BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Perbedaan
Laporan
Keuangan
Komersial
dengan
Laporan
Keuangan Fiskal Laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal pada dasarnya memiliki beberapa perbedaan yaitu laporan keuangan komersial dibuat untuk tujuan memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan ekonomi, sedangkan laporan keuangan fiskal dibuat untuk tujuan membuat SPT PPh Badan perusahaan yang bersangkutan sehingga dapat dibayarkan pajak terutangnya demi menjalankan kewajibannya kepada Negara (IAI, 2009). Perbedaan berikutnya adalah laporan keuangan komersial disusun berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Sementara itu laporan keuangan fiskal disusun berdasarkan peraturan perpajakan (Resmi, 2009). Perbedaan utama antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal disebabkan karena perbedaan tujuan serta dasar hukumnya, walaupun dalam beberapa hal terdapat kesamaan antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan pajak. Tujuan utama laporan keuangan komersial adalah pemberian informasi keuangan kepada para pengguna baik internal maupun eksternal. Standar Akuntansi 10
Keuangan memberikan panduan agar laporan keuangan relevan dan reliabel sehingga informasi yang diterima oleh pengguna tidak sesat dan dapat digunakan sebagai pembuatan keputusan. Tujuan utama peraturan atau sistem perpajakan adalah pemungutan pajak yang adil, terdapatnya kepastian hukum, dan terjaganya penerimaan Negara yang berasal dari pajak (Persada dan Martani, 2010). Perbedaan tujuan tersebut menyebabkan perbedaan konsep, ketentuan dan prinsip yang dianut antara pembuatan laporan keuangan komersil dan laporan keuangan fiskal. Prinsip yang dianut oleh akuntansi keuangan salah satunya adalah prinsip konservatisme. Konservatisme menurut Suwardjono (2005) didefinisikan
sebagai
sikap
atau
mazhab
dalam
menghadapi
ketidakpastian untuk mengambil tindakan atau keputusan atas dasar outcome yang terjelek dari ketidakpastian tersebut. Konsep ini mengakui biaya dan rugi lebih cepat, mengakui pendapatan dan untung lebih lambat, menilai aktiva dengan nilai yang terendah, dan kewajiban dengan nilai yang tertinggi. Konservatisme merupakan prinsip akuntansi yang jika diterapkan akan menghasilkan laba yang terlalu rendah (understatement). Oleh karena hal tersebut, dari sudut pandang perpajakan laporan keuangan yang terlalu rendah (understatement) tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang (Martani dan Persada, 2010). Menurut Resmi (2009) perbedaan penyusunan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal mengakibatkan perbedaan
11
penghitungan laba (rugi) suatu entitas (wajib pajak). Peraturan pajak di Indonesia tidak mengharuskan perusahaan untuk membuat laporan keuangan komersial dan fiskal secara terpisah atau pembukuan ganda untuk memenuhi tujuan penghitungan laba (rugi) tersebut. Perusahaan cukup membuat laporan keuangan komersial dan melakukan rekonsiliasi fiskal terhadap laporan keuangan komersial untuk menentukan besarnya laba fiskal dengan cara melakukan penyesuaian-penyesuaian laba akuntansi berdasarkan peraturan pajak. Rekonsiliasi fiskal tersebut dilakukan karena terdapat perbedaan penghitungan laba menurut akuntansi komersial dengan laba menurut fiskal (IAI, 2009). 2.1.2 Perbedaan antara Laba Akuntansi dan Laba Fiskal (Book Tax Differences) Laba akuntansi merupakan terminologi yang digunakan standar akuntansi keuangan yang berarti laba bersih atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi dengan beban pajak (Persada dan Martani, 2010). Laba fiskal atau penghasilan kena pajak merupakan terminologi yang digunakan undang-undang perpajakan yang berarti laba atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan menjadi dasar perhitungan pajak penghasilan suatu perusahaan. Dalam laporan perpajakan (Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan/SPT) yang didefinisikan sebagai penghasilan kena pajak, yaitu penghasilan yang dikenakan pajak dikurangi dengan beban yang boleh dikurangkan (Persada dan Martani, 2010). Perbedaan antara laba akuntansi dan laba
12
fiskal tersebut akan menimbulkan selisih yang disebut dengan book tax differences. Menurut Phillips et al. (2003) perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal merupakan komponen total dari beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan dan mencerminkan efek pajak yang ditimbulkan oleh perbedaan temporer antara akuntansi dan pajak. Menurut Plesko (2004) perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal atau book tax differences adalah perbedaan pelaporan laba yang disebabkan karena perbedaan konsep dan peraturan dalam masing-masing sistem pelaporan. Book tax differences yang terjadi ketika laba sebelum pajak lebih besar dibandingkan penghasilan kena pajak disebut positive book tax differences, sedangkan jika pendapatan sebelum pajak lebih kecil dibandingkan laba kena pajak disebut negative book tax differences (Revsine, 2005). Book tax differences terjadi karena perusahaan melakukan rekonsiliasi fiskal pada akhir periode pembukuan terhadap laporan keuangan komersial untuk tujuan penentuan penghasilan kena pajak. Rekonsiliasi fiskal merupakan penyesuaian-penyesuaian terhadap laporan keuangan komersial berdasarkan ketentuan perpajakan di Indonesia. Book tax differences disebabkan oleh perbedaan ketentuan pengakuan dan pengukuran antara standar akuntansi keuangan dan peraturan perpajakan. Perbedaan tersebut menurut Persada dan Martani (2010) secara umum
13
dikelompokkan menjadi dua, yaitu perbedaan permanen dan perbedaan temporer. Perbedaan yang terjadi karena pendapatan dan beban bukan obyek pajak, dikenakan pajak final atau beban yang secara spesifik tidak dibolehkan menurut pajak disebut perbedaan permanen (permanent differences). Perbedaan ini tidak mengakibatkan pajak yang dibayarkan di masa mendatang lebih besar atau lebih kecil sehingga tidak menimbulkan aset atau liabilitas pajak tangguhan. Perbedaan permanen tidak menyebabkan DTA ataupun DTL tetapi mengakibatkan effective tax rate (ETR) berbeda dengan tarif pajak yang diwajibkan (statutory tax rate). Informasi tentang perbedaan permanen ini dijelaskan dalam catatan atas laporan keuangan perusahaan melalui rekonsiliasi ETR. Perbedaan permanen merupakan item-item yang dimasukkan dalam salah satu ukuran laba, tetapi tidak pernah dimasukkan dalam ukuran laba yang lain. Dengan kata lain, jika suatu item termasuk dalam ukuran laba akuntansi, maka item tersebut tidak dimasukkan dalam ukuran laba fiskal dan sebaliknya (Kieso et al., 2011). Perbedaan yang disebabkan oleh ketentuan pengakuan dan pengukuran yang berbeda antara standar akuntansi keuangan dan peraturan pajak disebut perbedaan temporer (temporary differences). Perbedaan ini dapat berupa deferred tax liability jika kewajiban pajak dimasa yang akan datang akan lebih besar atau deferred tax asset jika dimasa depan ada tax benefit yang akan diperoleh perusahaan (Hanlon,
14
2005). Perbedaan temporer disebabkan oleh perbedaan persyaratan waktu pengakuan item pendapatan dan biaya. Untuk tujuan pelaporan keuangan, pendapatan diakui ketika diperoleh dan biaya diakui pada saat terjadinya, atau accrual basic. Sedangkan untuk tujuan pajak, perusahaan hanya mengakui pendapatan yang diterima dan biaya yang dikeluarkan pada periode yang bersangkutan. Dengan kata lain, pendapatan dicatat ketika kas diterima, penangguhan pendapatan (unearned) tidak dimasukkan dalam laba fiskal dan biaya diakui pada saat kas dikeluarkan, atau cash basic. Perbedaan temporer mengandung konsekuensi pajak yang dibayarkan menjadi lebih besar dan lebih kecil di masa mendatang, sehingga menimbulkan aset atau liabilitas pajak tangguhan. Catatan atas laporan keuangan perusahaan merupakan sumber informasi utama secara detil tentang perbedaan temporer ini (Kieso et al., 2011). Tang and Firth (2011) membedakan book tax differences menjadi dua yaitu normal book tax differences (NBTD) dan abnormal book tax differences (ABTD). NBTD dapat dijelaskan oleh perbedaan standar akuntansi keuangan dengan peraturan perpajakan. ABTD yang dapat dijelaskan oleh aktivitas manajemen laba dan manajemen pajak yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Oleh karena itu book tax differences tidak selalu timbul akibat perbedaan standar akuntansi keuangan dengan peraturan perpajakan, book tax differences juga timbul akibat adanya unsur-unsur oportunistik pihak manajemen seperti contohnya manajemen laba dan manajemen pajak.
