12
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori 1. Model Pembelajaran Sejarah a. Model Pembelajaran Secara umum model dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu hal, sesuatu yang nyata dan dikonversi atau untuk mengubah sebuah bentuk
yang lebih komprehensif
(Meyer,W.J dalam Trianto, 2009: 21). Selanjutnya menurut
Soekamto
dkk
(dalam Trianto, 2009: 22) maksud dari model pembelajaran adalah: “Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan merencanakan
aktifitas
belajar
mengajar”.
Dengan
para pengajar dalam demikian,
aktifitas
pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak bahwa model pembelajaran memberikan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar (Trianto, 2009: 22). Selanjutnya Mills dalam (Suprijono) mendefinisikan model sebagai bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau kelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Model merupakan interpretasi terhadap hasil observasi
12
13
dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem. Model dirancang untuk mewakili realitas yang sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia yang sebenarnya (Suprijono, 2012: 45). Berdasarkan pengertian model di atas, maka model pembelajaran dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran dalam mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran. Untuk mengatasi problematika dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model-model pembelajaran yang dipandang mampu mengatasi kesulitan guru melaksanakan tugas mengajar dan juga kesulitan belajar peserta didik (Sagala, 2013: 175-176). Menurut Joyce, Weil, dan Calhoun (2011:30) suatu model pembelajaran merupakan gambaran suatu lingkungan pembelajaran, yang juga meliputi perilaku guru saat model tersebut diterapkan. Model-model ini memiliki banyak kegunaan yang menjangkau segala bidang pendidikan, mulai dari materi perencanaan dan kurikulum hingga materi perancangan instruksional, termasuk program-program multimedia. Model pembelajaran menurut Joyce dan Weil (dalam Rusman, 2014: 133) adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.
14
Model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai contoh, model penelitian kelompok. Model ini dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis. 2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu. Misalnya model berpikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir induktif. 3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas. Misalnya pada penggunaan model yang dirancang untuk memperbaiki kreativitas dalam pelajaran mengarang. 4. Memiliki bagian model-model dalam pelaksanaan, yaitu: urutan langkahlangkan pembelajaran (syntax), adanya prinsip-prinsip reaksi, system sosial, dan system pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran. 5. Memiliki danpak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi dampak pembelajaran yaitu hasil belajar yang dapat diukur, dan dampak pengiring yaitu hasil belajar jangka panjang. 6. Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya (Rusman, 2014: 136). b. Pendekatan Sistem dalam Pembelajaran McAshan (dalam Pidarta. 2009) mendefinisikan sistem sebagai strategi yang menyeluruh
atau
diskomposisi
oleh
suatu
elemen,
yang
harmonis,
mempresentasikan kesatuan unit, masing-masing elemen mempunyai tujuan sendiri yang semuanya berkaitan secara teratur dalam bentuk yang logis (Pidarta, 2009: 27). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas proses pendidikan adalah pendekatan sistem. Sistem adalah kesatuan komponen yang satu sama yang lain saling berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Sanjaya, 2012: 49). Pendekatan sistem digunakan sebagai suatu sistem berpikir, bahkan sistem pendekatan ini dikembangkan dalam upaya pembaharuan pendidikan. Langkah-
15
langkah yang digunakan adalah proses identifikasi dan perumusan masalah, perumusan atau hasil-hasil yang diinginkan, dan penentuan yang dinilai paling tepat melalui paper analysis atau eksperimen. Selanjutnya dilakukan kegiatan try out dan revisi, dan langkah terakhir yakni implementasi dan evaluasi. Demikian juga melalui pendekatan studi kurikulum pada tingkat makro untuk meninjau sistem pendidikan, maka kurikulum sesungguhnya merupakan komponen dari input instrumental. Kurikulum ditinjau dalam hubungannya dengan komponenkomponennya, antara lain tujuan, prinsip, susunan, dan sistem penyampaiannya. (Hamalik, 2011). Pendidikan merupakan sistem terbuka, sebab tidak mungkin pendidikan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik bila mengisolasi diri dengan lingkungannya. Pendidikan berada di masyarakat, dan milik masyarakat. Itulah pemerintah menegaskan bahwa pendidikan adalah menjadi tanggungjawab pemerintah atau sekolah, orang tua dan masyarakat. Adapun faktor yang mempengaruhi pendidikan adalah: (1) Filsafat Negara, (2) Agama, (3) Sosial yang meliputi; Psikologi, peranan kelompok profesi, dan keamanan, (4) Kebudayaan, yang diartikan sebagai ilmu, teknologi, kesenian dan norma, (5) Ekonomi, yang mencakup keterampilan berpikir, keterampilan tangan, dan perkembangan ekonomi, (6) Politik, yakni mencakup ideologi, cita-cita, dan semangat kebangsaan, (7) Demografi, terdiri dari perkembangan penduduk, penyebarn penduduk, dan kepadatan penduduk (Pidarta, 2009: 30).
16
Pendidikan sebagai sistem berada bersama, terikat, dan tertenun dalam suprasistemnya yang terdiri dari tujuh sistem tersebut. Hal ini berarti membangun suatu lembaga pendidikan baru atau memperbaiki lembaga pendidikan yang lama, tidak dapat memisahkan diri dari suprasistem tersebut. Dengan demikian lembaga pendidikan sebagai suatu sistem (sistem sekolah/perguruan tinggi) dalam garis besarnya terdiri dari bagian-bagian berikut; (1) Subsistem tujuan, (2) Subsistem manajemen, (3) Subsistem prosesing peserta didik, dan (4) Subsistem lingkungan (Pidarta, 2009: 31-32). Lembaga-lembaga pendidikan merupakan pranata sosial dari suatu masyarakat yang berbudaya. dengan demikian fungsi lembaga tersebut tidak lain ialah memelihara, mengembangkan, dan mewujudkan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat pemiliknya. Lembaga-lembaga pendidikan yaitu keluarga, lembaga pendidikan formal dan non formal, yang diselenggarakan oleh masyarakat semuanya merupakan pranata sosial yang menjadi tumpuan berkesinambungan hidup bersama yang diikat oleh nilai-nilai kebudayaan. Tanpa nilai-nilai kebudayaan, maka pada hakikatnya lembaga-lembaga itu tidak mempunyai hak hidup (Tilaar. 2010: 210). Terdapat dua ciri pendekatan sistem pengajaran antara lain: pertama, Pendekatan sistem merupakan suatu pendapat tertentu yang mengarah ke proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar adalah suatu penataan yang memungkinkan guru dan siswa berinteraksi satu sama lain untuk memberikan kemudahan bagi siswa belajar. Kedua, Penggunaan metodologi khusus untuk
17
mendesain sistem pengajaran. Metodologi khusus itu terdiri dari prosedur sistematik perencanaan, perancangan, pelaksanaan, dan penilaian keseluruhan proses belajar mengajar (Hamalik. 2011: 8-9). Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Proses tersebut dilakukan atau dialami oleh peserta didik yang telah direncanakan agar peserta didik mengalami perubahan (Kokom. 2011: 3). Pembelajaran merupakan kegiatan yang bertujuan, yaitu membelajarkan siswa. Proses pembelajaran itu merupakan rangkaian kegiatan yang melibatkan berbagai komponen. Berdasarkan hal tersebut, proses perencanaan yang sistematis dalam proses pembelajaran mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya: 1. Melalui sistem perencanaan yang matang, guru akan terhindar dari keberhasilan secara untung-untungan, dengan demikian pendekatan sistem memiliki daya ramal yang kuat tentang keberhasilan suatu proses pembelajaran, karena memang perencanaan disusun untuk mencapai hasil yang optimal. 2. Melalui perencanaan yang sistematis, setiap guru dapat menggambarkan berbagai hambatan yang mungkin akan dihadapi sehingga dapat menentukan berbagai strategi yang bias dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
18
3. Melalui sistem perencanaan guru dapat menentukan berbagai langkah dalam memamfaatkan berbagai sumber dab fasilitas yang ada untuk ketercapaian tutuan (Sanjaya. 2012: 51). Dalam prosedur pengembangan sisten instruksional (PPSI) pengertian pengajaran sebagai suatu sistem merujuk pada satu kesatuan yang teroganisasi, terdiri atas sejumlah komponen yang saling berhubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Komponen yang terdiri dari materi pelajaran, metode, alat, dan evaluasi untuk mengembangkan suatu sistem pengajaran atau sistem instruksional harus diorganisasi secara harmonis sebagaimana pengajaran yang berlangsung secara keseluruhan merupakan suatu sistem. Perencanaan pembelajaran dianggap sebagai suatu sistem, maka didalamnya harus memiliki komponen-komponen yang berproses sesuai dengan fungsinya sehingga tujun pembelajaran yang diharakan dapat tercapai secara optimal. Brown (dalam Sanjaya. 2012: 11) menggambarkannya sebagai berikut:
19
A. TUJUAN
B.KONDISI
Tujuan apa yang harus dicapai?
