6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1.
Definisi dan Konsep Perubahan Sosial Soemardjan dan Soemardi (1964) menyatakan bahwa setiap masyarakat
semasa hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan. Ada perubahan yang tidak menarik perhatian orang, ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi lambat dan ada pula yang berjalan dengan sangat cepatnya. Lebih jauh Soemardjan dan Soemardi menyatakan bahwa perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai pergeseran norma, nilai, pola-pola perilaku orang, susunan organisasi dan stratifikasi kemasyarakatan. Kingsley Davis dikutip Basrowi (2005) mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Sementara itu Samuel Koenig dikutip Basrowi (2005) mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola kehidupan manusia. Definisi lain mengenai perubahan sosial dikemukakan Bruce J. Cohen dikutip Syarbaini et al. (2002) bahwa perubahan sosial adalah suatu perubahan struktur dan perubahan organisasi sosial. Misalnya, perubahan dalam satu segi dari kehidupan sosial oleh karena menunjukkan terjadi perubahan dalam struktur, dalam perubahan itu adalah sistem dalam pergaulan sosial yang menyangkut nilainilai sosial dan budaya masyarakat. Namun, secara umum Pudjiwati Sajogyo dikutip Salim (2002) membatasi pengertian perubahan sosial dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas. Perubahan sosial dapat menyangkut „struktur sosial‟ atau „pola nilai‟ dan „norma‟ serta „peranan‟. Dengan demikian istilah yang lebih lengkap adalah perubahan sosial dan kebudayaan. Perubahan sosial merupakan proses wajar dan akan berlangsung terus menerus. Namun menurut Basrowi (2005) tidak semua perubahan sosial menuju ke perubahan yang positif sehingga perubahan ini penting dibicarakan. Perubahan sosial dapat terjadi pada level individu, kelompok, organisasi, institusi dan masyarakat. Sebagai contoh, perubahan dalam level individu akan meliputi perubahan dalam sikap, kepercayaan, aspirasi dan motivasi. Pada level
7
kelompok, akan mungkin terjadi perubahan dalam pola interaksi, komunikasi, metode penyelesaian konflik, kohesi atau keterikatan, kesatuan, kompetisi, serta pola-pola penerimaan atau penolakan. Sementara pada level organisasi ruang lingkup perubahan meliputi perubahan dalam struktur dan fungsi dari organisasi, perubahan dalam hirarki, komunikasi, hubungan peranan, produktivitas, rekrutmen, pengakhiran atau terminasi dan pola-pola sosialisasi. Pada level institusi, perubahan dapat terjadi pada perubahan pola perkawinan dan keluarga, pendidikan dan praktek-praktek keagamaan. Pada level masyarakat, perubahan dipandang sebagai modifikasi dari sistem stratifikasi, sistem ekonomi dan sistem politik (Vago dikutip Yulianto 2010). Mempelajari perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat penting untuk mengetahui sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya perubahan. Salah satu faktor penyebab perubahan sosial dan pola kebudayaan adalah technological determinism (perkembangan sistem). Perubahan sistem dapat menyebabkan timbulnya peranan-peranan baru yang menuntut cara dan pandangan hidup baru, bila diikuti oleh makin banyak anggota masyarakatnya akan melembaga sebagai orientasi nilai budaya baru masyarakat tersebut (Pudjiwati Sajogyo dikutip Tahir 1996). 2.1.2. Teori-teori Modern mengenai Perubahan Sosial Sebagaimana dikutip dari Sunarto (1993) bahwa teori-teori modern yang terkenal antara lain, Teori Modernisasi para penganut pendekatan fungsionalisme seperti Neil J. Smelser dan Alex Inkeles, Teori Ketergantungan Andre Gunder Frank yang merupakan pendekatan konflik dan Teori Sistem Dunia dari Wallerstein. Pertama, Teori Modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan yang sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi. Teori ini berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat yang belum berkembang perlu mengatasi berbagai kekurangan dan masalahnya sehingga dapat mencapai tahap “tinggal landas” ke arah perkembangan ekonomi. Schrool (1980) menguraikan proses modernisasi secara lebih rinci sebagai berikut: 1) Perubahan yang ada sebagai proses transformasi dari masyarakat tradisional ke modern; 2)
8
