BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1
Konsep Kemiskinan Kemiskinan merupakan isu global yang tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia
yang sedang berkembang. Kemiskinan sangat terkait dengan permasalahan kekurangan makanan, kurang gizi, keterbelakangan pendidikan, kriminalisme, pengangguran, prostitusi dan masalah-masalah lain yang bersumber dari rendahnya tingkat pendapatan perkapita penduduk. Dilihat dari sudut pandang demografis, kemiskinan merupakan anomali kemakmuran dan kesejahteraan yang justru melekat ke dalam dinamika demografis atau kependudukan. Kemiskinan merupakan problema kemanusiaan yang teramat kompleks, sehingga tidaklah sederhana penanganannya. Bahkan dalam perspektif Amartya Sen, kemiskinan berada dalam sebuah labirin yang mengeksplisitkan poverty as capability deprivation. Kemiskinan sama dan sebangun dengan ketiadaan kemampuan dalam seluruh dimensinya (Muljono, 2006). Kemiskinan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu, kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi dimana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan). Kemiskinan relatif adalah penghitungan kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan dalam suatu daerah. Namun yang menjadi alat utama ukuran kemiskinan adalah kemiskinan absolut (Vidhyandika dalam Muljono, 2006). Fenomena kemiskinan ini masih menjadi kendala utama dalam pelaksanaan program-program pemerintah, serta mendapat perhatian lebih dari akibat masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Berbagai sumber menginformasikan tentang angka kemiskinan di Indonesia dengan angka yang bervariasi, hal ini disebabkan oleh perbedaan dari definisi garis kemiskinan yang dipakai sebagai garis kemiskinan (Muljono, 2006).
Thabrany (2005) mengungkapkan bahwa definisi miskin di Indonesia memiliki beberapa versi, tergantung dari instansi yang menjadi rujukan. BKKBN mendefinisikan keluarga miskin adalah keluarga prasejahtera dan sejahtera I. BKKBN menggunakan pendekatan sosial dan ekonomi dalam mendefinisikan keluarga miskin yang mempunyai ciri-ciri, apabila tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari, seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja dan berpergian, rumah berlantai tanah dan tidak mampu membawa keluarganya ke sarana kesehatan. Sementara ILO menetapkan garis kemiskinan dengan penghasilan US$1 per hari bagi penduduk perkotaan dan US$0,80 untuk penduduk pedesaan. Dinas Kesehatan menggunakan kriteria BKKBN dan beberapa kriteria tambahan lain dalam program JPSBK, yaitu tingkat akses ke pelayanan kesehatan pemerintah, ada anggota keluarga yang putus sekolah atau tidak, frekuensi makan makanan pokok perhari kurang dari dua kali dan kepala keluarga mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Penentuan keluarga miskin ditetapkan oleh tim desa yang terdiri dari unsur kesehatan (bidan desa, TPG Puskesmas), PKK, LKMD, PLKB, tokoh agama dan pemuka masyarakat lainnya. Perbandingan jumlah anggota tim desa antara unsur pemerintah dan masyarakat harus 1:1, karena adanya ciri spesifik daerah maka kriteria miskin antar daerah bisa beragam (Litbang Depkes RI, 2000 dalam Thabrany, 2005). Menurut
BPS
2006,
terdapat
14
kriteria
untuk
menentukan
keluarga/rumahtangga miskin, yaitu : 1. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumahtangga lain. 5. Sumber penerangan rumahtangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan satu/dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan
500 m2,
buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,- per bulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga : tidak bersekolah/tidak tamat SD/hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- (lima ratus ribu), seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Jika minimal 9 variabel terpenuhi, maka dikategorikan sebagai rumahtangga miskin. Sementara itu, Sajogyo (1996) secara detail menyebutkan batas kemiskinan dibagi menjadi tiga berdasarkan pengeluaran perkapita per tahun setara dengan nilai tukar beras, untuk desa dan kota secara berturut-turut yaitu kriteria miskin = 320 Kg dan 480 Kg, sangat miskin = 240 Kg dan 360 Kg dan melarat = 180 Kg dan 270 Kg. Sebaliknya, indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) dalam Prihartini (2006) adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi dan tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Keterbatasan kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita, dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004 dalam Prihartini, 2006). Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi, jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen penduduk (BPS, 2001 dalam Prihartini, 2006) dan hanya sebagian kecil diantaranya penduduk miskin. Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ditunjukkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha juga ditunjukkan lemahnya perlindungan terhadap aset usaha dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan akses layanan perumahan dan sanitasi ditunjukkan dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan dan pertanian lahan kering dalam memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Seringkali dalam satu rumah dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Bank Dunia dalam Dharmawan (2008), menyatakan bahwa kemiskinan memiliki beberapa pengertian dan kondisi di dalamnya sesuai dengan tingkatan dan jenisnya. Masyarakat miskin dapat dilihat pada berbagai aspek berikut: 1. Miskin secara politik, mereka yang tidak memiliki akses ke pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka (politik). 2. Secara sosial, tersingkir dari institusi masyarakat yang ada. 3. Secara ekonomi, rendahnya kualitas SDM termasuk kesehatan, pendidikan, keterampilan yang berdampak kepada penghasilan. 4. Secara budaya dan tata nilai, terperangkap dalam budaya rendahnya kualitas SDM seperti rendahnya etos kerja, berpikir pendek dalam fatalism (budaya dan nilai). 5. Secara lingkungan hidup, rendahnya kepemilikan asset fisik termasuk asset lingkungan hidup seperti air bersih dan penerangan. Bank Dunia menggolongkan penghasilan kurang dari atau sama dengan US$1 per hari sebagai masyarakat miskin. Berdasarkan perhitungan ini, Bank Dunia mengasumsikan penduduk Indonesia yang miskin pada awal krisis adalah 43 persen di perkotaan dan 6 persen di pedesaan (Hillary, S dan Priscilla, M dalam Thabrany, 2005). Mubyarto dalam Thabrany (2005) menyebutkan bahwa penghasilan kurang dari Rp 75.000,00/bulan untuk pedesaan dan Rp 108.000,00/bulan untuk perkotaan atau 75 persen penghasilan untuk membeli pangan utama (beras) merupakan indikator penduduk miskin. Sementara itu, Wibowo dalam Thabrany (2005), menyebutkan patokan miskin adalah pendapatan domestik bruto dan indeks nilai tukar petani. Penelitian proyek pengembangan JPS Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Sosial (2001) ditujuh provinsi (Jateng, NTB, Kalsel, Sulteng, Sultra, Irja) dalam Thabrany (2005) menemukan kriteria miskin (gakin) yang sensitif dan kurang sensitif. Kriteria miskin atau keluarga miskin (gakin) yang sensitif adalah kriteria yang tergolong dalam perumahan dan kepemilikan barang berharga. Sementara itu, indikator kemiskinan seperti makan kurang dari dua kali sehari dan mampu membawa anggota keluarga yang sakit ke fasilitas kesehatan, kepala keluarga terkena
PHK massal dan mempunyai anak putus sekolah karena faktor ekonomi merupakan bukan isu yang sensitif. Indikator tersebut kurang sensitif karena sebagian besar keluarga miskin masih mampu makan dua kali sehari dan mampu membayar pelayanan kesehatan terutama rawat jalan. Demikian halnya dengan PHK massal dan anak putus sekolah. Thabrany (2005) menyimpulkan bahwa pada umumnya masyarakat miskin ditandai oleh beberapa hal, yaitu: 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need) seperti pangan, gizi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. 2. Unproductiveness, ketidakmampuan melakukan usaha yang produktif. 3. Inaccessibility, ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi baik akibat rendahnya daya tawar (bargaining position) maupun keterbatasan modal, teknologi dan sumberdaya manusia. 4. Vulnerability, mudah jatuh dalam kemiskinan (rentan) akibat berbagai resiko seperti penyakit, bencana alam, kegagalan panen, dan sebagainya sehingga harus menjual asset produksinya. Kerentanan ini sering disebut poverty rackets atau roda penggerak kemiskinan. 5. No freedom for poor, tidak memiliki kepercayaan diri dan mental untuk terbebas dari warisan kemiskinan. Thabrany (2005) pun menyatakan bahwa, penduduk miskin di Indonesia dapat digolongkan dalam dua kelompok sebagai berikut: 1. Chronic poverty (kemiskinan kronik). Kemiskinan yang terjadi terus-menerus dari tahun ke tahun atau generasi ke generasi. 2. Transient poverty (kemiskinan sementara). Kemiskinan ini ditandai dengan penurunan pendapatan sebagai akibat perubahan siklus ekonomi dan kondisi krisis lainnya. Penduduk miskin tipe ini relatif lebih mudah diangkat taraf hidupnya karena mereka memiliki kepercayaan diri dan kapasitas yang relatif baik.
