6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tanah Sebagai Sumberdaya Agraria 2.1.1.1 Fungsi Tanah Bagi Kehidupan Petani, Pemerintah, dan Swasta Tanah merupakan salah satu jenis sumber agraria. Tanah menjadi sumberdaya yang strategis dimana memiliki beragam fungsi bagi kehidupan manusia. Tanah bagi petani, pemerintah, dan swasta memiliki fungsinya masingmasing, antara lain digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1 Fungsi Tanah Bagi Aktor Sosial No.
Aktor Sosial
Fungsi Lahan
1.
Petani
Fungsi Ekonomi: a. memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga b. sebagai katup pengaman c. sebagai kebutuhan uang tunai Fungsi sosial: sebagai penguat ikatan kekerabatan
2.
Pemerintah
Bagi kemakmuran seluruh rakyat Fungsi pendapatan negara
3.
Swasta
Mencari keuntungan (akumulasi modal dan meningkatkan surplus) Sumber: Dikutip dari berbagai sumber
Fungsi tanah yang relevan bagi petani adalah fungsi ekonomi dan fungsi sosial. Tanah memiliki fungsi ekonomi dilihat dari peranannya dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga, katup pengaman, dan kebutuhan uang tunai. Fungsi tanah memiliki arti yang sangat penting bagi para petani (Fajryah, 2006). Dari hasil pertanian, petani dapat mempertahankan hidup bersama dengan keluarganya melalui kegiatan bercocok tanam, seperti yang diketahui bahwa lahan atau tanah merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam kegiatan pertanian(Sinaga, 2006). Menurut Fajriyah (2006), tanah dalam peranannya sebagai katup pengaman dapat ditelusuri dari beralihnya para pekerja di sektor pertanian ke sektor non-pertanian, terutama saat ia tidak mampu lagi bertahan di sektor pertanian karena usia atau bahkan dipecat dari pekerjaan. Sementara itu fungsi
7
ekonomi dilihat dari peranannya sebagai kebutuhan uang tunai adalah tanah berperan penting karena dapat dipinjam untuk digarap (Fajriyah, 2006). Fungsi tanah secara sosial menurut Munir (2008) terlihat dari peranan tanah sebagai penguat ikatan kekerabatan, ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau berlahan sempit. Lebih jauh Bahari (2002) menjelaskan bahwa tanah bagi petani memiliki arti sosial terkait dengan budaya, dimana luas tanah yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial-ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki tanah adalah lapisan masyarakat yang paling rendah status sosialnya. Fungsi tanah bagi pemeritah adalah bagi kemakmuran rakyatnya. Artinya tanah merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Kepentingan pemerintah kota atas lahan adalah sebagai motor pertumbuhan ekonomi atau roda pembangunan (Moeliono, 2005). Pembangunan pun begitu dipercaya, hanya mungkin diwujudkan dengan sokongan produktivitas industri modern. Sementara fungsi tanah sebagai pendapatan negara, yaitu
melalui adanya pajak lahan
(Wafda, 2005). Sedangkan fungsi tanah bagi swasta adalah sebagai aset untuk mencari keuntungan dengan cara melakukan penanaman modal (Sihaloho, 2004). Dapat dipahami bahwa arti penting tanah bagi swasta adalah mengarah kepada kepentingan akumulasi modal dan meningkatkan surplus.
2.1.1.2 Pemetaan Aktor atau Subyek Atas Sumber Agraria Tanah Menurut Sihaloho (2004), pemanfaatan sumber agraria tanah merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi berbagai pihak yang berkepentingan baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap sumberdaya tersebut. Nilai penting tanah ini berimplikasi pada ‘interest” pemanfaat sumber agraria. Bila ditarik garis, fungsi tanah dapat menimbulkan motivasi kepentingan.
Kepentingan itu terwujud dalam pemanfaatan sumber
agraria tanah. Kepentingan atas pemanfaatan itu terjadi antara pengguna atau subyek agraria yaitu komunitas (petani), pemerintah, dan swasta menimbulkan bentuk hubungan antara ketiganya melalui institusi penguasaan atau pemilikan. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosial agraria
8
yang berpangkal pada akses (penguasaan, pemilikan, dan penggunaan) terhadap sumber agraria (Sitorus, 2002).
Gambar 1 Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria Komunitas
Sumber Agraria
Swasta
Pemerintah
Keterangan: Hubungan teknis agraria Hubungan sosial agraria Sumber: Sitorus (2002)
Hubungan penguasaan tanah bukan saja menyangkut hubungan manusia dengan tanahnya (religio-magis), melainkan juga dan terutama menyangkut hubungan manusia dengan manusia (Wiradi, 1984). Dalam hubungan-hubungan tersebut terbentuk hubungan aktifitas yang meliputi kompleks aktifitas yang merupakan jaringan hubungan manusia. Dalam hubungan manusia dengan tanahnya bentuk aktifitas itu adalah penggarapan atau pengusahaan. Dalam penggarapan atau penguasaan ini orang lain tidak boleh memilikinya atau boleh menggarapnya tetapi dengan syarat tertentu. Hubungan manusia dengan manusia mencakup hubungan antara pemilik tanah dengan buruhnya, antara sesama buruh tani, dan antara orang-orang yang secara langsung maupun orang-orang yang secara tidak langsung terlibat dalam proses produksi dimana tanah merupakan salah satu faktornya. Hubungan manusia dan manusia tersebut merupakan hubungan kerja dalam proses produksi yang berkaitan erat dengan masalah penyebaran pendapatan, kekayaan, kesempatan-kesempatan ekonomi, dan penguasaan politik (Wiradi, 1984).
9
Semakin hari kebutuhan akan lahan semakin meningkat, sementara itu ketersediaan lahan tidak pernah bertambah. Hal ini mengakibatkan banyak sekali terjadi benturan kepentingan antar pihak, karena setiap pihak mempunyai kepentingannya masing-masing dalam penggunaan dan alih fungsi lahan yang dilakukan.