Sebagai tumbuhnya industrialisasi seperti yang terjadi di Barat; 3) Sebagai tumbuhnya ilmu pengetahuan; 4) Sebagai usaha mengejar ketertinggalan dari negara maju; 5) Secara politis merupakan proses bertambahnya pengaruh dan tugas birokrasi negara; 6) Secara sosiologis dan antropologis sebagai proses diferensiasi sosial dan pembesaran skala. Kedua, Teori Ketergantungan. Teori ini berdasarkan pengalaman negaranegara Amerika Latin yang mengatakan bahwa perkembangan negara-negara industri dan keterbelakangan negara-negara dunia ketiga berjalan bersamaan dikala negara industri mengalami perkembangan, maka negara maju mengalami kolonialisme dan neokolonialisme, khususnya di Amerika Latin. Menurut pandangan ini hubungan antara negara industri maju (pusat, center) dengan negara sedang berkembang (pinggiran, periphery) adalah suatu hubungan eksploitatif, dimana keuntungan mengalir dari pinggiran ke pusat melalui penguasaan ekonomi di dunia. Negara sedang berkembang tergantung pada negara industri maju dalam hal modal dan sistem. Ketiga, Teori Sistem Dunia yang mengatakan bahwa perekonomian kapitalis dunia kini tersusun atas tiga jenjang: negara inti, semiperiferi dan negara periferi. Negara inti mendominasi sistem dunia sehingga mampu memanfaatkan sumberdaya negara lain untuk kepentingan mereka sendiri sedangkan kesenjangan antara negara inti dengan negara lain sedemikian lebarnya sehingga tidak mungkin tersusul lagi. 2.1.3. Perspektif Perubahan Sosial Sebagaimana dikutip dari Lauer (2006), terdapat empat perspektif perubahan sosial yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut; pertama, Perspektif Materialistis yang dikemukakan Thorstein Veblen (1857-1929). Ia melihat tatanan masyarakat sangat ditentukan oleh sistem. Veblen terutama memusatkan perhatian pada pengaruh sistem terhadap pikiran dan perilaku manusia. Pemikiran Veblen ini dikembangkan oleh Ogburn (1886-1959) yang masih memusatkan perhatian pada perkembangan sistem dan mengembangkan konsep “ketinggalan kebudayaan”. Menurut pandangan ini ada beberapa cara sistem menyebabkan perubahan yaitu; 1) Sistem meningkatkan alternatif kita.
9
Sistem baru membawa cita-cita yang sebelumnya tak dapat dicapai ke dalam alam kemungkinan dan dapat mengubah kesukaran relatif atau memudahkan menyadari nilai-nilai yang berbeda. Jadi, dengan inovasi sistem berarti masyarakat berhadapan dengan sejumlah besar alternatif dan jika ia memilih alternatif baru, maka ia memulai perubahan besar di berbagai bidang, 2) Sistem mengubah polapola interaksi. Segera setelah inovasi sistem diterima, mungkin akan terjadi pergeseran penting tertentu dalam pola interaksi, pergeseran yang dituntut oleh sistem itu sendiri; 3) Kecenderungan perkembangan sistem menimbulkan masalah sosial baru. Adanya masalah ini menimbulkan semacam tanggapan yang dapat mengakibatkan berbagai perubahan untuk menyelesaikannya. Kedua, Perspektif Idealistis, berpandangan bahwa ide yang menyebabkan perubahan. Pendekatan filsafat modern oleh Whitehead yang mencoba menunjukkan cara ide mendorong manusia mengubah tatanan sosial mereka. Pendirian teoritisi idealis memberikan ide satu tempat dominan dalam perubahan sosial. Secara garis besar, ide menyebabkan perubahan dengan cara mencegah, merintangi, membantu atau mengarahkan perubahan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut; 1) Ideologi sebagai perintah perubahan. Karl Mannheim mendefinisikan ideologi sebagai sistem ide yang menghasilkan perilaku yang mempertahankan
tatanan
yang
ada;
2)
Ideologi
sebagai
faktor
yang
mempermudah perubahan; 3) Ideologi sebagai mekanisme pengarah perubahan. Cara lain ideologi mempengaruhi perubahan adalah dengan mengarahkannya, memaksa perubahan menuruti arah tertentu menurut logika ideologi itu. Ketiga, Perspektif Interaksionis yang berpandangan bahwa ada hubungan antara faktor materiil dan ide. Pandangan ini menyatakan terdapat interaksi antara faktor materiil dan ide dan bobot keduanya kurang lebih seimbang. Aspek keseimbangan pengaruh kedua faktor inilah yang membedakan pandangan interaksionis dengan pendirian Marxis dan Idealis yang mengakui juga interaksi keduanya, tetapi memberikan tekanan pada salah satu faktor, materiil atau ide. Keempat, Perspektif yang merupakan variasi dari ketiga pendirian di atas (Marxis, Idealis dan Interaksionis). Menurut pandangan ini, faktor ide dan materiil berubah bersama-sama meskipun tidak harus serentak dan tidak mungkin mengetahui hubungan kausalnya.
