BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Masyarakat Petani (Peasant Society) Menurut Boeke, ciri khas suatu masyarakat dapat dikenali lewat keberkaitan unsur-unsur dasar yang terdapat dalam sebuah masyarakat tersebut yakni, bentukbentuk organisasi dan teknik-teknik yang mendukungnya atau disebut sebagai sistem sosial dimana tiap-tiap sistem sosial memiliki mempunyai teori ekonomi tersendiri. Begitu pun sebaliknya, teori ekonomi selalu merupakan teori mengenai sistem sosial tertentu yang keduanya dibentuk oleh sejarah masyarakatnya sendiri. (Boeke dalam Sajogyo 1982) Mengacu pendapat Shanin (1971), terdapat empat aliran/tradisi utama pemikiran (mainstream of thought) dalam memahami masyarakat tani, yakni: Pertama, tradisi Marxian yang memahami masyarakat tani dari pendekatan hubungan kekuasaan atau lewat analisis kelas. Dalam pendekatan ini, masyarakat tani dipandang sebagai unit produksi dari formasi sosial awal (pre-capitalist producers) yang tereksploitasi akibat struktur kekuasaan yang ada. Kedua, pendekatan Chayanovian yang memandang struktur masyarakat tani ditentukan oleh sistem ekonomi yang khas (specific type of economy). Ketiga, pendekatan Etnografi Barat yang memahami masyarakat tani sebagai representasi masyarakat yang mengalami cultural lag. Dan keempat, tradisi Durkheimian yang membagi masyarakat dalam dua kategori yakni masyarakat tradisonal/anorganik dan masyarakat modern/organik yang bersandar pada pembagian kerja dan hubungan antar unit. Selanjutnya Shanin (1971) mencirikan masyarakat tani sebagai sebagai berikut, yakni: (1) satuan keluarga (rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang berdimensi ganda; (2) petani hidup dari usahatani dengan mengolah tanah (lahan); (3) pola kebudayan petani berciri tradisional dan khas; (4) petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah “orang kecil” terhadap masyarakat diatas desa.
10
Sementara Kurtz (2000) menjabarkan empat dimensi definisi petani yakni, Pertama, konsepsi minimalis yang memandang petani sebagai “pengolah tanah” di pedesaan. Kedua pendekatan antropologi yang menyatakan komunitas petani yang bercirikan perilaku budaya yang berbeda dengan pola budaya “urban”. Ketiga pendekatan ekonomi moral yang menyatakan petani tersubordinasi kuat oleh kekuasaan dari luar. Keempat tradisi Marxian yang menganggap petani merupakan kombinasi dari tiga dimensi, yakni pengolah tanah, komunitas tersubordinasi dan dimensi penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Dan kelima, konsepsi Weberian yang memandang petani sebagai kombinasi dari keempat dimensi sebelumnya. Analisa Shanin (1984) dan Moore (1966) tentang ciri masyarakat petani adalah contoh dari pendekatan Weberian ini. Hal yang mesti digariskan bahwa konsep peasant juga berlaku bagi komunitas nelayan seperti yang digunakan oleh Redfield. Menurut Chayanov, yang terjadi pada masyarakat pedesaan bukanlah diferensiasi sosial seperti apa yang diyakini oleh penganut Marxian ortodoks melainkan yang terjadi adalah diferensiasi demografis (Kerblay 1971) sehingga sekelompok keluarga-tani tidak dapat menduduki posisinya dalam satu stratum dalam masyarakat secara mapan; atau bahkan tak cukup lama untuk dapat mengkonsolidasikan dirinya sebagai suatu kelas dalam arti suatu rumah tangga petani dapat menjadi kaya pada suatu waktu dan dapat menjadi miskin kemudian atau sebaliknya. (Wiradi 1993)
2.2. Usahatani di Pedesaan Memahami Usahatani di pedesaan dapat digolongkan dalam dua kategori perspektif utama, yakni ekonomi neo-klasik dan ekonomi politik Marxian. Selain dua kategori tersebut, perspektif neo-populis turut menyediakan berbagai argumentasi yang berbeda terhadap dua perspektif sebelumnya. Menurut Ellis (1993), perpsektif neo-klasik bersandar pada individu baik perusahaan, konsumen, maupun rumah tangga sebagai unit ekonomi dengan memisahkan aspek sosial dan politik dengan aktivitas ekonomi. Sementara, pada perspektif Marxian, antara ekonomi dan sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
11
Menurut Wiro (1999), studi mengenai ekonomi rumah tangga pada prinsipnya berkenaan dengan pengkajian tentang struktur kompleks dan perilaku dari suatu rumah tangga yang meliputi struktur demografi, proses pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, pola nafkah, dan pembagian kerja dalam rumah tangga. Berdasarkan tradisi neo-klasik, model ekonomi rumah tangga dibagi dalam dua tipe, yakni the unitary model of household behaviour dan collective model of household behaviour. Kedua tipe tersebut bersandar pada teori pilihan konsumen (the consumer choice theory). Pada teori pilihan konsumen mengasumsikan bahwa seluruh unit rumah tangga bersifat rasional dimana penilaian terhadap waktu, jenis barang yang diproduksi dan dikonsumsi ditentukan oleh mekanisme pasar. Asumsi yang terdapat pada the unitary model of household behaviour, keputusan dalam menentukan tujuan ditentukan bersama oleh anggota keluarga dengan kata lain seluruh anggota rumah tangga memiliki preferensi yang sama terhadap utilitas. Selain itu, rumah tangga tidak hanya dipandang sebagai unit satuan konsumsi melainkan juga berindak sebagai produsen. Dalam konteks ini, karakteristik utama dari model ini adalah rumah tangga yang harmonis atau tidak mengakomodir adanya konflik dalam rumah tangga. Tipe collective model of household behaviour, lebih menekankan keberadaan individu dalam anggota rumah tangga. Tipe ini sering juga disebut sebagai pruralistic decision-making within familiy. Berbeda dengan tipe sebelumnya, tipe collective model of household behaviour berasumsi bahwa dalam setiap anggota rumah tangga tidak memiliki preferensi yang sama terhadap fungsi utilitas (Wiro 1999). Sementara Ellis (2000) mengartikan rumahtangga sebagai tempat di mana ketergantungan sosial dan ekonomi antara kelompok dan individu terjadi secara teratur. Rumahtangga diartikan sebagai kelompok sosial yang tinggal di satu tempat, berbagi makanan yang sama, membuat keputusan bersama mengenai alokasi sumberdaya dan pendapatan. Sebagai suatu unit sosial ekonomi, rumahtangga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: (a) alokasi sumberdaya yang memungkinkan untuk memuaskan kebutuhan rumahtangga, (b) jaminan terhadap berbagai tujuan rumahtangga, (c) produksi barang dan jasa, (d) membuat keputusan atas penggunaan pendapatan dan konsumsi, (e) fungsi hubungan sosial
12
dan hubungan dengan masyarakat luar, dan (e) reproduksi sosial dan material dan keamanan sosial terhadap anggota rumahtangga. Sementara Chayanov, menyatakan bahwa teori ekonomi modern (kapitalis) tidak dapat diterapkan untuk menganalisis masyarakat petani pedesaan. Menurutnya prinsip ekonomi modern (kapitalistik) adalah sistem ekonomi yang kompleks dimana unsur penyusunnya terdiri dari harga, modal, upah, bunga dan sewa yang saling berhubungan secara fungsional. Apabila satu unsur hilang maka konsepsi ekonomi modern itu dengan sendirinya runtuh. Masyarakat petani dengan demikian harus diperlakukan sebagai suatu sistem ekonomi yang memiliki rasional tersendiri (a specific type of economy) dimana motif utama aktivitas ekonomi keluarga lebih kepada mengamankan kebutuhan subsistensi bukan mengejar keuntungan dan sumber tenaga kerja berasal dari keluarga (peasant ownerships without hired labour) (Wiradi 1993). Mengikuti Sajogyo (2006), agenda modernisasi pertanian di Indonesia berpangkal dari dua tipe ekonomi usahatani (satuan rumah tangga), sumberdaya pedesaan yakni sektor pertanian pangan (padi) dan sebagian lain, khususnya di luar Jawa pertanian komersil berorientasi ekspor. Pada tipe yang pertama dibebani tugas untuk menyediakan kebutuhan pangan dan sebagai penopang agenda industrialisasi nasional. Sementara pada tipe yang kedua dibebani oleh kepentingan devisa negara bersama perluasan dan pembaharuan sub sektor perkebunan. Dengan motif mengejar pendapatan devisa negara, pemerintah dengan berbagai program dalam semangat ‘revolusi hijau’ melakukan intervensi program peningkatan produktifitas pertanian secara luas seperti program Bimas, akses terhadap kredit, introdusir teknologi dan sebagainya.