Dalam kondisi yang bagaimana siswa dapat mencapai tujuan
TUJUAN KHUSUS Pengetahuan Sikap Keterampilan
PENGALAMAN BELAJAR Dengan menekankan secara individu MODEL BELAJAR MENGAJAR
ISI SISWA
EVALUASI DAN PENGEMBANGAN
D. HASIL Bagaimana pencapaian tujuan ? Apa yang perlu di rubah ?
BAHAN DAN ALAT FASILITAS FISIK
C. SUMBER
Apa sumber yang diperlukan untuk menambah pengalaman belajar?
Gambar 1. Model Sistem Pembelajaran Sumber: Sanjaya. 2012: 11
Pembelajaran pada hakikatnya diarahkan untuk membelajarkan siswa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, proses pengembangan perencanaan dan desain pembelajaran, siswa harus dijadikan sebagai pusat dari seluruh kegiatan. Sementara itu tujuan merupakan arah yang harus dijadikan rujukan dalam proses pembelajaran yang terdiri dari tujuan khusus dan tujuan umum.
20
c. Pembelajaran Sejarah Hakikat sejarah adalah suatu ilmu yang mengkaji peristiwa yang telah terjadi dalam lingkup ruang dan waktu sebagai penjelas untuk masa kini, karena itu bisa ditafsirkan pula bahwa pada dasarnya sejarah merupakan dialog antara peristiwa masa lampau dan perkembangan ke masa depan. Sejarah merupakan pengalamanpengalaman masa lalu manusia, maka manusia yang hidup sezaman atau sesudahnya dapat berguru dan belajar dari pengalaman-pengalaman itu agar menjadi manusia yang bijak. Manusia harus mampu mengambil nilai-nilai pelajaran yang terkandung dalam sejarah untuk dijadikan sebagai pedoman hidup dan inspirasi bagi semua tindakan yang diambilnya pada masa-masa mendatang (Sjamsuddin. 2007 : 285-286). Menurut Trevelyan seperti dikutip Hermanu Joebagio dan Nunuk Suryani sejarah dapat mengembangkan pengertian tentang warisan kebudayaan, dan pelajaran sejarah dapat melatih murid-murid supaya teliti, menimbang buktibukti, memisahkan yang tidak penting dari yang penting, membedakan antara propaganda dan kebenaran. Hasil pembelajaran sejarah menjadikan peserta didik berkepribadian kuat, mengerti sesuatu agar dapat menentukan sikapnya. Dengan sejarah dapat diketahui hasil-hasil perjuangan sejak jaman dahulu. Sejarah dapat diibaratkan pendidik, karena dapat mendidik jiwa manusia lewat hasil yang dicapainya (Hermanu Joebagio: 2012: 3). Berdasarkan Permediknas nomor 22 tahun 2006, mata pelajaran sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berupa (1) membangun
21
kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan. (2) melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan. (3) menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau. (4) menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang. (5) menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional. oleh karena itu, fungsi pengajaran sejarah sangat penting bagi para siswa. Pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan kemampuan siswa dalam melakukan konstruksi kondisi masa sekarang dengan mengaitkan atau melihat masa lalu yang menjadi basis topik pembelajaran sejarah. Kemampuan melakukan konstruksi ini harus dikemukakan secara kuat agar pembelajaran tidak terjerumus dalam pembelajaran yang bersifat konservatif. Kontekstualitas sejarah harus kuat mengemukakan dan berbasis pada pengalaman pribadi siswa, apalagi sejarah tidak akan terlepas dari konsep waktu, kontinyuitas dan perubahan (Reka Seprina. 2013: 24-25).
22
Pembelajaran sejarah merupakan bagian dari gambaran masa lalu yang dibawa oleh guru-guru sejarah ke dalam kelas, tidak semua peristiwa masa lampau itu dapat diajarkan pada siswa, yakni peristiwa yang ikut menentukan jalannya sejarah umat manusia. Secara umum pembelajaran sejarah bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik dan menyadarkan peserta didik untuk mengenal diri dan lingkungannya, serta memberikan perpektif historikalitas. Dengan demikian pembelajaran sejarah masih penting diberikan kepada peserta didik (Widja. 1989: 95). Mata pelajaran sejarah memiliki fungsi-fungsi tertentu. Pada kurikulum tahun 2004, pengertian mata pelajaran sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dan masa lampau hingga masa kini. Pengajaran sejarah di sekolah bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan berpikir historis dan pemahaman sejarah (Isjoni. 2007 : 71). Pembelajaran sejarah berfungsi untuk menyadarkan siswa akan adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu dan untuk membangun perspektif serta kesadaran sejarah dalam menemukan, memahami, dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu, masa kini, dan masa depan di tengah-tengah perubahan dunia (Depdiknas, 2003 : 6). Melalui pembelajaran sejarah siswa mampu mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan proses perkembangan
23
dan perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengah-tengah kehidupan masyarakat dunia. Pengajaran sejarah juga bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda terhadap masa lampau untuk memahami masa kini dan membangun pengetahuan serta pemahaman untuk menghadapi masa yang akan datang (Isjoni. 2007 : 72). Pelajaran sejarah merupakan salah satu unsur utama dalam pendidikan politik bangsa. Lebih jauh lagi, pelajaran sejarah merupakan sumber inspirasi terhadap hubungan antar bangsa dan negara. Siswa hendaknya memahami bahwa ia merupakan bagian dari massyarakat negara dan dunia (Kasmadi. 1996: 133-134). Sasaran umum pembelajaran sejarah adalah sebagai beriku; 1. Sejarah perlu diajarkan untuk mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri. 2. Memberikan gambaran yang tepat tentang konsep waktu, ruang, dan masyarakat, serta kaitan antara masa sekarang dan masa lampau, antara wilayah lokal dan wilayah lain yang jauh letaknya, antara kehidupan perorangan dan kehidupan nasional, kehidupa dan kebudayaan masyarakat lain dimanapun dalam ruang dan waktu. 3. Membuat masyarakat mampu mengevaluasi nilai-nilai dan hasil yang telah dicapai oleh generasinya: Sejarah adalah ilmu yang unik karena posisinya sangat strategis dalam menyediakan standar-standar bagi generasi muda abad ke-20 untuk mengukur nilai dan kesuksesan yang telah dicapai pada masa mereka. 4. Mengajarkan toleransi adalah sejarah perlu diajarkan untuk mendidik para siswa agar memiliki toleransi terhadap perbedaan keyakinan, kesetiaan, kebudayaan, gagasan, dan cita-cita. 5. Menanamkan sikap intelektual: sejarah perlu diajarkan kepada anak-anak untuk menanamkan sikap intelektual. 6. Memperluas cakrawala intelektualitas: sejarah perlu diajarkan untuk memperluas cakrawala intelektual para siswa.