Selain faktor di atas, menurut Thabrany (2005) kemiskinan di Indonesia dapat dilihat juga dari empat dimensi pokok, yaitu: 1. Lack of opportunity, kurang kesempatan untuk berusaha. 2. Low of capabilities, rendahnya kemampuan dalam berbagai sektor. 3. Low level of security, kurangnya jaminan terutama jaminan sosial seperti kesehatan. 4. Low of capacity or empowerment, ketidakberdayaan. 2.1.2
Konsep Kesehatan Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Pasal 28H UUD
45 pada tahun 2000, untuk pertama kalinya kata-kata “kesehatan” masuk dalam UUD 45, yang menyatakan “….setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”. Pencantuman hak terhadap pelayanan kesehatan bertujuan untuk menjamin hak-hak kesehatan yang fundamental sesuai dengan deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB di tahun 1947. Penjaminan hak diperkuat lagi dengan amandemen UUD 45 pada tanggal 11 Agustus 2002 pasal 34 ayat 2 “Negara mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat…” dan ayat 3 “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan…”. Amandemen ketiga pasal tersebut, mengindikasikan bahwa tugas pemerintah yaitu secara eksplisit menempatkan kesehatan sebagai bagian utama dari pembangunan rakyat yang harus tersedia secara merata bagi seluruh rakyat. Dengan kata lain, prinsip ekuitas telah ditancapkan dalam UUD 45 sehingga pemerintah pusat dan daerah kini tidak bisa lagi menghindar dari penyediaan anggaran yang lebih besar bagi sektor kesehatan atau mengembangkan sebuah sistem jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat (Thabrany, 2008). Istilah kesehatan sendiri didefinisikan dalam Undang-undang No 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok Bab I pasal 2 sebagai kesehatan yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Definisi kesehatan tersebut sangat mirip dengan definisi yang dianut oleh Organisasi Kesehatan Sedunia sebagai berikut: “health is definied as a
state of complete physical, mental, and social wellbeing and not merely the absence of disease or infirmity”. Seperti tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 23 tahun 1992 Bab I pasal l, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis. Ketiga definisi tersebut, memberi arti yang luas pada kata kesehatan. Berdasarkan definisi tersebut, seseorang belum dianggap sehat sekalipun ia tidak berpenyakit jiwa dan/ataupun raga. Seseorang baru dinyatakan sehat, apabila sehat secara sosial juga. Hal tersebut dianggap penting karena penyakit yang diderita seseorang/sekelompok masyarakat umumnya sangat ditentukan oleh perilakunya/keadaan sosial budayanya yang tidak sehat (Slamet, 2006). Sedangkan kesehatan masyarakat, menurut Winslow (1920) dalam Slamet (2006) adalah ilmu dan kiat untuk mencegah penyakit, memperpanjang hidup serta meningkatkan kesehatan dan efisiensi masyarakat melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk sanitasi lingkungan, pengendalian penyakit menular, pendidikan higiene perseorangan, mengorganisir pelayanan medis dan perawatan agar dapat dilakukan diagnosis dini dan pengobatan pencegahan serta membangun mekanisme sosial sehingga setiap insan dapat menikmati standar kehidupan yang cukup baik untuk dapat memelihara kesehatan. Dengan demikian, setiap warga negara dapat menyadari haknya atas kehidupan yang sehat dan panjang (Laevell dalam Slamet, 2006). Anwar (2001) dalam Khoiriyati (2002), menyatakan bahwa status kesehatan seseorang dapat dikelompokkan menjadi dua kondisi yaitu, gangguan kesehatan (fisik, psikis, sosial) dan hilangnya waktu produktif (berapa lama waktu produktif yang hilang karena seseorang atau kelompok penduduk mengalami sakit, cacat atau mati). Beberapa peneliti melakukan penelitian tentang keterkaitan antara derajat kesehatan dan tingkat produktivitas tenaga kerja di bidang pertanian sepakat bahwa derajat kesehatan yang baik akan merangsang keinginan untuk meningkatkan produktivitas dan mendorong terjadinya peningkatan kreativitas. Tjiong (1995)
mengungkapkan bahwa upaya kesehatan pada umumnya ditafsirkan sebagai segala bentuk kegiatan yang ditunjukkan untuk meningkatkan derajat kesehatan suatu masyarakat, yang berarti mencakup pula kegiatan penyuluhan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan (rehabilitasi). Upaya kesehatan itu sendiri dapat dilakukan oleh siapa saja, baik dari pemerintah, guru, dokter, pengusaha dan sebagainya. Gani (2007) mengungkapkan bahwa derajat kesehatan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat miskin masih jauh tertinggal dibanding derajat kesehatan masyarakat di negara-negara ASEAN lainnya. Hal tersebut terjadi sebagai akibat Indonesia menghadapi beban ganda dalam pembangunan kesehatan, dimana