahaman terjadi karena orang tidak membaca dengan benar suatu pesan atau informasi, baik dalam bentuk pengumuman, artikel, atau tidak mendengar percakapan orang dengan baik. 6. Faktor Hello Effect Terjadi apabila si komunikator adalah orang yang disenangi atau dihormati, maka audiens atau penerima langsung akan mempercayai apa yang dikatakan, walaupun belum tentu benar atau sebaliknya. 7. Perilaku Defensif Ketika seorang merasa terancam, ia cenderung akan bereaksi dengan cara mengurangi kemampuannya untuk mencapai saling pengertian, yakni ia
Universitas Sumatera Utara
menjadi defensif terlibat dalam perilaku seperti secara verbal menyerang orang lain, memberikan jawaban kasar, berperilaku seperti penilai, dan mempertanyakan motif orang lain. Ketika individu menafsirkan pesan yang datang sebagai sesuatu yang mengancam, ia sering meresponnya dengan cara yang menghambat keefektifan komunikasi. 8. Kebanjiran Informasi Ketika informasi yang harus diterima melampaui kapasitas pemrosesan karena membanjirnya informasi (e-mail, telepon, faks, notula rapat, bacaan) akan ada kecenderungan untuk membuang, mengabaikan, melewatkan, dilupakan atau menunda pemrosesannya sampai situasi kebanjiran informasi selesai. II.1.6. Mengatasi/Mengurangi Hambatan dalam Komunikasi Menurut Ardana dkk (2008), ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau mengurai hambatan dalam komunikasi, yaitu: 1. Mendengarkan dengan Aktif Banyak orang menganggap enteng pekerjaan mendengarkan. Sering mencampuradukkan dua hal yang berlainan, yakni “mendengar” dan “mendengarkan”. Mendengar adalah menangkap vibrasi suara, sedangkan mendengarkan adalah memberi arti kepada apa yang didengar. Oleh sebab itu, mendengarkan membutuhkan atensi, interpretasi dan mengingat rangsangan suara. Empat syarat mendengarkan dengan aktif:
Universitas Sumatera Utara
a.
Intensitas Berkonsentrasi penuh pada apa yang disampaikan oleh pembicara dan menyampingkan pikiran-pikiran lain. Menghubungkan informasi yang diterima dengan topik pembicaraan.
b.
Empati Berusaha mengerti apa yang diinginkan oleh pembicara. Menyesuaikan apa yang dilihat dan dirasakan dalam dunia pembicaraan sehingga bisa meningkatkan persamaan antara interpretasi kita dan maksud pembicara.
c.
Penerimaan Pendengar yang aktif memiliki penerimaan yang obyektif atas apa yang didengar dan dilihat. Ini bukan tugas mudah. Tantangan terhadap pendengar yang aktif adalah menyerap apa yang dikatakan seseorang tanpa menilai isinya sampai yang bersangkutan selesai berbicara.
d.
Tanggung jawab untuk melengkapi informasi Komunikasi alias pendengar harus berusaha untuk melengkapi informasi yang diterima dan artinya, bila perlu mengajukan pertanyaan untuk memperoleh pengertian yang sama dengan komunikator.
2. Memberikan Umpan Balik Komunikator harus melihat reaksi dari komunikan dengan baik, misalnya dengan ekspresi wajah tertentu bila si komunikan tidak mengajukan pertanyaan.
Universitas Sumatera Utara
II.2.