24
7. Mengajarkan prinsip-prinsip moral: pengetahuan sejarah merupakan penegtahuan ptaktis: merupakan pembelajaran filsafat yang disertai contohcontoh: merupakan penglihatan yang berasal dari pengalaman. 8. Menamamkan orientsi ke masa depan: ini tujuan penting lainnya dalam pembelajaran sejarah. 9. Memberikan pelatihan mental: Sasaran pembelajaran sejarah adalah memberikan pelatihan mental. 10. Melatih siswa menangani isu-isu kontroversil: pembelajaran sejarah sangat penting untuk melatih para siswa menangani permasalahan yang kontroversial dengan berlandaskan semangat mencari kebenaran sejati melalui diskusi, debat, dan kompromi. 11. Mengembangkan pemahaman internasional: Sejarah perlu diajarkan untuk mengembangkan pemahaman tentang bangsa lain diantara para siswa. 12. Mengembangkan keterampilan-keterampilan yang berguna (Kochhar. 2008: 27-37). Hal senada juga dikemukan oleh Dennis Gunning bahwa secara umum pembelajaran sejarah bertujuan untuk membentuk warga Negara yang baik, menyadarkan peserta didik untuk mengenal diri dan lingkungannta, serta memberikan perspektif historikalitas (Aman. 2011: 44). Berdasarkan beberapa pendapat
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting dalam pendidikan, dan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh peserta didik dengan mengacu pada pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau serta kebudayaan daerah setempat, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik. 2. Model Pembelajaran Kooperatif a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif sama dengan kerja kelompok, oleh karena itu, banyak guru yang menyatakan tidak ada sesuatu yang aneh dalam cooperative
25
learning karena mereka telah bias menggunakan pembelajaran cooperative learning dalam bentuk belajar kelompok, walaupun tidak semua belajar kelompok disebut cooperative learning (Majid. 2013: 174). Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang didasarkan pada paham konstruktivisme, dimana model pembelajaran ini menggunakan sistem pengelompokan atau tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok, setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan akademik, sekaligus keterampilan sosial termasuk interpersonal skill (Riyanto. 2012: 267). lebih lanju Suprijono menambahkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-benuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru (Suprijono. 2013: 54). Secara umum, pembelajaran kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana guru menetapkan tugas dan pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang dimaksud. b. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Kooperatif Menurut Roger dan David (dalam Rusman, 2013: 212), mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok biasa dianggap sebagai pembelajaran kooperatif.
26
terdapat lima unsur dasar dalam model pembelajaran kooperatif yang diterapkan, antara lain sebagai berikut: (1) Saling ketergantungan positif, yaitu dalam pembelajaran kooperatif, keberhasilan dalam menyelesaikan tugas tergantung pada usaha yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Keberhasilan kerja kelompok ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota kelompol, oleh karena itu semua anggota dalam kelompok akan merasakan saling ketergantungan, (2) Tanggung jawab perseorangan, yaitu keberhasilan kelompok sangat tergantung dari masingmasing anggota kelompoknya. Oleh karena itu setiap anggota kelompok mempunyai tugas dan tanggung jawab yang harus dikerjakan dalam kelompok tersebut, (3) Interaksi tatap muka, yaitu memberikan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka melakukan interaksi dan diskusi untuk saling memberikan dan menerima informasi dari anggota kelompok lain, (4) Partisipasi dan komunikasi, yaitu melatih siswa untuk berpartisipasi aktif dan berkomunikasi dalam kegiatan pembelajaran, (5) Evaluasi proses kerja kelompok, yaitu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka, agar selanjutnya bias bekerjasama dengan lebih efektif. c. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Selain unggul dalam membantu siswa memahami konseo-konsep yang sulit, model ini sangat berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerja sama, berpikir kritis, dan kemampuan membantu teman. Terdapat 6 langkah utama di dalam pembelajaran kooperatif yaitu sebagai berikut:
27
1. Fase pertama: Guru meyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotiasi siswa 2. Fase kedua: Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan 3. Fase ketiga: Guru mengorganisasi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar 4. Fase keempat: Guru membimbing kelompok bekerja dan belajar 5. Fase kelima: Ealuasi, guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya 6. Fase keenam: Guru memberikan penghargaan (Suprihatiningrum, 2014:192193). d. Model-Model Pembelajaran Kooperatif Istilah model pembelajaran sangat dekat dengan pengertian strategi pembelajaran dan dibedakan dari istilah strategi, pendekatan dan metode pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada suatu strategi, metode, dan teknik. Istilah strategi, metode, pendekatan dan tekni dapat didefinisikan sebagai berikut: 1. Strategi pembeljaran adalah seperangkat kebijaksanaan yang terpilih, yang telah dikaitkan dengan actor yang menentukan warna atau strategi tersebut: a) Pemilihan materi pembelajaran (guru atau siswa) b) Penyaji materi pelajaran (perorangan atau kelompok, atau belajar mandiri) c) Cara menyajikan pelajaran (induktif atau deduktif, analitis atau sintesis, formal atau non-formal) d) Sasaran penerima materi pelajaran (kelompok, perorangan, heterogen, atau homogen). 2. Pendekatan pembelajaran adalah jalan atau arah yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran dilihat bagaimana materi itu disajikan. 3. Metode pembelajaran, adalah cara mengajar secara umum yang dapat diterapkan pada semua mata pelajaran, misalnya mengajar dengan ceramah, ekspositori, Tanya jawab, dan penemuan terbimbing. 4. Teknik mengajar, adalah penerapan secara khusus suatu metode pembelajaran yang telah disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan guru, ketersediaan media pembelajaran serta kesiapan siswa.
28
5. Model pembelajaran merupakan suatu desain yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubhan atau perkembangan pada diri siswa (Amri, 2013: 3-5). e. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw a. Pengertian Model Pembelajaran Tipe Jigsaw Model pembelajaran tipe Jigsaw dikembangkan oleh Elliot Aronson dan teman-temannya di Universitas Texas. Pembelajaran kooperatif model jigsaw ini mengambil pola cara bekerja sebuah gerjaji (zigzag), yaitu siswa melakukan suatu kegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencpai tujuan bersama. Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat siswa sehingga setiap anggota bertanggung jawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopic yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Pembelajaran kooperatif model jigsaw adalah sebuah model belajar kooperatif yang menitiberatkan pada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil. Selanjutnya dijelaskan oleh Lie bahwa pembelajaran kooperatif model jigsaw ini merupakan model belajar kooperatif dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri atas empat sampai enam orang secara heterogen, dan siswa bekerjasama saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara mandiri (Abdul Majid, 2013: 182).
29
Dalam model pembelajaran Jigsaw ini siswa memmiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mengolah informasi yang didapat dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi, anggota kelompok bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari dan dapat menyampaikan informasinya kepada kelompok lain. b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Jigsaw: a) Menyampaikan tujuan belajar dan membangkitkan motiasi b) menyampaikan informasi kepada siswa dengan demonstrasi disertai penjelasan erbal, buku teks, atau bentuk lain c) mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar d) mengelola dan membantu siswa dalam belajar kelompok dan kerja di tempat duduk masing-masing e) mengetes penguasaan kelompok atas bahan ajar f) pemberian penghargaan atau pengakuan terhadap hasil belajar siswa (Abdul, 2013: 183). Stephen, Sikes and
Snapp (1978), mengemukakan langkah-langkah
pembelajaran kooperatif model Jigsaw sebagai berikut: a) Siswa dikelompokkan kedalam 1 sampai 5 anggota tim b) Tiap orang dalam diberi bagian materi yang berbeda c) Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan
30
d) Anggota tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/subbab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan subbab mereka. e) Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar tteman satu tim mereka tentang subbab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan saksama. f) Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi g) Guru memberi ealuasi h) Penutup (Rusman, 2012: 217-220). 3. Pembelajaran Sejarah Berbasis Nilai-Nilai Filosofis Tenun Ikat a. Pendekatan Pembelajaran Klarifikasi Nilai VCT (Value Clarification Technique) Teknik mengklarifikasi nilai (value clarification technique) dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanan dalam diri siswa. Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa karena ketidakcocokan anatara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan dalam
31
menyelaraskan nilai lama dengan nilai bru. Salah satu karakteristik dari VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan (Sanjaya, 2014: 283: 284). Terdapat beberapa tujuan dari VCT sebagai suatu model strategi pembelajaran moral antara lain: a) Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai b) Untuk membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik tinkatannya maupun sifatnya untuk kemudian dibina kearah peningkatannya. c) Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima oleh siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa. d) Untuk melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap suatu peroalan dalam hubungannya dengan kehidupn sehari-hari di masyarakat (Sanjaya, 2014: 284). Tujuan dari pendidikan nilai menurut pendekatan ini antara lain: a) Membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilainya sendiri serta nilai-nilai orang lain. b) Membantu siswa supaya mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubunggan dengan nilai-nilainya sendiri.