10
2.1.4. Proses Perubahan Sosial Sebagaimana yang dikutip dari Syarbaini et al. (2002) bahwa proses perubahan sosial meliputi; 1) Penyesuaian terhadap perubahan. Masyarakat selalu menghendaki keseimbangan sosial, dimana berbagai lembaga sosial yang inti atau pokok diharapkan tetap berfungsi secara baik. Setiap kali terdapat gangguan terhadap keseimbangan (dinamika sosial) selalu distabilkan melalui perubahan lembaga sosial atau orang perorangan yang menyesuaikan diri pada perubahan (conformity); 2) Saluran perubahan sosial. Pada umumnya saluran proses perubahan masyarakat adalah bidang pemerintahan, perekonomian, keagamaan, pendidikan, rekreasi atau wisata, dan sebagainya. Saluran mana yang efektif pada perubahan sosial sangat tergantung pada lembaga kemasyarakatan apa yang dominan dan dijunjung tinggi masyarakatnya; 3) Disorganisasi. Apabila ada perubahan, maka norma dan nilai-nilai kemasyarakatan mengalami proses pudar, sehingga timbul problema sosial berupa penyimpangan (deviation). Proses demikian disebut disorganisasi (disintegrasi). Sebaliknya reorganisasi merupakan proses pembentukan norma dan nilai-nilai baru dalam bentuk penyesuaian diri dalam lembaga kemasyarakatan yang mengalami perubahan. Proses perubahan sosial meliputi : proses reproduction dan transformation. Proses reproduction adalah proses mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang kita sebelumnya. Dalam hal ini meliputi bentuk warisan budaya yang kita miliki. Warisan budaya dalam kehidupan keseharian meliputi material (kebendaan, sistem) dan immaterial (non-benda, adat, norma dan nilai-nilai). Reproduction berkaitan dengan masa lampau perilaku masyarakat, yang berhubungan dengan masa sekarang dan masa yang akan datang (Roy Bhaskar dikutip Salim 2002). Proses transformasi adalah suatu proses penciptaan hal yang baru (something new) yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan sistem (tools and technologies), yang berubah adalah aspek budaya yang sifatnya material, sedangkan yang sifatnya norma dan nilai sulit sekali diadakan perubahan (bahkan ada kecenderungan dipertahankan). Proses transformasi terjadi di desa-desa yang dikenai program pembangunan pertanian sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan sistem. Dalam kaitannya dengan perubahan yang bersifat
11
struktural, peranan negara sangat kuat. Sedangkan dalam perubahan yang sifatnya kultural peran masyarakat lebih dominan. Perubahan-perubahan yang terjadi di negara berkembang, seperti Indonesia, perubahan struktural juah lebih kuat dan cepat dibandingkan perubahan kultural. 2.1.5. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Sebagaimana dikutip dari Reijntjes et al. (1999) dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumberdaya. Technical Advisory Committe of the CGIAR (TAC/CGIAR 1988) menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya. Suatu sistem pertanian itu bisa disebut berkelanjutan jika mencakup hal-hal berikut: 1. Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan ditingkatkan. Tekanannya adalah pada penggunaan sumberdaya yang bisa diperbaharui; 2. Bisa berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis ini bisa diukur bukan hanya dalam produk usahatani yang langsung namun juga dalam
hal
fungsi
seperti
melestarikan
sumberdaya
alam
dan
meminimalkan resiko; 3. Adil, maksudnya sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan, baik di lapangan maupun dalam masyarakat. Kerusuhan sosial bisa mengancam sistem sosial secara keseluruhan, termasuk sistem pertaniannya;
12
4. Manusiawi, dalam hal ini semua bentuk kehidupan dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar, seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spiritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara; 5. Luwes, berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lainnya. Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan sistem yang baru dan sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial budaya. 2.1.6. Sistem Pertanian Organik Sistem pertanian organik merupakan salah satu model dari beberapa pendekatan yang ditawarkan dari sistem pertanian berkelanjutan. Sebagaimana dikutip dari Sutanto (2002) pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan “hukum pengembalian (low of return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman. Masih merujuk pada Sutanto (2002) bahwa filosofi yang melandasi sistem pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants), dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman. Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Mengutip Salikin (2003) menyatakan bahwa sistem pertanian organik pada awalnya diragukan kemampuannya untuk memacu produksi sebesar sistem pertanian industrial. Namun demikian, dalam jangka panjang sistem pertanian organik justru dapat mempertahankan produktivitas lahan dan hasil panen secara berkesinambungan. Sebaliknya, sistem pertanian industrial lebih berorientasi jangka pendek atau sesaat dengan cara-cara eksploitasi sumberdaya alam, rekayasa biologi ataupun rekayasa sosial untuk mengejar produktivitas hasil
13
panen yang harus berpacu dengan laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan bahan pangan. Adapun prinsip-prinsip pertanian organik menurut International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) adalah sebagai berikut: 1. Prinsip kesehatan. Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia; 2. Prinsip ekologi. Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan. Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik dalam sistem ekologi kehidupan. Prinsip ini menyatakan bahwa produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Makanan dan kesejahteraan diperoleh melalui ekologi suatu lingkungan produksi yang khusus; sebagai contoh, tanaman membutuhkan tanah yang subur, hewan membutuhkan
ekosistem
peternakan,
ikan
dan
organisme
laut
membutuhkan lingkungan perairan; 3. Prinsip keadilan. Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam pertanian organik harus membangun hubungan yang manusiawi untuk memastikan adanya keadilan bagi semua pihak di segala tingkatan; seperti petani, pekerja, pemroses, penyalur, pedagang dan konsumen; 4. Prinsip perlindungan. Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup. Kebijakan pemerintah ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik. Departemen Pertanian telah mencanangkan pertanian organik dengan slogan „Go Organic
14
2010‟. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam enam tahapan mulai dari Tahun 2001 hingga Tahun 2010. Tahapan tersebut adalah: 1.
