5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 2.1.1
Tinjauan Pustaka Kedaulatan Pangan Konsep kedaulatan pangan ini dikembangkan oleh La Via Campesina et
al. (2008) yang menjelaskan bahwa kedaulatan pangan memprioritaskan produksi pertanian lokal untuk mendukung ketersediaan bahan pangan untuk masyarakat. La Via Campesina menjelaskan kedaulatan pangan merupakan hak asasi manusia. Kedaulatan pangan mensyaratkan reforma agraria yang berkaitan dengan hak atas pangan yang mencukupi dan hak atas tanah. Kedaulatan pangan adalah hak masyarakat dalam menetapkan kebijakan pertanian dan pangannya. Kedaulatan pangan mencakup (Bonnie, 2003): 1.
2.
3. 4. 5.
Memprioritaskan produksi pertanian lokal untuk memberi makan rakyat, akses petani dan tunakisma atas tanah, air benih, dan kredit. Karena itu perlu menjalankan land reform, akses atas benih, dan melindungi air sebagai barang publik untuk didistribusikan berkelanjutan. Hak petani untuk memproduksi makanan dan hak konsumen untuk menentukan apa yang dikonsumsi, bagaimana diproduksi dan siapa yang memproduksi. Harga pertanian terkait dengan biaya produksi, misalkan dengan mengenakan pajak atas impor berlebihan yang murah. Rakyat ikut serta dalam penentuan pemilihan kebijakan pertanian. Pengakuan atas hak-hak petani perempuan, yang memegang peran utama dalam produksi pertanian dan pangan. Kedaulatan pangan mempunyai fokus pada beberapa elemen kunci.
Elemen tersebut meliputi produksi pangan untuk pasar domestik dan lokal serta memanfaatkan usahatani petani kecil dan keluarga yang agro-ekologis, menjamin akses tanah dan sumber-sumber daya yang vital, menjamin terciptanya harga yang adil, menghormati peran wanita dalam produksi pangan, akses atas sumberdaya, mendorong kontrol komunitas atas sumberdaya produktif, dan melindungi benih dari pematenan. Jaminan kepemilikan lahan dan/atau mendapatkan akses merupakan suatu yang vital untuk menciptakan keterjaminan pangan tanpa jaminan dan/atau hak tersebut, sulit untuk mengalokasikan sumberdaya untuk mencapai kedaulatan
6
pangan. Langkah yang tepat untuk mencapai hal tersebut adalah melalui reforma agraria yang tepat yang berwatak distribusi merata serta peraturan-peraturan hakhak yang sesuai dengan sosio-kultural masing-masing. 2.1.2
Penguasaan Tanah Distribusi penguasaan tanah di kalangan rumahtangga petani di pedesaan
akan membentuk pola penguasaan tanah. Maksud penguasaan tanah adalah luas tanah yang dikuasai mengacu pada penguasaan yang efektif (bukan pemilikan tanah yang sebenarnya), berdasarkan hak milik, menyakap, menyewa, dan bagi hasil (Wiradi, 2008). Menurut Wiradi, penyewa adalah rumahtangga petani yang menguasai tanah orang lain dengan sewa tetap, sedangkan penggarap adalah penguasaan tanah oleh rumahtangga tidak hanya berupa sewa tetapi juga bagi hasil. Selanjutnya bentuk-bentuk penguasaan tanah secara adat yang terdapat di Pulau Jawa menurut Wiradi (2008) adalah: 1.
Tanah yasan, yaitu tanah yang didapatkan seseorang karena membuka hutan atau tanah liar untuk dijadikan tanah garapan. Hak seseorang berasal dari fakta bahwa dialah, atau nenek moyangnya yang semula membuka tanah tersebut. Istilah yasa atau yoso dalam Bahasa Jawa berarti membuat sendiri atau membangun sendiri (bukan membeli). Bentuk hak atas tanah ini dalam UUPA dikategorikan hak milik.
2.
Tanah gogolan, yaitu tanah pertanian milik masyarakat desa yang hak pemanfaatannya dibagi-bagi kepada sejumlah petani (biasanya disebut sebagai penduduk inti) secara tetap maupun secara giliran berkala. Pemegang hak garap tanah ini tidak berhak untuk menjualnya atau memindahtangankan hak tersebut. Dalam konsep barat tanah gogol dikategorikan sebagai pemilikan komunal.