15
2.1.3 Manajemen Laba Manajemen laba adalah pilihan yang dilakukan oleh seorang manajer atas kebijakan akuntansi atau tindakan nyata manajer yang mempengaruhi laba untuk mencapai tujuan spesifik dari laba yang dilaporkan (Scott, 2012). Manajemen laba menurut Schipper (1989) dalam Dechow dan Skinner (2000) adalah suatu intervensi yang dilakukan manajemen dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan yang sengaja dilakukan dengan kepentingan pribadi. Menurut Healy dan Wahlen (1999) manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan judgement dalam menyusun transaksi untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk menyesatkan pemangku kepentingan terkait dengan kinerja ekonomi perusahaan dan atau untuk mempengaruhi hasil-hasil kontrak yang tergantung pada praktik pelaporan akuntansi. Dari beberapa definisi manajamen laba tersebut, terdapat kesamaan yang dapat disimpulkan, yaitu usaha campur tangan manajemen untuk menaikkan atau menurunkan laba untuk memperoleh keuntungan tertentu. Manajemen laba merupakan aktivitas yang berawal dari adanya konflik kepentingan antara pemilik (principal) dan manajemen (agent). Pemilik berkepentingan untuk memperoleh laba yang stabil atau meningkat dan return saham yang memuaskan, sedangkan manajemen berkepentingan untuk memaksimalkan kontrak kompensasi atau bonus yang
diterima.
Setiap
pihak
berkeinginan
untuk
mencapai
kepentingannya, hal tersebut yang mendorong terjadinya manajemen
16
untuk melakukan aktivitas manajemen laba. Selain itu, menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam teori agency manajemen sebagai pihak pengelola perusahaan (agent) memiliki informasi terkait dengan internal perusahaan yang lebih banyak dibanding dengan pemilik (principal). Kondisi ini akan menyebabkan asimetri informasi antara manajemen dengan pemilik yang berakibat pada praktik manajemen laba. Aktivitas manajemen laba sering dihubungkan dengan perilaku manajemen yang negatif karena manajemen laba menyebabkan informasi yang terkandung dalam laporan keuangan khususnya informasi yang menyangkut laba tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Informasi yang menyangkut tentang laba padahal informasi yang dijadikan perhatian utama oleh pemangku kepentingan karena informasi tersebut digunakan untuk menilai kinerja dan membuat keputusan. Meskipun tindakan manajemen laba tidak melanggar prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum, namun dampaknya dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan. Pola manajemen laba menurut Scott (2012) yaitu adalah: a. Taking a bath Disebut juga big baths, bisa terjadi selama periode dimana terjadi tekanan dalam organisasi atau terjadi reorganisasi, misalnya pergantian direksi. Jika pola ini dilakukan maka biaya-biaya yang ada pada periode yang akan datang diakui pada periode berjalan.
17
Akibatnya, laba di masa yang akan datang akan lebih tinggi meskipun kondisi yang tidak menguntungkan akan terjadi. b. Income minimization Pola meminimalkan laba dilakukan karena motif politik atau motif meminimalkan pajak. Cara ini dilakukan saat perusahaan memperoleh laba yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang dapat diambil perusahaan yaitu dapat berupa penghapusan atas barang-barang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat. c. Income maximization Pola memaksimalkan laba bertujuan untuk memperoleh bonus yang maksimal. Tindakan memaksimalkan laba juga bisa dilakukan untuk menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang (debt covenant). d. Income smooth Pola ini dilakukan karena perusahaan umumnya lebih memilih pertumbuhan laba yang stabil daripada menunjukkan pertumbuhan laba yang meningkat atau menurun secara drastis. Dua motivasi utama para manajer melakukan manajemen laba, yaitu tujuan oportunis dan informasi (signaling) kepada investor. Tujuan oportunis mungkin dapat merugikan pemakai laporan keuangan karena informasi yang disampaikan manajemen menjadi tidak akurat dan juga tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sikap oportunis ini
18
dinilai sebagai sikap curang manajemen perusahaan yang diimplikasikan dalam laporan keuangannya pada saat menghadapi intertemporal choice (kondisi yang memaksa eksekutif tersebut menggunakan keputusan tertentu dalam melaporkan kinerja yang menguntungkan bagi dirinya sendiri ketika menghadapi situasi tertentu). Sikap curang tersebut didefinisikan sebagai satu atau lebih tindakan yang disengaja dan didesain untuk menipu orang lain sehingga menyebabkan hilangnya kekayaan (Scott, 2012). Tujuan informatif (signaling) kemungkinan besar membawa dampak yang baik bagi pemakai laporan keuangan. Manajer berusaha menginformasikan kesempatan yang dapat diraih oleh perusahaan di masa yang akan datang. Sebagai contoh, karena manajer sangat erat kaitannya dengan keputusan yang berhubungan dengan aktivitas investasi maupun operasi perusahaan, otomatis para manajer memiliki informasi yang lebih baik mengenai prospek perusahaan masa datang. Oleh karena itu, manajer dapat mengestimasi secara baik laba masa datang dan diinformasikan kepada investor atau pemakai laporan keuangan lainya. Manajer dapat menggunakan diskresi akrual untuk merefleksikan kinerja perusahaan tersebut melalui laporan laba (Scott, 2012). 2.1.4 Manajemen Pajak Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Lubantoruan dalam Suandy (2005) mendefinisikan manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi
19
kewajiban pajak dengan benar tetapi dengan jumlah pajak yang dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuditias yang diharapkan. Minnick dan Noga (2010) menjelaskan manajemen pajak sebagai kemampuan untuk membayar jumlah yang lebih sedikit atas pajak dalam jangka waktu yang panjang. Suandy (2005) menyatakan bahwa manajemen pajak mempunyai dua tujuan, yaitu menerapkan peraturan pajak secara benar dan usaha efisiensi untuk mencapai laba yang seharusnya. Untuk mencapai kedua tujuan tersebut, maka manajemen pajak memiliki tiga fungsi, yaitu perencanaan pajak (tax planning), pelaksanaan pajak (tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control). Strategi mengefisienkan beban pajak (penghematan pajak) yang dilakukan perusahaan harus bersifat legal atau tidak melanggar peraturan agar tidak terkena sanksi-sanksi pajak dikemudian hari. Meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan maupun yang melanggar peraturan perpajakan. Istilah yang sering digunakan adalah tax evasion dan tax avoidance. Mardiasmo (2011) menjelaskan definisi terkait dua istilah tersebut. Tax evasion (penggelapan pajak) adalah penghindaran pajak dengan melanggar ketentuan peraturan perpajakan. Tax avoidance (penghindaran pajak) adalah penghindaran pajak dengan menuruti peraturan yang ada.