Dapat disimpulkan berdasar penjajagan studi literatur yang ada,
berbagai masalah dapat terjadi di atas perbedaan kepentingan antar pihak, diantaranya terjadinya tumpang tindih dalam peruntukkan lahan, perubahan penggunaan lahan (alih fungsi lahan) menjadi tak terkendali, dan penggunaan lahan tidak sesuai dengan kondisi dan kemampuan tanahnya. Bila hal ini terus berlanjut maka akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti kerusakan tanah, kemerosotan produktivitas, tanah longsor, dan banjir.
2.1.2 Ciri Masyarakat Tani Hingga saat ini belum ada kesepakatan diantara para ahli sosial pedesaan dalam mendefinisikan petani sebagaimana yang diungkapkan Barrington Moore Jr. (dalam Bahari, 2002): “Tak mungkinlah mendefinisikan petani dengan ketepatan yang mutlak karena batasnya memang kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri. Pengakuan terhadap sejarah subordinasi kelas atas tuan tanah yang diperkuat dengan hukum kekhususan kultural, serta kepemilikan tanah secara de facto, semua itu merupakan ciri-ciri pokok yang membedakan petani dengan yang lainnya”. Berdasar pernyataan yang diungkapkan Barrington Moore Jr. maka Bahari (2002) menarik kesimpulan mengenai pengertian petani, yakni secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan tanah secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural. Definisi petani menurut Scott (dalam Purwandari, 2006) memiliki sudut pandang yang berbeda, dimana petani dijelaskan sebagai golongan komunitas kecil yang memiliki prinsip ”safety first” yang merupakan konsekuensi dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Prinsip ini kemudian berpengaruh secara teknis, sosial, dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian, dimana petani tidak “betah” bekerja di sektor tersebut. Kondisi demikian berangkat dari posisi
10
petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap nrimo terhadap berbagai kondisi, bahkan ketika lahan mereka untuk tempat mencari makan telah terkonversi menjadi perumahan sekalipun. Eric R. Wolf (dalam Bahari, 2002) mengungkapkan definisi yang berbeda pula mengenai petani, yakni sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak atau pasar bebas. Persoalan tidak hanya pada pemilikan tanah secara de facto, tetapi lebih berfokus pada lepasnya penguasaan produksi dan tenaga kerja kepada pihak lain. Penghisapan menjadi ciri sentral dari definisi ini. Menurut Eric R. Wolf (dalam Bahari, 2002) terdapat pula perbedaan antara definisi petani pedesaan dengan petani modern. Secara garis besar golongan pertama adalah kaum petani yang masih tergantung pada alam dan menggunakan pengetahuan serta teknologi tradisional dalam pengembangan produksinya. Produksi mereka lebih ditujukan untuk sebuah usaha menghidupi keluarga, bukan untuk mengejar keuntungan (profit oriented). Sebaliknya, farmer atau agricultural enterpreuner adalah golongan petani yang usahanya ditujukan untuk mengejar keuntungan. Mereka menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan usaha modern dan menanam jenis tanaman yang laku di pasar. Pandangan tentang kekhususan kultural banyak dikemukakan oleh para antropolog pedesaan seperti Krober, Field dan Foster (dalam Bahari, 2002). Ketiganya menekankan pada perkembangan nilai-nilai, persepsi dan kebudayaan petani terhadap lingkungan luarnya. Mereka menganggap petani hidup dalam satu komunitas yang tertutup dan terisolasi dari luar. Hubungan pertanian keluarga memainkan peranan yang sangat besar, hubungan-hubungan ekonomi yang dibangunnya dilandasi nilai-nilai lokal yang berlaku. Pada intinya, mereka melihat masyarakat petani sebagai masyarakat otonom.
11
2.1.3 Kebijakan Pertanahan 2.1.3.1 Rumusan Dasar Kebijakan Pertanahan Dasar-dasar politik dan hukum agraria ialah dasar-dasar pokok yang terdapat dalam cita-cita rakyat membentuk Negara sebagai bangsa yang merdeka, yakni tanah itu harus dipergunakan bagi kemakmuran rakyat (Tauhid, 1953). Menurut Nasoetion (2006), negara sebagai organisasi kekuasan rakyat pada tingkatan yang tertinggi, menguasai tanah untuk dipergunakan bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat melalui: 1) pengaturan hubungan hukum orang dengan tanah, 2) mengatur perbuatan hukum orang terhadap tanah, dan 3) perencanaan, persediaan, peruntukkan, dan penggunaan tanah bagi kepentingan umum. Sehingga dasar untuk menentukan politik agraria itu sendiri antara lain (Tauhid, 1953): 1.
Negara Indonesia adalah negara kerakyatan.
2.
Negara kerakyatan menjamin hak asasi manusia dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.
3.
Hak asasi manusia tidak boleh dipergunakan untuk menentang kepentingan masyarakat dan negara.
4.
Usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat ini dijalankan dengan usaha rakyat perseorangan, usaha organisasi rakyat (usaha bersama), dan usaha negara.
5.
Usaha perseorangan tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan negara.
6.
Negara mengatur dengan rencana ketiga usaha itu, untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
7.
Pemerintah pusat berkewajiban menjalankan dan mengurus usaha-usaha yang tidak dapat diselenggarakan oleh daerah, seperti pertahanan negara, hubungan luar negeri, politik keuangan, perhubungan, serta rencana pokok bagi seluruh masyarakat dan negara. Atas dasar tujuan di atas, maka dasar politik agraria, adalah sebagai
berikut (Tauhid, 1953): 1.
Tanah adalah sumber dan tiang penghidupan setiap manusia.
2.
Bagi Indonesia tanah itu menjadi pokok pertama bagi sumber penghidupan dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.
12
3.
Politik
tanah
harus
berdasarkan
pada
tujuan
kemakmuran
dan
kesejahteraan rakyat. 4.