2.3. Masyarakat Perkebunan dan Kehutanan di Indonesia Praktek-praktek pengelolaan sumberdaya agraria di negara berkembang seperti Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang praktek-praktek warisan kolonial oleh negara agraris Barat (Eropa) di negeri jajahan. Dalam bentuk yang paling nyata, pengelolaan sumberdaya lahan pertanian yang mewarisi
13
relasi kolonial adalah kehadiran perusahaan perkebunan dan kehutanan, baik milik negara maupun swasta. Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah yang melimpah di negara jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem perkebunan dalam hubungan ini dipandang sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Pelaksanaan sistem perkebunan dimulai dengan melalui pembukaan penanaman modal dan teknologi dari luar, dan memanfaatkan tanah dan tenaga kerja yang tersedia di daerah jajahan. Pembukaan perkebunan, menimbulkan lingkungan baru, yaitu lingkungan perkebunan. Lingkungan perkebunan ini biasanya dibentuk oleh kesatuan lahan penanaman komoditi perdagangan, pusat pengolahan produksi (pabrik), dan komunitas permukiman penduduk yang terlibat dalam kegiatan perkebunan. Dalam perjalanannya, kehadiran komunitas perkebunan di tanah jajahan, melahirkan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan setempat baik dari segi lokasi, tata ruang, ekologi, maupun organisasi sosial dan ekonomi. (Kartodirjo dan Suryo 1991) Secara topografis, perkebunan sering dibangun di daerah yang subur, baik yang ada di daerah dataran rendah maupun yang ada di daerah dataran tinggi. Tanaman yang dibudidayakan homogen (komoditi ekspor), dan berbeda dengan aturan tanaman pertanian subsisten setempat. Demikian pula organisasi dan sistem kerja, serta proses produksinya. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan yang lebih tertuju ke dunia luar, menjadikan lingkungan perkebunan seolah-olah terpisah dari lingkungan agraris setempat. Lebih-lebih karena perkebunan memiliki teknologi yang maju, maka perbedaan dengan lingkungan sekitarnya semakin menonjol. Karena itu kehadiran sistem perkebunan di lingkungan masyarakat agraris di tanah jajahan atau negara-negara berkembang, dianggap telah menciptakan tipe perekonomian kantong (enclave economics) yang bersifat dualistik (dualistic economy). Dualisme perekonomian kantong timbul sebagai akibat dari adanya sektor-sektor perekonomian yang berbeda tingkat produktivitas dan orientasi pemasarannya, akan tetap hidup secara berdampingan. Di satu pihak,
14
perkebunan
muncul
sebagai
kegiatan ekonomi
yang
memiliki
tingkat
produktivitas tinggi dan menghasilkan produksi untuk ekspor, di lain pihak, sektor kegiatan
ekonomi
lainnya
memiliki
tingkat
produktivitas
rendah
dan
menghasilkan produksi untuk pasaran dalam negeri. (Kartodirjo dan Suryo 1991) Masyarakat perkebunan merupakan miniatur masyarakat kolonial pada umumnya, serta menunjukkan karakteristik yang sama, antara lain: (1) pluralistik, (2) tersegmentasi menurut golongan etnik, (3) rasialistik, (4) dualistik berdasarkan sistem ekonomi Eropa dan non-Eropa, (5) dominasi sosial, ekonomi dan politik kaum kolonial; berdasarkan itu kesemuanya juga terdapat perbedaan gaya hidup. Apabila pada umumnya gaya hidup menunjukkan status golongan dalam masyarakat, maka gaya hidup sendiri menjadi simbol posisi sosial golongan tertentu, termasuk kekayaan, kekuasaan serta kewibawaan. (Kartodirjo dan Suryo, 1991) Mengutip pendapat Beckford (1972), White (1990) mengungkapkan, perkebunan (plantation) atau perusahaan kehutanan besar (agro-industri) merupakan penyebab utama keterbelakangan dan kemiskinan kronis (persistent poverty) karena dalam bentuk klasiknya ditandai oleh : 1) tingkat upah yang sangat rendah dibanding apa yang berlaku pada sektor-sektor lain (tidak menimbulkan consumption/demand lingkages yang berarti dengan sektor-sektor lain); 2) adanya sistem produksi, pengolahan dan pengemasan yang terintegrasi vertikal, sehingga hanya sedikit membutuhkan masukan dari unsur-unsur luar (kurang memiliki production lingkages dengan ekonomi sekitarnya) dan; 3) karena bentuk pemilikannya, menunjukkan pembocoran (leakage) dimana keuntungan (surplus) keluar dari perekonomian lokal sehingga baik perkebunan yang modern dan serba efisien pun tetap tidak akan mendukung pengembangan serta akumulasi pada wilayah dimana perkebunan berada (Sajogyo dan Tambunan 1990). Selain perkebunan, penguasaan lahan kehutanan oleh negara maupun swasta merupakan salahsatu jejak praktek-praktek kolonial di Indonesia. Dalam lintasan sejarah, menjelang akhir abad ke 19, sebuah konsep pengelolaan hutan yang berkelanjutan oleh negara – dan demi keuntungan negara sendiri – mulai
15
mempengaruhi para pengelola hutan-hutan Jawa sementara konsep ini memapankan diri di negeri-negeri lain. Dinas Kehutanan, yang berawal sebagai perusahaan produksi, mengembangkan perannya selaku pelindung dengan memperluas kegiatan pengawasan dan memformalkan suatu ideologi yang baru muncul, yakni konservasi oleh negara. Undang-undang Kehutanan Tahun 1927 adalah kulminasi dari setengah abad kegiatan “coba dan ralat”. Undang-undang itu mewakili penegakan suatu ideologi legitimasi negara untuk menguasai seperempat luasan tanah pulau Jawa (Pellusso 2008). Lewat pengamatannya di wilayah Cibodas pada pra-kemerdeakaan 1945, Sajogyo (1976) mengungkapkan, pelepasan desa dari wilayah hutan yang dikuasai pemerintah khususnya di Jawa Barat telah berlangsung baik lewat aturan tanam paksa komoditas ekspor seperti kopi yang berakhir pada tahun 1915 maupun yang diperkuat oleh UU, patok-patok batas dan polisi kehutanan. Selain itu, wilayah hutan di Jawa yang terletak di daerah perbukitan dan pegunungan juga telah banyak diserahkan pengelolaannya berikut hak-hak istimewa kepada pihak perusahaan perkebunan teh, kopi, dan sebagainya. Kedua kondisi tersebut turut mempengaruhui pertumbuhan desa-desa di Jawa. Adapun hubungan yang sah antara warga desa desa dengan pihak penguasa kehutanan tersalurkan dalam bentuk ikatan buruh tumpang sari atau buruh biasa kehutanan dimana kondisi yang demikian ini sebagian banyak tak berbeda dengan perkebunan besar. Sehingga tidak mengherankan, petani di lapisan bawah (petani gurem dan buruh tani) yang paling sering memanfaatkan peluang pekerjaan di hutan (Sajogyo 1973). Penetrasi perusahaan kehutanan dan perkebunan negara tidak hanya berhasil melepaskan petani (direct producer) dari lahan garapan mereka akan tetapi turut merubah hubungan-hubungan produksi agraris dan rejim ketenagakerjaan di pedesaan. Seperti yang diungkapkan Pelluso (2008), sarana-sarana penguasaan atas tenaga kerja terus berproses dan bergeser sejak abad ke 17 hingga abad ke 20, dari persewaan hak memanen hutan dan hak menggunakan tenaga kerja penduduk hutan, lalu ke kewajiban menyetor kayu, ke pertukaran jasa kerja dengan pembayaran sewa tanah, sampai dengan peningkatan pungutan pajak dan pengaturan kerja upahan di hutan.