20
2.1.5 Teori Keagenan Teori keagenan merupakan suatu kontrak yang terjadi antara principal dan agent. Teori Keagenan merupakan dasar yang digunakan dalam memahami corporate governance (Anggit dan Shodiq, 2014). Menurut Jensen dan Meckling (1976) hubungan agensi terjadi ketika satu orang atau lebih (principal) membayar orang lain sebagai agent untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan ke agent tersebut. Dalam konteks perusahaan go public, principal adalah pemegang saham atau investor, sedangkan agent adalah manajemen yang bertugas untuk mengelola perusahaan. Eisenhardt dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga asumsi sifat manusia dalam teori keagenan, yaitu: (1) manusia pada umumnya lebih mementingkan dirinya sendiri (self interest), (2) terbatasnya daya pikir manusia mengenai persepsi di masa yang akan datang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Dari penjelasan terkait asumsi sifat dasar manusia tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa manusia akan bertindak oportunistik dan selalu mengutamakan kepentingan pribadinya. Hal tersebut merupakan faktor penyebab timbulnya konflik keagenan antara manajer (agent) dan pemegang saham (principal). Motivasi yang berbeda antara masing-masing pihak sesuai dengan kepentingannya dan keinginan masing-masing pihak untuk mencapai atau mempertahankan kemakmurannya menyebabkan timbulnya konflik
21
kepentingan antara pemegang saham atau investor selaku principal dan manajemen selaku agent. Meningkatnya konflik kepentingan disebabkan principal tidak selalu dapat mengawasi aktivitas manajemen untuk memastikan apakah manajemen sebagai agent telah bekerja sesuai dengan keinginan principal (Anggit dan Shodiq, 2014). Menurut Scott (2012) dalam mengelola perusahaan manajemen memiliki informasi yang lebih dari pihak luar perusahaan termasuk principal itu sendiri. Keadaan tersebut dikenal dengan asimetri informasi. Menurut Scott (2012) asimetri informasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) manajemen memiliki informasi yang lebih dari pihak luar perusahaan (adverse selection) dan (2) manajemen paham tentang segala aktivitas di dalam perusahaan, sedangkan pihak luar tidak (moral hazard). Oleh karena asimetri informasi tersebut manajer seringkali memberikan laporan yang tidak mencerminkan kondisi perusahaan yang sesungguhnya dengan tujuan memaksimalkan kepentingan pribadinya. Menurut Anggit dan Shodiq (2014) manajer dalam melakukan tugasnya akan menerbitkan laporan pertanggungjawaban yang berupa laporan keuangan. Dengan laporan keuangan tersebut kinerja perusahaan akan dinilai oleh principal dan manajemen akan diberikan kompensasi atau insentif sesuai kesepakatan dengan principal atau apabila kinerja manajemen sesuai dengan keinginan principal. Namun, penilaian kinerja melalui laporan keuangan tersebut menimbulkan masalah baru. Dalam penyusunan laporan keuangan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia
22
yang berkiblat pada International Financial Reporting Standards (IFRS) memberikan kebebasan dalam memilih metode akuntansi yang akan digunakan (Rachmawati dan Triatmoko, 2007). Dengan begitu perusahaan melalui pemilihan metode akuntansi yang berbeda dapat menghasilkan nilai laba yang berbeda sesuai dengan keinginan manajemen (Anggit dan Shodiq, 2014). Dengan demikian nilai laba yang dilaporkan perusahaan bisa saja tidak mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Aktivitas tersebut sering dikenal dengan manajemen laba dan manajemen pajak. Konflik kepentingan yang disebabkan asimetri informasi antara principal dan agent dapat diatasi melalui tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu mekanisme yang mengontrol manajer (Shleifer dan Vishny, 1997 dalam Sirait, 2014). Tata kelola perusahaan (corporate governance) diyakini mampu membatasi ruang gerak manajemen sehingga akan sulit untuk melakukan tindakan manajemen pajak dan manajemen laba karena dengan pembatasan tersebut perilaku oportunistik manajer dalam memaksimalkan kepentingan pribadi akan dapat diminimalisir. 2.1.6 Corporate Governance Corporate governance menurut FCGI (Forum for Corporate Governance) (2001) mempergunakan definisi Cadburry Committee, yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan
23
dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Disamping itu FCGI juga menjelaskan, bahwa tujuan dari Corporate Governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). World Bank dalam Otoritas Jasa Keuangan (2013) mendefinisikan corporate governance sebagai suatu perpaduan antara hukum, peraturan perundang-undangan dan praktik yang dilakukan oleh sektor privat atas dasar sukarela yang memungkinkan perusahaan untuk menarik modal keuangan dan tenaga kerja, berkinerja secara efisien, dan dengan semua itu dapat secara berkesinambungan menghasilkan nilai-nilai ekonomi jangka panjang bagi para pemegang sahamnya, dan pada saat yang bersamaan memperhatikan kepentingan para pemangku kepentingan dan masyarakat secara keseluruhan. Corporate Governance yang baik disebut dengan Good Corporate Governance. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), Good Corporate Governance (GCG) adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar. GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu penerapan GCG harus didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu Negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.