3.
Tanah titisara (titisoro, tanah kas desa, tanah bondo desa) adalah tanah pertanian milik desa yang secara berkala biasanya disewakan atau disakapkan dengan cara dilelang terlebih dahulu. Hasil menjadi kekayaan desa yang biasanya dipergunakan untuk keperluan-keperluan desa, baik sebagai sumber dana anggaran rutin maupun untuk pembangunan.
7
4.
Tanah bengkok yaitu tanah pertanian (umumnya sawah) milik desa yang diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai gajinya selama menduduki jabatan tersebut. Setelah tidak lagi menjabat, maka tanah tersebut dikembalikan kepada desa untuk diberikan kepada pejabat yang baru. Hubungan antara manusia dengan sesamanya dan sumberdaya tanah dalam
penguasaan tanah tidaklah bersifat statis melainkan dinamis. Dinamika dalam penguasaan tanah menyangkut pemilikan maupun penguasaan tanah. Berdasarkan sifatnya, perubahan penguasaan tanah ada yang bersifat sementara dan tetap. Penguasaan tanah yang bersifat sementara dilakukan melalui sewa menyewa, gadai, dan bagi hasil sedangkan perubahan penguasaan tanah yang bersifat tetap dilakukan melalui waris dan transaksi jual beli. Petani miskin yang tidak mempunyai tanah garapan dapat menguasai tanah melalui hubungan penguasaan sementara dengan petani lain (Wiradi, 2008), karena pemilik tanah luas biasanya tidak selalu menggarap sendiri (Breman dan Wiradi, 2004). 2.1.2.1 Sewa Breman dan Wiradi (2004) mendefinisikan sewa yakni menyewakan tanah untuk satu atau lebih musim dengan mendapat sejumlah uang yang biasanya dibayarkan sebelumnya. Dalam sewa pemilik tanah memberikan hak penguasaan tanah kepada orang lain secara sementara, sesuai dengan perjanjian antara keduanya (Wiradi dan Makali, 1984). Istilah sewa di beberapa desa di Jawa diantaranya motong, kontrak, sewa tahunan setoran, jual oyodan, dan jual potongan. Berdasarkan waktu pembayarannya, sewa dapat dibayar sebelum atau setelah menyewa tanah, tergantung pada kebiasaan. Istilah motong, kontrak, dan setoran, harga sewa dibayar setelah panen sedangkan sewa tahunan, jual oyodan atau jual potongan harga sewa dibayar sebelum penyewa menggarap tanah sewaannya. Selanjutnya urutan bagi penyewa tanah untuk menggarap tanah menentukan harga sewa tanah. Penyewa yang langsung menggarap (berada pada urutan pertama) membayar sewa lebih mahal daripada penyewa yang harus menunggu beberapa musim kemudian (Wiradi dan Makali, 1984).
8
2.1.2.2 Hak Gadai Gadai yaitu menyerahkan tanah kepada seorang kreditor yang kemudian punya hak menggunakan tanah itu selama jangka waktu berlakunya pinjaman (Breman dan Wiradi, 2004). Sama halnya dengan sewa, gadai juga memberikan hak penguasaan tanah secara sementara. Pembayaran pinjaman dapat berupa sekuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor sapi atau kerbau. Pemilik tanah dapat memperoleh tanahnya kembali bila ia telah menebusnya. Selama pemilik tanah belum dapat menebus, maka hak penguasaan atas tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah dilakukan setelah tanamannya selesai dipanen (Wiradi dan Makali, 1984). Pada sistem gadai, petani kecil berpeluang untuk kehilangan tanahnya sedangkan pemilik tanah besar justru berpeluang untuk mengakumulasikan tanahnya. Proses kehilangan tanah pada petani kecil dapat terjadi bila mereka tidak dapat membayar hutang. Tanah ditukar sebagai jaminan atas uang yang mereka pinjam. Tanah yang dijadikan jaminan berpindah tangan kepada si peminjam uang sebagai ganti atas hutang yang tidak bisa mereka bayar (Breman dan Wiradi, 2004). Sebaliknya proses akumulasi tanah dapat terjadi pada petani kaya dikarenakan dua hal, yaitu: (1) Mereka dapat membayar hutang, sehingga tanah dikembalikan pada si pemilik. Ini berarti tanah mereka tidak hilang, (2) Uang yang mereka dapatkan dari menggadaikan tanah digunakan untuk mendapatkan uang tunai. Selanjutnya dipergunakan untuk membeli tanah atau menanam modal. Tanah yang dimiliki petani kaya bertambah luas karena adanya pembelian tanah hasil dari uang gadai. Hasil dari usaha mereka ini kemudian mereka gunakan untuk membayar kembali uang yang sudah mereka pinjam (Breman dan Wiradi, 2004). 2.1.2.3 Bagi Hasil Bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan perjanjian si penggarap akan menanggung beban tenaga kerja seluruhnya, dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. Dengan cara bagi hasil ini, maka si pemilik tanah turut menanggung resiko kegagalan. Inilah yang membedakannya dari sistem sewa-menyewa. Dalam sistem sewa, pemilik tanah