16
Menjelang pertengahan abad kedua puluh, penduduk desa tidak dapat lagi melarikan diri dari beratnya kehidupan ke bagian-bagian yang jauh dan terpencil di dalam hutan, terlebih karena semakin hilangnya tempat yang jauh dan terpencil di dalam hutan. Penduduk desa mengandalkan cara sembunyi untuk memperoleh bahan bangunan dan bahan untuk memasak makanan; ada yang menerima petak kecil lahan peremajaan hutan untuk digarap sebagai pertanian sementara. Para pencocok tanam pedesaan yang bekerja di hutan menyubsidi investasi kehutanan negara dengan menghasilkan sendiri pangan mereka, entah itu dari tanah mereka sendiri atau dari petak-petak reforestrasi (reboisasi) yang dapat mereka akses untuk sementara waktu. (Pelluso 2008).
2.4. Kemiskinan, Marginalisasi dan Ekstraksi Surplus di Pedesaan Studi kemiskinan merupakan salahsatu tema yang terus bergulir di ranah akademik maupun pengambil kebijakan. Hingga saat ini, para ahli dari beragam perspektif terus mengembangkan dan memperluas definisi kemiskinan berikut indikator yang menyertainya. Salah definisi kemiskinan adalah kondisi kehidupan seseorang yang didasarkan atas tingkat kecukupan subsistensi minimun seperti kebutuhan nutrisi dan kebutuhan dasar lainnya serta penerimaan seseorang di lingkungan sosialnya. Definisi semacam ini sering diistilahkan sebagai kemiskinan absolut (Lok-Dessallien 2001). Kemiskinan juga dapat dilihat dari hubungan antara tingkat kecukupan pangan (status kelaparan) dan akses terhadap sumber pangan, sebagaimana yang diungkapkan Sen (1982) bahwa, walaupun ketersediaan pangan melimpah, kelaparan akan terjadi sebagai akibat
dari ketidakmampuan seseorang
mendapatkan hak atas pangan (Starvation is seen as the result of his inability to establish entitlement to enough food). Selain itu, Sen (1999) juga menunjukkan, bahwa kemiskinan memiliki kaitan erat dengan Capability Deprivation, yaitu tercabutnya (hilangnya) kemampuan seseorang dalam mengakses hak-hak dasar seperti kesehatan, pendidikan, pangan, dan perumahan. Oleh karena itu, untuk mengentaskan kemiskinan dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan/akses kepada orang miskin terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.
17
Kemiskinan juga dapat dipandang sebagai akibat dari adanya relasi-relasi sosial yang terdapat di suatu masyarakat. Kemiskinan yang demikian ini disebut sebagai kemiskinan struktural. Mengikuti pendapat
Soemardjan (1980),
kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu mengakibatkan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural mengacu pada ketimpangan-ketimpangan sosial yang telah meresapi struktur dan lembaga-lembaga sosial dan menjelma didalamnya (Winangun 2004). Dari definisi kemiskinan struktural tersebut, maka akan mengantarkan kita pada cara memahami persoalan kemiskinan tidak cukup hanya dilihat dari persoalan ekonomi semata. Persoalan kemiskinan memiliki keterhubungan erat dengan berbagai proses peminggiran sosial (social exclusion) dan marginalisasi yang dialami individu maupun kelompok. Pada paradigma pembangunan lama, kemiskinan selalu dilihat dengan ukuran atau variabel ekonomi yang statis semata dan terkadang tidak sesuai dengan kondisi pedesaan Indonesia. Cara pandang demikian ini telah menghilangkan makna kuasa dan proses/sejarah dalam memahami kemiskinan. Mengikuti pendapat Mosse (2007), kemiskinan merupakan hasil dari sejarah dan dinamika kontemporer kapitalisme yang meliputi proses-proses akumulasi, perampasan, diferensiasi dan eksploitasi. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingya adalah perlunya pemahaman tentang mekanisme sosial, kategori dan identitas
yang
melanggengkan
ketidaksetaraan
dan
menstabilkan
atau
memfasilitasi hubungan eksploitasi yang hadir secara nyata. Dengan definisi yang demikian, maka pendekatan metodologis individualisme dan model pilihan rasional neo-liberal harus digeser dengan lebih menekankan pentingnya proses sosial dan hubungan kekuasaan. Murray (2001) mengungkapkan, kebanyakan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan di negara-negara miskin, terlibat dalam perjuangan (pergolakan) yang tak henti-hentinya untuk mengamankan mata pencaharian dalam menghadapi situasi sosial, ekonomi dan politik yang sering kali merugikan mereka. Dua titik sentral untuk memahami perjuangan semacam itu adalah, Pertama adalah situasi dan alasan (penyebab) kemiskinan harus
18
dipahami melalui analisis rinci dari relasi sosial dalam konteks sejarah tertentu: antara mereka yang memiliki lahan dengan mereka yang tidak memiliki lahan, antara rumah tangga kaya dan miskin; antara laki-laki dan perempuan; antara rumah tangga di pedesaan dan di perkotaan dan antara lembaga pasar dan negara. Kedua adalah cara-cara (pola/strategi) mata pencaharian yang biasanya berlaku baik di dalam rumah tangga maupun antara rumah tangga yang sangat beragam. Sementara menurut perspektif ketergantungan dan keterbelakangan awal, ketimpangan pertukaran komoditi dan praktek–praktek warisan kolonial lainnya disebut sebagai faktor kunci yang menjelaskan distribusi kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di abad ke-20 (Smith, 2005). Adapun pengaruh penetrasi kapital ke pedesaan, Luxemberg (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan (penetrasi) kapitalisme ke wilayah pedesaan membutuhkan suatu suasana lingkungan yang memperagakan bentuk-bentuk produksi non-kapitalistik (natural economy) sebagai pasar dari surplus yang dihasilkan oleh para pemilik modal, sumber bahan baku dan penyedia cadangan tenaga kerja dalam sistem upah (buruh lepas). Dalam hal ini, tema akumulasi primitif (primitive accumulation) yang banyak terdapat pada literature Marxian hadir dalam arena debat teoritik kontemporer (Bond 2007, Bonefeld 2001, De Angelis 2000, Perelman 2001). Kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan dipandang sebagai sebuah akibat ekspansi kapitalisme ke pedesaan. Ekspansi ini pada prakteknya menyebabkan perubahan relasi besar-besaran (great transformations) di pedesaan yakni, proses pelepasan petani dari alat-alat produksi (enclosure) dan kemudian menjadi tenaga kerja bebas (upahan). Proses akumulasi semacam ini tidaklah berlangsung sekali jadi pada tahap awal perkembangan kapitalisme semata sebagaimana yang diyakini oleh para penganut Marxian klasik, namun merupakan bagian tak terpisahkan dari cara produksi kapitalis itu sendiri. Proses ekspansi kapitalisme semacam inilah yang melahirkan proses marjinalisasi dan terbentuknya kemiskinan pada masyarakat pedesaan (Shohibuddin dan Soetarto 2010). De Angelis (2004: 58) mengungkapkan, “… there is no enclosure of commons without at the same time the destruction and fragmentation of communities.”