Tahun 2001 difokuskan pada kegiatan sosialisasi;
2.
Tahun 2002 difokuskan pada kegiatan sosialisasi dan pembentukan regulasi;
3.
Tahun 2003 difokuskan pada pembentukan regulasi dan bantuan teknis;
4.
Tahun 2004 difokuskan pada kegiatan bantuan teknis dan sertifikasi;
5.
Tahun 2005 difokuskan pada sertifikasi dan promosi pasar;
6.
Tahun 2006 – 2010 terbentuk kondisi industrialisasi dan perdagangan.
Merujuk pada Sutanto (2002), beberapa prinsip dalam budidaya pertanian organik dengan pola SRI (System Rice Intensification) adalah sebagai berikut; 1.
Penyiapan lahan, merupakan kegiatan yang dilakukan dua minggu sebelum masa tanam dan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pembajakan, penggaruan dan perataan tanah. Setelah pembajakan selesai, pupuk organik ditaburkan secara merata dengan dosis rata-rata 7.000 kg/ha atau sesuai dengan kebutuhan. Pupuk organik yang dibutuhkan adalah pupuk bokashi (hasil fermentasi bahan organik). Keadaan air macak-macak harus dipertahankan dengan cara menutup pintu masuk dan keluarnya air agar tanah dan unsur hara tidak terbawa hanyut. Setelah perataan tanah selesai, dibuat saluran air tengah dan saluran air di pinggir di sekeliling pematang;
2.
Persiapan benih atau persemaian, merupakan kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan pola tanam yang akan digunakan seperti: a. persemaian dilakukan pada baki/pipiti/bak kecil yang terbuat dari kayu; b. benih yang digunakan adalah 10-15 kg/ha, benih bukan berasal dari hasil rekayasa genetika dan tidak diperlakukan dengan bahan kimia sintetik ataupun zat pengatur tumbuh dan bahan lain yang mengandung additive; c. media yang digunakan adalah campuran tanah dengan pupuk organik dengan perbandingan 1:1; d. umur persemaian adalah 8-10 HSS;
15
3.
Penanaman, merupakan kegiatan dimana benih padi ditanam di lokasi dengan rincian sebagai berikut: a.
umur benih adalah 8-10 HSS;
b.
jumlah tanam/lubang adalah 1 batang/tunas;
c.
jarak tanam yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat;
d.
dianjurkan menggunakan sistem tanam legowo 2:1, 3:1, atau 4:1;
4. Pengendalian hama dan penyakit tanaman, merupakan kegiatan untuk menekan kerusakan dan kehilangan hasil, dengan rincian sebagai berikut: a.
program rotasi tanaman yang sesuai;
b.
perlindungan musuh alami hama melalui penyediaan habitat yang cocok (yang bertujuan agar hama tersebut tidak memakan tanaman padi petani, namun akan menanam tanaman lainnya), seperti pembuatan pagar hidup dan tempat sarang, zona penyangga ekologi yang menjaga vegetasi asli dari hama predator setempat;
c.
pemberian musuh alami, termasuk pelepasan predator dan parasit;
d.
penggunaan pestisida nabati dan bahan alami lainnya;
e.
pengendalian
mekanis,
seperti
pengggunaan
perangkap,
penghalang cahaya dan suara; 5.
Pemeliharaan
tanaman,
merupakan
kegiatan
mempertahankan
kelembapan tanah, yaitu dengan mengatur pemberian air dengan menggunakan saluran pengairan pematang dan saluran bedengan, sehingga keadaan tanah tidak tergenang serta pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang tidak menggunakan bahan kimia sintetik, tetapi berupa pengaturan sistem budidaya, pestisida nabati dan bahan alami lainnya; 6.
Panen, merupakan kegiatan dimana pengelolaan produk harus dipisah dari produk non organik (jika di sekitar produk organik terdapat produk non organik) dan tidak menggunakan bahan yang mengandung zat aditif.
Adapun penanganan pasca panen yang biasanya dilakukan meliputi: pemanenan, perontokan, pembersihan, pengeringan, pengemasan, pengangkutan, penyimpanan dan penggilingan. Sementara itu sebagaimana dikutip dari Reijntjes
16
et al. (1999) metode LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut: 1.