masih menghadapi peningkatan beberapa penyakit menular (re-emerging diseases) dan adanya kecenderungan penyakit tidak menular atau degeneratif mulai meningkat di masyarakat. Selain itu, telah timbul pula berbagai penyakit baru (new-emerging diseases). Keadaan tersebut terjadi karena rendahnya kesadaran penduduk Indonesia untuk hidup sehat, upaya kesehatan yang belum dikaitkan dengan pembangunan sumber daya manusia, peraturan perundangan kesehatan yang tidak mendukung, ditambah lagi dengan keadaan perekonomian negara yang belum stabil, dimana masih banyak penduduk miskin dan tingginya pengangguran sehingga daya beli menjadi rendah, termasuk juga akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat, pemerintah menetapkan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia. Khoiriyati (2002) menyatakan bahwa, pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk lebih meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas kehidupan yang ditandai oleh meningkatnya usia harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi dan ibu melahirkan (merupakan komponen dasar dari indikator Indeks Pembangunan Manusia), meningkatnya kesejahteraan keluarga dan masyarakat, meningkatnya produktivitas kerja serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya perilaku hidup sehat. Sehingga kesehatan berpengaruh terhadap kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia.
2.1.3
Perilaku Sehat Blum (1974) dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan secara garis besar
faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan baik individu, kelompok, maupun masyarakat, dikelompokkan menjadi empat, yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok dan masyarakat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan status kesehatan, maka salah satu upayanya yaitu dengan meningkatkan kesadaran untuk berperilaku sehat pada kehidupan sehari-hari bagi seluruh masyarakat. Perilaku sehat akan menunjang produktivitas kerja setiap orang. Hidup yang teratur dan memperhatikan faktor kesehatan meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan waktu. Notoatmodjo (2003) menyatakan perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Perilaku kesehatan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu perilaku pemeliharaan kesehatan, perilaku pencari pengobatan dan perilaku kesehatan lingkungan. Perilaku kesehatan dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Sarwono, 2005 dalam Utami, 2008). Perilaku hidup sehat meliputi semua aktivitas yang dilakukan sejak bangun tidur sampai tidur kembali, termasuk perilaku makan. Praktiknya dalam kehidupan sehari-hari mencakup serangkaian aktivitas seperti makan teratur, melakukan olahraga secara teratur, tidur yang cukup, menghindari rokok, melakukan aktivitas seksual yang sehat dan aman, serta mencari pertolongan medis segera bila merasakan ada tanda atau gejala dini dari suatu kondisi penyakit tertentu (Elvira, 2005 dalam Utami, 2008). Notoatmodjo (2003) menyatakan perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Perilaku tersebut mencakup makan dengan menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, tidak
minum-minuman keras dan narkoba, istirahat cukup, mengendalikan stres, perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan. Bloom (1908) dalam Notoatmojo (2003) membagi perilaku manusia ke dalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Perkembangannya, teori Bloom dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yaitu: 1. Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah penginderaan terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu mengetahui, memahami, menggunakan, melakukan analisa, melakukan sintesa dan evaluasi. Pengetahuan merupakan ranah kognitif dan merupakan domain yang penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Pada proses adopsi perilaku, perilaku yang dilandasi pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Adopsi perilaku dimulai dari tahap kesadaran, tertarik, evaluasi, mencoba dan adopsi. Apabila penerimaan perilaku melalui proses tersebut didasari pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka hasilnya akan bersifat langgeng (long lasting). 2. Sikap (Attitude) Sikap dan nilai berkaitan dengan ranah afektif manusia (Sudjiono , 2006 dalam Utami, 2008). Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan namun menunjukkan
kecenderungan
berperilaku.
Sikap
mengandung
komponen
kepercayaan, emosi, atau evaluasi dan kecenderungan bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh dan dalam pembentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Sikap memiliki empat tingkatan yaitu, menerima, merespon, menghargai dan bertanggungjawab.