Hukum tanah menjadi pokok-pokok dasar mengatur pemakaian tanah, sesuai dengan tujuan dan politik tersebut di atas. Adapun, dasar-dasar hukum yang mengatur pemakaian tanah berdasar
tujuan yang telah disebutkan, dapat ditentukan sebagai berikut (Tauhid, 1953): 1. Bagi seluruh Indonesia hanya ada satu macam bentuk hak tanah, sehingga tidak ada hak-hak istimewa bagi seseorang atau segolongan warga negara. 2. Warga negara mempunyai hak milik atas tanah dengan ketentuan: a. Tanah pertanian hanya untuk orang tani, yaitu orang yang hidup dari hasil mengusahakan tanah yang diusahakan dengan kerjasama kooperatif, dalam penggarapan, pengolahan, dan penjualan hasilnya. Adapun tanah kediaman dapat diberikan kepada orang bukan tani, menurut keperluannya. b. Adanya pembatasan luas milik hak milik atas tanah bagi tiap-tiap keluarga tani. Batas minimum berdasarkan perhitungan penghasilan tani cukup untuk mencapai tingkat hidup layak menurut syarat-syarat jasmani dan rohani. Pembatasan maksimum luas tanah yang dengan syarat-syarat dan cara pertanian modern tidak memberi kemungkinan timbulnya pemerasan penghisapan di lapangan pertanian. 3. Desa sebagai daerah kesatuan hidup yang berotonom, mempunyai hak wilayah dengan batasan Undang-Undang negara, yaitu: a. Hak mengawasi penggunaan tanah di desanya. b. Untuk kepentingan kemakmuran masyarakat (dalam desa) untuk sementara atau selamanya, desa dapat mengambil tanah dengan memberi ganti rugi yang sesuai dengan pemiliknya. c. Menjaga dan mengawasi agar pemindahan hak atas tanah dalam desa tidak merugikan masyarakat sedesa dengan mengingat batas minimun dan maksimum bagi penjualnya maupun pembelinya. d. Mencegah dan meniadakan perluasan atau penimbunan milik tanah di atas batas maksimum di samping pengecilan atau pemecahan milik tanah, yang karena kecilnya tanah tidak efisien lagi.
13
e. Dengan persetujuan desa ditetapkan seseorang tidak boleh menjual tanah kepada orang lain yang akibatnya akan merugikan desa. Orang yang sudah mencapai batas maksimum luas tanahnya tidak boleh menambah lagi sebaliknya tanah yang hanya seluas minimum tidak boleh dipecah lagi. f. Desa mendorong dan membimbing pertumbuhan usaha pertanian modern dalam bentuk kooperatif, dalam hal penggarapan tanah, pengolahan, dan penjualan hasil. 4. Negara mengatur dengan undang-undang tentang pemakaian tanah berdasarkan politik yang bertujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Negara juga menjalankan pengawasan yang tertinggi atas terlaksananya undang-undang dan peraturan, agar pemakaian tanah tidak menyimpang dari tujuan. Selain itu negara dapat mengambil tanah untuk kepentingan umum. Kesimpulan yang dapat ditarik mengenai arti dari dasar-dasar politik dan hukum agraria ialah tanah merupakan sumber dan tiang penghidupan setiap manusia (Tauhid, 1953). Artinya, tanah merupakan modal alami utama dengan pokok tujuannya berusaha memberi tanah kepada petani sebagai sumber penghidupan (jaminan hidup sekeluarga disamping itu hasil dari komoditi yang ditanam atau dipelihara di atas tanah dapat digunakan untuk pangan masyarakat). Di Indonesia dikenal satu macam hak atas tanah bagi seluruh warga negara. Hakhak tanah menurut hukum adat di daerah-daerah dapat dibenarkan apabila tidak bertentangan dengan pokok tujuan bagi kemakmuran rakyat keseluruhan. Sementara nilai-nilai yang baik dalam masyarakat seperti gotong royong dapat dipelihara dan dikembangkan sesuai tujuan pokok dalam bentuk yang modern. Atas dasar bahwa semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama maka hak atas tanah bagi warga negara keseluruhan adalah sama. Adanya dasar pengertian bahwa hanya satu macam saja warga negara, memberikan arti bahwa hak warga negara tidak dibeda-bedakan antara golongan satu dengan lainnya berdasar tempat tinggalnya.
14
Tauhid (1953) mengungkapkan bahwa hak-hak istimewa sebagai hak-hak feodal dihapuskan sehingga tidak ada tempat lagi untuk terjadinya eksploitasi tanah besar-besaran untuk kepentingan seseorang atau segolongan orang saja. Adanya aturan mengenai batas maksimum dan minimum dimaksudkan agar menjadi dasar menentukan dan memperhitungkan, sehingga dapat mencapai penghasilan keluarga yang cukup untuk hidup layak sebagai manusia dimana batas-batas maksimum dan minimum tersebut berbeda di masing-masing daerah. Kerakyatan itu sendiri haruslah berat ke bawah dan paling sempurna di desa atau kesatuan yang setingkat dengan itu. Artinya, desa mempunyai hak wilayah dengan pengertian bahwa kerakyatan memang benar-benar dirasakan dan dilaksanakan rakyat. Namun ketika susunan desa itu sendiri belum demokrasi maka yang ada adalah kemungkinan timbulnya tindakan-tindakan yang menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan.
2.1.4 Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Menurut Jayadinata (1999), tata ruang dan tata guna tanah adalah dua hal yang bersifat integral. Tanah adalah satu unsur terpenting dari ruang. Sementara itu, penggunaan lahan juga dapat berarti pula tata ruang. Selain itu, menurut Hasan Purbo (dalam Taufik, 2004), bahwa istilah tata ruang dan tata guna tanah merupakan pengertian yang mempunyai sifat “manipulatif”, dalam arti bahwa kedua hal tersebut mengandung unsur keinginan untuk melakukan penataan atau merubah keadaan secara teratur untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, “ruang termasuk daratan, lautan, angkasa, dan penataan ruang bertujuan agar terselengaranya pemanfaatan ruang berwawasan nusantara dan ketahanan nasional”. Ruang merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dimana ruang setiap waktunya berubah akibat proses alam dan tindakan manusia. Sedangkan, menurut Jayadinata (1999) ruang adalah seluruh permukaan bumi termasuk lapisan biosfer tempat kehidupan bagi mahluk hidup. Ruang dapat diartikan sebagai wilayah dengan batas geografi tertentu yang terdiri dari lapisan tanah di bawahnya dan lapisan udara di atasnya yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan. Hal ini membuat ruang menjadi bagian dari obyek agraria atau sumber agraria.