Optimalisasi
pemanfaatan
sumberdaya
lokal
yang
ada
dengan
mengombinasikan berbagai macam komponen sistem usahatani yaitu tanaman, ternak, ikan, tanah, air, iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar. 2.
Pemanfaatan input luar dilakukan hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam agroekosistem dan meningkatkan
sumberdaya
biologi,
fisik
dan
manusia.
Dalam
pemanfaatan input luar, perhatian utama diberikan pada mekanisme daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan. Metode LEISA tidak bertujuan memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. LEISA berupaya mempertahankan dan sedapat mungkin meningkatkan potensi sumberdaya alam serta memanfaatkannya secara optimal. Pada prinsipnya, hasil produksi yang keluar dari sistem atau dipasarkan harus diimbangi dengan tambahan unsur hara yang dimasukkan ke dalam sistem tersebut. 2.1.7. Kelembagaan Pertanian Rahardjo (1999) menyebutkan bahwa secara umum lembaga sering diartikan sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam suatu masyarakat. Kelembagan dalam kaitan ini adalah tindakan bersama (collective action) yang memiliki pola atau tertib yang jelas dalam upaya mencapai tujuan atau kebutuhan tertentu. Ini berarti bahwa kelembagaan yang ada dalam suatu masyarakat eksistensinya ditentukan oleh sifat dan ragam kebutuhan yang ada dalam suatu masyarakat. Dengan demikian apabila dalam masyarakat muncul kebutuhan-kebutuhan baru yang semakin meluas dan beragam, maka lembagalembaga lama menjadi kurang berfungsi. Sebagai konsekuensinya, lembagalembaga baru yang instrumental bagi pemenuhan kebutuhan baru itu semakin dituntut keberadaannya. Lebih lanjut Rahardjo menyebutkan bahwa perubahan kelembagaan tidak hanya berkaitan dengan kuantitas, melainkan juga menyangkut berbagai aspek
17
kualitatifnya. Diantaranya adalah yang berkaitan dengan pengaruh modernisasi. Sejalan dengan proses modernisasi yang terjadi, terjadi pula perubahan atau pergantian lembaga-lembaga lama yang bersifat tradisional menjadi atau digantikan oleh lembaga-lembaga baru yang modern. Perubahan semacam ini bukan hanya menyangkut jenis atau ragamnya, melainkan juga karakteristik yang terletak padanya. Lembaga atau kelembagaan lama umumnya dilandasi oleh komunalisme masyarakat desa dan fungsi-fungsi yang membaur (diffused), sedangkan lembaga atau kelembagaan baru lebih bertumpu pada individualitas dan diferensiasi fungsi (fungsi-fungsi yang terspesialisasikan). Sehubungan dengan pemahaman di atas, maka dapat disimpulkan bahwa diferensiasi kelembagaan pada masyarakat desa sesuai dengan tuntutan masyarakat yang sedang berkembang. Perubahan dan perkembangan kelembagaan pada desa-desa di Indonesia ditentukan oleh kondisi internal maupun oleh pengaruh eksternal desa. Pengaruh eksternal terutama datang dari programprogram pembangunan. Sebagaimana
yang
dikutip
dari
Radandima
(2003),
berdasarkan
tingkatannya, kelembagaan dapat dikategorikan dalam empat kategori, yaitu: 1. Pranata sosial, yaitu aturan-aturan tertentu yang dianut dalam masyarakat secara umum dan agak meluas, misalnya sistem sewa, bagi hasil, ijon, pinjam-meminjam antar petani dan sebagainya; 2. Kelompok tani, yaitu kelompok petani-petani yang bersifat informal. Ikatan dalam kelompok berpangkal pada keserasian dalam arti mempunyai pandangan-pandangan,
kepentingan-kepentingan
dan
kesenangan-
kesenangan yang sama, misalnya kelompok pendengar siaran pedesaan, perkumpulan arisan dan sebagainya; 3. Organisasi atau perhimpunan petani, yaitu organisasi orang petani yang bersifat formil, dimana pengurus dan anggota-anggotanya jelas terdaftar. Organisasi atau perhimpunan petani ini mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang tertulis dimana tercantum tujuan-tujuannya dan ketentuan-ketentuan lainnya. Ada rapat anggota, dan petani dapat menjadi anggota apabila telah memenuhi syarat;
18
4. Lembaga instansional (badan instansional), yaitu lembaga pelayanan yang ada di pedesaaan seperti BRI Unit Desa, lembaga penyuluhan, lembaga penyuluhan sarana produksi dan sebagainya. 2.1.8. Perubahan Bentuk Organisasi Sebagimana yang dikutip dari Cahayani (2003), pengertian organisasi sekarang ini telah bergeser dari pengertian organisasi yang sesunggunya. Pada masa sekarang organisasi lebih dikenal sebagai suatu wadah atau tempat untuk melakukan kegiatan bersama agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Lebih jauh Cahayani menyatakan bahwa tidak ada organisasi yang tidak mengadakan perubahan, perbaikan atau pembaharuan. Perubahan organisasi bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan organisasi, meningkatkan kepuasan kerja dan penyesuaian dengan keadaan lingkungan. Intinya, perubahan organisasi membuat kinerja organisasi menjadi lebih baik. Ada tiga bidang utama dalam organisasi yang dapat mengalami perubahan, diantaranya perubahan sistem, perubahan struktural dan perubahan manusia. Adapun sumber-sumber penyebab perubahan, yaitu: 1.