3. Praktik atau Tindakan (Practice) Tindakan nyata dilakukan setelah mengobservasi stimulus dan penilaian terhadap objek kesehatan. Apabila ingin mewujudkan sikap menjadi suatu tindakan nyata, maka diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Praktik mempunyai beberapa tingkatan yaitu persepsi, respon terpimpin, mekanisme, dan adopsi. Menurut Sudjiono (2006) dalam Utami (2008), ranah psikomotor atau praktik berkaitan dengan keterampilan atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Praktik merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif dan belajar afektif. Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), untuk menumbuhkan perilaku tersebut dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni: 1) Faktor
Predisposisi
(predisposing
factor).
Faktor-faktor
ini
mencakup
pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. 2) Faktor Pemungkin (enambling factor). Faktor-faktor ini mencakup ketesediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, ketersediaan makan bergizi dan sebagainya. 3) Faktor Penguat (reinforcing factor). Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat atau pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
2.1.4
Peran Pemerintah dalam Pendanaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin Peranan menurut Maiolo et al. (1991) dalam Dharmawan (2008) adalah hak
dan kewajiban yang berkaitan atau melekat pada status yang didefinisikan secara sosial. Berdasarkan pengertian ini peranan pemerintah dapat dipandang sebagai hak dan kewajiban suatu badan tertinggi dalam negara untuk mengelola negara secara baik dan teratur sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Peran pemerintah dalam pembangunan kesehatan di Indonesia ditandai dengan pembentukan program-program dalam upaya kesehatan. Tahun 1970 ditandai dengan muncul dan meluasnya proyek pembangunan kesehatan pedesaan pada koordinasi lintas sektor. Sebagai hasilnya, sejumlah proyek kesehatan yang inovatif mulai dirintis dibanyak desa dengan menggunakan teknologi dan strategi yang tepat guna dan dapat diterima oleh masyarakat. Akhir tahun 1960-an terdapat program kesehatan masyarakat yaitu “Dana Sehat”. Dana sehat ini dipakai untuk keperluan dasar medis dan mencakup bidang lebih luas yaitu kegiatan pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan dan perawatan kuratif, termasuk pola pengembangan ekonomi skala kecil. Selain itu juga terdapat Program Banjarnegara merupakan salah satu upaya yang menawarkan pendekatan alternatif untuk mencapai tujuan ganda pembangunan kesehatan masyarakat dan pengembangan masyarakat desa (Dinkes, 1990). Menurut penelitian Arifianto dkk (2005), di Sumba Timur sebenarnya asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin telah tersedia sejak 2003. Mulanya dikelola Bapel yang dibentuk Pemerintah Daerah (Pemda) Sumba Timur. Tahun 2005, program yang menyediakan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (JPKGakin) tidak hanya dikelola Bapel, tapi juga oleh PT Askes. Namun, pembiayaan kesehatan tersebut dirasakan kurang memadai masyarakat masih harus membayar lebih banyak secara langsung (penggunaan dan pribadi). Sehingga ketidakberdayaan masyarakat miskin dalam akses pelayanan kesehatan dengan pembiayaan subsidi dari pemerintah. Hal tersebut menyebabkan pembiayaan subsidi sebagian besar masih dinikmati oleh orang mampu. Kartu sehat bagi kaum miskin telah didistribusikan dengan baik dan digunakan untuk mendapatkan layanan medis di Puskesmas (termasuk Pustu dan Polindes). Kartu sehat digunakan oleh 16 persen pasien di Puskesmas pada tahun 2004, sedangkan hanya 0,12 persen pasien menggunakan kartu ini di rumah sakit. Asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin telah tersedia sejak tahun 2003. Awalnya dikelola oleh Bapel yang dibentuk Pemerintah Daerah (Pemda) Sumba Timur.