24
Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG telah diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Menurut KNKG (2006) untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability)
perusahaan
dengan
memperhatikan
kepentingan
stakeholders GCG memiliki lima asas yang mendasar, yaitu: a. Transparansi (Transparency) Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan perlu menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh stakeholders. b. Akuntabilitas (Accountability) Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola dengan benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. c. Responsibilitas (Responsibility) Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
25
d. Independensi (Independency) Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masingmasing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervesi oleh pihak lain. e. Kewajaran dan kesetaraan (Fairness) Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Secara lebih rinci, terminologi Corporate Governance dapat dipergunakan untuk menjelaskan peranan dan perilaku dari dewan komisaris, komisaris independen, dan komite audit. a. Dewan Komisaris Menurut FCGI (2001) dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance. Dewan komisaris menurut KNKG (2006) bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Dewan komisaris memiliki peran untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen
dalam
mengelola
perusahaan,
serta
mewajibkan
terlaksananya akuntabilitas. Dewan Komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan memberikan petunjuk serta arahan pada pengelola perusahaan. Dewan komisaris memiliki otoritas dan posisi lebih tinggi daripada dewan direksi, namun dewan komisaris memiliki
26
kelemahan yaitu hanya sedikit mengetahui informasi tentang situasi dan kondisi perusahaan dibandingkan dewan direksi. Oleh karena itu, dewan komisaris harus mengawasi kinerja dewan direksi. b. Komisaris Independen Dewan komisaris independen di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pengertian komisaris independen menurut UU tersebut adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. Klein (2002) menyatakan bahwa dewan yang independen yang bukan berasal dari luar perusahaan mampu manjadi alat pengawasan yang lebih efektif. Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang bukan merupakan pegawai atau orang yang berurusan langsung dengan organisasi tersebut dan tidak mewakili pemegang saham. c. Komite Audit Menurut FCGI (2001) komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris yang bertanggung jawab utama untuk membantu dewan komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya terutama terhadap masalah yang berhubungan dengan kebijakan akuntansi, perusahaan, pengawasan internal dan sistem pelaporan
27
keuangan. Pada umumnya komite audit bertanggung jawab pada tiga bidang, yaitu laporan keuangan, tata kelola perusahaan dan pengawasan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan oleh karena itu The Institute of Internal Auditor
(IIA)
merekomendasikan
setiap
perusahaan
untuk
mempunyai komite audit. Menurut KNKG (2006) komite audit bertugas membantu Dewan Komisaris untuk memastikan bahwa: (1) laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU), (2) struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, (3) pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan (4) tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen. Komite audit memiliki tugas khusus dan dibentuk dengan tujuan untuk mengatasi masalah-masalah penting yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh dewan komisaris. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Nasution dan Setiawan (2007) yang menyatakan bahwa komite audit bertugas untuk menangani masalah-masalah yang membutuhkan integrasi dan koordinasi sehingga dimungkinkan permasalahan-permasalahan yang signifikan atau penting dapat segera teratasi.
28
2.2 Penelitian Terdahulu Upaya mendeteksi perilaku oportunistik manajemen memiliki hambatan besar terkait dengan tindakan manajemen yang sulit untuk diamati dan proksi manajemen laba yang masih memiliki beberapa kelemahan (Hofmann, 2002 dalam Tang, 2006). Dalam riset manajemen laba, proksi yang sering digunakan adalah discretionary accruals meskipun memiliki beberapa kelemahan (Tang, 2006). Akrual mencerminkan inkonsistensi laba dan arus kas yang disebabkan oleh
pemilihan
metode
akuntansi
dan
kebijakan
manajemen.
Jika
nondiscretionary accruals merupakan pengakuan akrual laba yang wajar, yang tunduk pada suatu standar akuntansi, sedangkan discretionary accruals adalah pengakuan akrual laba atau beban yang bebas dan tidak diatur dalam standar akuntansi dan merupakan pilihan atas kebijakan manajemen (Healy, 1985 dalam Tang, 2006). Pendekatan akrual memiliki beberapa kelemahan dan hal tersebut menuai beberapa kritik. Roychodhury (2006) dalam Warsini (2014) dan Jian dan Wong (2003) dalam Tang (2006) mengkritik bahwa akrual merupakan selisih antara laba akuntansi dengan arus kas sehingga hal tersebut tidak dapat menangkap tindakan manajemen laba melalui aktivitas riil. Serupa dengan manajemen laba, upaya mengukur manajemen pajak juga tidak mudah. Dalam perkembangan penelitian perpajakan, effective tax rate (ETR) merupakan proksi untuk manajemen pajak yang paling sering digunakan (Mills et al., 1998; Gupta dan Mills, 2002; Phillips, 2003; Tang, 2006). Tang (2006) juga mengakui bahwa dalam perkembangan penelitian terkait manajemen pajak sulit untuk menemukan proksi yang lebih baik 29
daripada effective tax rate. Menurut Shackelford dan Shevlin (2001) effective tax rate dihitung dengan membagi current tax expense dengan pre tax book income yang dapat mendeteksi adanya manajemen pajak. Manajemen pajak yang efektif ditandai dengan semakin rendahnya ETR. Plesko (2004) menjelaskan bahwa kemampuan ETR dalam mendeteksi manajemen pajak akan berkurang karena kesalahan pengukuran dan pengecualian terhadap pajak implisit. Selain itu, Tang (2006) menjelaskan ETR mengandung informasi atas manajemen pajak dan efek insentif dari kebijakan pajak. Oleh karena itu Tang (2006) menegaskan bahwa sulit untuk memastikan apakah semakin rendah ETR disebabkan oleh aktivitas penghindaran pajak atau insentif/preferensi pajak. Ketika perkembangan riset terkait manajemen laba dan manajemen pajak masih belum ditemukan pengukuran yang benar-benar tepat, beberapa penelitian menyebutkan bahwa book tax differences (BTD) merupakan indikator yang baik untuk manajemen laba. Beberapa peneliti terkait manajemen laba dan kualitas laba telah memusatkan perhatiannya pada selisih antara laba akuntansi dan laba fiskal (Mills dan Newberry, 2001; Manzon dan Plesko, 2002; Phillips et al., 2003; Lev dan Nissin, 2004; Hanlon, 2005; Jackson, 2009). Mereka berpendapat bahwa BTD dapat mengindikasikan adanya aktivitas manajemen laba yang nantinya akan berpengaruh terhadap kualitas laba yang dilaporkan. Logika yang mendasarinya menurut Wijayanti (2006) adalah adanya sedikit kebebasan akuntansi yang diperbolehkan dalam pengukuran laba fiskal sehingga BTD dapat memberikan informasi terkait management discretion dalam proses akrual.