Lingkungan. Suatu organisasi dikatakan berhasil bila dapat memuaskan anggotanya dan dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Lingkungan merupakan faktor yang teramat penting bagi organisasi karena lingkungan menyediakan input yang diperlukan oleh organisasi dan juga merupakan tempat menampung output dari organisasi tersebut. Selain kedua manfaat tersebut, lingkungan juga merupakan salah satu penyebab perubahan di dalam organisasi, karena jika organisasi tersebut tidak mengadakan perubahan maka tidak dapat bertahan (survive) atau mati, karena berarti tidak dapat beradaptasi dengan lingkungannya.
2.
Sasaran dan nilai. Tidak jarang organisasi berubah bentuk karena adanya perubahan sasaran dan nilai yang mereka anut.
3.
Sistem. Semakin canggih sistem, maka perubahan atau penyempurnaan organisasi juga dilakukan. Misalnya semakin canggih sistem perbankan yang
ada,
maka
semakin
menyempurnakan fungsi ATM.
banyak
perusahaan
perbankan
yang
19
4.
Struktur.
Penambahan atau pengurangan struktur jelas membuat
organisasi berubah. 5.
Faktor perilaku seseorang. Tidak jarang dengan bergantinya pimpinan, akan berganti pula kebijaksanaannya yang dapat menyebabkan timbulnya perubahan di dalam organisasi.
6.
Konsultan. Sebagian besar organisasi pada masa sekarang menggunakan jasa konsultan untuk memberi masukan dalam rangka perbaikan dan perkembangan
organisasi.
Para
konsultan
tersebut
menyarankan
perubahan-perubahan yang harus dilakukan oleh organisasi sehingga organisasi tersebut dapat tetap survive dan memenangkan persaingan. Pengembangan organisasi (Organization Development atau OD) merupakan strategi melakukan perubahan organisasi dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pengembangan organisasi merupakan kegiatan terencana dan meliputi semua bagian organisasi, dikelola oleh top management untuk meningkatkan efektivitas dan kesehatan organisasi melalui intervensi terencana dalam proses organisasi dan menggunakan pendekatan perilaku. 2.1.9. Kemitraan Usaha Sebagaimana yang dikutip dari Hafsah (2000) kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan membesarkan. Pada dasarnya maksud dan tujuan dari kemitraan adalah “Winwin Solution Partnership”. Kesadaran dan saling menguntungkan disini tidak berarti para partisipan dalam kemitraan tersebut harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang lebih penting adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Ciri dari kemitraan usaha adalah terdapat hubungan timbal balik, bukan sebagai buruh-majikan atau atasanbawahan, sebagai adanya pembagian risiko dan keuntungan yang proporsional, disinilah kekuatan dan karakter kemitraan usaha. Masih
menurut
Hafsah
(2000)
bahwa
melalui
kemitraan
dapat
meningkatkan produktivitas, pangsa pasar, keuntungan, sama-sama menanggung resiko, menjamin pasokan bahan baku dan distribusi pemasaran. Beberapa manfaat kemitraan antara lain:
20
1.
Produktivitas. Secara umum produktivitas didefinisikan dalam model ekonomi sebagai output dibagi input. Dengan kata lain produktivitas akan meningkat apabila dengan input yang sama dapat diperoleh hasil yang lebih tinggi atau sebaliknya dengan tingkat hasil yang sama hanya membutuhkan input yang lebih rendah. Berpijak dari teori di atas dikaitkan dengan pendekatan kemitraan, maka peningkatan produktivitas diharapkan dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bermitra;
2.
Efisiensi. Efisiensi didefinisikan sebagai doing things right atau terjadi bila output tertentu dapat dicapai dengan input yang minimum. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan kecil yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan sistem dan sarana produksi, dengan bermitra akan dapat menghemat waktu produksi melalui sistem dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Mekanisasi pertanian dalam penyiapan lahan yang dimiliki oleh petani plasma dimana perusahaan inti menyediakan alat dan mesin pertanian sehingga petani dapat mempercepat dan memperluas areal tanam dengan tenaga yang tersedia. Pada gilirannya hasil produksi dari para petani plasma dapat mencapai hasil yang diharapkan sesuai dengan kapasitas produksi yang ditargetkan oleh perusahaan;
3.