9
sama sekali tidak menanggung resiko. Besar kecilnya bagian hasil yang harus diterima oleh masing-masing pihak pada umumnya telah disepakati bersama oleh pemilik dan penggarap sebelum penggarap mulai mengusahakan tanahnya (Wiradi dan Makali, 1984). Masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah, dalam UndangUndang Pokok Agraria (UUPA tahun 1960) diatur dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang menyebutkan bahwa: adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orangorang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badanbadan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah, dalam batas-batas menurut undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA Tahun 1960). Selanjutnya dalam pasal 16 ayat 1 UUPA Tahun 1960, dijelaskan macam-macam hak atas tanah yang meliputi: a) hak milik, b) hak guna usaha, c) hak guna bangunan, d) hak pakai, e) hak sewa, f) hak membuka tanah, g) hak memungut hasil hutan, dan h) hak-hak lain termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA Tahun 1960 yang menunjukkan pada hak gadai, hak usaha bagi-hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat. Selanjutnya mengenai bagi hasil, pada UUPA No. 2 Tahun 1960, tentang perjanjian bagi hasil dijelaskan bahwa: perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam UU ini disebut: penggarap – berdasarkan perjanjian dimana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
10
2.1.3
Sistem Pemilikan Tanah Ada empat sistem pemilikan tanah di Jawa, menurut Koentjaraningrat
(1984), yaitu sistem pemilikan umum atau komunal dengan pemakaian beralih (norowito), sistem milik dengan pemakaian bergilir (norowitogilir), sistem komunal dengan pemakaian tetap (bengkok), dan sistem individu/yasan. Tidak diketahui dengan pasti kapan keempat sistem itu mulai berlaku, demikian juga tentang ketersebarannya di daerah pedesaan Jawa. Ciri khas struktur pemilikan tanah di Jawa Tengah (Rőll, 1983) ialah adanya hubungan yang sangat erat antara struktur pemilikan tanah dengan keadaan sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari masyarakat pedesaan. Karena itu, dalam susunan masyarakat agraris yang kurang dinamis dan tradisional, hak-hak penguasaan tanah yang berbeda-beda menentukan keadaan ekonomi seseorang, yang sejak dahulu kala merupakan ukuran tingkat kedudukan sosial seseorang, dan hingga kini masih merupakan suatu ciri yang representatif bagi kedudukan sosial seseorang. Hak milik, menurut pasal 20 UUPA Tahun 1960 adalah hak turuntemurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6, hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak pakai menurut pasal 41 UUPA Tahun 1960, adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolah tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. 2.1.4
Lapisan Sosial Masyarakat Soekanto (2006) menyebutkan bahwa selama dalam suatu masyarakat ada
sesuatu yang dihargai dan setiap masyarakat pasti mempunyai suatu yang dihargainya, maka hal itu akan menjadi potensi yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, atau mungkin juga
11
keturunan dari keluarga yang terhormat. Mengenai hal ini Pitirim A Sorokin dalam Soekanto (2006) menggunakan sistem pelapisan masyarakat dengan istilah social stratification (stratifikasi sosial). Sorokin menjelaskan stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkis). Menurut Weber dalam Soekanto (2006) konsep stratifikasi sosial meliputi class (kelas), status (kelompok status), dan partai-partai. Kelas merupakan stratifikasi sosial yang berdimensi ekonomi berupa produksi dan penguasaan. Status merupakan perwujudan stratifikasi sosial yang berkenan pada prinsipprinsip yang dianut pada masyarakat bersangkutan dalam mengkonsumsi “hartabenda”, menyangkut gaya hidup (life style), kehormatan (honour) dan hak-hak