Teori tentang Tim Kerja
II.2.1. Pengertian dan Komponen-komponen Tim Kerja Kinerja tim lebih unggul daripada kinerja individu bila tugas yang harus dilakukan menuntut keterampilan, penilaian, dan pengalaman yang bervariasi. Ketika organisasi-organisasi melakukan restrukturisasi agar bisa bersaing secara lebih efektif dan efisien, organisasi menggunakan tim sebagai cara untuk memberdayakan bakat pegawai secara lebih baik. Robbins (2007) menyatakan bahwa “Tim kerja adalah kelompok di mana individu menghasilkan tingkat kinerja yang lebih besar daripada jumlah masukan individu tersebut”. Secara garis besar komponen kerja tim yang memperoleh perhatian yang paling besar adalah kerja sama, kepercayaan, dan kekompakan. Masing-masing komponen terwujudnya melalui kerja tim. Komponen kerja sama dapat tercipta melalui kerja tim, di mana upaya-upaya kelompok secara sistematis terintegrasi untuk mencapai sebuah tujuan bersama. Semakin besar integrasinya, semakin besar tingkat kerja sama. Komponen lain seperti kepercayaan juga dapat tercipta melalui kerja tim, di mana integrasi individu-individu dalam kelompok akan memberikan kontribusi terciptanya kepercayaan. Dengan kata lain terbentuknya integritas antar individu akan memberikan kepercayaan timbal balik antar sesama individu, di mana terjadinya pemberian kepercayaan oleh individu yang satu kepada yang lain, nantinya individu
Universitas Sumatera Utara
yang diberikan kepercayaan akan memberikan kepercayaan kembali kepada yang memberikan. Semakin besar integritas yang tercipta maka semakin besar kepercayaan timbal balik yang terjadi. Selanjutnya komponen kekompakan terciptanya melalui kerja tim, di mana timbul kekompakan disebabkan oleh faktor kepuasan emosional yang diperoleh dari partisipasi kelompok dan faktor pencapaian sasaran kelompok dapat terwujud melalui tindakan bersama bukan terpisah-pisah. Menurut Robert (2005) komponen kerja tim terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu: 1. Kerjasama Kerja sama dalam tim kerja menjadi sebuah kebutuhan dalam mewujudkan keberhasilan kinerja. Kerja sama dalam tim kerja akan menjadi suatu daya dorong yang memiliki energi dan sinergisitas bagi individu-individu yang tergabung dalam tim kerja. Tanpa kerjasama yang baik tidak akan memunculkan ide-ide cemerlang. Keberhasilan suatu tim maupun individu sangat berhubungan erat dengan kerjasama tim yang dibangun dengan kesadaran pencapaian kinerja. Dalam kerjasama akan muncul berbagai penyelesaian yang secara individu tidak terselesaikan. Keunggulan yang dapat diandalkan dalam kerjasama pada tim kerja adalah munculnya berbagai penyelesaian secara sinergi dari berbagai individu yang tergabung dalam kerja tim. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) kerja sama memiliki 3 (tiga) keunggulan, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a.
Kerjasama lebih unggul dibandingkan dengan kompetisi dalam meningkatkan prestasi dan produktivitas.
b.
Kerjasama lebih unggul dibandingkan upaya-upaya individualistis dalam meningkatkan prestasi dan produktivitas.
c.
Kerjasama tanpa kompetisi antar kelompok dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas lebih tinggi daripada kerjasama dengan kompetisi antar kelompok.
2. Kepercayaan Kepercayaan sangat kuat di dalam sebuah organisasi, orang-orang tidak akan berbuat terbaik jika mereka tidak percaya bahwa mereka akan diperlakukan secara adil, bahwa tak ada kronisme dan setiap orang memiliki sasaran yang nyata. Satu-satunya cara yang diketahui untuk menciptakan kepercayaan semacam itu adalah dengan menyusun nilai-nilai dan kemudian melakukan apa yang telah dibicarakan. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) ada beberapa cara untuk membangun dan menjaga kepercayaan, yaitu: a. Komunikasi, menjaga agar anggota tim dan para pegawai mendapatkan informasi dengan menjelaskan kebijakan-kebijakan dan keputusankeputusan serta memberikan umpan-balik yang akurat. Berterus teranglah tentang masalah dan keterbatasan seseorang. Katakan yang sebenarnya. b. Dukungan, selalu bersedia dan mau didekati. Berikan bantuan, saran, nasihat, dan dukungan untuk ide-ide anggota tim.