Jaminan kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Produk akhir dari suatu kemitraan ditentukan oleh dapat tidaknya diterima pasar. Indikator diterimanya suatu produk oleh pasar adalah kesesuaian mutu yang diinginkan oleh konsumen (market driven quality atau consumer driven quality). Loyalitas konsumen hanya dapat dicapai apabila ada jaminan mutu dari suatu produk;
4.
Risiko dapat ditanggung bersama. Dengan kemitraan diharapkan risiko yang besar dapat ditanggung bersama (risk sharing). Tentunya pihakpihak yang bermitra akan menanggung risiko secara proporsional sesuai dengan besarnya modal dan keuntungan yang akan diperoleh;
21
5.
Sosial. Dengan kemitraan usaha bukan hanya memberikan dampak positif dengan saling menguntungkan melainkan dapat memberikan dampak sosial (social benefit) yang cukup tinggi. Hal ini berarti negara terhindar dari kecemburuan sosial yang bisa berkembang menjadi gejolak sosial akibat ketimpangan;
6.
Ketahanan ekonomi nasional. Pokok permasalahan dalam pelaksanaan kemitraan adalah upaya pemberdayaan partisipan kemitraan yang lemah, yaitu pengusaha kecil, atau dengan kata lain terciptanya kesetaraan dalam posisi tawar antar pelaku maka perlu adanya usaha konkret yang mendorong terlaksananya kemitraan usaha sekaligus sebagai model terciptanya kemitraan usaha. Dalam mendorong terciptanya kemitraan usaha yang sering dilakukan adalah dengan menciptakan iklim kondusif berupa peraturan, mewujudkan model atau pola kemitraan yang sesuai, yaitu dengan menyediakan prasarana penunjang. Dengan adanya upaya dan fasilitas fisik diharapkan akan terwujud kemitraan. Produktivitas, efektivitas dan efisiensi akan meningkat yang akhirnya akan bermuara pada meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan para pelaku kemitraan. Dengan adanya peningkatan pendapatan yang diikuti tingkat kesejahteraan dan sekaligus terciptanya pemerataan yang lebih baik otomatis akan mengurangi timbulnya kesenjangan ekonomi antar pelaku yang terlibat dalam kemitraan usaha yang pada gilirannya mampu meningkatkan ketahanan ekonomi secara nasional. Menurut Pranadji (1995) terdapat tiga pola kemitraan yang berkembang
pada kegiatan agribisnis, yaitu: pola kemitraan tradisional, kemitraan “pemerintah” dan kemitraan pasar. Kemitraan agribisnis tradisional mengikuti pola hubungan patron-client. Pelaku ekonomi yang berperan sebagai patron adalah pemilik modal atau peralatan strategis (seperti lahan pada agribisnis tanaman semusim dan tahunan, atau pemilik peralatan tangkap pada agribisnis perikanan tangkap); dan yang berperan sebagai client adalah petani penggarap, peternak atau nelayan pekerja. Pada pola patron-client seperti ini kemitraan agribisnis yang berkembang lebih bersifat horisontal, yaitu agribisnis yang bergerak di bidang produksi atau usaha tani. Kemitraan yang bersifat vertikal umumnya diwarnai oleh hubungan
22
hutang (panjar atau ijon) antara pedagang (pemberi hutang) dan petani produsen (penerima hutang). Pola kemitraan program pemerintah condong pada pengembangan kemitraan secara vertikal: dimana model umum yang dianut adalah hubungan “bapak-anak angkat”, yang pada agribisnis perkembangan dikenal sebagai pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Pola kemitraan ini dapat dinilai sedikit lebih maju dibanding pola patron-client. Pola kemitraan pasar berkembang sebagai akibat dari masuknya peradaban ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Jenis usaha pertanian yang dibidik oleh pola ini adalah usaha yang menghasilkan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai permintaan kuat di pasar dunia. Pola ini berkembang dengan melibatkan petani sebagai pemilik aset tenaga kerja dan peralatan produksi, dan pemilik modal besar yang bergerak di bidang industri pengolah dan pemasaran hasil. Dua pelaku ekonomi, petani dan pemilik modal, menggalang kerja sama (kemitraan) karena danya kepentingan (mutually beneficial) untuk berbagai manfaat ekonomi. Dari segi pengadopsian atas hasil inovasi di bidang iptek (revolusi) permodalan dan kelembagaan modern, pola ini mempunyai keandalan yang relatif lebih tinggi dibanding dengan dua pola terdahulu. 2.2.