32
c) Membantu siswa supaya siswa mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah lakunya sendiri (Komalasari, 2013: 96). Klarifikasi nilai merupakan proses pemilihan dan penentuan nilai (the process of Valuing) serta sikap terhadapnya dan bukan isi nilai-nilai atau daftar nilai-nilai hidup. juga bukan melatih peserta didik menilai salah benarnya suatu nilai, tetapi melati peserta didik untuk berproses menghargai dan melaksanakan nilai-nilai yang dipilih secara bebas. Proses dan penentuan sikap mencakup tujuh subproses atau aspek yang biasanya digolongkan menjadi tiga kategori (Howe, 1975: 19). Tiga proses klarifikasi nilai dalam pendekatan VCT antara lain: a) Memilih: 1) Memilih dengan bebas 2) Memilih dari berbagai alternative 3) Memilih dari berbagai alternative setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya. b) Menghargai: 4) Menghargai dan merasa bahagia dengan pilihannya 5) Bersedia mengakui/menegaskan pilihannya itu didepan umum c) Bertindak: 6) Berbuat atau berperilaku sesuai dengan pilihannya 7) Berulang-ulang bertindak sesuai dengan pilihannya sehingga akhinya itu merupakan pola hidupnya (Adisusilo, 2012: 147). b. Nilai-Nilai Filosofis Tenun Ikat Nilai berasal dari bahasa latin Vale’re yang artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermamfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang.
33
Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna, dan dapat membuat orang menhayatinya menjadi bermartabat (Adisusilo, 2013: 56). Lebih lanjut Hill (dalam Adisusilo, 2013: 60) berpendapat bahwa nilai sebagai acuan tingkah laku mempunyai tiga tahap, yaitu: 1. Values thinking yaitu nilai-nilai dalam tahap diperkirakan atau values cognitive; 2. Values affective, yaitu nilai-nilai yang menjadi keyakinan atau niat pada diri orang untuk melakukan sesuatu, pada tahap ini diperinci lagi menjadi dispottion dan commitments. 3. Tahap akhir adalah values actions, yaitu tahap dimana nilai yang telah menjadi kayakinan dan menjadi niat (komitmen kuat) diwujudkan menjadi suatu tindakan nyata atau perbuatan konkrit. Berdasarkan beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkn bahwa nilai adalah sesuatu yang penting, baik, dan berharga. Di dalam nilai terkandung sesuatu yang ideal, harapan yang dicita-citakan untuk kebajikan. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan menghubungkan sesuatu dengan yang lain dan kemudin mengambil keputusan. Berkaitan pemaparan definisi dan aplikasi nilainilai dalam kehidupan, maka tenun ikat masyarakat Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu hasil kebudayaan yang memiliki nilai yang tinggi dan dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. Tenun ikat merupakan jenis kain tenun atau kain adat yang sering dipakai oleh kaum wanita dan pria dalam setiap acara-acara resmi pemerintahan maupun
34
dalam acara-acara adat. Tais sebutan bagi masyarakat suku bangsa Kemak yang ada di Kabupaten Belu dan secara umun oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur dikenal dengan tenun ikat atau kain adat. Berdasarkan proses pembuatan tenun ikat, oleh masyarakat suku bangsa Kemak di kabupaten Belu mengenal dua jenis tenun ikat yaitu 1) Tais Soru; dan 2) Tais fu’tus atau Futus. Tais soru dalam proses penenunannya menggunakan benang-benang yang sudah jadi atau benang yang sudah diwarnai (Liliweri Alo. 1989: 157). Tenunan tradisional atau kain adat merupakan salah satu bentuk dari gejala kemasyarakatan yang kolektif, dikembangkan oleh kelompok etnik di daerah tertentu secara turun-temurun. Pada setiap tenunan terdapat ciri khas dan titik tumpuan kekuatan yang terdapat dalam tenunan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Tenun ikat tradisional merupakan bentuk utama, dimana corak hiasnya merupakan pencerminan dari bentuk utama dan kekuatan spiritual tiap kelompok etnik (Bernad Haning. 2013: 5-6). Kain tenun merupakan hasil karya manusia sebagai salah satu kebutuhn primer, yakni untuk menutupi tubuh dari sengatan udara dingin atau panas. Tenunan menurut kamus besar bahasa indonesia adalah hasil kerajinan benang dengan cara memasukkan benang yang arahnya horizontal (benang pakan) ke dalam benang arah vertkal (benang lungsi) pada alat tenun tradisional. Tenun merupakan hasil seni kerajinan rakyat yang sudah lama berakar di Indonesia. Tenun tersebut oleh para pendukungnya diwariskan secara turun temurun, dari genenasi ke generasi secara tradisional, kerajinan tersebut membutuhkan modal
35
ketelitian, keuletan, ketekunan dan mengandalkan keterampilan tangan (Isyanti. 2003: 59). Tenun adalah hasil kerajinan benang dengan cara memasukkan benang yang arahnya horizontal (benang pakan) ke dalam benang yang terentang atau arah vertikal (benang lungsi) pada alat tenun bukan mesin. Dalam kain tenun yang dihasilkan dengan peralatan tradisional tersimpan makna-makna yang bernilai dan agung. Sesungguhnya dengan memegang dan memakai kain tenun tradisional kita seakan-akan sedang mengarungi suatu lembaran dokumen sejarah dari masyarakat yang membuatnya. Kain tenun sendiri merupakan benda mati, tetapi benda itu justru merupakan saksi hidup dari suatu budaya, yang dapat mengungkapkan salah satu sisi kebudayaan (Erni, 2003:17). Tenun ikat merupakan salah satu kebudayaan lokal yang dimiliki dan dikembangkan serta dilestarikan oleh masyarakat kabupaten Belu. Bagi masyarakat kabupaten Belu tenun ikat atau kain tenun ini memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan mereka, dan dalam setiap upacara adat karena mengandung nilai-nilai budaya yang sangat luhur. Hal demikian di tegaskan oleh Fenny bahwa kain tenun masyarakat Nusa Tenggara Timur, tidak hanya berfungsi sebagai busana sehari-hari, namun kain Tenun ini menduduki tempat yang sangat istimewa karena memiliki fungsi budaya, sosial, ekonomi dan spiritual (Fenny. 2002: 19). Kerajinan tenun Indonesia banyak jenisnya, ditinjau dari teknik pembuatan ragam hiasnya, seperti Tenun Songket, Tenun Ikat, Tenun Dobel Ikat, dan Tenun
36
Jumputan. Asal mula kerajinan ini berasal dari daerah di mana tumbuh dan berkembangnya kerajinan ini. Hal ini dapat dilihat dari ragam hias yang terdapat pada masing-masing tenunan, yang merupakan pengembangan dari kehidupan alam dan masyarakat yang membuatnya ( Arby 1995 : 15). Selanjutnya Arby, menambahkan lagi bahwa menurut sejarah sebutan„Tenun Ikat‟ diperkenalkan pertama kali oleh seorang ahli Etnografi- Indonesia dari Belanda, G.P Rouffaen sekitar tahun 1900. Rouffaen meneliti cara pembuatan ragam hias dan sekaligus proses pewarnaannya dan menyimpulkan, kain ini dibuat dengan teknik mengikat lembaran benang supaya dalam proses pencelupan atau pewarnaan membentuk pola ragam hias sesuai dengan ikatan yang ada. Untuk nama teknik ini Rouffaen meminjam istilah bahasa Melayu yakni “Ikat” sehingga disebut “Tenun Ikat”. Berdasarkan beberapa pendapat diatas mengenai tenun ikat atau kain tenun, maka dapat disimpulkan bahwa tenun ikat atau kain tenun merupakan salah satu hasil kebudayaan masyarakat bangsa Indonesia dan khususnya masyarakat Nusa Tenggara Timur. Tenun ikat ini oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur dianggap memiliki nilai yang sangat tinggi baik dalam hal ekonomi, sosial, budaya, serta memiliki kekuatan supernatural. Kain Tenun ini juga memiliki peranan yang sangat penting di setiap aktiviats masyarakat NTT khususnya dalam setiap acara adat, peminangan, pemberkatan nikah dan penyambutan tamu. Terdapat tiga jenis tenun ikat pada masyarakat Nusa Tenggara Timur diantaranya 1) tenun ikat lungsi yaitu proses pembentukan ragam hias ikat pada kain tenunnya terdapat pada bagian benang lungsinya; 2) Tenun ikat pakan,
37