Universitas Sumatera Utara
c. Rasa Hormat, delegasi, dalam bentuk kewenangan pembuatan keputusan yang sebenarnya, merupakan ekspresi terpenting dari penghormatan manajerial. Secara aktif mendengarkan ide-ide orang lain adalah ekspresi terpenting
kedua
(pemberian
kewenangan
tak
mungkin
tanpa
kepercayaan). d. Keadilan, cepatlah dalam memberikan pujian dan pengakuan kepada individu yang berhak mendapatkannya. Pastikan semua penilaian dan evaluasi kinerja objektif dan tidak memihak (tidak berat sebelah). e. Dapat diprediksi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jadilah konsisten dan dapat diramalkan dalam masalah sehari-hari. Penuhi janjijanji baik yang terucap maupun yang tersirat. f. Kompetensi, singkatkan kredibilitas Anda dengan memperlihatkan pemahaman bisnis yang baik, kemampuan teknis, dan profesionalisme. Menurut Williams (2000) bahwa “Kepercayaan adalah keyakinan timbal balik pada niat dan perilaku orang lain”. Ketika kita melihat orang lain bertindak dengan cara-cara yang menyatakan bahwa mereka mempercayai kita, kita menjadi lebih cenderung ingin bertimbal-balik dengan lebih memercayai mereka. Sebaliknya, kita menjadi tidak mempercayai mereka yang tindakan-tindakannya tampak melanggar kepercayaan kita atau tidak mempercayai kita. Kecenderungan untuk percaya, sebuah sifat kepribadian yang melibatkan keinginan umum seseorang untuk mempercayai orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Kecenderungan akan mempengaruhi seberapa banyak kepercayaan yang dimiliki seseorang untuk orang yang dipercayai sebelum data pada orang tersebut tersedia. Orang-orang dengan pengalaman berkembang yang berbeda sangat berbeda dalam kecenderungan mereka untuk memberikan kepercayaan. 3. Kekompakan Kekompakan (cohesiveness) adalah sebuah proses di mana rasa kebersamaan muncul untuk mengatasi perbedaan-perbedaan dan motif-motif individual. Anggota-anggota dari kelompok yang kompak saling mendukung satu sama lain. Mereka enggan untuk meninggalkan kelompok. Para anggota kelompok terpadu melekat bersama untuk satu atau dua alasan berikut: a. Karena mereka menikmati kebersamaan satu dengan yang lain, atau b. Karena mereka membutuhkan satu sama lain untuk menyelesaikan sasaran bersama. Dua alasan di atas kekompakan kelompok diidentifikasikan para psikologi menjadi dua, yaitu: a.
Kekompakan Sosio-Emosional (Socio-Emotional Cohesiveness) Adalah sebuah rasa kebersamaan yang berkembang ketika individuindividu mendapatkan kepuasan emosional dari partisipasi kelompok.
b.
Kekompakan Instrumental (Instrumental Cohesiveness) Adalah sebuah rasa kebersamaan yang berkembang ketika para anggota kelompok sama-sama bergantung satu dengan yang lain karena mereka
Universitas Sumatera Utara
percaya bahwa mereka tak dapat mencapai sasaran kelompok dengan bertindak secara terpisah. II.2.2. Tipe-tipe Tim Kerja Menurut Robbins (2007), ada empat tipe tim kerja yang paling lazim dalam suatu organisasi, yaitu: 1. Tim Pemecah Masalah Lazimnya, tim ini beranggotakan atas lima sampai dua belas orang pegawai dari satu departemen yang bertemu selama beberapa jam tiap minggu untuk membahas perbaikan kualitas, efisiensi, dan lingkungan kerja. Dalam tim pemecah masalah, anggota berbagi gagasan atau menawarkan saran mengenai cara memperbaiki proses dan metode kerja. Tetapi tim ini jarang diberi wewenang untuk melaksanakan secara sepihak setiap tindakan yang mereka sarankan. 2. Tim Kerja Swa-Kelola Tim pemecah masalah adalah kelompok pegawai (biasanya 10 sampai 15 orang) yang memiliki kinerja tinggi atau memiliki pekerjaan yang saling bergantung serta memikul tanggung jawab mantan penyelia mereka. Lazimnya
tim
ini
mencakup
perencanaan
dan
penjadwalan
kerja,
pengendalian kolektif atas langkah kerja, pembuatan keputusan operasi, dan pengambilan tindakan untuk mengatasi masalah.