30
Revsine et al. (1999) dalam Tang (2006) menjelaskan bahwa rasio laba akuntansi dan laba fiskal dapat digunakan untuk mengukur konservatisme atau agresivitas akuntansi. Palepu et al. (2000) dalam Hanlon (2005) menjelaskan bahwa semakin besar perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal akan menunjukkan “tanda bahaya” bagi pengguna laporan keuangan. Mills dan Newberry (2001) memberikan bukti bahwa perusahaan dengan insentif manajemen laba akan memiliki BTD yang lebih besar. Penman (2001) juga menyatakan bahwa BTD dapat digunakan sebagai pendeteksi adanya manipulasi pada biaya utama suatu perusahaan. Phillips et al. (2003) melakukan penelitian untuk mengevaluasi apakah BTD lebih dapat digunakan dalam mendeteksi manajemen laba dibandingkan dengan pengukuran dengan pendekatan akrual lainnya. Phillips et al. (2003) menggunakan biaya pajak tangguhan sebagai proksi BTD. Dengan asumsi bahwa standar akuntansi memperbolehkan manajer untuk melakukan discretion yang lebih besar daripada peraturan perpajakan dalam menentukan jumlah laba dan beban, dan dengan asumsi bahwa laba fiskal selalu konstan, Phillips et al. (2003) menemukan bukti bahwa BTD lebih dapat digunakan daripada total akrual dan discretionary accruals dalam mengklasfikasikan perusahaan yang melakukan manajemen laba atau tidak untuk tahun perusahaan yang menghindari kerugian dan penurunan laba. Perkembangan penelitian terkait manajemen pajak juga menyebutkan bahwa BTD dapat dijadikan proksi yang baik untuk mendeteksi adanya tindakan manajemen pajak (Desai dan Dharmapala, 2004; Plesko, 2004; 31
Wilson, 2007; Frank et al., 2009). Tang (2006) menyatakan bahwa kebijakan akuntansi dan pelaporan pajak yang tidak konsisten dapat dijadikan karakteristik dari perencanaan pajak karena tujuan perencanaan pajak sendiri adalah untuk meminimalkan beban pajak. Manzon dan Plesko (2002); Plesko (2004) menemukan bukti bahwa sejak tahun 1990-an nilai BTD semakin meningkat, tetapi pertumbuhan ini tidak dapat dijelaskan secara jelas. Mereka beranggapan bahwa nilai yang tak dapat terjelaskan dalam BTD tersebut dapat diatribusikan ke dalam peningkatan aktivitas perencanaan pajak. Mills et al. (1998) dalam penelitiannya menemukan bukti bahwa BTD yang semakin besar dan positif mengindikasikan pelaporan pajak yang agresif. Wilson (2009) dan Frank et al. (2009) menemukan bukti adanya hubungan positif antara BTD dengan perusahaan yang teridentifikasi melakukan perencanaan pajak. Hanlon (2005) dalam penelitiannya juga konsisten dengan penelitian sebelumnya, bahwa perusahaan dengan BTD yang besar baik itu positif maupun negatif memiliki ETR yang lebih rendah yang menandakan adanya perencanaan pajak. Selain berfokus kepada apakah BTD dapat dijadikan proksi yang baik bagi manajemen laba dan manajemen pajak, perkembangan penelitian terkini juga menemukan bukti bahwa manajemen dapat melakukan pengaturan laba akuntansi dan laba fiskal secara bersamaan karena memang berbeda secara tujuan dan aturan (Warsini, 2014). Shackelford dan Shevlin (2001) menyatakan bahwa manajemen laba dan manajemen pajak mungkin dapat terjadi secara simultan dan saling berinteraksi antar satu dengan yang lain. Frank et al. (2009) juga menemukan bukti yang mengindikasikan bahwa perusahaan yang
32
melakukan pelaporan keuangan agresif juga dapat terlibat dalam pelaporan pajak yang agresif. BTD juga dapat digunakan sebagai gabungan untuk kedua ukuran manajemen laba dan manajemen pajak (Tang, 2006; Tang dan Firth, 2011). Tujuan akhir BTD menurut Tang dan Firth (2011) adalah untuk mempengaruhi nilai laba dan pajak yang dibayarkan. Oleh karena itu BTD menginformasikan tidak hanya perbedaan mekanik antara peraturan akuntansi dan perpajakan, melainkan juga strategi dan perilaku manajemen dalam mengatur laba dan pajaknya. Penelitian-penelitian terkait dengan BTD terus berkembang dan tidak hanya membahas hubungannya dengan manajemen laba dan atau manajemen pajak, akan tetapi juga hubungannya dengan corporate governance. Penelitian tersebut diantaranya dilakukan oleh Annisa dan Kurniasih (2012); Septiani dan Martani (2014); Winata (2014); Desai dan Dharmapala (2004). Penelitian Winata (2014) membuktikan bahwa proksi corporate governance yang terdiri dari persentase dewan komisaris independen dan jumlah komite audit berpengaruh secara signifikan terhadap nilai BTD. Septiani dan Martani (2014) juga membuktikan bahwa penilaian direksi dan komisaris sebagai salah satu proksi corporate governance berpengaruh secara signifikan terhadap ABTD. Corporate governance merupakan suatu mekanisme dalam perusahaan yang berkaitan erat dalam menurunkan aktivitas manajamen laba dan manajemen pajak. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penelitian yang membuktikan bahwa corporate governance berpengaruh negatif terhadap manajemen laba dan atau manajemen pajak (Dechow et al., 1998; Becker et al., 33
1998; Klein, 2002; Desai dan Dharmapala, 2004; Wedari, 2004; Nasution dan Setiawan, 2007; Annisa dan Kurniasih, 2012; Anggit dan Shodiq, 2014; Winata, 2014). Corporate governance pada beberapa penelitian tersebut umumnya menggunakan proksi secara partial (terpisah), seperti proporsi dewan komisaris independen, jumlah komite audit, kualitas audit, struktur kepemilikan dan lain sebagainya. Dalam perkembangan literatur terkait manajemen laba, manajemen pajak dan corporate governance, terdapat faktor atau insentif yang menyebabkan aktivitas manajemen pajak maupun manajemen laba semakin besar. Berdasarkan hasil penelitian terkait corporate governance yang menunjukkan hubungan negatif terhadap manajemen pajak dan manajemen laba, corporate governance juga dapat digunakan sebagai moderator yang dapat menurunkan pengaruh faktor atau insentif tersebut terhadap aktivitas manajemen pajak dan manajemen laba dalam perusahaan. Logika yang mendasarinya adalah jika corporate governance suatu perusahaan baik, maka lima asas mendasar berupa transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kewajaran dalam suatu perusahaan akan terpenuhi (Winata, 2014). Struktur good corporate governance menurut Lin dan Hwang (2010) juga membantu untuk memastikan bahwa manajemen telah mengelola sumber daya dengan baik sesuai dengan keinginan pemilik dan melaporkan kondisi keuangan dan kinerja operasi perusahaan secara wajar. Penelitian Desai dan Dharmapala (2004) memberikan bukti bahwa insentif kompensasi dengan kekuatan yang besar mengakibatkan tindakan 34
perencanaan pajak semakin kecil. Hubungan negatif tersebut dibuktikan terjadi ketika mekanisme corporate governance dalam perusahaan cenderung lemah. Dapat disimpulkan bahwa mekanisme corporate governance suatu perusahaan dapat dijadikan moderator terkait dengan pengaruh insentif kompensasi terhadap tindakan perencanaan pajak. Penelitian Conyon dan He (2011) juga membuktikan bahwa perusahaan dengan susunan direksi dan komisaris independen sebagai mekanisme corporate governance juga berhubungan positif dengan tingkat pembayaran kompensasi. Penelitian Anggreni et al. (2015) membuktikan bahwa kepemilikan institusional sebagai proksi corporate governance memperkuat hubungan negatif manajemen pajak dengan kualitas laba. Penelitian Herawaty (2008) membuktikan bahwa komisaris independen, kualitas audit dan kepemilikan institusional sebagai proksi corporate governance dapat dijadikan moderator dalam menurunkan pengaruh manajemen laba terhadap nilai perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa manajemen laba dapat diminimumkan dengan mekanisme monitoring oleh komisaris independen, kualitas audit dan kepemilikan institusional. Penelitian Septiadi dan Mimba (2015) membuktikan bahwa komposisi dewan komisaris dan ukuran komite audit mampu memperlemah hubungan asimetri informasi terhadap manajemen laba. Dapat disimpulkan bahwa sebagai variabel dependen, manajemen laba juga dapat dimoderasi oleh corporate governance. Hal tersebut menunjukkan bahwa corporate governance juga dapat dijadikan moderasi antara insentif manajemen laba dengan tindakan manajemen laba.