Program yang menyediakan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (JPK-Gakin) tidak hanya dikelola Bapel, tetapi juga oleh PT Askes. Menurut Thabrany (2005), pemerintah Indonesia telah menyelenggarakan pendanaan kesehatan bagi penduduk miskin sejak dua dekade yang lalu. Model pendanaan kesehatan untuk penduduk miskin dapat dilihat dalam dua periode, yaitu periode sebelum krisis moneter (krismon) tahun 1997 dan periode setelah krismon. Program-program pendanaan kesehatan untuk masyarakat miskin sebelum prakrismon contohnya yaitu, Inpres Desa Tertinggal (IDT), Kredit Usaha Kecil (KUK), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kartu Sehat (KS), Inpres obat, subsidi tarif, Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK), Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial (PDPSE BKKS) dan Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS). Semua program prakrismon tidak berjalan berkesinambungan sehingga akses penduduk miskin pada pelayanan kesehatan mengalami ketidakpastian. Sumber dana pendanaan kesehatan penduduk miskin praktisi berasal dari berbagai departemen, seperti Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD) Tingkat I dan Tingkat II. Guna menanggulangi dampak krisis dalam bidang kesehatan pemerintah meluncurkan program darurat (rescue) untuk rakyat miskin yang dikenal dengan JPSBK dan mulai berjalan efektif pada tahun 1998. Dana program ini berasal dari pinjaman Asian Development Bank (ADB). Pinjaman ini disalurkan dalam proyek Social Protection Sector Development Program (SPSDP) yang berjalan di delapan provinsi dan Health Nutrition Sector Development Project (HNSDP). Seiring dengan itu, pemerintah mulai mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sejak awal tahun 2002. Sebagian dana dari pengurangan subsidi ini disalurkan pada pelayanan kesehatan yang dikenal dengan program PDPSE-BK. Akhir juni 2002 Menkes RI mengeluarkan keputusan menetapkan Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPSBBM-BK) menggatikan PDPSE-BK. Program-program pendanaan kesehatan bagi masyarakat miskin tersebut hanya berganti nama menjadi JPK-Gakin, kemudian Askeskin dan sekarang dikenal dengan nama Jamkesmas.
2.1.5
Program Jamkesmas Seperti yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, untuk
menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak awal agenda 100 hari Pemeintah Kabinet Indonesia Bersatu telah berupaya untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan kebijakan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui penugasan PT Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes/SK/XI/2004, tentang penugasan PT Askes (Persero) dalam pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat miskin mengacu pada prinsip-prinsip seperti dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk sematamata peningkatan derajat kesehatan masyarakat miskin, menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang ‘cost efective’ dan rasional, pelayanan terstruktur, berjenjang dengan portabilitas dan ekuitas, transparan dan akuntabel. Atas dasar pertimbangan untuk pengendalian biaya pelayanan kesehatan, peningkatan mutu, transparasi dan akuntabilitas dilakukan perubahan pengelolaan program Jaminan Kesehatan Masyarakat miskin pada tahun 2008. Perubahan mekanisme yang mendasar adalah adanya pemisahan peran pembayar dengan verifikator melalui penyaluran dana langsung ke Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dari Kas Negara, penggunaan tarif paket Jaminan Kesehatan Masyarakat di RS, penempatan pelaksana verifikasi di setiap Rumah Sakit, pembentukan tim pengelola dan tim koordinasi di tingkat Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota serta penugasan PT Askes (Persero) dalam manajemen kepersetaan. Program ini
berganti nama
menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat yang disebut juga dengan Jamkesmas dengan tidak ada perubahan jumlah sasaran. Jamkesmas adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan bersama oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan kontribusi sehingga menghasilkan pelayanan yang optimal. Tujuan umum penyelenggaraan Jamkesmas adalah meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Sedangkan tujuan khususnya ialah meningkatkan cakupan masyarakat miskin dan tidak mampu yang mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas serta jaringannya di Rumah Sakit, meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. Sasaran program ini adalah masyarakat miskin dan tidak mampu di seluruh Indonesia sejumlah 76,4 juta jiwa (BPS, 2006), tidak termasuk yang mempunyai jaminan kesehatan lainnya. Program ini telah berjalan memasuki tahun keempat dan telah banyak hasil yang dicapai terbukti dengan terjadinya kenaikan yang luar biasa dari pemanfaatan program ini dari tahun ke tahun oleh masyarakat miskin dan pemerintah telah meningkatkan jumlah masyarakat yang dijamin maupun pendanaanya. Namun, disamping keberhasilan yang telah dicapai, masih terdapat beberapa permasalahan yang perlu dibenahi antara lain kepesertaan yang belum tuntas, peran fungsi ganda sebagai pengelola, verifikator dan sekaligus sebagai pembayar atas pelayanan kesehatan, verifikasi belum berjalan dengan optimal, kendala dalam kecepatan pembayaran, kurangnya pengendalian biaya, penyelenggara tidak menanggung resiko (Depkes RI, 2008)