Universitas Sumatera Utara
3. Tim Lintas-Fungsional Tim lintas-fungsional merupakan sarana efektif yang memungkinkan setiap pegawai dari berbagai bidang dalam organisasi (atau bahkan antar organisasi) untuk bertukar informasi, mengembangkan gagasan baru dan memecahkan masalah, serta mengkoordinasikan proyek yang rumit. Diperlukan waktu untuk membina kepercayaan dan kerja tim, terutama di antara orang-orang dari latar belakang yang berbeda, dengan pengalaman dan perspektif yang berbeda. 4. Tim Virtual Tipe-tipe tim kerja sebelumnya mengerjakan pekerjaan mereka secara tatap muka. Tim virtual menggunakan teknologi komputer untuk mengikat anggotaanggota yang secara fisik terpencar untuk mencapai sasaran bersama. Tim virtual memungkinkan orang untuk bergabung secara langsung, dengan menggunakan hubungan komunikasi seperti wide-area network, konferensi video, dan email. Tim virtual sering tidak maksimal karena kurangnya hubungan persahabatan sosial dan kurangnya interaksi langsung di antara para anggota. II.2.3. Membentuk Tim Kerja yang Efektif Menurut Sopiah (2008), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan tim kerja, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Seleksi Seleksi merupakan tahap awal yang harus dilakukan agar suatu organisasi dapat memiliki tim kerja yang berkinerja. Ketika mempekerjakan anggota tim, di samping keterampilan teknis yang diperlukan untuk mengisi pekerjaan itu, harus pula dipastikan bahwa calon dapat memenuhi peran sebagai anggota tim dan juga memenuhi persyaratan teknis. 2. Pelatihan Sebagian orang yang dibesarkan pada lingkungan yang mementingkan prestasi individual dapat dilatih untuk menjadi pemain tim. Spesialis pelatihan menjalankan latihan-latihan yang memungkinkan pegawai mengalami kepuasan yang dapat diberikan oleh kerja tim. 3. Ganjaran Promosi hendaknya diberikan kepada individu-individu atas betapa efektifnya mereka sebagai anggota tim yang kolaboratif. II.2.4. Karakteristik Tim Kerja yang Sukses Menurut Sopiah (2008), ada berbagai karakter yang melekat pada tim kerja yang sukses, antara lain adalah: 1. Mempunyai komitmen terhadap tujuan bersama Tim kerja yang efektif mempunyai suatu maksud bersama dan bermakna yang memberikan pengarahan, momentum, dan komitmen untuk para anggotanya. Anggota tim yang sukses meluangkan waktu dan upaya yang sangat banyak
Universitas Sumatera Utara
ke dalam pembahasan, pembentukan dan persetujuan mengenai suatu maksud yang menjadi milik mereka baik secara kolektif maupun individual. 2. Menegakkan tujuan yang spesifik Tim kerja yang sukses menerjemahkan maksud bersama mereka sebagai tujuan-tujuan kerja yang realistis, yang dapat diukur dan bersifat spesifik. Tujuan yang spesifik mempermudah anggota tim kerja dalam berkomunikasi. 3. Kepemimpinan dan struktur Agar tim kerja dapat memiliki kinerja yang tinggi juga memerlukan kepemimpinan dan struktur untuk memberikan fokus dan pengarahan. Anggota tim kerja harus sependapat mengenai siapa melakukan apa dan memastikan bahwa semua anggota menyumbang secara sama dalam berbagai beban kerja. 4. Menghindari kemalasan sosial dan tanggung jawab Individu-individu dapat bersembunyi dalam suatu kelompok. Mereka dapat menyibukkan diri dalam “kemalasan sosial” dan bergabung bersama usaha kelompok karena sumbangan individual mereka tidak dapat dikenali. Tim yang berkinerja tinggi mengurangi kecenderungan ini dengan membuat diri mereka dapat dimintai pertanggungjawaban baik secara individual maupun pada tingkat tim. 5. Evaluasi kinerja dan sistem imbalan yang benar Evaluasi dan sistem imbalan tradisional yang berorientasi individu harus dimodifikasi untuk mencerminkan kinerja tim. Manajemen hendaknya
Universitas Sumatera Utara
mempertimbangkan penilaian berdasarkan kelompok, berbagi hasil, insentif kelompok kecil, dan modifikasi-modifikasi sistem lain yang memperkuat upaya dari komitmen tim. 6. Mengembangkan kepercayaan timbal-balik yang tinggi Tim kerja yang memiliki kinerja yang tinggi dicirikan oleh kepercayaan (trust) timbal-balik yang tinggi di antara anggota-anggotanya. Artinya, para anggota meyakini akan integritas, karakter dan kemampuan setiap anggota yang lain.
II.3.
Teori tentang Kinerja
II.3.1. Pengertian dan Penilaian Kinerja Pegawai Dalam
perkembangan
yang
kompetitif
dan
mengglobal,
organisasi
membutuhkan pegawai yang memiliki kinerja yang maksimal. Menurut Mangkunegara (2007) bahwa “Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya”. Selanjutnya Rivai (2006) menyatakan bahwa “Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika”.