dalam pembentukan ragam hias ikat pada kain tenun terdapat pada bagian benang pakannya; 3) tenun ikat berganda atau dobel ikat yakni bentuk ragam hias pada kain tenun dihasilkan dengan cara mengikat kedua-duannya baik pada bagian benang pakannya maupun benang lungsinya (Kartiwa Suwati. 1993:7). Tenun ikat lungsi adalah teknik membentuk motif kain dengan cara mengikat benang lungsi atau susunan benang vertikat. Tenun ikat pakan adalah teknik membentuk motif atau corak dengan cara mengikat benang pakan atau lajur benang horizontal, sedangkan tenun ikat ganda merupakan teknik membuat motif kain dengan mengikat lajur benang lungsi atau vertikal dan benang pakan atau horizontal (UPTD Museum Daerah NTT. 2006: 12). Dari segi kegunaan atau manfaatnya, produk tenunan ikat terdiri dari atas 3 (tiga) jenis yaitu (1) sarung; (2) selimut; dan (3) selendang. Warna dasar dari tenunan masyarakat Nusa Tenggara Timur Khususnya masyarakat Kabupaten Malaka antara lain: gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat pengrajin tradisional zaman dahulu selalu memakai pewarna atau zat warna nabati (tradisional) seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah maron. Jenis produk tenun ikat masyarakat Kabupaten Malaka:
38
1. Jenis Sarung
2. Selimut
3. Selendang
39
Dilihat dari segi fungsi tenun ikat secara umum, maka tidak jauh berbeda dengan fungsi kain tenun ikat yang ada pada suku-suku lain di Nusa Tenggara Timur dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Fungsi tenun ikat pada umumnya antara lain: (1) Dari segi ekonomi sebagai alat tukar uang, (2) Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat, (3) Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang dating, (4) Sebagai alat penghargan dan pemberian dalam acara kematian, (5) Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutup tubuh, (6) Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin), (7) Sebagai busana yang dipakai dalam tari-taian pada pesta/upacara adat, (8) Fungsi hukum adat sebagai denda adat untuk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu, (9) Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak ataun desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat. ( Liliweri Alo 2014: 204). Keberadaan Tenun ikat dalam kehidupan masyarakat, memiliki peran dan bernilai sangat baik secara ekonomi, sosial dan budaya. Nilai-nilai ini dapat dilihat dari perilaku atau kebiasaan masyarakat daerah Nusa Tenggara Timur. Pembuatan kerajinan Tenun Ikat ini biasanya oleh perempuan. Kemampuan dalam menenun akan digunakan untuk menentukan derajat perempuan. Setiap perempuan yang pandai menenun dianggap lebih tinggi derajatnya dari pada perempuan yang tidak pandai menenun. Pada saat peminangan, pihak laki-laki bersedia memberikan mas kawin atau belis sebanyak yang diminta apabila perempuan pandai menenun. Tenun ikat juga dipercaya dapat memberikan sugesti
40
kekuatan terhadap suatu tindakan. Hal ini nampak pada pemberian kain oleh seorang ibu kepada anaknya yang akan pergi merantau (Asni Salviany. 2002. 2). Bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur, kain bukan saja berfungsi sebagai busana sehari-hari, namun kain menduduki tempat istimewa karena memiliki fungsi budaya, sosial, ekonomi dan spiritual. Sebagai budaya, kain selalu digunakan pada saat pesta adat, hari-hari penting seperti hari peringatan kemerdekaan 17 Agustus dan pada saat pernikahan. Sebuah kain dapat menunjukkan status sosial dalam masyarakat, sebab kain dengan motif dan warna tertentu hanya boleh dipakai kaum bangsawan dan masyarakat biasa. Sebuah kain dengan kualitas yang bagus dan corak motif yang bagus memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Selain itu kain juga memiliki nilai sacral karena oleh masyarakat NTT sebagian menjadikan kain tenun ini sebagai media ekspresi untuk memuja para leluhur dan unsur-unsur alam seperti hewan dan tumbuhtumbuhan (Fenny Purnawan. 2001: 21). Kain tenun juga dapat dijadikan kebanggaan bagi seseorang atau suatu keluarga. Hal tersebut terlihat ketika seseorang atau keluarga didatangi tamu dan akan bermalam. Kewajiban tuan rumah adalah menyediakan selimut atau hasil kerajinan tenunnya sebagai penutup badan pada saat akan tidur atau merasa dingin, kebiasaan ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi tuan rumah (Arby, 1995:22).
41
Berdasarkan beberapa pendapat diatas mengenai fungsi dari kain tenun, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, kain tenun atau tenun ikat bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur selain berfungsi sebagai penutup tubuh pada saat cuaca dingin, kain tenun ini juga berfungsi sebagai penunjang perekonomian masyarakat setempat saat ini, serta sebagai pelengkap dalam setiap acara-acara adat karena dianggap mengandung nilai-nilai luhur serta memiliki kekuatan supranatural. Melihat peranan dari kain tenun yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat,
maka
sangat
penting
untuk
mengambil
tindakan
untuk
mengupayakan pelestarian kain tenun melalui lembaga pendidikan sebagai salah satu kearifan lokal daerah setempat. Nusa Tenggara Timur terkenal karena adanya beranekaragam tenun ikat, dan corak motif pada kain merupakan gambaran atau bentuk yang diberikan pada tenunan untuk mengisi suatu bidang kosong. Bentuk-bentuk tersebut dapat berupa garis, titik-titik, bentuk binatang, dan tanaman. Dalam perkembangan, bentukbentuk tersebut memiliki fungsi repsesentasi tentang berbagai hal dari masyarakat pendukungnya. Nilai filosofis yang terdapat setiap corak motif pada dasarnya adalah kreasi individu seorang penenun. Karena motif-motif tenunan diwariskan secara turun-temurun, akhirnya suatu motif menjadi identitas kelompok tertentu (UPTD. 2006: 15). Nilai-nilai filosofis tenun ikat dalam kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur khusus pada masyarakat Kabupaten Malaka antara lain:
42
1. Nilai Sosial: Tenun ikat memiliki dimensi penghormatan yang luar biasa dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam penyambutan seorang tamu, pejabat atau seorang sahabat tenun ikat ini sebagai alat pemersatu diantara masyarakat dengan kehidupan, dan latar belakang yang berbeda-beda. Nilai filosofis ini tertuan dalam corak motif tenun ikat: a. Nilai Motif Asu Leut (Jejak kaki Anjing) Desain motif ini berasal dari desa Weoe, dan sudah ada sejak jaman nenek moyang terdahulu yang diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini.Jenis motif ini terinspirasi dari alam sekitar yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat Belu, dan telah menjadi satu kesatuan budaya yang tidak dapat terpisahkan dan dijaga kelestariannya sampai sekarang. Makna dibalik motif ini adalah sebagai penunjuk jalan pulang, dimana pada saat seseorang yang hendak berburu atau berpergian dan apabila ia kehilangan jejak buruannya maka anjing tersebut dapat mengantar sang pemburu pada hasil buruannya atau dapat mengantar mereka yang kehilangan jejak pulang.
Jejak Anjing
43
b. Lafaek (Buaya) Makna filosofis budaya yang terkandung dalam tenunan dengan corak motif ini menunjukkan adanya kekuasaan (seseorang yang berkuasa) dan kekuatan. Motif ini, pada zaman dahulu hanya bisa dipakai oleh para bangsawan dan para raja. Namun pengaruh perkembangan saat ini, jenis motif ini bisa dipakai oleh semua kalangan yang ada, tidak memperhatikan lagi golongan dan status sosial dalam masyarakat. Jenis corak motif ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Lafahek / Buaya
c. Corak motif ini bagi masayarakat kabupaten Malaka melambangkang kejujuran dan kesucian. Menurut kepercayaan masyarakat
setempat
bahwa; pada saat sedang dalam percakapan dengan orang lain, dan apabila saat cecak bersuara maka dipastikan apa yang diucapkan adalah sesuatu yang benar.
44
Motif Cecak/Tokek
d. Manu (Ayam) Corak motif ini memiliki makna giat, rajin, kreatif, dan kesejahteraan masyarakat dalam mencari nafkah. Corak motif ini, biasanya dipakai oleh kebanyakan masyarakat biasa atau ata (UPTD. 2005: 41). Jenis motif yang ada dikabupaten TTU ini, tidak berbeda jauh dengan jenis motif yang saat ini dikembangkan di kabupaten lain di Nusa Tenggara Timur.