19
Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi ekonomi dari negara (baik negara kolonial maupun pasca kolonial), ekspansi kapitalisme sebenarnya juga bisa berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja. Secara singkat, proses akumulasi dari bawah di antara masyarakat sendiri ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang disebut sebagai “diferensiasi agraria”. White (1998: 20) mendefinisikan proses diferensiasi agraria ini adalah, “… suatu perubahan yang kumulatif dan permanen dalam berbagai cara di mana kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkan akses kepada hasilhasil dari jerih payah tenaga kerjanya sendiri ataupun orang lain, menurut perbedaan penguasaan mereka atas sumber-sumber produksi, dan seringkali … menurut ketimpangan yang kian meningkat dalam hal akses atas tanah”. Wiradi (2010) mengutarakan, proses “diferensiasi kelas” di pedesaan Jawa yang ditandai dengan: 1.
Proses pemusatan penguasaan tanah, baik melalui sewa-menyewa, gadaimenggadai, maupun melalui pemilikan dengan pembelian,
2.
Tingkat ketunakismaan bertambah tinggi. Kesempatan para tunakisma untuk dapat menguasai tanah melalui sewa-menyewa dan bagi hasil kian terbatas karena ada kecenderungan para pemilik tanah lebih suka menggarap sendiri tanahnya dari pada menggarapkan (sewa, bagi hasil) kepada orang lain.
3.
Walaupun umumnya proposisi pendapatan dari sektor nonpertanian lebih besar daripada yang bersumber dari sektor pertanian, namun luas pemilikan tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan. Ini berarti bahwa jangkauan terhadap sumber-sumber di luar sektor pertanian lebih dimiliki para pemilik tanah luas daripada pemilik tanah sempit atau lebih-lebih para tunakisma.
4.
Pada strata pemilikan tanah yang sempit dan tunakisma terdapat proporsi keluarga miskin yang lebih besar. Dengan demikian berarti bahwa
20
pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut menentukan tingkat hidup di pedesaan. Dengan demikian, pengkajian kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan terkait dengan proses-proses dan relasi-relasi penciptaan dan ekstraksi atau perampasan surplus (surplus appropriation) antara pelaku ekonomi di pedesaan, seperti produsen langsung (petani), tuan tanah, pemilik modal, pedagang perantara, dan sebagainya. Mengikuti pendapat Deere dan de Janvry (1979) dalam Ellis (1993), terdapat 7 (tujuh) mekanisme yang menjelaskan bagaimana surplus (nilai lebih) yang dihasil petani ditangkap (diserap) oleh pelaku ekonomi (individu, kelompok maupun negara). Ketujuh mekanisme tersebut, tiga diantaranya melalui sewa (via rent), tiga selanjutnya melalui pasar (via market) dan sisanya melalui negara (via state). Adapun ketujuh mekanisme yang dimaksud Deere dan de Janvry (1979) adalah: (1) sewa jasa tenaga kerja (rent in labour service), (2) sewa atas dasar kebaikan (rent in kind), (3) sewa dalam bentuk tunai (rent in cash), (4) perampasan nilai surplus melalui upah (appropriation of surplus value via the wage), (5) perampasan nilai surplus melalui harga (appropriation of surplus value via the prices), (6) perampasan nilai surplus melalui bunga tinggi (appropriation of surplus value via the usury), dan (7) pajak yang dikenakan kepada petani (peasant taxation). (Ellis 1993) Mengikuti White (2009), terdapat 4 proses kunci yang perlu dipahami dalam memahami ektraksi surplus di pedesaan yakni, 1) Produksi rumah tangga (home production); 2) produksi tenaga kerja upahan (wage labour production); 3) sirkulasi penawaran dan permintaan (supply and demand circulation); dan 4) reproduksi sosial
dan
diferensiasi
agraris
(reproduction
and
agrarian
differentiation). Lebih lanjut, menurut White (2009), petani bisa terlibat dalam berbagai mekanisme peralihan nilai-lebih kepada pelaku-pelaku lain yang bukan produsen seperti, sewa (sewa kontan; bagi-hasil; wajib kerja), hubungan perupahan, mekanisme nilai-tukar dalam pembelian dan/atau penjualan komoditi, pajak (berupa tanah, uang, natura, dan tenaga kerja), bunga pinjaman (uang, hasil, tenaga kerja).