Universitas Sumatera Utara
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan itu. Penilaian kinerja (performance appraisal) dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia adalah sangat penting artinya. Hal ini mengingat bahwa dalam kehidupan organisasi setiap individu dalam organisasi ingin mendapatkan penghargaan dan perlakuan yang adil dari pimpinan organisasi. Megginson dalam Mangkunegara (2007), menyatakan bahwa “Performance appraisal is the process an employer uses to determine whether an employee is performing the job as intended”. (Penilaian kinerja adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seorang pegawai melakukan pekerjaannya sesuai dengan yang dimaksudkan). Menurut Notoatmodjo (2003), dalam kehidupan suatu organisasi ada beberapa asumsi tentang perilaku manusia sebagai sumber daya manusia, yang mendasari pentingnya penilaian kinerja. Asumsi-asumsi tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Setiap orang ingin memiliki peluang untuk mengembangkan kemampuan kerjanya sampai tingkat yang maksimal. 2. Setiap orang ingin mendapatkan penghargaan apabila ia dinilai melaksanakan tugas dengan baik. 3. Setiap orang ingin mengetahui secara pasti tangga karir yang dinaikinya apabila dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
4. Setiap orang ingin mendapat perlakuan yang objektif dan penilaian dasar prestasi kerjanya. 5. Setiap orang bersedia menerima tanggung jawab yang lebih besar. 6. Setiap orang pada umumnya tidak hanya melakukan kegiatan yang sifatnya rutin tanpa informasi. Menurut Dharma (2009), penilaian kinerja pegawai dapat dilakukan dari 4 (empat) sumber, yaitu: 1. Penilaian Atas Diri Sendiri Penilaian atas diri sendiri adalah proses di mana para individu mengevaluasi kinerja mereka sendiri, menggunakan pendekatan yang terstruktur, sebagai dasar bagi pembicaraan dengan para pimpinan mereka dalam pertemuanpertemuan evaluasi. Struktur dari penilaian diri sendiri ini biasanya diberikan sebuah formulir penilaian diri sendiri yang diisi oleh individu sebelum pertemuan evaluasi. 2. Penilaian oleh Bawahan Penilaian oleh bawahan menyediakan kemungkinan bagi bawahan untuk menilai atau berkomentar tentang aspek tertentu dari kinerja pimpinannya. Tujuannya adalah untuk membuat pimpinan lebih menyadari tentang persoalan yang berkenaan dengan kinerja mereka dari sudut pandang bawahan mereka.
Universitas Sumatera Utara
3. Penilaian oleh Rekan Sejawat Penilaian oleh rekan sejawat (peer assessment) adalah evaluasi yang dibuat sesama anggota tim atau kolega yang berada pada jaringan kerja yang sama. Praktik yang biasa terjadi adalah meminta individu untuk memberikan penilaian kepada kolega atau jaringan kerja yang lainnya. Ini lebih cenderung bersifat keperilakuan. 4. Penilaian Oleh Multi Assesment Keuntungan dari mendapatkan sudut pandang yang berbeda dalam evaluasi kinerja, terutama dari para pimpinan, telah menimbulkan perhatian yang lebih besar kepada penilaian dengan berbagai sumber penilai yang dapat menambahkan nilai kepada evaluasi pimpinan/bawahan yang tradisionil. Ini dapat mencakup penggunaan ke atas dan oleh rekan sejawat di samping penilaian oleh para pimpinan. II.3.2. Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja Menurut Sedarmayanti (2007), tujuan dari penilaian kinerja adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui keterampilan dan kemampuan pegawai. 2. Sebagai dasar perencanaan bidang kepegawaian khususnya penyempurnaan kondisi kerja, peningkatan mutu dan hasil kerja. 3. Sebagai dasar pengembangan dan pendayagunaan pegawai seoptimal mungkin, sehingga dapat diarahkan jenjang/rencana karirnya, kenaikan pangkat dan kenaikan jabatan.
Universitas Sumatera Utara
4. Mendorong terciptanya hubungan timbal balik yang sehat antara atasan dan bawahan. 5. Mengetahui kondisi organisasi secara keseluruhan dari bidang kepegawaian, khususnya kinerja pegawai dalam bekerja. 6. Secara pribadi, pegawai mengetahui kekuatan dan kelemahannya sehingga dapat memacu perkembangannya. Bagi atasan yang menilai akan lebih memperhatikan dan mengenal bawahan/pegawainya, sehingga dapat lebih memotivasi pegawai. 7. Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan dapat bermanfaat bagi penelitian dan pengembangan di bidang kepegawaian. Menurut Notoatmodjo (2003), manfaat penilaian kinerja dalam suatu organisasi antara lain sebagai berikut: 1. Peningkatan prestasi kerja Dengan adanya penilaian kinerja, baik pimpinan maupun pegawai memperoleh umpan balik, dan mereka dapat memperbaiki pekerjaannya. 2. Kesempatan kerja yang adil Dengan adanya penilaian kerja yang akurat akan menjamin setiap pegawai akan memperoleh kesempatan menempati posisi pekerjaan sesuai dengan kemampuannya.