Kerangka Pemikiran Penerapan sistem pertanian padi sehat baik yang meliputi kegiatan budidaya
pertanian
(on-farm)
maupun
pengolahan
hasil
(off-farm)
menyebabkan
bertambahnya kegiatan-kegiatan pertanian baru sehingga memberikan peluang pada penyerapan tenaga kerja. Sementara itu penataan kelembagaan dalam penerapan sistem pertanian padi sehat mengakibatkan muculnya perubahan pada bentuk organisasi dan kemitraan pertanian. Perubahan tersebut terletak pada terbentuknya unit kerja baru yang dibentuk berdasarkan kebutuhan yang dirasakan petani. Penataan kelembagaan diperlukan guna menjamin keberlanjutan produksi. Adanya kebutuhan yang dirasakan dalam penerapan sistem pertanian padi sehat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk organisasi. Perubahan bentuk organisasi yang dimaksud adalah pembentukan instrumen atau unit kerja baru
23
dengan pembagian kerja yang lebih spesifik sesuai dengan perkembangan kebutuhan.
PENERAPAN SISTEM PERTANIAN PADI SEHAT
KELEMBAGAAN PERTANIAN
Budidaya pertanian (on-farm) Pengolahan hasil (offfarm) Penataan kelembagaan
Penyerapan tenaga kerja Bentuk Organisasi Jejaring Kerja/ Kemitraan
Keterangan Gambar: : menyebabkan perubahan Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penataan Kelembagaan Pertanian dalam Penerapan Sistem Pertanian Padi Sehat Dalam perkembangannya, kelembagaan pertanian yang ada juga diarahkan pada pembentukan dan perluasan kemitraan sebagai upaya pembentukan karakter dan peningkatan kapasitas petani serta perluasan pemasaran hasil. 2.3. Hipotesis Semakin tinggi penerapan sistem pertanian padi sehat maka semakin terjadi perubahan pada kelembagaan pertanian. 2.4. Definisi Operasional 1. Sistem pertanian padi sehat meliputi: a. Budidaya pertanian (on-farm), meliputi recovery lahan (pembuatan pupuk kompos dan organik, pestisida nabati, penambahan agensi hayati), pengadaan benih, perlakuan benih, pembuatan media semai, pengolahan lahan, penanaman, pengaturan air, pemeliharaan tanaman dan pemanenan. b. Pengolahan hasil hingga pemasaran (off-farm), meliputi: penjemuran, penggilingan, pengayakan dan pengemasan. Dalam melakukan kegiatan
24
pertanian padi sehat khususnya pada kegiatan off-farm banyak kegiatan baru sehingga memungkinkan adanya penyerapan tenaga kerja. c. Penataan kelembagaan adalah suatu usaha pembenahan atau perubahan pada kelembagaan maupun organisasi pertanian modern. Penataan kelembagaan ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang muncul dan berkembang di tingkat petani dan dimaksudkan untuk membangun hubungan kerjasama dengan pihak lain melalui kemitraan. Penerapan sistem pertanian padi sehat dikategorikan sebagai berikut: i. Tinggi: apabila sistem pertanian padi sehat telah diterapkan pada semua kegiatan (on-farm dan off-farm), menggunakan pendekatan atau metode yang baik dan kegiatan budidaya dilakukan sesuai SOP yang berlaku (Lampiran 1). ii. Rendah: apabila tidak memenuhi sedikitnya salah satu dari kriteria penerapan sistem pertanian padi sehat yang termasuk kategori tinggi. 2. Kelembagaan pertanian dalam hal ini akan dilihat pada perubahan pada beberapa hal yaitu: aspek peningkatan penyerapan tenaga kerja, perubahan bentuk organisasi dan pembentukan kemitraan. a.
Penyerapan tenaga kerja dikatakan berubah ketika banyaknya kegiatan-kegiatan baru setelah sistem pertanian padi sehat diterapkan, sehingga memungkinkan terjadinya penyerapan tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja dikategorikan sebagai berikut: i. Tinggi: terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja. ii. Rendah: tidak terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja.
b.
Bentuk organisasi dikatakan berubah ketika terbentuknya instrumen (divisi atau unit kerja) baru setelah penerapan sistem pertanian padi sehat. Perubahan bentuk organisasi dikategorikan sebagai berikut: i. Tinggi: terbentuk sedikitnya satu divisi (unit kerja) baru. ii. Rendah: tidak terbentuk divisi (unit kerja) baru.
c. Kemitraan pertanian dikatakan berubah ketika terbentuk hubungan atau relasi dengan berbagai pihak setelah penerapan sistem pertanian padi sehat. Kemitraan atau jejaring kerja pertanian dikategorikan sebagai berikut:
25
i. Sempit: jangkauan kemitraan terbatas pada kawasan lokal (pemerintah desa, PPL setempat, Gapoktan desa sekitar). ii. Luas: jangkauan kemitraan selain mencakup kawasan lokal juga mencakup pihak-pihak di luar desa dari berbagai kalangan (interlokal).