Manu/Ayam
45
e. Motif Bunga Pica Piring Corak motif ini melambangkan kewibawaan dan keelokan seorang wanita, dan jenis corak ini hanya dipakai oleh kaum wanita pada acara-acara adat ataupun acara pemerintahan.
Bunga Pica Piring
f. Corak Motif Bintang Pada corak motif ini mengandung makna sebagai Penerang. Dimana terdapat 2 benda pelengkap penerang utama di langit (matahari dan bulan). Hal ini menunjukkan bahwa wajah pemimpin baik secara jasmani maupun rohani akan berseri-seri bila ditopang oleh rakyat dengan talenta yang mereka miliki. Pemimpin tanpa kerohanian yang baik dan tanpa dukungan dari rakyat adalah hampa. Corak motif ini biasanya dipakai oleh kaum bangsawan dan para pembesar namun dalam perkembangannya sudah banyak dipakai oleh kalangan masyarakat biasa.
46
Bintang/fitun
2. Nilai Spritual (Religius) Kain tenun masyarakat Nusa Tenggara Timur yang dimulai sejak zaman Neopolitik dan berkesinambung sampai saat ini, dipercaya dan diyakini oleh masyarakat setempat mengandung kekuatan magis, dan kekuatan itu berasal dari setiap corak motif yang terdapat dalam tenun ikat tersebut dan selalu digunakan oleh masyarakat sebagai alat penyembahan dan persembahan kepada arwah leluhur mereka. Corak motif tenun ikat yang mengandung falsafah religious masyarakat Kabupaten Malaka antara laian: a. Corak Motif Tanduk (Dikur) Jenis motif ini melambangkan pemujaan terhadap rumah adat dan bendabenda pusaka yang lainnya. Karena pada setiap rumah adat yang ada di wilayah kabupaten Malaka pada saat merenovasi atau penurunan benda-benda pusaka untuk pembersihan dan mengsakralkan kembali benda pusaka tersebut
47
selalu melakukan pemotongan hewan yang bertanduk, dan tanduk-tanduknya disimpan di dalam rumah adat ataupun di atap rumah adat. Corak motif ini hanya dipakai oleh para raja-raja dan kamum bangsawan dalam acara-acara adat yang sakral. Corak Motif Tanduk/Krau Dikur
b. Corak Motif Kelewang (Surik Ulun) Tenunan ini berasal dari desa weoe. Desain motif ini dinyakini sudah ada jaman nenek moyang, dengan warna dasarnya merah. Makna filosofis yang terkandung dalam morif ini melambangkan alat tradisional dari masyarakat dalam perang, dan sebelum melakukan peperangan maka peralatan tradisional ini terlebih dahulu dilakukan ritual adat. Corak Motif Kelewan
48
c. Corak Motif Manusia (Ema) Bagi masyarakat kabupaten kabupaten Malaka dan Kabupaten Belu, ragam hias ini merupakan corak yang dikeramatkan karena melalui corak motif ini mereka mengenang kembali kehadiran nenek moyang mereka, dan melambangkan
kewibawaan
seseorang,
sikap
toleransi,
menghargai,
menghormati, serta menjadi pelindung bagi keluarga. Pada zaman dahulu, motif ini hanya boleh digunakan oleh para raja-raja di wilayah kabupaten Belu dalam acara yang resmi atau ritual-ritual adat yang sakral (UPTD. 2006: 16). Ema / Manusia
d. Corak Motif Mamoli Corak motif ini mengandung makna kebersamaan, kepribadiaan seseorang. Jenis tenunan dengan motif ini biasanya dipakai oleh kaum bangsawan, namun dalam perkembangannya dipakai oleh semua lapisan masyarakat pada saat acara-acara adat, kematian, dan pernikahan.
49
e. Tenun Sotis. Tenun Sotis ini berasal dari suku Insana, dengan warna dasar coklat dan kombinasi warna biru, hijau, dan kuning. Jenis tenun sotis ini mengandung makna filosofis kesatuan, dan biasanya dipakai oleh kaum bangsawan dan masyarakat biasa (Bernad Haning. 2013: 59-61). Jenis tenunan yang ada di kabupaten TTS, dan sudah mulai menyebar di seluruh kabupaten NTT ini termasuk dalam tenun lotis/sotis, tenun buna dan tenun ikat, dengan warna dasar utama merah, kuning, putih dan coklat sedangkan yang menjadi ciri khas dari jenis tenunan ini adalah flora dan fauna, karena masyarakat setempat meyakini bahwa corak motif flora dan fauna ini melambangkan kesuburan dan kewibawaan masyarakat setempat. (Bernad Haning. 2013: 165-169).
3. Nilai kekerabatan Agar tetap menjaga ikatan kekeluargaan masyarakat Nusa Tenggara Timur, Kain tenun merupakan salah satu alat penyatuh yang sangat berharga nilainya. Dalam acara peminangan yang dilakukan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur, dianggap tidak lengkap dan bisa dianggap sebagai suatu bentuk penghinaan
50
terhadap pihak keluarga perempuan apabila tanpa disertakan dengan kain tenun ikat, dan corak motif yang harus dibawa sudah ditentukan oleh keluarga perempuan. Hal demikian juga dalam acara kematian, Kain tenun ikat ini mengambil posisi yang sangat penting. setiap acara tidak akan berjalan tanpa adanya kain tenun ikat, dengan cork motif tertentu, dan dengan warna khusus (Bernad Haning, 2013: 5-7). a. Corak Motif Bunga (Aifunan) Corak motif ini melambangkan relasi antara manusia dengan Tuhan, yang terinspirasi dari alam sekitar dan hal-hal yang berkaitan dengan adat istiadat masyarakat setempat.Warna dasar dari corak ini adalah merah, karena warna merah dianggap sebagai warna magis dan biasanya dipakai oleh masyarakat pada acara-acara adat.
b. Corak Motif Ketupat Corak motif ini bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya masyarakat kabupaten Belu melambangkan tempat persediaan makanan
51
pada musim pacekilik sebagai lumbung yang tidk pernah kosong dalam persediaan makanan yang harus tetap terisi secara bergantian setiap musim. Secara filosofis, motif ketupat ini mengandung makna kemakmuran, kesuburan, keberhasilan, persatuan, gotong royong, kebersamaan dan ketahanan pangan dan jenis motif ini digunakan dalam acara-acara adat baik pesta adat, kematian, maupun pernikahan (Bernad Haning. 2013: 73-75).
Corak Motif Belah Ketupat
c. Tenunan Buna Jenis tenunan ini dengan warna dasar coklat yang melambangkan kesatuan dan hitam melambangkan keabadian, jenis tenun buna ini biasanya dipakai oleh kaum bangsawan pada saat acara-acara adat. Jenis tenunan ini dahulu hanya dapat ditemukan di masyarakat suku Insana, namu pada perkembangannya saat ini, jenis tetunan ini dapat juga diperoleh di masyarakat kabupatn lain.
52
d. Tenunan Biboki Jenis tenun ini berasal dari siku Biboki dengan jenis motifnya; Fut Biboek’sa, Fut Biboek’ana, dan Fut Mak’aif
Elak. Pada jenis tenun ini
dengan warna dasar merah sebagai lambang keberanian, kesaktian, keperkasaan dan warna hitam sebagai lambing keabadian.Jenis tenun ini biasa dipakai oleh kaum bangsawan dan masyarakat biasa pada setiap acara adat atau acara pemerintahan. Pada masa sekarang, jenis tenunan ini dapat ditemukan juga di wilayah kabupaten Belu dan Kabupaten Malaka.