15
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, tetapi termasuk juga dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata ruang merupakan wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak. Penataan ruang menurut Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: 1. Perencanaan tata ruang, yang dibedakan atas rencana tata ruang wilayah. 2. Pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan. 3. Pengendalian pemanfaatan ruang, yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Pada dasarnya, ruang meliputi unsur tanah, air, dan udara. Terkait dengan hal itu, untuk memanfaatkan ruang agar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka dibutuhkan suatu penataan bagi ruang. Implementasi penataan bagi ruang dapat berupa perencanaan tata ruang yang harus didahului dengan menganalisis dan menata peruntukkan lahan. Konsepsi penataan ruang itu sendiri, digariskan dalam UUD 1945 pasal 33 Ayat (3), Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, dan Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) 1992. Untuk mewujudkan konsepsi dan kebijaksanaan tersebut agar dapat dilaksanakan harus disusun Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW), yang menetapkan peruntukkan ruang berupa kawasan lindung dan kawasan budidaya. Menurut Dinas Penataan Ruang (2007), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan landasan pembangunan sektoral yang bertujuan agar terjadi suatu sinergi dan efisiensi pembangunan,
sekaligus
menghindari
kemungkinan
terjadinya
konflik
pemanfaatan ruang antar sektor-sektor yang berkepentingan dan dampak yang dapat merugikan masyarakat luas (externalities). Menurut Mabogunje (dalam Jayadinata, 1999), terdapat tiga macam ruang yaitu: a. Ruang mutlak, yang merupakan wadah bagi unsur-unsur yang ada di dalam ruang tersebut.
16
b. Ruang relatif, dapat digambarkan, yaitu apabila ada dua kota berjauhan tetapi terdapat jalan dan alat pengangkut yang menghubungi dua kota tersebut. c. Ruang relasi merupakan ruang yang melibatkan unsur-unsur yang memiliki relasi satu sama lain dan saling berinteraksi. Pengertian dari ruang relasi itulah yang digunakan dalam perencanaan. Secara spesifik, penggunaan lahan sangat terkait dengan tata guna lahan. Tata guna lahan menurut Jayadinata (1999) adalah pengaturan penggunaan lahan itu sendiri. Hal yang dibicarakan dalam tata guna lahan tidak hanya penggunaan permukaan bumi di daratan, tetapi juga mengenai penggunaan permukaan bumi di lautan. Aspek-aspek penting dalam tata guna lahan adalah lahan dengan unsur alami lain, yaitu tubuh lahan (soil [sic!], air, iklim, dan sebagainya) serta mempelajari kegiatan manusia, baik dalam kehidupan sosial, maupun dalam kehidupan ekonomi. Dalam istilah tata guna lahan, terdapat dua unsur penting, yaitu: a. Tata guna lahan yang berarti penataan atau pengaturan penggunaan (merujuk kepada sumberdaya manusia), dan b. Lahan (merupakan sumberdaya alam), yang berarti ruang (permukaan lahan serta lapisan batuan di bawahnya dan lapisan udara di atasnya), serta memerlukan dukungan berbagai unsur alam lain, seperti air, iklim, tubuh, lahan, hewan, vegetasi, mineral, dan sebagainya. Jayadinata (1999) mengungkapkan bahwa pertimbangan mengenai kepentingan atas lahan di berbagai wilayah mungkin berbeda, yakni bergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu yang mempengaruhi prioritas bagi fungsi tertentu kepada lahan. Aturan-aturan dalam penggunaan lahan bergantung kepada kesepakatan yang berlaku di masyarakat. Beberapa kategori yang dapat membandingkan aturan tata guna lahan wilayah satu dengan lainnya, antara lain adalah kepuasan, kecenderungan untuk kegiatan dalam tata guna lahan, luas kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi, dan pemanfaatan atau pengaturan estetika. Sehubungan dengan hal itu, Chapin (1995) seperti dikutip oleh Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori, yakni:
17
1.
Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual beli lahan di pasaran bebas.
2.
Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.
3.
Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya. Utomo et. al. (1992) menjelaskan bahwa secara garis besar penggunaan
lahan dapat digolongkan menjadi dua, yakni: 1.
Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan potensi alaminya, seperti kesuburan, kandungan mineral atau terdapatnya endapan bahan galian di bawah permukaannya.
2.
Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan sebagai ruang pembangunan, dimana tidak memanfaatkan potensi alaminya, tetapi lebih ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaan-penggunaan lain yang telah ada, di antaranya ketersediaan prasarana dan fasilitas umum lainnya. Terkait hal tersebut, Utomo et. al. (1992) menjelaskan tentang faktor-
faktor yang menetukan karakteristik penggunaan lahan, antara lain: 1. Faktor sosial dan kependudukan; faktor ini berkaitan erat dengan peruntukkan lahan bagi permukiman atau perumahan secara luas. Secara khusus mencakup penyediaan fasilitas sosial yang memadai dan kemudahan akses akan sarana dan prasarana kehidupan. 2. Faktor ekonomi dan pembangunan; faktor ini apabila dilihat lebih jauh mencakup penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan pertanian, pengairan, industri, penambangann, tranmigrasi, perhubungan, dan pariwisata. 3. Faktor penggunaan teknologi; yakni faktor yang dapat mempercepat alih fungsi lahan ketika penggunaan teknologi tersebut bersifat menurunkan potensi lahan.
18
4. Faktor kebijaksanaan makro dan kegagalan institusional; kebijakan makro yang diambil oleh pemerintah akan sangat mempengaruhi seluruh jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Menurut Jayadinata (1999), tata guna lahan dalam perkotaan dan pedesaan memiliki perbedaan. Hal ini dapat ditelusuri dengan memahami kota dan desa. Kota menurut pengertian geografis merupakan suatu tempat yang penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok, dan mata pencaharian penduduknya beragam tidak hanya di bidang pertanian. Pedesaan adalah kesatuan pemerintahan, dan terdiri atas sejumlah kampung dan kawasan pertanian yang luas yang berfungsi untuk memproduksi bahan makanan dan bahan mentah bagi industri. Perbedaan paling mendasar antara kota dengan desa adalah kota lebih bersifat self contained atau serba lengkap. Penduduk kota tidak hanya bertempat tinggal di kota, tetapi juga melakukan kegiatan ekonomi, seperti bekerja di dalam kota, bahkan melakukan rekreasi di dalam kota, sedangkan penduduk desa cenderung hanya bertempat tinggal di desa, tetapi mencari pekerjaan di luar desa dan berekreasi ke luar desa. Tata guna lahan perkotaan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian dalam ruang dari peran kota, yakni kawasan tempat tinggal, kawasan tempat bekerja, dan kawasan rekreasi (Jayadinata, 1999). Perkotaan sebagai pusat dari perkembangan dan pertumbuhan perekonomian, membuat tanah di perkotaan dalam pemanfaatannya lebih ditekan ke dalam sektor industri dan rekreasi atau non-pertanian. Sementara penggunaan lahan di pedesaan, dimana tanah yang ada lebih banyak dimanfaatkan pada kegiatan pertanian walaupun lahan juga dimanfaatkan untuk kegiatan off-farm. Selain itu, tanah di pedesaan lebih difokuskan sebagai tempat penghasilan bahan baku yang diperlukan untuk perindustrian di perkotaan. Penggunaan lahan, baik di kota maupun di desa pada dasarnya merupakan tuntutan bagi manusia sebagai penopang hidup.