istimewa (privileges). Partai merupakan perkumpulan sosial yang berdimensi pada penggunaan kekuasaan yang mempengaruhi tindakan masyarakat. Berdasarkan teori stratifikasi Weber, maka dasar menentukan kelas (lapisan masyarakat) pada suatu masyarakat diantaranya dapat berdasarkan ukuran pemilikan yang berkaitan dengan produksi. Maksud Weber, kelas itu mencakup orang yang memiliki peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut ekonomis, antara lain melalui pemilikan dan penguasaan tanah. Sajogyo (1982) dalam Penny (1990) membedakan struktur sosial pedesaan Jawa berdasarkan luas penguasaan tanah pertanian. Struktur sosial pedesaan Jawa dibedakan menjadi tiga lapisan sosial yaitu: (1) Lapisan atas atau “orang kaya” di desa, bila menguasai tanah lebih dari satu hektar; (2) Lapisan tengah, bila menguasai tanah antara 0,5 sampai 1 hektar tanah; (3) Lapisan bawah, adalah masyarakat yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar atau tidak mempunyai tanah sama sekali. Sementara Breman (1986) membagi masyarakat desa pertanian menjadi tiga lapisan berdasarkan modal yang dikuasai yakni berupa akses terhadap tanah disamping kepemilikan modal di luar sektor pertanian. Tiga lapisan masyarakat menurut Breman adalah: (1) Lapisan atas, yaitu pemilik atau penggarap lahan pertanian lebih dari satu hektar, pedagang atau pemilik toko besar, pimpinan dan guru; (2) Lapisan menengah, yaitu pemilik atau penyewa lahan pertanian paling sedikit 0,25 hektar, pedagang dengan modal kecil, pemilik warung, penarik ojek, tukang ahli dan buruh dengan pekerjaan tetap, pegawai
12
rendah (seperti hansip dan penjaga pintu air); (3) Lapisan bawah, yaitu buruh tani, pemilik dan penyewa lahan marginal, pekerja kasar dan pekerja tidak tetap, pekerja transport tanpa milik, pedagang asongan, dan pembantu rumahtangga. 2.1.5
Konsep Kelembagaan: Perspektif Kelembagaan Manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak pernah dapat
lepas dari kebutuhan untuk berinteraksi dengan sesamanya dalam lingkup kehidupan bermasyarakat. Setiap melakukan interaksi, mereka kadang-kadang melakukan tindakan-tindakan yang berpola resmi maupun yang tidak resmi. Menurut Koentjaraningrat (1964) dalam Soekanto (2006), sistem-sistem yang mewadahi warga masyarakat untuk dapat berinteraksi menurut pola-pola resmi dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut dengan pranata, atau dalam bahasa inggris dengan institution. Tindakan-tindakan yang berpola tersebut ditekankan pada suatu sistem norma khusus yang menata atau mengatur tindakan-tindakan manusia agar dapat memenuhi suatu keperluan khusus dalam kehidupan bermasyarakat. Definisi tersebut lebih menekankan pada sistem tata kelakuan atau sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Koentjaraningrat (1954) dalam Soekanto (2006) membedakan istilah pranata dengan lembaga, dimana menurut Koentjaraningrat pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus, sedangkan lembaga atau institut merupakan suatu bentuk konkrit berupa badan atau organisasi yang mengejawantahkan aktivitas masyarakat tersebut. Uphoff (1986) menegaskan, bahwa kelembagaan dapat sekaligus berwujud organisasi dapat berwujud kelembagaan. Perbedaannya, kelembagaan berupa seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi kebutuhan kolektif, sedangkan organisasi berupa struktur dari peran-peran yang diakui dan diterima. Norma-norma yang berkembang di masyarakat memberikan petunjuk bagi perilaku seseorang yang hidup di dalam masyarakat. Norma mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, Soekanto (2006) membedakan tingkatan tersebut kedalam empat tingkatan, yaitu: 1.
Cara (usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang lebih menonjol di dalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan
13
terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman berat, tetapi hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya. 2.
Kebiasaan (folkways) mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuataan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut.
3.
Tata kelakuan (mores) mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.
4.