21
Sementara Friedland dan kawan-kawan, lewat pengatannya terhadap dalam rantai komoditas selada dan tomat California yang bersandar pada perspektif Labor Proccess Marxis, meletakkan sebuah kerangka analitik dalam tiga kategori kunci yakni, moda produksi, hubungan sosial produksi, dan pembagian kerja teknis. Pada selanjutnya, Friedland bergerak ke analisis pertanian yang lebih konkret yang diuraikan melalui "lima fokus" untuk analisis sistem komoditi, yakni: praktek produksi, organisasi petani, pasar tenaga kerja, ilmu pengetahuan, serta pemasaran dan sistem distribusi. Di samping aspek-aspek utama tersebut di atas, terdapat aspek-aspek lain, yaitu perbankan dan perkreditan. Peraturan dan program pemerintah mengenai perbankan dan perkreditan dilihat sebagai suatu cara yang dengan itu faktor-faktor eksternal berusaha mempengaruhi atau mengintervensi proses-proses tersebut di atas, untuk sesuatu tujuan tertentu. Melalui mekanisme sistem perbankan dan perkreditan, surplus yang diciptakan oleh seseorang atau suatu kelompok, ataupun badan usaha, dapat beralih menjadi modal bagi orang lain, kelompok lain, ataupun badan lain, baik di dalam sektor dan lokasi yang sama maupun yang berbeda. Dengan demikian, sistem perbankan dan perkreditan dapat dipandang sebagai mekanisme yang mewujudkan mobilitas modal, baik secara spatial, secara sektoral, maupun secara sosial (antara lapisan, antara kelompok etnis, antara gender, dan sebagainya). (Wiradi et al 1991) Secara tradisional kebutuhan akan pinjaman atau kredit dalam suatu masyarakat berjalan sejajar dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam konteks masyarakat pedesaan, Boeke (1983) mencatat bahwa masyarakat petani memiliki dua kebutuhan, yakni kebutuhan ekonomis dan kebutuhan sosial. Dalam konteks yang sama Wolf (1983) juga menyebutkan bahwa untuk dapat hidup layak, seorang petani di negara berkembang harus memenuhi tiga macam kebutuhan. Pertama, replacement funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk mengganti peralatan produksi dan konsumsi. Kedua, ceremonial funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk membiayai kegiatan-kegiatan sosial. Terakhir, funds of rent, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk membayar sewa tanah apabila tanah tidak memiliki tanah
22
sendiri. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini, tidak dapat ditanggulangi dengan sumber-sumber yang dikuasai sendiri, umumnya dipenuhi dengan memanfaatkan mekanisme pinjam-meminjam yang lazim berlaku. Pinjaman yang diperoleh biasanya dibayar dalam tiga bentuk, yakni tenaga kerja, hasil produksi, atau uang. (Gunardi et al 1994) Gejala yang sama juga ditemukan oleh Djojohadikusumo (1989) melalui penelitiannya tentang masalah perkreditan pada masa depresi tahun 1930-an. Pada era kolonial tersebut, Djojohadikusumo menyebutkan empat bentuk peminjaman yang berlaku umum pada masyarakat. Pertama, pinjaman dalam bentuk padi. Pinjaman ini dimanfaatkan untuk benih atau dikonsumsi sendiri yang akan dibayar lagi sesudah panen dengan padi sebanyak satu setengah hingga dua kali padi yang dipinjam. Kedua, pinjaman uang. Pinjaman ini dikembalikan setelah panen ditambah dengan sejumlah padi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, pinjaman uang yang dibayar kembali dengan kerja yang dianggap sesuai dengan jumlah pinjaman. Keempat, pinjaman uang yang harus dibayar kembali dengan uang ditambah bunga yang telah ditetapkan. Lebih jauh juga dikatakan bahwa jenis-jenis pinjaman ini mempunyai akibat-akibat yang sangat penting. Apabila pinjaman itu membengkak, orang yang berutang hanya dapat membebaskan diri dari pinjaman pokok dan bunganya dengan cara antara lain menyewakan sebagian tanahnya – terkadang juga seluruhnya – kepada pemberi pinjaman dalam jangka waktu tertentu. Setelah habis masa sewa tanahnya, pinjaman dianggap lunas atau menggadaikan tanah kepada pemberi pinjaman. Dari berbagai uraian diatas memperlihatkan adanya hubungan yang khas di antara tiga polar, yaitu kebutuhan hidup (sosio-ekonomi), sumberdaya yang dikuasai (tanah, tenaga kerja, dan lain-lain.), dan pinjaman (natura ataupun uang tunai). Kebutuhan hidup akan dipenuhi dengan memanfaatkan sumberdaya atau, apabila dianggap tidak mencukupi, mekanisme pinjam-meminjam. Pinjammeminjam ini pun disandarkan pada nilai sumberdaya yang dikuasai. Dengan kata lain, hubungan tiga polar ini sedapat mungkin akan dipertahankan pada suatu tingkat kesetimbangan tertentu. Apabila tingkat kesetimbangan ini terganggu,
23
maka terganggu pula kesetimbangan ekonomi rumah tangga penerima pinjaman. (Djojohadikusumo, 1989)
2.5. Etika Subsistensi dan Upaya Protes Petani Menurut Scott (1981), kekhawatiran akan kekurangan pangan yang menghinggapi komunitas petani di era pra-kapitalis merupakan faktor utama tumbuhnya etika susbsitensi. Etika subsistensi petani tidak hanya memfokuskan kepada kegiatan ekonomi semata akan tetapi secara inheren memiliki dimensi normatif atau moral. Sebagai suatu prinsip moral yang berlaku, etika subsistensi berakar pada kebiasaan (tradisi) ekonomi yang didalamnya terdapat mekanisme pertukaran-pertukaran sosial diantara anggota masyarakat petani. Dalam bentukbentuk kelembagaan yang terdapat di petani subsisten, seperti pola relasi patronklien, mekanisme distribusi dan resiprositas, etika subsistensi menyediakan sebuah sistem penjaminan yang dinamakan asuransi sosial. Asuransi sosial memainkan peran vital sebagai faktor integritas petani dalam menghadapi resiko pertanian melalui sistem pertukaran sosial. Peran moral ekonomi yang lahir dari etika subsitensi petani, menurut Scott, telah melahirkan aktivitas protes dari petani subsisten. Terdapat dua tema sentral gerakan protes petani, pertama, pungutan atas penghasilan petani oleh tuan tanah (patron) dan negara tidaklah sah apabila dianggap pungutan tersebut melampaui tingkatan subsistebsi minimal menurut ukuran kultur lokal dan kedua, sumberdaya bersama (commons) seperti tanah harus didistribusikan secara sedemikian rupa agar setiap petani terjamin subsistensinya. Lebih lanjut, Scott berpendapat, dua transformasi yang terjadi di era kolonialisme secara langsung telah mengikis polapola asuransi sosial petani. Menurut Wolf dalam Scott (1981), transformasi yang tersebut adalah pengaruh kapitaslisme Atlantik Utara serta berkembangnya negara modern dibawah payung kolonialisme. Dampak adanya transformasi tersebut menyebabkan sumberdaya seperti tanah dan tenaga kerja menjadi sebuah komoditas yang hanya dilihat dari sisi nilai tukar ekonomi kapitalistik atau mekanisme pasar.