35
2.3 Pengembangan Hipotesis 2.3.1 Insentif manajemen pajak dapat digunakan sebagai faktor pendeteksi ABTD. Menurut Irawan dan Farahmita (2013) konflik kepentingan antara pemilik perusahaan dengan manajemen menyebabkan manajemen tidak akan bertindak untuk kepentingan pemegang saham jika tindakan tersebut tidak bermanfaat bagi manajemen itu sendiri. Untuk mengatasi konflik kepentingan tersebut, pemilik perusahaan umumnya memberikan kompensasi kepada manajemen agar manajemen dapat lebih transparan dan meningkatkan kinerja manajemen. Jika kinerja manajemen baik maka kinerja perusahaan juga akan baik. Pengukuran kinerja pada umumnya dilakukan dengan melihat laba perusahaan. Laba perusahaan dipengaruhi oleh salah satunya adalah pembayaran pajak perusahaan. Semakin rendah pajak yang dibayarkan maka laba yang dihasilkan perusahaan akan semakin tinggi. Dengan adanya kompensasi manajemen diharapkan kinerja perusahaan melalui efisiensi pembayaran pajak akan semakin meningkat. Penelitian terdahulu diantaranya penelitian Armstrong et al. (2012) menemukan bukti bahwa kompensasi yang diterima eksekutif perusahaan berhubungan negatif dengan rendahnya pembayaran pajak perusahaan. Rego dan Wilson (2009) juga melakukan penelitian yang membuktikan bahwa semakin besar level kompensasi maka tindakan pajak agresif juga semakin tinggi.
36
Maka dari penjelasan di atas dapat diambil hipotesis sebagai berikut: H1a: semakin tinggi tingkat kompensasi direksi mengakibatkan ABTD akan semakin tinggi. Selain kompensasi yang diberikan secara langsung oleh pemilik perusahaan, kompensasi secara tidak langsung juga dapat diperoleh melalui kepemilikan saham direksi. Kepemilikan saham oleh direksi dapat dilakukan dengan cara membeli sendiri atau melalui program khusus perolehan saham yang sengaja dilakukan perusahaan. Hal tersebut dilakukan agar mendorong manajemen memiliki rasa kepemilikan yang besar
terhadap
meningkatkan
perusahaan nilai
dan
pemegang
memotivasi saham
manajemen
perusahaan
dengan
untuk cara
meningkatkan kinerja perusahaan, salah satunya melalui aktivitas manajemen pajak (Irawan dan Farahmita, 2013). Penelitian Minnick dan Noga (2010) menemukan bukti bahwa kompensasi berbasis saham yang diterima manajer akan mendorong tindakan manajemen pajak untuk efisiensi pembayaran pajak perusahaan. Desai dan Dharmapala (2006) menemukan bukti bahwa paket kompensasi yang diterima manajemen menjadi faktor penentu signifikan atas tindakan penghindaran pajak. Dari penjelasan tersebut maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut: H1b: semakin tinggi kepemilikan saham oleh direksi mengakibatkan ABTD akan semakin tinggi.
37
2.3.2 Insentif manajemen laba dapat digunakan sebagai faktor pendeteksi ABTD. Seasoned Equity Offerings (SEON) merupakan penawaran saham tambahan yang dilakukan perusahaan yang listed di pasar modal, diluar saham yang terlebih dahulu beredar di masyarakat melalui Initial Public Offerings (IPO) (Megginson, 2000). SEON dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: melalui mekanisme right issue dan melalui mekanisme second offerings, third offerings dan seterusnya. Baik IPO maupun SEON keduanya bertujuan untuk menawarkan sahamnya kepada publik untuk kegiatan pendanaan perusahaan. Menurut Scott (2012) salah satu motivasi perusahaan untuk melakukan manajemen laba adalah IPO (Initial Public Offering), selain itu perusahaan yang melakukan aktivitas SEON (Seasoned Equity Offering) cenderung melaporkan peningkatan laba akrual diskresioner selama waktu penawaran ekuitas (Teoh et al., 1998; Marquadt dan Wiedman, 2004). Perusahaan menyajikan laba yang ada di prospektus sebagai sinyal kepada investor mengenai nilai perusahaan sehingga dapat mempengaruhi keputusan investor. Begitu juga dengan perusahaan yang melakukan right issue, yang bertujuan agar sahamnya dapat lebih banyak dibeli oleh investor. Penelitian terdahulu diantaranya penelitian Tang (2006); Tang dan Firth (2011); menemukan bukti bahwa perusahaan yang melakukan right issue atau public offering cenderung menaikkan profitabilitas perusahaannya dengan melakukan manajemen
38
laba yang ditandai dengan semakin besarnya nilai ABTD. Dapat disusun hipotesis sebagai berikut: H2a: perusahaan yang melakukan right issue memiliki nilai ABTD yang lebih besar. Perusahaan yang hanya memperoleh laba yang kecil atau yang mengalami kerugian membuat reputasinya menjadi buruk di mata pemangku kepentingan serta menanggung biaya agensi yang tinggi (Shackelford et al., 2001). Selain itu menurut Burgstahler dan Dichev (1997) perusahaan yang mengalami kerugian akan cenderung melakukan manajemen laba. Hal tersebut disebabkan karena dalam pelaporan keuangan, para pemangku kepentingan cenderung tidak ingin perusahaan yang berhubungan dengannya mengalami kerugian. Penelitian terdahulu diantaranya penelitian Tang (2006); Tang dan Firth (2011) menemukan bukti bahwa perusahaan yang mengalami kerugian berpengaruh positif terhadap ABTD yang merupakan faktor pendeteksi manajemen laba. Dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut: H2b: perusahaan yang mengalami kerugian memiliki nilai ABTD yang lebih besar. 2.3.3 Good corporate governance dapat meminimalkan ABTD. Manfaat penerapan GCG bagi perusahaan adalah untuk meningkatkan kinerja perusahaan dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan. Penerapan GCG akan mendorong manajemen melakukan pengelolaan perusahaan yang efektif dan efisien. Pengelolaan perusahaan
39
yang efektif dan efisien tersebut menjadi unsur untuk menghasilkan laba yang baik. 1) Proporsi dewan komisaris independen Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan di dalam perusahaan (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Dechow et al. (1995) dalam penelitiannya memberikan bukti bahwa perusahaan yang melakukan manajemen laba lebih besar kemungkinannya memiliki dewan komisaris yang didominasi oleh manajemen dan lebih besar kemungkinannya memiliki direksi utama yang merangkap menjadi komisaris utama. Wedari (2004) dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa dewan komisaris yang independen akan membatasi aktivitas oportunistik manajemen. Anggit dan Shodiq (2014) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Nasution dan Setiawan (2007). Selain hubungannya dengan manajemen laba, Winata (2014) menemukan bukti bahwa proporsi dewan komisaris juga berhubungan negatif
secara
signifikan
dengan
manajemen
pajak.