19
2.1.5 Teori Akses dan Aksesibilitas Akses menurut Peluso dan Ribot (dalam Indrawan, 2008), merupakan kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu (ability to derive benefits from things) termasuk diantaranya dari objek material, orang lain, lembaga, dan simbol. Permasalahan akses bisa dilihat dalam tatanan hubungan sosial yang lebih luas (bundle of powers). Akses melambangkan seseorang mampu memperoleh keuntungan dari sumberdaya tanpa mengindahkan ada tidaknya hubungan sosial yang lebih luas (bundle of right). Konsep akses memfasilitasi analisis dasar mengenai siapa yang memanfaatkan dan tidak memanfatkan sesuatu, dengan cara seperti apa, dan kapan (dalam situasi apa). Oleh karena itu, analisis akses dapat dikatakan sebagai proses untuk mengidentifikasi dan memetakan mekanisme perolehan, pemeliharaan, dan pengendalian akses. Menurut Peluso dan Ribot (dalam Indrawan, 2008), kegunaan analisis akses adalah untuk menganalisis kebijakan lingkungan tertentu yang membuat para aktor
mampu dan tidak
mampu memperoleh,
memelihara,
atau
mengendalikan akses sumberdaya atau dinamika mikro dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari sumberdaya, serta bagaimana caranya. Kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya ditengahi dangan adanya pembatas-pembatas yang telah ditetapkan dalam konteks politik ekonomi dan kerangka budaya saat pencarian akses berlangsung. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai “mekanisme akses struktural dan saling terhubung” (structural and relational mechanisme of access). Mekanisme akses menurut Peluso dan Ribot (dalam Indrawan, 2008), yaitu: 1. Akses Teknologi Kebanyakan sumberdaya hanya bisa diekstraksi dengan menggunakan teknologi, mereka yang memiliki akses terhadap teknologi yang lebih tinggi akan memperoleh keuntungan yang lebih banyak dibandingkan yang tidak memiliki. 2. Akses Kapital/Modal Akses ini sering juga disebut sebagai akses terhadap kekayaan dalam bentuk keuangan dan peralatan (termasuk juga teknologi) yang bisa
20
digunakan dalam proses ekstraksi, produksi, konversi, mobilisasi buruh, dan proses lain yang sejalan dengan pengambilan keuntungan dari sesuatu atau orang lain. Akses kapital/modal bisa digunakan untuk mengendalikan atau memelihara akses sumberdaya. 3. Akses Pasar Akses pasar didefinisikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk
memperoleh,
mengendalikan
ataupun
memelihara
gerbang
hubungan pertukaran. Pasar mampu mempertajam akses pada keuntungan dari sesuatu pada skala yang berbeda secara tidak langsung dan tidak kentara. Semakin luas dan besar kekuatan pasar untuk memasok, mengajukan permintaan, dan mempengaruhi harga juga membentuk distribusi keuntungan dari sesuatu. 4. Akses Buruh Kelangkaan buruh dan surplus mampu mempengaruhi porsi hubungan dalam pencarian keuntungan sumberdaya yang bisa dinikmati oleh siapa saja yang mampu mengendalikan buruh. Mereka mampu mengendalikan akses peluang buruh dan mereka berhasrat untuk mempertahankan akses terhadap peluang-peluang tersebut. 5. Akses Pengetahuan Wacana dan kemampuan untuk mempertajam terminologi sangat mempengaruhi keseluruhan kerangka kerja akses terhadap sumberdaya. 6. Akses Kewenangan Individu atau lembaga yang memiliki akses privilege dengan kewenangan untuk membuat dan melaksanakan hukum akan sangat berpengaruh terhadap siapa yang memperoleh keuntungan dari sumberdaya. Akses kewenangan merupakan hal yang penting dalam jaring kekuasaan yang membuat seseorang mampu mengambil keuntungan dari sesuatu. 7. Akses Identitas Sosial Akses sering ditengahi dengan identitas sosial atau keanggotaan dalam komunitas atau kelompok, termasuk diantaranya pengelompokkan menurut umur, gender, suku, agama, status, profesi, tempat kelahiran, pendidikan, ataupun atribut-atribut lain yang menunjukkan identitas sosial.
21
8. Akses Hubungan Sosial Akses melalui negosiasi hubungan sosial, seperti pertemanan, saling percaya, timbal balik, patron, ketergantungan, dan obligasi merupakan poin-poin kritikal dalam jejaring akses.
2.1.6 Otonomi Daerah Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, paradigma pembangunan sebagai acuan kerja pemerintahan ditinggalkan, yakni membawa angin baru dan optimisme bagi daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya serta suasana baru dalam hubungan antara pusat dan daerah. Menurut Rasyid (2005), sakralisasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya telah melahirkan banyak korban pembangunan. Demi mengembalikan harga diri rakyat dan membangun kembali citra pemerintahan sebagai pelayan yang adil, maka paradigma pelayanan dan pemberdayaan sebagai landasan kerja pemerintah digunakan. Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi tahun 1999 adalah disatu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik (Rasyid, 2005). Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Menurut Imawan (2005), desentralisasi merupakan konsekuensi dari demokratisasi. Tujuannya adalah membangun good governance mulai dari akar rumput politik. Desentralisasi mengandung pengertian bahwa adanya pembagian kewenangan serta tersedianya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah (pemerintah lokal). Sejalan dengan itu, Setyawan (2007) mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan (wewenang, hak, kewajiban, dan tanggung jawab) sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah otonom sehingga daerah otonom itu dapat melakukan pengambilan keputusan, perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pengawasan
dalam
masalah-masalah
pembangunan untuk mendorong dan meningkatkan kinerja pembangunan.