Adat-istiadat (custom) merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat, akan menderita sanksi yang keras. Jika Koentjaraningrat menggunakan istilah pranata untuk menjelaskan
tentang
kelembagaan,
Soekanto
(2006)
menggunakan
istilah
lembaga
kemasyarakatan atau lembaga sosial yaitu himpunan norma-norma yang mengatur segala tindakan atau berisikan segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Wujud konkrit dari lembaga kemasyarakatan adalah association. 2.1.6
Konsep Kelembagaan Pangan Kelembagaan (institution) merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan
berpola dari manusia dalam kebudayaannya beserta komponen-komponennya yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan dan untuk wujud fisik kebudayaan ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola (Koentjaraningrat, 1964 dalam Soekanto, 2006). Menurut Anwar (2001) dalam Basri (2008), institusi atau kelembagaan merupakan aturan main (the rule of game) dalam masyarakat yang secara lebih formal dapat dikatakan sebagai alat manusia guna mengatur perilaku individual anggotanya yang membangun pengaturan dalam interaksi antar anggota-anggota
14
dalam masyarakat tersebut melalui norma-norma tertentu. Dalam beberapa hal institusi merupakan kendala-kendala terhadap kebebasan individual anggotaanggotanya dalam masyarakat karena kebebasan individu sering membuat tindakan yang menimbulkan eksternalitas (terutama yang negatif) yang sering mengancam kepentingan masyarakat keseluruhan. Oleh sebab itu, masyarakat perlu membatasi kebebasan individual-individual tersebut agar perilakunya bersesuaian dengan kepentingan masyarakat. Kelembagaan memiliki dua pengertian. Pertama sebagai aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal. Dalam kaitan kelembagaan pangan masyarakat, kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik yang formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan kewajiban dalam kelembagaan. Kedua kelembagaan sebagai suatu organisasi dalam pengertian ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga, tetapi oleh mekanisme administratif dan kewenangan. Sumardjo (2003) mendefinisikan kelembagaan pangan masyarakat sebagai segala bentuk pengaturan atau keteraturan perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan di masyarakat yang telah menjadi acuan dalam bertindak, karena di dalamnya terkandung nilai, norma, penggunaan/pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendukungnya, serta cara-cara perpola pengendalian sosial agar kelembagaan tersebut senantiasa terjaga dengan efektif sebagai wahana memenuhi kebutuhan masyarakat. Nilai yang menjadi acuan bertindak anggota dan pengurus kelembagaan pangan (lumbung pangan masyarakat) meliputi kepercayaan, memenuhi kebutuhan pangan dan modal terutama dalam keadaan darurat, dan nilai transparansi (keterbukaan) sedangkan norma yang menjadi acuan dalam bertindak meliputi sistem jasa, pinjaman, bagi hasil, pengambilan dalam bentuk natura dan fungsi penyangga harga (PSP-IPB, 2003 dalam Basri, 2008). Sistem lumbung pangan masyarakat adalah suatu sistem kelembagaan penyedia bahan pangan dan bahan-bahan lainnya yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama menanggulangi kerawanan pangan. Kegiatan-kegiatan pelaksanaan lumbung pangan masyarakat diharapkan dapat
15
didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat (Tim Studi Lumbung IPB, 2003 dalam Basri, 2008). 2.1.7
Lumbung Pangan Menurut Kusumowardani (2002) istilah lumbung telah dikenal oleh
masyarakat di beberapa daerah. Lumbung yang ada sering dikonotasikan sebagai lumbung paceklik. Lumbung paceklik tersebut dibentuk sebagai cadangan bagi petani di musim paceklik sehingga petani dapat meminjam gabah untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga. Keberadaan lumbung pangan merupakan lembaga alternatif yang diupayakan dapat menggantikan peran kelembagaan lokal yang sekarang mengalami banyak kehancuran. Keberadaan lumbung pangan tidak hanya diperlukan pada masa paceklik saja melainkan sebagai alternatif penyediaan modal bagi petani. Peran yang dijalankan oleh lumbung pangan adalah sebagai berikut: 1. Menampung surplus produksi pangan pedesaan pada saat panen. 2. Melayani kebutuhan pangan pedesaan pada musim paceklik. 3. Melakukan simulasi pemupukan modal melalui iuran dalam bentuk bahan pangan maupun tunai. 4. Membantu petani yang kesulitan modal usaha dengan cara menyediakan alternatif kredit mikro bagi warga komunitas sehingga warga terhindar dari praktek-praktek bank harian dari para pengijon. 5. Menghindari petani dari kerugian penjualan dini atas produksi usaha tani untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan menghindarkan petani untuk membeli bahan pangan pokok dengan harga tinggi pada musim paceklik. Sistem lumbung pangan masyarakat adalah suatu sistem kelembagaan penyedia bahan pangan dan bahan-bahan lainnya yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama menanggulangi kerawanan pangan. Kegiatan-kegiatan pelaksanaan lumbung pangan masyarakat diharapkan dapat didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat (Tim Studi Lumbung IPB, 2003 dalam Basri, 2008).