2.2 Kerangka Pemikiran Apabila dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya, Indonesia memiliki derajat kesehatan yang jauh tertinggal terutama derajat kesehatan masyarakat miskin (Thabrany, 2005). Oleh karena itu, pemerintah telah meluncurkan beberapa program berupa bantuan sosial untuk penjaminan pelayanan kesehatan secara nasional bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan masyarakat miskin. Program pelayanan kesehatan yang sedang berjalan saat ini adalah Jamkesmas. Program ini diselenggarakan secara nasional dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Tujuan umum penyelenggaraan Jamkesmas adalah meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien (Depkes RI, 2008). Program ini telah dilaksanakan sejak awal tahun 2008 Di Kelurahan Cibadak, Bogor, dengan jumlah peserta sebanyak 2.058 jiwa, 458 KK. Penetapan jumlah peserta Jamkesmas mengacu pada standar rumahtangga miskin dari BPS 2006 yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara nasional oleh Menkes RI. Menurut masyarakat Kelurahan Cibadak, penggunaan kriteria miskin oleh BPS 2006 dirasakan masih kurang sensitif dan kurang tepat sasaran, masyarakat mempunyai indicator kemiskinan sendiri sehingga masih banyak warga miskin di Kelurahan Cibadak yang tidak mendapatkan kartu Jamkesmas, sedangkan masyarakat mampu mendapatkan kartu Jamkesmas. Hal tersebut menyebabkan kurang tepat sasaran dalam penentuan peserta Jamkesmas. Berkaitan dengan realitas kemiskinan, perilaku masyarakat dalam hidup sehat pun mempunyai pengaruh terhadap status kesehatan masyarakat guna mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Sampai saat ini, sebagian anggota masyarakat miskin masih belum berperilaku hidup bersih dan sehat. Hal tersebut diakibatkan karena sebagian masyarakat masih belum menyadari kesehatan merupakan sektor yang penting bagi kehidupan serta kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan.
Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok dan masyarakat. Selain perilaku, banyak faktor yang mempengaruhi status kesehatan baik individu, kelompok, maupun masyarakat, yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan dan keturunan (Blum 1974 dalam Notoatmodjo, 2003). Faktor
yang
diduga
mempengaruhi
perilaku
dalam
penelitian
ini
menggunakan kerangka pemikiran yang dikemukakan Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) yaitu: faktor predisposisi (predisposising factor) yang mencakup tingkat pengetahuan, sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Selain itu juga, faktor pemungkin (enambling factor) yang mencakup persepsi terhadap ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, ketersediaan makan bergizi dan sebagainya. Untuk keterangan lebih lanjut, dapat dilihat pada Gambar 1
Lingkungan dan Pelayanan Kesehatan
Status Kesehatan Masyarakat Miskin Rendah
Pelaksanaan program Jamkesmas
Tidak tepat sasaran
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang: 1) Pengetahuan tentang kesehatan 2) Sikap terhadap kesehatan 3) Tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. 4) Tingkat pendidikan. 5) Tingkat pendapatan. 6) Persepsi terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
Realitas kemiskinan: 1. Indikator miskin menurut komunitas 2. Indikator miskin menurut BPS 2006.
Perilaku hidup sehat: (makan menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, istirahat cukup, kebiasaan mencuci tangan)
Keterangan: : Berhubungan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Inkosistensi antara Konsep dan Implementasi pada Program Jamkesmas 2.3 Hipotesis Pengarah Agar penelitian ini terarah dalam pengumpulan, penggalian dan analisis data, maka dirumuskan hipotesis pengarah dan beberapa hipotesis uji. Adapun hipotesis
pengarah yaitu diduga program jamkesmas tidak tepat sasaran karena masih terdapat perbedaan indikator miskin antara pemerintah dan komunitas.
Hipotesis Uji 1. Terdapat hubungan positif antara perilaku hidup sehat dengan status kesehatan seseorang. 2. Terdapat hubungan positif antara lingkungan yang bersih dengan status kesehatan seseorang. 3. Terdapat hubungan positif antara pelayanan kesehatan dengan status kesehatan seseorang. 4. Terdapat hubungan positif antara tingkat pengetahuan mengenai kesehatan dengan perilaku hidup sehat. 5. Terdapat hubungan positif antara sikap seseorang terhadap kesehatan dengan perilaku hidup sehat. 6. Terdapat hubungan positif antara tingkat pendapatan dengan perilaku hidup sehat. 7. Terdapat hubungan positifantara tingkat pendidikan dengan perilaku hidup sehat. 8. Terdapat hubungan positif antara tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan kesehatan dengan perilaku hidup sehat. 9. Terdapat hubungan positif antara ketersediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat dengan perilaku hidup sehat.