22
Perdebatan mengenai makna desentralisasi ini masih saja terlihat, yakni dimaknai sebagai desentralisasi politik (devolusi) dan desentralisasi administratif (dekonsentrasi). Lebih jauh akhirnya, para pakar politik sependapat bahwa dianutnya desentralisasi adalah agar kebijakan pemerintah tepat sasaran, dalam arti sesuai dengan kondisi wilayah dan masyarakat setempat. Otonomi daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat dalam rangka terwujudnya citacita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat (Haris, 2005). Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepentingan rakyat tidak akan pernah tercapai apabila pada saat yang sama tidak berlangsung agenda demokrasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Setyawan (2007) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa implikasi dari kedudukan pemerintah daerah dalam otonomi daerah, yakni: 1. Pemerintah daerah sebagai pembantu dan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. 2. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat subordinal, bukan kemitraan. 3. Peranan dan posisi pemerintah daerah kabupaten/kota menjadi lemah karena terjadi tarik-menarik kekuasaan, terutama dalam menghimpun sumberdaya yang maksimal. Menurut Setyawan (2007), tiga implikasi dari kedudukan pemerintah di atas menyebabkan hal-hal berikut: 1. Pengertian otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak. Hal ini tentu tidak lazim dan tidak tepat dalam konteks makna dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi territorial. Pemberian otonomi kepada daerah tidak hanya mengandung unsur administrasi birokrasi, tetapi juga mengandung unsur politik. 2. Pengertian kewajiban sebagai manifestasi pengertian pemberian otonomi daerah sebagai hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya dengan konsekuensi pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya. Apabila persepsi tentang makna otonomi daerah sebagai kewajiban di pandang tepat, maka kedudukan pemerintah daerah hanya sebagai
23
penerima kewajiban yang berhak memperoleh imbalan. Pemerintah daerah akan selalu bergantung terus kepada pemerintah pusat. 3. Hambatan utama terlaksananya pemberian otonomi daerah terkesan sangat kuat oleh kecenderungan sikap ego sentralistik dari para pelaku birokrasi dan elit yang mempunyai akses lebih dominan terhadap sumberdaya dibanding penentu kebijakan baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah provinsi.
2.1.7 Alih Fungsi Lahan Pertanian 2.1.7.1 Pengertian Alih fungsi lahan dan Perkembangan Alih Fungsi Lahan Pertanian Menurut Kustiawan (1997), alih fungsi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Sejalan dengan itu Sinaga (2006), mengartikan alih fungsi lahan sebagai transformasi dalam bentuk pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya, namun secara terminologi dalam kajian land economic, pengertiannya terutama difokuskan pada proses dialihfungsikannya lahan dari lahan pertanian ke bentuk penggunaan lainnya, khususnya dalam sektor industri. Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian secara teoritis dapat dijelaskan dalam konteks ekonomi lahan yang menempatkan sumberdaya lahan sebagai faktor produksi, karena faktor-faktor ini memiliki karakteristik tertentu. Secara alamiah akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan dalam berbagai aktifitas. Menurut Utomo et. al. (1992), alih fungsi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula, seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut. Sebagai contoh yaitu berubahnya peruntukkan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan permukiman. Pengertian ketiga alih fungsi lahan di atas, pada dasarnya menekankan adanya perubahan peruntukkan lahan dari penggunaan yang satu ke penggunaan lainnya. Namun, yang perlu dicermati secara khusus adalah pengertian alih fungsi lahan yang diuraikan oleh Utomo et. al.
(1992), ”menjadi fungsi lain yang
24
berdampak negatif”. Sebenarnya menurut fakta empirik di lapangan (berdasarkan hasil penjajagan studi literatur) tidak selalu perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula menjadi fungsi yang lain berdampak negatif. Seperti penelitian yang diungkapkan Munir (2008), alih fungsi lahan memiliki dampak positif, yakni meningkatnya tingkat kesejahteraan rumah tangga petani, peningkatan tingkat keamanan, dan berkurangnya tingkat pengangguran. Walaupun begitu, kecenderungan yang terjadi adalah alih fungsi lahan lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada dampak positif. Terdapat kajian lapang yang dapat memperkuat adanya dampak negatif dari alih fungsi lahan pertanian, yakni memberikan dampak yang sangat luas dari segi sosial, ekonomi, dan budaya, sementara dampak yang dievaluasi biasanya terbatas pada masalah pengurangan produksi pangan dan pengurangan kesempatan kerja pertanian. Sebagai contoh, penelitian yang diungkapkan Sihaloho (2004), yakni alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian berimplikasi pada sulitnya mendapatkan pekerjaan atau tanah garapan bagi para petani dan buruh tani, sementara petani menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Selanjutnya Sinaga (2006) menyatakan bahwa alih fungsi