24
Scott
menyoroti
peran
negara
yang
tampil
memainkan
peran
administratifnya dengan memungut pajak pendapatan, tunjangan sosial bagi petani tanpa memperhatikan kondisi subsistensi petani yang semakin memprihatinkan. Selain itu, dampak dari penetrasi pasar mendorong setiap individu untuk melakukan
rasionalisasi
aktivitas
ekonominya
dengan
memprioritaskan
keuntungan masksimum. Secara tegas, Scott berpendapat, komersialisasi sektor agraris di era ekonomi pasar secara nyata melenyapkan bentuk-bentuk asuransi sosial yang berlaku di komunitas petani, atau dengan kata lain paradigma pasar telah mengikis mekanisme-mekanisme pemerataan yang berlaku di desa. Berbeda dengan Scott, pandangan Popkin (1986) lebih optimis terhadap prospek masa depan petani dengan adanya mekanisme pasar. Asumsi para ekonom moral yang mengatakan hanya para petani kaya yang dapat melakukan inovasi demi mengejar keuntungan maksimal sehingga peran negara menjadi dominan dalam melindungi taraf susbsistensi petani dibantah oleh Popkin. Menurutnya, stratifikasi ditataran petani lebih ditimbulkan karena perbedaan di komunitas petani dalam mendapatkan akses di pemerintahan dibandingkan dengan adanya penetrasi pasar. Popkin berpendapat, kekhawatiran kaum moralis akan tuna kuasanya petani atas akses dan kontrol akibat pasar justru memperlihatkan bahwasanya petani lebih memiliki kesempatan untuk mengontrol sumberdaya ketika mereka dibebaskan memasuki pasar akibat surplus yang mereka peroleh. Tindakan rasional individu-individu dalam menentukan pilihan dalam kegiatan ekonomi (pola produksi, konsumsi dan distribusi) menjadi prasyarat utama untuk keluar dari kebergantungan. Memberikan peran lebih kepada mekanisme pasar dapat membebaskan petani dari jeratan dominasi tuan tanah (patron klien). Dengan adanya keleluasaan petani memasuki pasar secara langsung akan mempertinggi posisi tawar petani di kalangan tuan tanah. Keberadaan pasar memberikan alternatif nbanyak pilhan serta dapat memberikan kesempatan petani untuk mendapatkan surplus dari produksi pertanian mereka. Relasi patron-klien yang terbangun komunitas petani di era pra-kapitalisme sesungguhnya tidak menjamin tingkat subsistensi petani akan tetapi justru memberikan legetimasi penguasaan sumberdaya petani oleh patron. Selain menyediakan berbagai alternatif pilihan
25
kepada petani, peran pasar juga mendorong otonomi petani agar terbebas dari dominasi tunggal (eksploitasi) patron. Popkin berpendapat, sifat diadik dari relasi patron-klien tidaklah inheren akan tetapi karena kemampuan patron dalam mengindividukan relasi yang terbangun dengan klien sehingga secara tidak langsung menghambat kekuatan proses
tawar-menawar
kolektif.
Dalam
hal
ini,
patron
tidak
hanya
menginvestasikan sumberdaya-sumberdaya klien dengan tujuan menjaga taraf subsistensi akan tetapi juga menghamabat penegmbangan kreativitas petani yang bisa merubah level keseimbangan kekuatan tawar petani. Untuk merubah pola pertukaran antara patron dan petani dibutuhkan tindakan kolektif dari petani. Untuk itu, peran ’orang luar’ dalam proses negosiasi atau tawar-menawar dengan patron akan mendorong gerakan revolusi karena para petani didaerah subsisten kurang memiliki kecenderungan untuk memperbaharui sistem kelembagaan mereka sendiri.
2.6. Review Beberapa Studi Terkait Studi mengenai kemiskinan dan marjinalisasi petani di Indonesia merupakan salah satu tema yang terus bergulir terutama pada studi-studi tentang dinamika masyarakat pedesaan berbasis agraris. Dalam lintasan sejarah, setidaknya pasca kemerdekaan Indonesia, penelitian terhadap kondisi sosialekonomi masyarakat pedesaan khususnya Jawa telah banyak dilakukan dari berbagai disiplin ilmu dengan beragam fokus kajian seperti; distribusi pendapatan rumah tangga petani (King dan Weldon, 1977, Mintoro 1984), upah dan tenaga kerja di pedesaan (Husken 1979, White 1981, Soentoro 1984), penguasaan dan kepemilikan lahan (Booth 1974, Wiradi dan Makali 1984), intesifikasi dan mekanisasi pertanian (Siregar dan Nasution 1984), migrasi dan tekanan penduduk (Hugo 1982), kelembagaan modal dan kredit pedesaan (Colter 1984), organisasi dan struktur politik lokal hingga gerakan sosial pedesaan yang kesemuanya memberikan gambaran situasi sosial-ekonomi pedesaan Indonesia. Selain itu, beberapa hasil kajian tersebut bersandar pada konteks atau situasi sosial, ekonomi dan politik yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kebijakan
26
pembangunan pertanian dan pedesaan serta dampak dari pemberlakuan kebijakan tersebut seperti; land reform (Utrecht 1969, 1973), program Bimas (Roekasah dan Penny 1967, Partadiredja, 1969), revolusi hijau, transmigrasi, program PIR-BUN (White 1996), Supra-Insus (Sawit dan Manwan 1991), program kredit usahatani (KUT), inpres desa tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan yang saat ini sedang digalakkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Dari berbagai kajian tersebut pada akhirnya turut melahirkan atau paling tidak mendorong debat teoritik yang lebih luas, lintas aktor, wilayah (ruang), disiplin dan perspektif dalam memahami kondisi kemiskinan dan marjinalisasi petani di pedesaan Inodenesia. Diantara berbagai studi tersebut, terdapat simpul-simpul tematik yg turut menjadi dasar pengambilan kebijakan pembangunan pertanian dan turut mendorong perdebatan yang cukup luas dan intens. Dalam konteks ini, posisi penilitian Geertz tahun 50an, Studi Dinamika Pedesaan/Survey Agro Ekonomika (SDP/SAE) era 70an, penelitian kolaborasi PSP-LP IPB, ISS dan PPLH ITB akhir tahun 80an serta riset aksi IDT yang dilakukan oleh P3R YAE era tahun 90an merupakan salahsatu bentuk lintasan evolusi perkembangan studi kemiskinan di pedesaan Indonesia. Hal yang perlu digaris bawahi, hasil studi SAE sebagai lembaga penelitian yang berpusat di Bogor menurut beberapa pemerhati kemiskinan dan pedesaan merupakan salahsatu hasil studi yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman kondisi pedesaan di Indonesia (de Vries 1969, Strout 1985) Studi Geertz di daerah pedesaan Jawa Timur pada tahun 1952-1954 menyimpulkan bahwa masyarakat pedesaan telah mengalami proses kemiskinan berbagi (shared poverty) dan involusi. Dengan menggunakan ilustrasi kue yang harus dipotong dan dibagi kian mengecil, Geertz berpendapat, akibat kelangkaan sumber daya lahan dan meningkatnya jumlah penduduk (tenaga kerja), di pedesaan Jawa telah terjadi apa yang ia sebut sebagai “kemiskinan berbagi” (share poverty). Selanjutnya, dengan jumlah tenaga kerja di desa melimpah ruah dan jumlah lahan yang tersedia terbatas sementara mereka (tenaga kerja di desa) harus tertampung dalam pengerjaan sebuah lahan, kondisi inilah yang ia sebut