Universitas Sumatera Utara
3. Kebutuhan-kebutuhan pelatihan pengembangan Melalui
penilaian
kinerja
akan
dideteksi
pegawai-pegawai
yang
kemampuannya rendah, dan kemudian memungkinkan adanya program pelatihan untuk meningkatkan kemampuan pegawai tersebut 4. Penyesuaian kompensasi Penilaian kinerja dapat membantu para pimpinan untuk mengambil keputusan dalam menentukan perbaikan pemberian kompensasi, gaji, bonus, dan sebagainya. 5. Keputusan-keputusan promosi dan demosi Hasil penilaian kinerja terhadap pegawai dapat digunakan untuk mengambil keputusan mempromosikan pegawai yang berprestasi baik, dan demosi untuk pegawai yang berprestasi jelek. 6. Kesalahan-kesalahan desain pekerjaan Hasil penilaian kinerja dapat digunakan untuk menilai desain kerja. Artinya hasil penilaian kinerja dapat membantu mendiagnosis kesalahan-kesalahan desain kerja. 7. Penyimpangan-penyimpangan proses rekruitmen dan seleksi Penilaian kinerja dapat digunakan untuk menilai proses rekruitmen dan seleksi pegawai yang telah lalu. Kinerja yang sangat rendah bagi pegawai baru adalah mencerminkan adanya penyimpangan-penyimpangan proses rekruitmen dan seleksi.
Universitas Sumatera Utara
II.3.3. Metode-metode Penilaian kinerja Beberapa metode yang dapat dipertimbangkan organisasi untuk melakukan penilaian kinerja bagi pegawainya adalah sebagai berikut (Rachmawati, 2008): 1. Rating Scale Penilaian kinerja metode ini didasarkan pada suatu skala dari sangat baik, baik, cukup, kurang baik, dan jelek. Bentuk ini sangat umum dipakai oleh organisasi dan dilakukan secara subyektif oleh penilai. Evaluasi ini membandingkan hasil pekerjaan pegawai dengan faktor kriteria yang dianggap penting bagi pelaksanaan kerja tersebut. 2. Checklist Checklist adalah penilaian yang didasarkan pada suatu standar unjuk kerja yang sudah dideskripsikan terlebih dahulu, kemudian penilai memeriksa apakah pegawai sudah mengerjakannya. Standar-standar unjuk kerja, misalnya pegawai hadir dan pulang tepat waktu, pegawai bersedia bilamana diminta untuk lembur, pegawai patuh pada atasan, dan lain-lain. Penilai di sini adalah atasan langsung atau penyelia. 3. Critical Incident Technique Critical incident technique adalah penilaian yang didasarkan pada perilaku khusus yang dilakukan di tempat kerja, baik perilaku yang baik maupun perilaku yang tidak baik. Penilaian dilakukan melalui observasi langsung ke tempat kerja, kemudian mencatat perilaku-perilaku kritis yang tidak baik atau baik, dan mencatat tanggal dan waktu terjadinya perilaku tersebut.
Universitas Sumatera Utara
4. Skala Penilaian Berjangkarkan Perilaku Skala penilaian berjangkarkan perilaku (behaviorally anchored rating scale) adalah penilaian yang dilakukan dengan membuat spesifikasi unjuk kerja dalam elemen-elemen tertentu, misalnya dosen di perguruan tinggi elemenelemen unjuk kerjanya adalah memberikan pengajaran, melakukan penelitian, memberikan bimbingan pada mahasiswa, dan membuat soal. Selanjutnya, masing-masing elemen diidentifikasi berdasarkan perilaku tertentu, baik perilaku yang sangat diharapkan atau perilaku baik maupun perilaku yang tidak diharapkan atau perilaku tidak baik. 5. Pengamatan dan Tes Unjuk Kerja Pengamatan dan tes unjuk kerja adalah penilaian yang dilakukan melalui tes di lapangan. Misalnya, seorang pilot setiap enam bulan sekali menjalani tes yang meliputi pengujian pengetahuan mengenai prosedur pelaksanaan pekerjaan dalam menerbangkan pesawat, yang dilakukan secara langsung dengan menerbangkan pesawat atau dalam simulator, dan tes kesehatan. 6. Metode Perbandingan Kelompok Metode ini dilakukan dengan membandingkan seorang pegawai dengan rekan sekerjanya, yang dilakukan oleh atasan dengan beberapa teknik seperti pemeringkatan (ranking method), pengelompokan pada klasifikasi yang sudah ditentukan (force distribution), pemberian poin atau angka (point allocation method), dan metode perbandingan dengan pegawai lain (paired comparison).