53
e. Tenunan Sotis Tenun Sotis ini berasal dari suku Insana, dengan warna dasar coklat dan kombinasi warna biru, hijau, dan kuning.Jenis tenun sotis ini mengandung makna filosofis kesatuan, dan biasanya dipakai oleh kaum bangsawan dan masyarakat biasa (Bernad Haning. 2013: 59-61).
c. Kesadaran Budaya Kesadaran budaya (Cultural Awareness) sebagai suatu kemampuan mengakui dan memahami pengaruh budaya terhadap nilai-nilai dan perilaku manusia. Dengan indikatornya yakni toleransi terhadap budaya orang lain, menghargai budaya orang lain, menghormati budaya sendiri dan budaya orang orang lain ( Wunderle. 2006). Selanjutnya Abu Bakar menjelaskan, kesadaran budaya adalah kemampuan seseorang untuk melihat ke luar dirinya sendiri dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk. Seseorang dapat enilai apakah hal tersebut normal dan dapat diterima pada budayanya atau mungkin tidak lazim
54
atau tidak dapat diterima di budaya lain (Abu bakar M Luddin. 2010: 139). Kesadaran budaya merupakan sikap dimana seseorang menghargai, memahami, dan mengerti akan adanya perbedaan-perbedaan yang ada dalam budaya tersebut (Fatchiah Kertamuda. 2011: 6). Dengan mengembangkan kesadaran budaya menurut Cakir dalam jurnal Turkish Online Journal Of Distance Education (2006) menjelaskan bahwa untuk menumbuhkan sikap kritis dalam memahami sebuah budaya dan membantu mereka menjalani atau membangun hubungan baik antar budaya, karena setiap kebudayaan memiliki norma-norma budaya sendiri yang berbeda dari satu budaya dengan budaya lainnya, bahkan beberapa norma-norma dapat benar-benar berbeda dan bertentangan dengan lainnya dalam sebuah budaya. Hal ini kan membuat mereka sadar bahwa meskipun beberap unsur budaya sekarang ini sudah menglobal, tap masih ada perbedaan di dalam budaya tersebut. Selanjutnya Cakir menjelaskan bahwa dengan memahami budaya lain dan pengembangan kesadaran budaya tidak harus menghilangkan identitas latar belakang budaya kita atau mengubah gaya hidup dengan meniru budaya yang dipelajari. Kita hanya perlu memahami budaya yang berbeda dan hidup dengan nyaman dan tentram diantara masyarakat yang mempunyai budaya yang berbeda dengan menghargai, menghormati dan toleransi terhadap mereka (2006). Berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesadaran Budaya merupakan sikap positif setiap orang dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada ditengah masyarakat, oleh
55
karena itu kesadaran budaya sangatlah dibutuhkan dalam mengelola perbedaanperbedaan budaya yang ada. 4. Model Desain Pembelajaran ADDIE a. Desain Pembelajaran Desain
pengembangan
merupakan
sistem
prosedur
dalam
program
pengembangan pendidikan dan pengajaran yang bersifat konsisten dan reliable. Prinsip dalam model pengembangan dapat digunakan untuk mengembangkan model dan digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya memperbaiki yang sudah ada, karena model desain dimulai dari perencanaan dan diakhiri oleh evaluasi untuk melihat kinerja produk yang dikembangkan. Pengembangan desain dapat mempergunakan model desain yang bermacam-macam. Desain pembelajaran disusun untuk membantu proses belajar peserta didik, dimana proses belajar itu memiliki tahapan. Proses belajar seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kondisi yang dibawa atau yang dating dari individu, seperti kemamuan dasar, gaya belajar, minat dan bakat serta kesiapan peserta didik untuk mengikuti pembelajaran. Sedangkan faktor eksternal yakni faktor yang datang dari luar individu, yaitu berkaitan dengan penyediaan kondisi atau lingkungan yang didesain agar peserta didik belajar (Gagne dalam Sanjaya. 2013: 65). Gustafson & Branch (2007: 10) desain pembelajaran merupakan proses sistematis yang digunakan untuk mengembangkan program pendidikan dan pelatihan. Desain pembelajaran adalah proses sistematis yang digunakan untuk
56
mengembangkan program-program pendidikan dan pelatihan secara konsisten dan dapat diandalkan. Selanjutnya Kruse, Kevin, dan Moss pendapat bahwa desain embelajaran merupakan praktek pembuatan alat dan isi atau materi pembelajaran agar proses belajar berlangsung secara efektif. Proses pembelajaran tersebut secara garis besar meliputi penentuan kebutuhan belajar peserta didik, menentukan tujuan pembelajaran, dan menciptakan kegiatan atau intervensi dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran (Gafur. 2012: 1-2). Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa desain pembelajaran sebagai suatu langkah atau tahap yang dapat dilakukan oleh peserta didik dalam mempelajari materi yang mencakup rumusan tujuan yang dicapai atau hasil belajar yang diharapkan. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai meliputi metode, teknik dan media pembelajaran yang digunakan serta teknik evaluasi dalam mengukur sejauh mana keberhasilan yang dicapai. b. Model ADDIE Model ADDIE (Analysis Design Develop Implement Evaluate) merupakan. model yang mudah diterapkan di mana proses yang digunakan bersifat sistematis dengan kerangka kerja yang jelas menghasilkan produk yang efektif, kreatif, dan efisien (Reiser dan Dempsey. 2007: 25). Salah satu fungsi dari model ADDIE yaitu menjadi pedoman dalam membangun perangkat dan infrastruktur program pelatihan yang efektif, dinamis, dan mendukung kinerja pelatihan itu sendiri. Dalam model ADDIE, terdapat 5 tahap penyembangan yaitu: (1) Analisis; (2)
57
Desain; (3) Pengembangan; (4) Implementasi; (5) Evaluasi. Penjelasan singkat dari model ADDIE yang terdiri dari lima tahap sebagai berkut: 1) Analisis (Analysis) Analisis sering mencakup penilaian kebutuhan, mengidentifikasi masalah pembelajaran dan menyatakan tujuan pembelajaran yang akan dilaksanakan. 2) Desain ( Desing) Desain merupakan unsur untuk menulis tujuan dalam istilah terukur setelah kebutuhan diindentifikasi, dan langkah berikutnya adalah mendesain model pembelajaran yang meliputi; perumusan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai; menentukan materi yang dipakai dalam proses pembelajaran, strategi yang digunakan, media, evaluasi, dan sumber belajar yang digunakan. 3) Pengembangan (Develop) Pengembangan
merupakan
tindakan
lanjut
dalam
mempersiapkan
pembelajaran yang telah ada di unsur sebelumnya, dan mempersiapkan siswa dan bahan-bahan yang akan digunakan. Langkah pengembangan terdiri dari membuat spesifikasi embelajaran yang telah ditentukan pada tahap desain. 4) Implementasi (Imlement) Pada tahap implementasi meliputi penerapan proses pembelajaran yang sudah dipersiapkan dalam proses pembelajaran. Kesiapan dalam proses pembelajaran ini terdiri dari jadwal, penyiaan ruang pembelajaran, alat dan media, penyiapan peserta didik.
58
5) Evaluasi (Evaluate) Evaluasi meliputi evaluasi formatif dan sumatif, serta revisi. Evaluasi formatif dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui efektifitas dan kualitas dari pembelajaran, dari hasil evaluasi formatif akan digunakan untuk mengidentifikasi revisi yang diperlukan. Sedangkan evaluasi sumatif evaluasi dilakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat penguasaan dari peserta didik terhada kompetensi yang telah diajarkan.