lahan
mempengaruhi
kesejahteraan
masyarakat
pedesaan,
yakni
terbatasnya aksesibilitas penguasaan dan penggunaan lahan oleh para petani. Hasil penjajagan studi literatur lainnya juga menemukan adanya pendapat lain yang mengatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional, sehingga ketahanan pangan akan menjadi rentan sebagai akibat dari ketergantungan terhadap pangan melalui kebijakan impor. Alih fungsi lahan terus terjadi dan bertambah dari tahun ke tahun. Makin maraknya alih fungsi lahan ke penggunaan lain merupakan permasalahan yang cukup serius terkait dengan keberadaan lahan di Indonesia. Berbagai bukti penelitian mengarah pada kesimpulan tersebut, seperti penelitian yang diuraikan Kustiawan (1997), yakni pada tahun 1983 hingga tahun 1994 lahan sawah di wilayah pantai utara Pulau Jawa mengalami penyusutan seluas 104.581 hektar (35,5%) atau sekitar 4.300 hektar per tahun. Perkembangan alih fungsi lahan di
25
Indonesia didisagregasi menjadi dua. Pertama, perkembangan alih fungsi lahan menurut wilayah administratif, dalam hal ini pulau. Kedua, perkembangan alih fungsi lahan menurut jenis irigasi, dalam hal ini irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan (Ilham, 2009). Menurut Iqbal (2007), berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2006, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat penurunan lahan sawah di provinsi Sumatera Selatan dengan proporsi rata-rata sekita 3,63 persen per tahun. Akan tetapi, data dari DPTPH (2006) dan Kanwil BPN (2006) memberikan gambaran sebaliknya, dimana lahan sawah di provinsi ini bertambah dengan rataan laju pertumbuhan masing-masing 1,53 persen per tahun dan 3,45 persen per tahun. Agregasi data dari ketiga instansi tersebut menunjukkan bahwa lahan sawah di Provinsi Sumatera Selatan cenderung bertambah setiap tahun. Namun demikian telaah lebih lanjut memperoleh informasi bahwa sebetulnya alih fungsi lahan ke penggunaan lain juga terjadi di Provinsi ini. Alih fungsi lahan yang cukup banyak terjadi di Provinsi Sumatera Selatan adalah dari lahan sawah ke perkebunan. Kedua penelitian yang diutarakan di atas bila ditarik garis mendapatkan suatu kesimpulan, yaitu alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian sebenarnya bukan masalah baru. Selain bersifat permanen, alih fungsi lahan juga bersifat progresif dimana hal ini terus terjadi bahkan luasnya meningkat tajam tiap tahunnya. Alih fungsi lahan tidak hanya terjadi di pulau Jawa tetapi juga terjadi di luar Pulau Jawa. Walaupun begitu alih fungsi lahan di Jawa jauh lebih besar di bandingkan di luar Pulau Jawa. Bagi daerah yang tingkat kelangkaan lahannya tinggi, seperti di Jawa, alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian sangatlah sulit dihindari. Pada intinya, alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian merupakan masalah serius yang harus dicari pemecahannya.
2.1.7.2 Tipe dan Bentuk Alih Fungsi Lahan Pertanian Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan, dan proses alih fungsi lahan, maka muncullah tipe alih fungsi lahan yang sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Penggolongan tipe alih fungsi lahan ini dapat dikaitkan dengan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih fungsi lahan. Hasil analisis faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan,
26
pelaku, pemanfaatan, dan proses alih fungsi lahan tersebut menghasilkan lima tipe alih fungsi lahan, yang tersaji dalam tabel berikut:
Tabel 2 Tipe Alih Fungsi Lahan Terkait Faktor Penyebab Terjadinya Alih Fungsi Lahan Pertanian. No. 1.
Tipe Alih Fungsi Lahan Alih Fungsi Lahan Sporadik
2.
Alih Fungsi Lahan Sistematik
3.
Alih Fungsi Lahan Adaptasi demografi Alih Fungsi Lahan Masalah Sosial
4.
5.
Alih Fungsi Lahan Adaptasi Agraris
Faktor Penyebab Terjadinya Alih Fungsi Lahan Lahan yang tidak/kurang produktif Desakan ekonomi pelaku alih fungsi lahan Sistem waris Sebagai alat pemenuhan kebutuhan, yakni: a. Pembangunan kawasan industri/Perkotaan. b. Pembangunan sarana dan prasarana c. Permukiman Kebutuhan tempat tinggal akibat pertumbuhan penduduk Adanya motivasi masyarakat untuk berubah: a. Meninggalkan kondisi lama, dan b. keluar dari sektor pertanian. Keinginan meningkatkan hasil pertanian Motivasi untuk bertani di tempat lain yang lebih produktif.
Sumber: Sihaloho (2004)
Secara rinci gambaran Tabel 2 di atas dijelaskan sebagai berikut: 1. Alih fungsi lahan gradual-berpola sporadis, dimana faktor penggerak alih fungsi lahan adalah lahan yang kurang produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku alih fungsi lahan. 2. Alih fungsi lahan sistematik berpola enclave, pola alih fungsi lahan mencakup wilayah dalam bentuk ”sehamparan tanah” secara serentak dalam waktu yang relatif sama. 3. Alih fungsi lahan adaptasi demografi, terjadi karena kebutuhan tempat tinggal akibat pertumbuhan penduduk. 4. Alih fungsi lahan akibat masalah sosial, karena adanya motivasi masyarakat untuk berubah dengan meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian. 5. Alih fungsi lahan adaptasi agraris, terjadi karena ingin meningkatkan hasil pertanian dan minat untuk bertani di tempat lain yang lebih produktif.