Dapat
dikembangkan hipotesis sebagai berikut: H3a: proporsi dewan komisaris independen yang semakin tinggi, nilai ABTD akan semakin rendah.
40
Dewan
komisaris
memiliki
peran
untuk
menjamin
pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan dan mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Dewan komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan memberikan petunjuk serta arahan pada pengelola perusahaan. Penelitian
yang
dilakukan
Desai
dan
Dharmapala
(2004)
menunjukkan bahwa corporate governance dapat dijadikan moderasi antara pengaruh insentif kompensasi berkekuatan besar dan perencanaan pajak. Kompensasi yang diberikan kepada eksekutif perusahaan dapat berupa kompensasi kas dan saham. Penelitian Conyon dan He (2011) memberikan bukti bahwa susunan independensi eksekutif perusahaan sebagai
proksi
corporate
governance berhubungan positif terhadap tingkat pembayaran kompensasi yang nantinya berhubungan dengan manajemen laba dan manajemen pajak perusahaan. Kepemilikan saham direksi dapat dilakukan dengan cara pembelian sendiri atau melalui program khusus perolehan saham yang sengaja dilakukan oleh perusahaan. Semakin banyak komisaris yang independen maka semakin kecil juga kemungkinan kepemilikan saham oleh direksi dikarenakan komisaris menganggap kepemilikan saham oleh direksi menyebabkan manajemen akan lebih banyak melakukan manajemen laba dan manajemen pajak. Hal tersebut didasari atas keinginan manajemen yang ingin meningkatkan nilai
41
perusahaan dikarenakan manajemen juga mempunyai saham perusahaan tersebut (Irawan dan Farahmita, 2013). Perusahaan yang ditahun berikutnya melakukan right issue dan mengalami kerugian ditahun berjalan cenderung akan melakukan manajemen laba dikarenakan perusahaan tidak ingin reputasinya terlihat buruk di mata pemegang saham (Shackelford et al., 2001). Hal tersebut dapat dibatasi oleh semakin banyaknya komisaris independen dikarenakan komisaris independen adalah komisaris yang tidak secara langsung berurusan dengan organisasi tersebut dan tidak mewakili pemegang saham. Oleh karena itu jika tugas dewan komisaris sebagai pengawas dan pengarah pengelola perusahaan menjadi semakin baik dan independen maka aktivitas oportunistik perusahaan juga akan dibatasi (Wedari, 2004). Berdasarkan hal tersebut maka dapat diturunkan beberapa hipotesis seperti berikut: H3b: proporsi komisaris independen menurunkan pengaruh kompensasi direksi terhadap ABTD. H3c: proporsi komisaris independen menurunkan pengaruh kepemilikan saham direksi terhadap ABTD. H3d: proporsi komisaris independen menurunkan pengaruh seasoned equity offerings terhadap ABTD. H3e: proporsi komisaris independen menurunkan pengaruh kerugian terhadap ABTD.
42
2) Jumlah komite audit Komite audit memiliki tanggung jawab terhadap pengawasan laporan keuangan, pengawasan audit eksternal dan mengamati sistem pengendalian internal perusahaan termasuk audit internal sehingga diharapkan dapat mengurangi sifat oportunistik manajemen melalui manajemen laba atau manajemen pajak (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Penelitian yang dilakukan Klein (2002) menemukan bukti bahwa perusahaan yang tidak mempunyai komite audit independen melaporkan laba dengan kandungan akrual diskresioner yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang mempunyai komite audit independen. Penelitian yang dilakukan Wedari (2004) juga menunjukkan bahwa komite audit berhubungan negatif dengan manajemen laba. Hal tersebut ditandai dengan manajemen laba pada perusahaan yang mempunyai komite audit lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mempunyai komite audit. Selain hubungannya dengan manajemen laba, komite audit juga berhubungan negatif dengan manajemen pajak. Hal tersebut ditunjukkan dalam penelitian Annisa dan Kurniasih (2012) yang menemukan bukti bahwa semakin sedikit jumlah komite audit maka hal tersebut akan meningkatkan tindakan oportunistik manajemen untuk kepentingan pajak dengan melakukan minimalisasi laba. Winata (2014) juga menemukan bukti bahwa semakin banyaknya jumlah komite audit yang ada pada sebuah perusahaan dapat membuat praktik manajemen
43
pajak yang dilakukan dapat diminimalisir. Dapat diambil hipotesis sebagai berikut: H3f: jumlah komite audit yang semakin tinggi, nilai ABTD akan semakin rendah. Menurut FCGI (2001) tanggung jawab komite audit adalah melakukan pengawasan laporan keuangan, pengawasan audit eksternal dan mengamati sistem pengendalian internal. Komite audit yang dibentuk dalam perusahaan sebagai sebuah komite khusus yang diharapkan
dapat
mengoptimalkan
fungsi
pengawasan
yang
sebelumnya telah dilakukan dewan komisaris. Jika pengawasan optimal maka diharapkan konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham dapat diminimalkan. Kompensasi direksi dan kepemilikan saham oleh direksi merupakan insentif manajemen pajak (Minnick dan Noga, 2010; Irawan dan Farahmita, 2013). Kedua hal tersebut berkaitan erat dengan peningkatan kinerja keuangan yang salah satunya dilakukan dengan cara pembayaran pajak yang rendah. Sudah semestinya bagi komite audit untuk melakukan pengawasan pelaporan keuangan jika terdapat pengelolaan laba khususnya ketika komite audit menjumpai jumlah kompensasi yang diterima perusahaan semakin besar dan saham dari perusahaan sebagian dimiliki oleh direksi. Pengaruh kedua insentif tersebut terhadap pengelolaan pajak akan dapat diturunkan oleh komite audit dikarenakan komite audit memiliki hubungan
44