Analyze
Implementasi
Evaluate
Develop
Gambar 2. Desain Pembelajaran ADDIE (Gustafon & Branch, 2007: 12)
Design
59
B. Penelitian Yang Relevan Tenun ikat merupakan salah satu hasil kebudayaan masyarakat yang memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur. Kain tenun sebagai hasil karya masyarakat yang didalamnya terkandung nilai-nilai luhur dari masyarakat setempat dan menjadi kebanggaan dan identitas bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya masyarakat kabupaten Malaka. Untuk menjaga agar keberadaan dari Tenun ikat dan nilai-nilai yang terkandung dalam tenun ikat ini tetap lestari, dan tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat pada umumnya dan para peserta didik khususnya, maka peranan dari lembaga pendidikan sangat penting. Oleh sebab itu, telah banyak menarik perhatian dari beberapa peneliti untuk melakukan penelitian dari sudut pandang yang berbeda-beda. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu telah membantu peneliti untuk mengkaji lebih lanjut mengenai masalah yang akan dikaji oleh peneliti. Beberapa peneliti sebelumnya antara lain: Hasil penelitian yang dilakukan oleh Salihu Maiwada dan S. A. Dutsenwai (2012) dalam American International Journal of Contemporary Research menunjukkan bahwa di Nigeria juga telah mengembangkan industri tekstil kain tenun dengan corak motif atau ornament yang berbeda-beda dari setiap suku yang ada. Dijelaskan juga bahwa di negara ini kain tenun tidak hanya dikerjakan oleh kaum perempuan akan tetapi oleh kaum pria dengan alat tenun tradisional secara horizontal dan vertical. Bagi masyarakat di Negara ini, mereka percaya bahwa tenun selain
60
digunakan sebagai penutup tubuh, tenun juga sebagai penunjuk identitas seseorang, status seseorang, dan penunjang perekonomian masyarakat setempat, oleh karena itu perkemabngan ornament mengalami kemajuan dari hari ke hari. Melalui penelitian ini, peneliti dapat menjadikan sebagai bahan referensi dan
perbandingan dalam
penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Havva Halaceli, 2012 dengan judul: Relief effects of woven elastic fabrics in view of crafted surfaces-Turki. Menunjukkan kesimpulan bahwa kombinasi dari teknik kerajinan tangan yakni kain tenun dengan teknologi dan seni menjadi lebih penting dengan menghasilkan desain tekstil serta dapat menawarkan desainer berkontribusi untuk hasil tenunan mereka. Secara singkat, tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat kain tenun dengan bantuan efek yang mengambil inspirasi dari teknik kerajinan lama atau pada masa para leluhur. Dengan adanya hasil penelitian ini, dapat menjadi pedoman bagi peneliti untuk lebih jauh mengkaji mengenai salah satu hasil kebudayaan masyarakat yang saat ini menjadi sangat fenomena dan memiliki peranan penting di kehidupan mereka yakni kain tenun ikat. Penelitian yang dilakukan oleh Asni Salviany La‟a dan Sri Suwartiningsih dengan judul: Makna Tenun Ikat Bagi Perempuan (Studi Etnografi di Kecamatan Mollo Utara- Timor Tengah Selatan). Dalam penelitian ini menjelaskan Daya tarik tenun tradisional Mollo Utara terletak pada makna religius dan kepercayaan yang terkandung didalamnya yang dipadukan dengan seni merancang motif dalam
61
penempatannya yang akan diakui sebagai miliknya. Kerajinan tenun Mollo Utara sekarang ini memasuki masa transisi, dimana pesan religius dalam motif-motifnya yang telah terpelihara secara turun temurun mulai memudar. Meskipun dalam penelitian ini, peneliti telah mengkaji secara detail mengenai peranan kain tenun dan makna corak motif dalam kehidupan masyarakat Timur Tengah Selatan, namun dari hasil penelitiannya lebih banyak terfokus pada peranan kain tenun dalam menunjang perekonomian masyarakat Timur Tengah Selatan sehingga makna-makna yang terkandung dalam kain tenun tersebut tidak dieskpo lebih mendalam. Oleh karena itu dalam penelitian pengembangan model pembelajaran ini, peneliti ingin mengkaji lebih mendalam mengenai nilai-nilai filosofis tenun yang terkandung dalam corak motif kain tenun ikat masyarakat Kabupaten Malaka Nusa Tenggara Timur melalui pengembangan model pembelajaran sejarah. Senada dengan Budiana Setiawan dan R.R. Nur Suwarningdyah (2014) yang melakukan penelitiannya dengan judul: Strategi Pengembangan Tenun Ikat Kupang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji strategi para perajin dan peran pemerintahdaerah dalam upaya mengembangkan tenun ikat Kupang di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Penelitian menunjukkanbahwa strategi yang dilakukan para perajin untuk mengembangkan tenun ikat Kupang dimulaidari upaya penyediaan bahan baku yang murah dan mudah diperoleh, diversifikasi (pengayaan)produk, pengembangan
teknologi
pembuatan,
peningkatan
organisasi
pengelolaan,
sampaidengan upaya pemasarannya, yang dinilai dapat meningkatkan hasil yang lebih baik. Dalam menjalankan strateginya dengan baik, para perajin juga harus
62
mendapatkan dukungan danpembinaan dari pemerintah daerah. Melalui Dinas Industri dan Perdagangan, dukungan danpembinaan dilakukan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan; pemberian bantuan alat produksi;pemberian pinjaman modal; mengikutsertakan dalam pameran; perlindungan hak paten; danpeningkatan kecintaan masyarakat
terhadap hasil
kerajinan dari daerahnya.
Hambatan
dantantangan dalam pengembangan tenun ikat yang dihadapi para perajin, yaitu keterbatasanmodal, kesulitan memperoleh bahan baku, dan kesulitan dalam pemasaran. Penelitian yang dilakukan oleh Genisa Meira (2013) dengan judul: Kain Tenun Ikat dengan Bahan Sutra Alam (Analisis Deskriptif Ornamen Kain Tenun Ikat dengan Bahan Sutera Alam di Kampung Tenun Panawuan Kabupaten Garut), menunjukkan kesimpulan bahwa keberadaan kain tenun di pulau Jawa, khususnya di Garut harus dipertahankan dan dilestarikan karena Kain Tenun merupakan ciri khas dari bangsa Indonesia. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Ganisa tersebut memberikan informasi kepada peneliti bahwa persebaran kain tenun ikat ini, telah tersebar sampai di pulau Jawa, oleh sebab itu peneliti
ingin menjadikan bahan penelitian yang
terdahulu ini sebagai acuan dalam untuk menumbuhkan rasa kecintaan para peserta didik terhadap budaya lokal daerah sendiri melalui pembelajaran di sekolah yakni pembelajaran muatan lokal agar ciri khas dari masyarakat kabupaten Belu tetap terpelihara.
63
C. Kerangka Berpikir Perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan strategis pendidikan baik karena pengaruh globalisasi ekonomi, revolusi teknologi informasi, maupun perubahan paradigma pembangunan mempunyai implikasi terhadap proses pendidikan. Tuntutan dan sekaligus tantangan ini bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan lancar maka dibutuhkan suatu model pembelajaran. Berbagai pendekatan dan metode digunakan dalam model pembelajaran
agar
menjadi
menyenangkan,
aktif
dan
bermakna.
Dalam
perkembangan yang sekarang ini, PBM tidak lagi menggunakan proses pembelajaran yang bersifat teacher centered akan tetapi menjadi studi centered, dimana guru hanya sebagai fasilitator dan siswa yang aktif dalam kegiatan Proses Belajar Mengajar. Model pembelajaran yang selama ini diterapkan oleh guru di SMA 17 Agustus Rabasa Biris Kabupaten Malaka berdasarkan hasil observasi awal terlihat masih cenderung konvensional. Hal ini terlihat dari cara guru mengajar dan metode dalam RPP yang digunakan masih bersifat konvensional, dimana dalam pembelajaran guru lebih mendominasi. Oleh karena itu peneliti berkeinginan untuk mengembangkan model pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai tenun ikat dengan medel Jigsaw. Model pembelajaran dengan tipe Jigsaw, merupakan sebuah model belajar kooperatif yang menitiberatkan pada kerja kelompok siswa dalam bentuk kecil, dimana siswa dilatih untuk mengungkapkan pendapat dan belajar mengolah informasi yang diperoleh, serta dalam kerja kelompok kecil tersebut setiap anggota kelompok
64
memiliki tanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan materi yang dipelajarinya. Berdasarkan uraian singkat diatas, maka adapun alur dari penelitian dalam mengembangkan model pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai filosofis tenun ikat untuk menumbuhkan kesadaran budaya lokal siswa di SMA 17 Agustus Rabasa Biris adalah sebagai berikut: D. Alur Penelitian PBM
Pembelajaran Sejarah berbasis nilai-nilai filosofis tenun ikat
Perencanaan
Pelaksanaan PBM
Evaluas i
Feed back line Feed back line
Kemampuaan: 1. 2. 3. 4.
Partisipasi Kerjasama Diskusi Berpendapat
Perangkat Pembelajaran 1. RPP 2. Silabus 3. Model Pembelajaran
Pelaksanaan Pembelajaran 1. Pendahuluan 2. Kegiatan Inti: a. Eksplorasi b. Elaborasi c. Konfirmasi 3. Penutup
Hasil belajar sejarah berbasis nilai-nilai filosofis tenun ikat
Gambar 3. Alur Penelitian
Hasil
Evaluasi
1. Pre Test 2. Test/ non test 3. Post Test
Kompetensi Guru