27
sebagai involusi.1 Akibatnya, kelembagaan yang mengatur tenaga kerja dan sumberdaya agraria di desa semakin kompleks sehingga terjadi kemandegan perkembangan desa. Menurut Geertz, di pedesaan Jawa hanya terdapat rumah tangga yang kecukupan dan kekurangan (Geertz 1984).2 Dalam hal ini, di pedesaan Jawa tidak terjadi polarisasi (pengkutuban) antar warga desa.3 Gambaran masyarakat pedesaan Jawa ala Gertz oleh sebagian para pemerhati masalah pedesaan dianggap sebagai lukisan usang tentang desa atau lebih terjebak pada ingatan romantisme tentang desa. Slogan, “mangan ora mangan asal kumpul” sering kali dipakai sebagai untaian kalimat romantis dalam menggambarkan suasana pedesaan kita di Indonesia. Faktanya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sekelompok peneliti yang tergabung SAE/SDP, PSP-LP dan Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB yang bermarkas di Bogor era 70-90an, akibat agenda
1
Konsep involusi dipinjam dari Goldenweiser yang menggunakan istilah tersebut guna menerangkan pola-pola kebudayaan yang sering terlihat pada masyarakat-masyarakat primitif yang, setelah mencapai apa yang tampaknya merupakan keadaan yang menentukan, bukan saja tidak mampu memantapkan ataupun mentransformasikan diri ke dalam suatu pola baru, tetapi malah, terus saja berkembang secara melingkar-lingkar ke dalam. Dalam bidang ekonomi konsep involusi ini menunjukkan suatu pola perubahan teknis di mana produksi pertanian ditingkatkan hanya dengan meningkatkan masukan tenaga kerja ke tiap bidang sawah. (Kano 1986) 2
Geertz menyatakan, “di bawah tekanan jumlah penduduk yang makin banyak dan sumbersumber daya yang terbatas, masyarakat Jawa terbagi menjadi dua golongan, –yaitu golongan tuan tanah besar dan golongan setengah budak yang tertindas –sebagaimana halnya pada begitu banyak negara “berkembang” lainnya. Tetapi sebaliknya, masyarakat ini mempertahankan suatu tingkat homogenitas (keserbasamaan) sosial dan ekonomi yang cukup tinggi, dengan membagi kue ekonomi dalam potongan yang makin lama makin kecil, suatu proses yang pada bagian-bagian lain saya sebut “kemiskinan bersama”. Masyarakat bukannya terbagi dalam golongan kaya dan golongan miskin; yang ada –dalam bahasa kaum tani yang sedikit diperhalus –hanyalah golongan cukupan dan golongan kekurangan.Yang kita temukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur bukannya pemusatan kekayaan secara pesat serta terbentuknya kaum proletariat pedesaan yang terasing dan miskin seperti yang kita jumpai di begitu banyak daerah “terbelakang”, melainkan proses pembagi-bagian tanah dan harta penduduk secara hampir merata. Dengan demikian kaum tani boleh dikatakan dapat mempertahankan keseimbangan atau kesamaan di bidang agama, politik, sosial dan ekonomi dengan sesamanya, dan tingkat hidup mereka sama-sama merosot jauh”. (Kano, 1986) 3
Chayanov (1925) menyatakan, bahwasanya yang terjadi di pedesaan adalah diferensiasi demografis. Dengan menjaga keseimbangan antara tingkat konsumsi dan tenaga kerja yang berasal dari keluarga (consumer-labour balance), maka suatu unit rumah tangga tani suatu saat bisa jadi kaya atau jatuh miskin. Dalam kaitan ini, suatu unit rumah tangga petani belum cukup menjadi sebuah kekuatan kelas (Thorner 1966). Bandingkan dengan pandangan kaum Marxian ortodoks Rusia seperti Lenin yang berpendapat bahwa akibat masuknya kapitalisme ke pedesaan berdampak terjadinya diferensiasi kelas. (Ellis 1993)
28
modernisasi pertanian lewat revolusi hijau di pedesaan telah mengarah terjadinya polarisasi di tingkat warga desa.4 Sebagai sebuah kritik, Sajogyo dalam Geertz (1984) menunjukkan sekitar 10 persen rumah tangga petani di desa memiliki atau menguasai kurang lebih 80 persen lahan garapan pertanian. Sisanya, sekitar 20 persen lahan di desa diolah oleh 80 persen rumah tangga petani. Dengan kata lain, penelitian Geertz kurang memperhatikan adanya struktur ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan yang pada akhirnya bermuara pada ketimpangan distribusi pendapatan antar warga desa. Kritik yang sama juga dilontarkan oleh Collier (1981), yakni Geertz mengabaikan nafkah petani di luar usahatani (off-farm). Padahal nafkah di luar usahatani di Jawa sesungguhnya menyita banyak dari seluruh waktu kerja, dan jika pendapatan di luar usahatani dihitung, pendapatan perkapita kemungkinan akan kelihatan meningkat (evolution), bukannya menurun seperti yang dikatakan Geertz. Disamping itu, Collier (1981) dan White (1983) menunjukkan bahwa kesimpulan Geertz mengabaikan fakta adanya diferensiasi kelas agraris yang terjadi di pedesaan sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Sajogyo sebelumnya. Beragam lontaran kritik yang berasal serangkaian penelitian di beberapa desa era 70 hingga 80-an oleh sekelompok pemerhati SAE/SDP seperti Collier, Sajogyo, White dan Wiradi juga turut mengundang respon oleh pemerhati pedesaan lainnya, seperti Prof. Yujiro Hayami dan Dr. Masao Kikuchi asal Jepang yang melakukan penelitian di desa-desa Indonesia dan Filiphina. Menurut Hayami dan Kikuchi (1987), hasil penelitian Gertz pada tahun tersebut telah menunjukkan bahwa di pedesaan Jawa terdapat kelembagaan tradisional yang mengatur pemerataan kesejahteraan antar warga. Selain itu, menurut hasil studi Hayami dan Kikuchi, tekanan jumlah penduduk merupakan faktor utama bagi terjadinya perubahan hubungan-hubungan agraris di pedesaan. Dalam hal peran teknologi, pandangannya berlawanan dengan Colletal (Collier cs), yaitu bahwa teknologi justru dapat mengatasi proses pemiskinan dan dapat menangkal proses 4
Bandingkan dengan kesimpulan Hayami dan Kikuchi (1987) yang menyatakan bahwa yang terjadi di pedesaan lebih menunjukkan kepada gejala semakin terstrafikasinya masyarakat pedesaan.