Universitas Sumatera Utara
7. Penilaian Diri Sendiri Penilaian diri sendiri adalah penilaian pegawai unuk dirinya sendiri dengan harapan pegawai tersebut dapat mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki pada masa yang akan datang. Pelaksanaannya, organisasi atau atasan penilai mengemukakan harapan-harapan yang diinginkan dari pegawai, tujuan organisasi, dan hambatan yang dihadapi organisasi. Kemudian berdasarkan informasi tersebut, pegawai dapat mengidentifikasi aspek-aspek perilaku yang perlu diperbaiki. 8. Management By Objective (MBO) Management by objective adalah metode penilaian kinerja pada masa yang akan datang. Di sini kinerja seseorang dinilai melalui tujuan-tujuan yang ditetapkannya serta pencapaian tujuan tersebut. MBO memperlihatkan potensi seseorang dalam pelaksanaan tugas yang lebih besar tanggung jawabnya pada masa yang akan datang melalui pencapaian tujuan tersebut. 9. Penilaian Secara Psikologis Penilaian secara psikologis adalah proses penilaian yang dilakukan oleh para ahli psikologi untuk mengetahui potensi seseorang yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan seperti kemampuan intelektual, motivasi dan lain-lain yang bersifat psikologis. Penilaian ini biasanya dilakukan melalui serangkaian tes psikologi seperti tes kecerdasan, tes kecerdasan emosional, dan tes kepribadian, yang dilakukan melalui wawancara atau tes-tes tertulis.
Universitas Sumatera Utara
10. Assesment Centre Assesment centre atau pusat penilaian adalah penilaian yang dilakukan melalui serangkaian teknik penilaian dan dilakukan oleh sejumlah penilai untuk mengetahui potensi seseorang dalam melakukan tanggung jawab yang lebih besar. Proses pelaksanaannya dilakukan dengan wawancara mendalam, tes psikologi, pemeriksaan latar belakang, penilaian rekan kerja, diskusi terbuka, dan menyimulasikan pekerjaan dalam bentuk pengambilan keputusan dari suatu masalah untuk mengetahui kekuatan-kekuatan, kelemahan-kelemahan, dan potensi seseorang.
II.4.
Teori Konflik
II.4.1. Pengertian Konflik biasanya timbul dalam suatu organisasi sebagai akibat adanya berbagai masalah dalam hal komunikasi, hubungan pribadi atau karena masalah struktur organisasi (Sedarmayanti, 2007): 1. Masalah Komunikasi Penyebab konflik yang pertama ini diakibatkan karena salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang kurang atau sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan tidak lengkap serta gaya hidup individu yang tidak konsisten.
Universitas Sumatera Utara
2. Masalah Struktur Organisasi Penyebab konflik yang kedua ini disebabkan karena adanya pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka. 3. Masalah Pribadi Penyebab konflik yang ketiga ini disebabkan karena tidak sesuai dengan tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengen perilaku yang diperankan pada jabatan mereka dan perbedaan dalam nilai-nilai persepsi. II.4.2. Konflik Struktural Dalam organisasi klasik terdapat empat daerah struktural di mana konflik sering timbul: 1. Konflik Hierarki Konflik antara berbagai tingkatan organisasi, misalnya antara “manajemen menengah” dengan “personalia penyelia”, “dewan direktur” mungkin konflik dengan “manajemen puncak” atau “manajemen” dengan
“karyawan” dan
sebagainya. 2. Konflik Fungsional Konflik antara berbagai departemen fungsional organisasi, misalnya antara “departemen produksi” dengan “departemen pemasaran” dalam suatu organisasi.