khusus dengan audit internal. Pemeriksaan laporan keuangan oleh auditor eksternal didasarkan pada laporan auditor internal yang diawasi dan ditunjuk oleh komite audit terkait. Oleh karena alasan tersebut manajemen akan lebih berhati-hati dalam melakukan pengelolaan laba dan pajak jika jumlah komite audit perusahaan semakin banyak. Perusahaan yang melakukan right issue cenderung akan melaporkan laba menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya dengan tujuan untuk mengirim sinyal bahwa investor mengenai nilai perusahaan (Teoh et al., 1998; Marquadt dan Wiedman, 2004) dan perusahaan yang mengalami kerugian juga melakukan pengelolaan laba karena stake holders tidak ingin perusahaannya berhubungan dengan kerugian (Burgstahler dan Dichev, 1997). Right issue dan kerugian merupakan salah satu hal yang dianggap signifikan oleh perusahaan karena pengaruhnya terhadap aktivitas operasional perusahaan. Segala hal yang dianggap signifikan atau sensitif dalam perusahaan
yang
mempengaruhi
pelaporan
keuangan
akan
didiskusikan dan dikendalikan oleh komite audit. Oleh karena hal tersebut, niatan pengelolaan laba oleh manajemen yang disebabkan insentif right issue dan kerugian akan cenderung menurun jika komite audit semakin banyak. H3g: jumlah komite audit menurunkan pengaruh kompensasi direksi terhadap ABTD.
45
H3h: jumlah komite audit menurunkan pengaruh kepemilikan saham direksi terhadap ABTD. H3i: jumlah komite audit menurunkan pengaruh seasoned equity offerings terhadap ABTD. H3j: jumlah komite audit menurunkan pengaruh kerugian terhadap ABTD. 3) Kualitas audit Menurut Winata (2014) audit merupakan unsur penting dalam praktik corporate governance yang memiliki kaitan erat dengan prinsip corporate governance itu sendiri yaitu transparansi. Transparansi informasi dapat diukur dengan kualitas audit, dan kualitas audit dapat diukur melalui proksi spesialisasi industri dan ukuran KAP (Mayangsari, 2003; Annisa dan Kurniasih, 2012). Penelitian yang dilakukan Becker et al. (1998) menunjukkan bahwa klien dari auditor The Big Six melakukan manajemen laba lebih rendah daripada klien dari auditor non The Big Six. Di Indonesia, penelitian Annisa dan Kurniasih (2012) menunjukkan bahwa laporan keuangan yang diaudit oleh The Big Four memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah dan lebih susah melakukan kebijakan pajak agresif dibanding dengan perusahaan yang diaudit oleh KAP non The Big Four. Dapat diambil hipotesis sebagai berikut: H3k: semakin baik kualitas audit, nilai ABTD akan semakin rendah.
46
Menurut Lin dan Hwang (2010) auditor eksternal bertanggung jawab dalam untuk memverifikasi bahwa pelaporan keuangan telah disajikan secara wajar dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Setelah diperiksa oleh auditor eksternal maka laporan keuangan akan lebih kredibel. Kualitas audit diharapkan untuk meminimalkan perilaku oportunistik pengelolaan laba beserta pula untuk mengurangi risiko informasi yang terkandung dalam laporan keuangan terdapat salah saji material. Penelitian Lin dan Hwang (2010) menggunakan analisis meta membuktikan bahwa semakin bagus kualitas audit maka semakin rendah tingkat pengelolaan laba suatu perusahaan. Arens et al. (2011) menyebutkan bahwa untuk mengukur kualitas audit dapat dilihat dari kompentensi, independensi dan kemahiran professional seorang auditor. Audit yang berkualitas salah satunya dapat dilihat dari KAP yang melakukan pemeriksaan. Jika KAP yang mengaudit adalah The Big Four maka kualitas audit dapat dikatakan baik karena dipandang lebih independen dan lebih transparan jika dibandingkan dengan KAP Non The Big 4 (Winata, 2014). Auditing mencakup seluruh pemeriksaan aktivitas perusahaan. Oleh karena hal tersebut jika kualitas audit baik maka aktivitas oportunistik perusahaan yang disebabkan oleh insentif-insentif tertentu akan dibatasi. Insentif tersebut diantaranya besarnya kompensasi direksi dan kepemilikan saham oleh direksi yang
47
mendorong direksi untuk mengatur pajaknya (Minnick dan Noga, 2010) dan penerbitan right issue yang menyebabkan manajemen untuk ‘mempercantik’ laporan keuangannya (Marquadt dan Wiedman, 2004) serta perusahaan yang mengalami kerugian yang terdorong untuk menaikkan laba karena tidak ingin terlihat mempunyai reputasi yang buruk (Shackelford et al., 2001). Berdasarkan hal tersebut dapat diturunkan hipotesis seperti berikut: H3l: kualitas audit menurunkan pengaruh kompensasi direksi terhadap ABTD. H3m: kualitas audit menurunkan pengaruh kepemilikan saham direksi terhadap ABTD. H3n: kualitas audit menurunkan pengaruh seasoned equity offerings terhadap ABTD. H3o: kualitas audit menurunkan pengaruh kerugian terhadap ABTD.
2.4 Kerangka Pemikiran Sesuai dengan telaah literatur dan melihat hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan manajemen pajak, manajemen laba, corporate governance dan book-tax differences seperti pada pembahasan sebelumnya, maka penulis dapat mengembangkan kerangka teoritis penelitian dalam bentuk bagan yang digambarkan berikut ini.
48
Gambar 2.1 Kerangka Teoritis Hubungan Antar Variabel
Insentif Manajemen Pajak H1a (+) Kompensasi Direksi Kepemilikan Saham Direksi
H1b (+)
Abnormal BookTax Differences H2a (+)
Insentif Manajemen Laba Seasoned Equity Offerings
H2b (+)
Kerugian H3b, c, d, e, g, h, i, j, l, m, n, o (-)
Variabel Kontrol: H3a; H3f; H3k (-) Ukuran Perusahaan
Variabel Moderator Corporate Governance Proporsi Komisaris Independen Jumlah Komite Audit Kualitas Audit
49