29
kesenjangan. Karena itu, institusi tradisional yang ternyata dapat berfungsi sebagai pranata kesejahteraan tidak harus berubah, dan sebaiknya tidak harus diubah, melainkan di-“modernisir” (inovasi) sehingga dapat menjadi penangkal proses diferensiasi kelas. (Wiradi 2010) Lewat studi yang dilakukan di salah satu desa sampel SAE di Jawa Tengah, Prof. Gillian Hart menegaskan bahwa, kedua “paradigma” (baik Hayami dan Kikuchi maupun Collier) tersebut di atas dianggap tidak mampu menjelaskan “timing” dan “laju” perubahan. Selain itu, perubahan hubungan agraris di pedesaan Indonesia bukan semata-mata disebabkan oleh perubahan teknologi, bukan oleh meningkatnya jumlah penduduk, bukan pula oleh proses komersialisasi, melainkan – yang paling penting – oleh perubahan kondisi politik serta keresahan atau ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi yang dilahirkannya. Karena itu, peran negara menurut Hart perlu dimasukkan dalam analisis. Dalam hubungan ini, Hart mengajukan teori mengenai ELA (exclusionary labor arrangements) dimana pengaturan tenaga kerja pertanian (buruh kontrak, buruh harian, dan lain-lain) didasarkan pada suatu pola perekrutan yang di satu pihak mengatur kewajiban-kewajiban, dan di lain pihak menguatkan kontrol atas buruh tani.5 (Wiradi 2010) Pada gilirannya, melalui kajiannya di daerah Kabupaten Subang awal dekade 1990-an tepatnya di dua desa yang menjadi desa studinya Hayami dan Kikuchi dan satu desa lain sebagai pembanding, Dr. Jonathan Pincus, pakar dari FAO menawarkan dua tesis utama sebagai respon terhadap ketiga pandangan sebelumnya (Collier dan kawan-kawan, Hayami dan Kikuchi serta Hart) yakni Pertama, faktor-faktor spesifik lokal (sejarah terbentuknya desa; kondisi agroekologis; dan perimbangan kekuatan antara kelas sosial), merupakan pemegang peran utama dalam membentuk pola-pola perubahan sosial pada tingkat desa. Kedua, faktor-faktor lokal tersebut mempengaruhi arah proses perubahan agraris
5
ELA (exclusionary labor arrangements) ini merupakan suatu mekanisme di mana negara dan pemilik tanah bukan saja “mengatur tenaga kerja”, namun juga “menerapkan kontrol sosial”. Di sini, persoalan mobilisasi dukungan politik dan pelaksanaan “hukum dan ketertiban” menjadi kunci untuk menjelaskan bentuk-bentuk agrarian labor arrangements. (Wiradi, 2010)
30
melalui pengaruhnya atas pembentukan dan perkembangan hubungan antarrumahtangga, di tingkat desa.6 (Wiradi 2010) Hasil studi yang dilakukan Ghose dan Griffin (1980) di 12 negara termasuk Indonesia menyebutkan, jumlah penduduk miskin di pedesaan akan terus meningkat tajam. Hal ini disebabkan salah satunya karena kegagalan agenda “revolusi hijau” dalam “merevolusikan” produksi pertanian di pedesaan yang tidak didahului oleh pembenahan struktur agaria. Akibatnya, intervensi teknologi pertanian di pedesaan hanya dinikmati oleh gologan ekonomi kuat di desa. Dengan kata lain, penerapan agenda revolusi hijau sangat bertentangan dengan kepentingan kelompok miskin di pedesaan. Sebagai jalan keluar dari problem kemiskinan di pedesaan, maka perlu dilakukan land reform dalam arti luas yang meliputi, redistribusi lahan untuk mengentaskan ketuna-kismaan petani dan menjadikan keluarga tani berskala kecil sebagai unit pokok produksi serta peningkatan pertanian kolektif. (Ghose dan Griffin 1980) Berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Ghose dan Griffin akan situasi suram kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan Indonesia, menurut laporan The World Development Report 2008: Agriculture for Development dirilis oleh Bank Dunia menyebutkan bahwa angka kemiskinan di pedesaan Indonesia memiliki tren yang terus menurun (World Bank 2008). Selain itu, menurut laporan tersebut, Indonesia dan sebagian negara Asia lainnya dimasukkan dalam kategori negara yang sedang mengalami transformasi struktural dimana kontribusi sektor pertanian hanya sekitar 25 persen terhadap GDP dan 60 persen dari total penduduk miskin berada di pedesaan. Dalam konteks ini, tranformasi struktural ditandai dengan pergeseran peran pertanian kepada sektor industri dan jasa disatu sisi dan diikuti oleh penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan. Dalam laporan yang dirilis Bank Dunia tersebut juga digambarkan situasi penurunan angka kemiskinan di pedesaan Indonesia bersandar pada tiga jalur utama, yakni: usahatani komersil, diversifikasi nafkah rumah tangga petani dan pengerahan tenaga kerja upahan (pertanian dan non pertanian), serta migrasi keluar desa. Namun demikian, laporan Bank Dunia diatas turut mengundang 6
Hasil kajian Pincus di awal dekade 1990-an tersebut kemudian dijadikan disertasi dan diterbitkan sebagai buku dengan judul: Class, Power and Agrarian Change (1996).
31
respon kritis dari berbagai kalangan pemerhati diantaranya Akram-Lodhi (2009) yang mengungkapkan, penjelasan terhadap proses transformasi struktural di beberapa negara Asia yang tertera dalam laporan tersebut masih bersandar pada teori modernisasi klasik ala Rostow (tahap lepas landas).
2.6. Kerangka Konseptual Kemiskinan dipandang sebagai akibat dari adanya relasi-relasi sosial yang terdapat di suatu masyarakat. Kemiskinan yang demikian ini disebut sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural mengacu pada ketimpanganketimpangan sosial yang telah meresapi struktur dan lembaga-lembaga sosial dan menjelma didalamnya (Winangun 2004). Persoalan kemiskinan memiliki keterhubungan erat dengan berbagai proses peminggiran sosial (social exclusion) dan marginalisasi yang dialami individu maupun kelompok. Mengikuti pendapat Deere dan de Janvry (1979) dalam Ellis (1993), terdapat 7 (tujuh) mekanisme yang menjelaskan bagaimana surplus (nilai lebih) yang dihasil petani ditangkap (diserap) oleh pelaku ekonomi (individu, kelompok maupun negara). Ketujuh mekanisme tersebut, tiga diantaranya melalui sewa (via rent), tiga selanjutnya melalui pasar (via market) dan sisanya melalui negara (via state). Adapun ketujuh mekanisme yang dimaksud Deere dan de Janvry (1979) adalah: (1) sewa jasa tenaga kerja (rent in labour service), (2) sewa atas barang (rent in kind), (3) sewa dalam bentuk tunai (rent in cash), (4) perampasan nilai surplus melalui upah (appropriation of surplus value via the wage), (5) perampasan nilai surplus melalui harga (appropriation of surplus value via the prices), (6) perampasan nilai surplus melalui bunga tinggi (appropriation of surplus value via the usury), dan (7) pajak yang dikenakan kepada petani (peasant taxation). (Ellis 1993) Dalam hal ini, White (2009) menyebutkan, empat proses kunci yang perlu dipahami dalam memahami ektraksi surplus di pedesaan yakni, 1) Produksi rumah tangga (home production); 2) produksi tenaga kerja upahan (wage labour production); 3) sirkulasi penawaran dan permintaan (supply and demand circulation); dan 4) reproduksi sosial dan diferensiasi agraris (reproduction and
32
agrarian differentiation). Lebih lanjut, menurut White (2009), petani bisa terlibat dalam berbagai mekanisme peralihan nilai-lebih kepada pelaku-pelaku lain yang bukan produsen seperti, sewa (sewa kontan; bagi-hasil; wajib kerja), hubungan perupahan, mekanisme nilai-tukar dalam pembelian dan/atau penjualan komoditi, pajak (berupa tanah, uang, natura, dan tenaga kerja), bunga pinjaman (uang, hasil, tenaga kerja). Dengan demikian, memahami bagaimana penciptaan kemiskinan sebagai hasil dari marginalisasi komunitas petani di pedesaan dapat ditelusuri dengan mengidentifikasi struktur dan organisasi sosial yang terdapat di komunitas yang mengatur akses dan kontrol terhadap faktor-faktor produksi serta turut menentukan hubungan produksi, pola pertukaran dan distribusi hasil dari setiap aktivitas produksi di tiap rumah tangga petani. Hadirnya insiatif warga dari bawah yang mengorganisir diri dalam organisisasi tani lokal merupakan suatu yang tidak dapat
dipisahkan dalam memahami upaya
pembaharuan atas hadirnya
ketimpangan struktur atas penguasaan sumber-sumber agraria lokal di pedesaan dataran tinggi Garut, Jawa Barat