Universitas Sumatera Utara
3. Konflik Lini Staf Konflik antar lini dan staf, misalnya adanya perbedaan pendapat antara personalia lini dan personalia staf. 4. Konflik Formal-Informal Konflik antar organisasi formal dan informal. II.4.3. Metode Penanganan Konflik Langkah awal yang perlu ditempuh dalam penanganan konflik: 1. Mengidentifikasi masalah. 2. Menentukan tujuan yang hendak dicapai. 3. Menentukan kriteria keberhasilan. 4. Menjabarkan alternatif-alternatif tindakan; beberapa alternatif pemecahan masalah konflik perlu dirumuskan dalam rangka mencari pemecahan yang terbaik diantara alternatif-alternatif tersebut. 5. Memilih alternatif terbaik. 6. Percobaan dan penyempurnaan. 7. Pelaksanaan. Tiga bentuk manajemen konflik yakni: Stimulasi Konflik, Pengurangan Konflik dan Penyelesaian Konflik. 1. Metode Stimulasi Konflik Manajer dari kelompok yang demikian situasinya, perlu merangsang timbulnya persaingan dan konflik yang dapat berefek “penggemblengan”. Metode ini meliputi:
Universitas Sumatera Utara
a. Pemasukan/penempatan orang luar ke dalam kelompok. b. Penyusunan kembali organisasi. c. Penawaran bonus, pembayaran insentif dan penghargaan untuk mendorong persaingan. d. Pemilihan manajer yang tepat. e. Perlakuan yang berbeda dengan kebiasaan. 2. Metode Pengurangan Konflik Metode ini menekankan adanya antagonisme yang ditimbulkan oleh konflik yang diatasi dengan cara “mendinginkan suasana”, namun menangani masalah-masalah yang semula menimbulkan konflik. Pendinginan suasana dilakukan dengan dua cara: a. Mengganti tujuan yang menimbulkan persaingan dengan tujuan yang lebih dapat diterima oleh kedua pihak yang konflik. b. Mempersatukan kedua kelompok yang saling bertentangan untuk menghadapi “ancaman” atau “musuh” yang sama. 3. Metode Penyelesaian Konflik Metode ini berkaitan dengan kegiatan para manajer yang dapat secara langsung mempengaruhi pihak-pihak yang saling bertentangan. Misalnya melalui perubahan dalam struktur organisasi, mekanisme koordinasi dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
II.5.
Teori Pengungkapan Perkara Pidana
II.5.1. Pengertian Menurut KUHAP Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur bagaimana pelaksanaan proses penegakan hukum yang meliputi lingkup instansi yang diberi tanggung jawab penegakan hukum menegaskan bahwa proses penegakan hukum terdiri atas 4 tahap yakni penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan hakim. Proses penyidikan terutama yang berkaitan dengan tindak pidana umum yakni tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dilaksanakan sepenuhnya oleh Polri dalam hal ini fungsi Reserse Kriminal. Pengertian penyidikan yang diterangkan di dalam KUHAP diatur dalam Pasal (1) angka (2) yang menyatakan bahwa penyidikan adalah: “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dengan demikian proses pengungkapan perkara yang disebutkan dalam undang-undang sebagai penyidikan sangat tergantung kepada sejauhmana keberhasilan para petugas polri yang bertugas sebagai penyidik serta dalam menemukan dan mengumpulkan alat-alat bukti serta sejauhmana keberhasilan penyidik dalam menemukan dan menangkap tersangka pelakunya.
Universitas Sumatera Utara
II.5.2. Waktu Pelaksanaan Penyidikan Penyidikan merupakan suatu proses yang membutuhkan kejelian dan ketelitian sehingga alat-alat bukti yang diperlukan guna membuat terang suatu perkara dapat terkumpul yang pada gilirannya dapat menemukan dan menangkap tersangka pelakunya. Oleh karena itu diperlukan suatu batasan waktu dalam melakukan penyidikan sehingga kepastian hukum khususnya bagi masyarakat dapat terjamin dengan baik. Penyidik melaksanakan penyidikan sesuai batasan yang telah ditetapkan oleh aturan yang mengatur yakni tertuang dalam Peraturan Kapolri (PERKAP) No. 12 Tahun
2009
tentang
Pengawasan
dan
Pengendalian
Penanganan
Perkara
di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. PERKAP ini merupakan revisi dari aturan lama yakni Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Sep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Proses Penyidikan Tindak Pidana. Untuk waktu pelaksanaan penyidikan diatur dalam Pasal 31 yang berbunyi: (1) Batas waktu penyelesaian perkara ditentukan berdasarkan kriteria tingkat kesulitan atas penyidikan: a. sangat sulit; b. sulit; c. sedang; atau d. mudah. (2) Batas waktu penyelesain perkara dihitung mulai diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan meliputi:
Universitas Sumatera Utara
a. 120 (seratus dua puluh) hari untuk penyidikan perkara sangat sulit; b. 90 (sembilan puluh) hari untuk penyidikan perkara sulit; c. 60 (enam puluh) hari untuk penyidikan perkara sedang; d. 30 (tiga puluh) hari untuk penyidikan perkara mudah. (3) Dalam hal menentukan tingkat kesulitan penyidikan, ditentukan oleh pejabat yang berwenang menerbitkan surat perintah penyidikan. (4) Penentuan tingkat kesulitan penyidikan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3) selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan. Pelaksanaan proses penyidikan oleh Polri yang diatur oleh KUHAP diwujudkan dalam proses pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan yang dituangkan dalam Berkas Perkara. Penghitungan waktu penyidikan dimulai sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan sesuai Pasal (2) di atas sampai dilimpahkannya berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Universitas Sumatera Utara