16
2.2
Kerangka Pemikiran Tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia, karena hampir seluruh aktivitas kehidupan manusia mulai dari proses produksi pertanian, pemukiman, sampai kegiatan industri membutuhkan tanah sebagai input. Bahkan dalam teori produksi hasil-hasil pertanian, tanah ditempatkan sebagai faktor produksi utama dalam setiap proses produksinya. Pertambahan penduduk serta akibat dari berkembangnya kegiatan perekonomian membawa konsekuensi semakin besarnya permintaan akan tanah untuk berbagai keperluan pertanian dan pemukiman. Keadaan ini menyebabkan terjadinya ketimpangan penguasaan terhadap tanah. Derajat ketimpangan yang berkembang akan mempengaruhi strategi pengaturan pangan di masyarakat. Pada akhirnya, penguasaan tanah dan strategi pengaturan pangan masyarakat akan menentukan kondisi kedaulatan pangan. Struktur penguasaan tanah meliputi luas lahan yang dimiliki; luas yang dikuasai; status kepemilikan; dan status penguasaan. Masyarakat yang memiliki luas tanah yang sempit akan berbeda dengan masyarakat dengan memiliki luas tanah yang luas dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing. Masyarakat dengan luas tanah yang kecil dapat menambah luas garapan dengan berbagai bentuk penguasaan yang diperoleh dari pihak lain. Masyarakat yang memiliki tanah yang luas dapat membantu masyarakat yang memiliki luas tanah yang sempit. Hubungan tersebut dapat terjadi didukung oleh norma-norma yang berkembang di masyarakat. Setiap masyarakat pertanian memiliki kelembagaan pangan yang merupakan bentuk pengaturan atau keteraturan yang dapat menyumbang pada kedaulatan pangan masyarakat. Jika kelembagaan pangan yang ada dalam masyarakat berkembang, norma-norma yang dianut serta adanya hubungan interaksi yang dilandasi rasa saling percaya, maka upaya masyarakat mencapai kedaulatan pangan akan berlangsung dengan baik. Kelembagaan lumbung pangan masyarakat merupakan sebuah wadah yang diharapkan dapat meningkatkan kedaulatan pangan. Lumbung pangan masyarakat erat kaitannya dengan dua aspek yaitu (1) potensi sektor pertanian; dan (2) peran
17
kelembagaan pangan yang ada dalam masyarakat tersebut. Potensi sektor pertanian dikelola melalui kelembagaan sehingga masing-masing masyarakat kasepuhan dapat mengakses sumberdaya secara adil dan merata. Pengelolaan yang demikian diharapkan dapat meningkatkan kedaulatan pangan dalam rumahtangga masyarakat kasepuhan. Keberadaan leuit di masyarakat menjadi hal yang sangat vital dalam menjamin ketersediaan pangan. Leuit bukan hanya sekedar tempat menyimpan padi, tetapi juga suatu pedoman masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Jumlah leuit pun terkait dengan luas garapan masyarakat. Masyarakat yang menggarap lebih banyak akan menghasilkan padi lebih banyak dan akan membantu dalam membangun kemandirian. Masyarakat Sinar Resmi memiliki dua jenis leuit yakni leuit sijimat dan leuit rumahtangga. Leuit sijimat merupakan leuit komunal yang berada dipusat kasepuhan. Leuit sijimat menampung sebagian hasil panen masyarakat sesuai dengan produktivitas masing-masing rumahtangga. Apabila ada masyarakat yang membutuhkan padi maka dapat meminjam ke leuit sijimat dan menggantinya di panen berikutnya. Kedaulatan pangan masyarakat adalah terpenuhinya pangan yang cukup baik secara mandiri. Agar anggota masyarakat mendapat mengkonsumsi pangan secara baik dibutuhkan ketersediaan pangan harus terpenuhi dengan baik. oleh karena itu, untuk memenuhi kecukupan pangan tersebut masyarakat harus memiliki akses terhadap pangan secara fisik. Kedaulatan mempunyai karakter yang meliputi produksi pangan secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan domestik ataupun lokal; memanfaatkan usaha petani kecil dan keluarga yang agro-ekologis; menjamin akses tanah dan sumberdaya vital; menghormati peran wanita dalam produksi pangan, akses, dan sumberdaya; dan mendorong kontrol komunitas atas sumberdaya produktif.