2.4 Definisi Operasional 1. Perilaku sehat ialah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Perilaku ini terdiri dari tiga unsur yaitu, pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang dalam berperilaku sehat. Perilaku tersebut meliputi, perilaku dalam makan menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, istirahat cukup, kebiasaan mencuci
tangan, penggunaan air bersih. Variabel perilaku sehat diukur berdasarkan skor total jawaban mengenai tindakan/perilaku hidup sehat responden pada kuesioner. Skor perilaku positif: 19-36 Skor perilaku negatif: 0-18 2. Lingkungan ialah keadaan lingkungan fisik sekitar rumah yang diduga mempengaruhi status kesehatan, meliputi kondisi rumah, sarana air bersih dan air minum, serta sarana saluran pembuangan. Variabel lingkungan diukur berdasarkan skor total jawaban mengenai kondisi lingkungan fisik responden pada kuesioner. Skor lingkungan baik: 9-17 Skor lingkungan buruk: 0-8 3.
Pelayanan kesehatan ialah pelayanan yang meliputi mutu pelayanan yang diberikan jasa para staf medis, akes menuju pusat pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan bagi masyarakat miskin. Variabel lingkungan diukur berdasarkan skor total jawaban mengenai tingkat pelayanan kesehatan pada kuesioner. Skor pelayanan baik: 11-21 Skor pelayanan buruk: 0-10
4. Status kesehatan adalah status kesehatan yang diukur dari kejadian sakit yaitu pernah atau tidaknya menderita penyakit (frekuensi terkena penyakit) pada tiga bulan terakhir dari waktu pengambilan data. Variabel status kesehatan diukur berdasarkan skor total jawaban mengenai status kesehatan responden pada kuesioner. Skor status kesehatan baik: 2 Skor status kesehatan buruk: 1 5. Pengetahuan tentang kesehatan ialah ilmu dan pengetahuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hidup sehat, yaitu jenis penyakit dan cara pencegahan serta cara pengobatannya, makanan yang termasuk menu seimbang (empat sehat lima sempurna), manfaat olahraga teratur, bahaya merokok, istirahat cukup, kebiasaan
mencuci tangan. Variabel pengetahuan diukur berdasarkan skor total jawaban mengenai tingkat pengetahuan responden pada kuesioner. Skor pengetahuan tinggi: 9-15 Skor pengetahuan rendah: 0-8 6. Sikap terhadap kesehatan ialah penilaian seseorang terhadap perilaku hidup sehat. Sikap ini meliputi, sikap mengenai makan menu seimbang, olahraga teratur, bahaya merokok, istirahat cukup, kebiasaan mencuci tangan. Variabel sikap diukur berdasarkan skor total jawaban mengenai sikap responden pada kuesioner Skor sikap positif: 13-24 Skor sikap negatif: 0-12 7. Tradisi dan kepercayaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan ialah nilai atau norma yang telah melekat dalam diri seseorang mengenai segala tindakan untuk menjaga kesehatan, cara pengobatan yang dilakukan apabila sedang sakit dan tempat melakukan persalinan. Variabel tradisi dan kepercayaan diukur berdasarkan nilai nominal dan pengujian statistik Chi-Square sehingga tidak ada tingkatan. 8. Tingkat
pendidikan
ialah
jenjang
pendidikan
terakhir
individu
dalam
mempengaruhi segala perilakunya mengenai hidup sehat. Indikator pendidikan yaitu: Pendidikan rendah: tidak sekolah/tidak tamat SD/SD Pendidikan sedang: tingkat SMP sederajat dan SMA sederajat Pendidikan tinggi: Perguruan Tinggi 9. Tingkat pendapatan ialah tingkat penghasilan kotor yang diperoleh selama satu bulan, baik yang diperoleh dari usaha pokok maupun usaha sampingan, maupun dari sumber-sumber lain. Indikator pendapatan menurut BPS 2006 yaitu: Pendapatan rendah:
Rp. 600.000,00 per bulan.
Pendapatan tinggi: > Rp. 600.000,00 per bulan. 10. Persepsi ketersediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat ialah tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang dapat menunjang masyarakat miskin dalam berperilaku sehat. Fasilitas disini yaitu, sarana air bersih, tempat pembuangan
sampah di rumah, tempat pembuangan sampah sementara, ketersediaan warung yang menyediakan makanan empat sehat lima sempurna, ketersediaan fasilitas olahraga. Variabel persepsi ketersediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat diukur berdasarkan skor total jawaban mengenai ketersediaan fasilitas kesehatan pada kuesioner. Skor fasilitas memadai : 4-6 Skor fasilitas tidak memadai : 0-3