27
2.2
Kerangka Pemikiran Tanah merupakan salah satu jenis sumber agraria. Tanah menjadi
sumberdaya yang strategis dimana memiliki beragam fungsi bagi kehidupan manusia. Peranan tanah bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat tani berbedabeda. Hal ini dipengaruhi oleh kepentingan masing-masing pihak akan sumber agraria tersebut. Peranan tanah bagi pemerintah diduga berperan sebagai modal pembangunan infrastruktur fisik dan perumahan. Bagi swasta, berperan dalam meningkatkan surplus dan akumulasi modal. Sementara itu, bagi masyarakat tani diduga berperan dalam hal ekonomis dan sosiologis. Terkait latar belakang peran tanah bagi kehidupan manusia, pemerintah daerah di era otonomi daerah saat ini memiliki kewenangan untuk mengurusi berbagai kegiatan di ruang wilayah kekuasaannya. Adanya kewenangan tersebut memberikan hak kepada pemerintah daerah untuk menetapkan dan mengupayakan berbagai rencana dan implementasi kebijakan yang bertujuan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dengan nama “pembangunan”. Kebijakan yang diturunkan itu sendiri, baik disadari atau pun tidak memiliki pengaruh atau kekuatan yang besar dalam hal memberikan suatu intervensi bagi beragam kegiatan. Bertitik tolak dari hal tersebut penatagunaan tanah melalui kebijakan penataan ruang menjadi isu yang penting terkait dengan tujuan pemerintah daerah dalam mengejar pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Hal ini karena tanah atau lahan merupakan salah satu sumber atau objek agraria yang memiliki posisi sentral dimana menjadi modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan. Terkait dengan penatagunaan lahan, pemerintah mengalokasikan tata guna tanah yang berbeda bagi perkotaan dan pedesaan. Tata guna tanah dalam perkotaan lebih menyorot pembagian antara kawasan pemukiman, kawasan pusat kota, kawasan rekreasi, dan kawasan industri. Sementara, tata guna tanah dalam pedesaan lebih dimanfaatkan untuk kepentingan sosial dan ekonomi. Sehingga kebijakan penataan ruang yang ditetapkan memiliki pengaruh yang besar terhadap tata guna tanah, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Berdasar hal tersebut, kebijakan penataan ruang di suatu wilayah memiliki rumusan, asas, dan tujuannya sendiri. Baik disadari atau tidak, kebijakan tata ruang dapat mempengaruhi
28
fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang kini marak terjadi. Kebijakan penataan ruang mempunyai “dua mata pisau”, yakni dapat berpengaruh positif atau negatif. Berpengaruh positif ketika kebijakan penataan ruang dapat menekan laju alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Sebaliknya berpengaruh negatif apabila kebijakan yang ada justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Penelitian ini juga menelusuri, bahwa suatu kebijakan penataan ruang dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian melalui aspek di tingkat pelaksana kebijakan dan aspek di tingkat masyarakat (dalam hal ini petani yang merupakan aktor yang berperan dalam kegiatan pertanian). Aspek yang memberi peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian di tingkat pelaksana kebijakan dapat dipahami dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata ruang. Aspek yang memberi peluang terjadinya alih fungsi lahan di tingkat paling bawah (grass root), yakni masyarakat tani yang dapat dipahami dari posisi tawar (bargaining position) mereka, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi inisiatif mereka untuk berperan serta secara aktif dalam hal akses terhadap kebijakan penataan ruang. Aspek-aspek yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian dari sudut kebijakan penataan ruang tersebut menyangkut aras makro yang terkait dengan kebijakan agraria. Selanjutnya, aspek-aspek peluang tersebut baik di tingkat pelaksana maupun masyarakat tani lebih jauh dimanfaatkan oleh pihak swasta. Hal ini dilakukan oleh swasta sebagai upaya mencapai tujuannya atas sumber agraria tanah. Akibatnya, terjadi perubahan penggunaan lahan yang mengarah kepada alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian di Kampung Cibereum Sunting. Perubahan pola penggunaan lahan adalah ke bentuk penggunaan sebagai areal kompleks perumahan.
29
Gambar 2 Bagan Alur Berpikir Kebijakan Penataan Ruang Kota dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Sumber Daya Agraria “TANAH” Kepentingan Pemerintah: “Pembangunan Nasional” 1. Pembangunan Infrastruktur Fisik. 2. Perumahan
Kepentingan Masyarakat Tani: 1. Peran Ekonomis 2. Peran Sosiologis
Kebijakan Penataan Ruang: 1. 2.
Rumusan Asas dan Tujuan
Aspek-aspek yang memberikan peluang terjadinya Alih fungsi lahan pertanian dilihat dari Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang Kota
Pada Tingkat Pelaksana: 1. 2. 3.
Perencanaan Tata Ruang Pelaksanaan Ruang Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pada Tingkat Petani: ”Posisi Tawar”
Kepentingan SWASTA: Meningkatkan Surplus Akumulasi Modal
Tendensa Perubahan Penggunaan Lahan sebagai bentuk Alih Fungsi Lahan Pertanian: Kompleks Perumahan Keterangan: Hubungan mempengaruhi Hubungan Tidak Langsung Mencakup Menarik Manfaat
30
2.3
Definisi Konseptual
1. Sumber Agraria “Tanah” adalah hamparan permukaan bumi yang luas dan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia. 2. Alih fungsi lahan adalah adanya peristiwa alih fungsi lahan di luar kegiatan pertanian baik sebagian, maupun keseluruhan. Dalam hal ini, alih fungsi lahan yang dimaksud ialah proses perubahan fungsi lahan pertanian menjadi fungsi non-pertanian (pembangunan kompleks perumahan). 3. Kebijakan penataan ruang adalah kebijakan yang mengatur tata ruang kota yang berwujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang yang direncanakan (buatan) dan terwujud dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 1999-2009 dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Tahun 2002-2012, serta terkait dengan arahan pengembangan perumahan. 4. Posisi Tawar adalah terkait dengan pengetahuan petani tentang kebijakan penataan ruang meliputi pengertian dari pengetahuan petani tentang adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Aspek pengetahuan pada penelitian ini berorientasi pada upaya memperoleh
kesempatan
dalam
hal
mempertahankan
kepemilikan,
penguasaan, maupun pemanfaatan lahan di bawah intervensi kebijakan penataan ruang. 5. Perencanaan tata ruang adalah strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah perkotaan. 6. Pelaksanaan ruang adalah kegiatan wujud operasionalisasi perencanaan ruang wilayah yang mengarahkan penggunaan lahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan tata guna yang telah direncanakan. 7. Pengendalian
pemanfaatan
ruang
adalah
fungsi
kontrol
terhadap
operasionalisasi perencanaan tata ruang yang telah diputuskan, terutama terpusat pada hal-hal yang menyimpang dari aturan rencana penataan ruang tersebut.
31
2.4
Hipotesa Pengarah Adapun hipotesis pengarah yang membantu peneliti dalam mengarahkan
dan memudahkan pencarian data, antara lain: 1. Diduga terdapat peranan tanah bagi masing-masing aktor sosial (petani, pemerintah, dan swasta). 2. Diduga terdapat aspek-aspek dalam kebijakan penataan ruang yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian di wilayah perkotaan. 3. Diduga perencanaan tata ruang, pelaksanaan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. 4. Diduga posisi tawar petani mempengaruhi besarnya inisiatif mereka untuk berperan serta secara aktif dalam hal akses terhadap kebijakan penataan ruang sehingga merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi ketidakberdayaan mereka terhadap terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. 5. Diduga tendensa perubahan penggunaan lahan di Kampung Cibereum Sunting mengarah ke bentuk penggunaan sebagai kompleks perumahan.