18
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Struktur Penguasaan Tanah • Luas Lahan yang Dimiliki • Luas lahan yang Dikuasai • Status Kepemilikan • Status Penguasaan
Kelembagaan Pangan Masyarakat • Produksi • Penyimpanan (Lumbung panganleuit) • Distribusi
Kedaulatan Pangan
Keterangan: : mempengaruhi 2.3
Hipotesis Penelitian
1)
Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan pola sewa, gadai, dan maro.
2)
Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan produktivitas pertanian.
3)
Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan jumlah leuit rumahtangga.
4)
Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan distribusi hasil panen ke leuit sijimat.
2.4
Definisi Konseptual
1.
Produksi pangan adalah semua komoditi bahan makanan yang diperoleh rumahtangga dari hasil usaha pertanian selama 1 trip/bulan/musim dinyatakan dalam satuan kilogram.
19
2.
Kedaulatan pangan masyarakat adalah kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan bagi anggota lumbung pangan masyarakat dari waktu ke waktu.
3.
Sewa adalah penyerahan hak milik seseorang secara sementara kepada pihak lain untuk satu atau lebih musim dengan mendapat sejumlah uang yang biasanya dibayarkan sebelumnya.
4.
Gadai adalah penyerahan tanah kepada kreditor dengan imbalan pembayaran dalam bentuk tunai (uang) maupun benda berharga lainnya seperti emas atau ternak lainnya. Dengan ketentuan kreditor memiliki hak menggunakan tanah itu selama jangka waktu berlakunya pinjaman, kemudian si pemilik tanah dapat mengambil tanahnya kembali bila ia telah mengembalikan pinjaman.
5.
Bagi hasil adalah penyerahan tanah secara sementara dari pemilik tanah kepada penggarap untuk dipakai, dimanfaatkan dan dikelola, disertai perjanjian biaya produksi, tenaga kerja dan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak.
6.
Lumbung pangan atau Leuit adalah tempat penyimpanan padi dalam satuan pocong yang dimiliki secara komunal atau rumahtangga. Jumlah leuit rumah tangga sesuai dengan produktivitas padi yang dihasilkan.
7.
Distribusi pangan adalah jumlah yang dibagikan untuk rumahtangga lain yang membutuhkan pangan. Jumlah yang dibagikan dalam satuan pocong.
8.
Umur adalah lama hidup seseorang sejak lahir sampai saat penelitian berlangsung dalam satuan tahun.
2.5
Definisi Operasioanal
1.
Penguasaan lahan adalah ukuran luas area yang dikelola oleh responden tanpa memperhatikan status kepemilikannya. Luasan area yang dikelola dinyatakan dalam satuan hektar; pengukurannya dilakukan dengan skala ordinal dengan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (1). Sempit (00,25 hektar), (2). Sedang (0,26-0,5 hektar), dan (3). Luas (>0.5 hektar).
2.
Status kepemilikan lahan adalah hubungan responden dengan areal yang sedang dikelola berdasarkan status hukum (hak). Pengukurannya
20
dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dengan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (1). pemilik, (2). Penggarap, dan (3). Pemilik penggarap 3.
Lapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat menurut penguasaan tanah, yakni: (1). Sempit (0-0,25 hektar), (2). Sedang (0,26-0,5 hektar), dan (3). Luas (>0.5 hektar)
4.
Jenis kelamin digolongkan menjadi :1. Pria; 2. Wanita
5.
Status dalam RT adalah posisi seseorang sebagai anggota rumah tangga dalam hubungan kekerabatan, misal suami, istri, anak, mertua, dan lainnya.
6.
Tingkat pendidikan merupakan lama pendidikan yang ditempuh oleh anggota rumahtangga, rendah (<6 tahun), sedang (6-9 tahun), tinggi (>9 tahun).