BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Pengertian Kenakalan Remaja Menurut Ma’mur Jamal (2011: 90) kenakalan remaja merupakan fenomena umum yang telah lama menjadi sumber keprihatinan bersama. Kenakalan remaja ini juga turut mewarnai dunia pendidikan. Karena banyaknya permasalahan yang menimpa kalangan remaja, maka pemberitaan tentang remaja dimedia massa pun lebih banyak dan cenderung bersifat negatif. Menurut Sarwono ( 2002: 209) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana. Santrock (2002:22) menyatakan bahwa kenakalan remaja mengacuh pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial ( seperti bertindak berlebihan di sekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-tindakan kriminal. Menurut Kartono (2003:78) Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (Patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan
bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. Istilah kenakalan remaja ( juvenile delinquency) merujuk pada berbagai perilaku, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti berbuat onar di sekolah) status pelanggaran ( melarikan diri dari rumah), hingga tindakan kriminal (seperti pencurian). Pelanggaran dan status pelanggaran sebagai berikut : 1. Indeks Pelanggaran
(Index Offenses)
adalah tindakan kriminal yang dilakukan
oleh remaja ataupun orang dewasa. Tindakan kriminal tersebut meliputi perampokan, serangan y ang menimbulkan kerugian pemerkosaan dan pembunuhan. 2. Status Pelanggaran ( Offenses Status) misalnya melarikan diri, membolos dari sekolah, mengonsumsi minuman keras meskipun masih dibawah umur melakukan hubungan seksual, dan tidak dapat dikendalikan, merupakan tindakan yang kurang serius. Tindakan ini ditampilkan oleh anak-anak muda dibawah umur, yang diklasifikasikan sebagai pelanggar remaja. Menurut Sarwono (2002: 192) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu: (a) kenakalan remaja yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. (b) Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain- lain. (c) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, hubungan seks bebas.(d) Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah. kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana.
Menurut Santrock (2002: 22) bahwa kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan di sekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakantindakan kriminal. kenakalan remaja sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang anak khususnya remaja, dimana jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, perbuatan tersebut merupakan kejahatan. Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja adalah tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja dapat disimpulkan bahwa semuanya menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri dan orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Oleh karena dari beberapa kenakalan remaja menurut para ahli salah satu kenakalan remaja menurut Kartono (2003:78) yang akan saya gunakan untuk bahan penelitian selanjutnya yang menjelaskan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (Patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. 2.1.3 Aspek-Aspek Yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja Pada Siswa
Menurut Sarwono (2002:209) membagi kenakalan remaja menjadi empat aspek, yaitu sebagai berikut:
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. 2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan, pencurian, pemerasan, dan lain-lain. 3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, seperti pelacuran, penyalahgunaan obat, seks bebas, dan lain-lain. 4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, dan lain-lain.
Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja, dapat disimpulkan bahwa semuanya menimbulkan dampak negatif bagi dirinya sendiri dan orang lain, serta lingkungan sekitarnya.
Menurut Kartono (2003: 23), aspek-aspek kenakalan remaja dibagi menjadi empat, yaitu: a. Kenakalan Terisolir (Delinkuensi Terisolir) Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari para remaja delinkuen: merupakan kelompok mayoritas. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan kejahatan mereka disebabkan atau didorong oleh faktor sebagai berikut: 1. kejahatan mereka tidak didorong oleh motivasi kecemasan dan konflik batin yang tidak dapat diselesaikan, dan motif yang mendalam, akan tetapi lebih banyak dirangsang oleh keinginan meniru, ingin konfrom dengan gangnya. Biasanya semua kegiatan mereka lakukan secara bersama-sama dalam bentuk kegiatan kelompok. 2. Mereka kebanyakan berasal dari daerah-daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultur criminal. Sejak kecil anak melihat adanya gang-gang kriminal, sampai pada suatu saat dia ikuti menjadi anggota salah satu kelompok gang tersebut. Didalam gang ini anak merasa diterima dan mendapatkan kedudukan “terhormat”, pengakuan, status sosial, dan prestise tertentu. Semua nilai, norma dan kebiasaan kelompoknya dengan subkultur kriminal itu, diopernya dengan serta merta. Jadi proses pengkondisian dan proses differential association. 3. Pada umumnya anak delinkuen tipe ini berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, tidak konsekuen, dan mengalami banyak frustasi. Situasi keluarga dipenuhi dengan konflik hebat diantara semua anggota keluarga, dan ada suasana penolakan oleh orang tua, sehingga anak-anak merasa di sia-siakan serta kesepian. Dalam situasi demikian anak tidak pernah merasakan iklim kehangatan emosional. Kebutuhan elementernya tidak terpenuhi: misalnya
tidak pernah merasa aman, harga dirinya terasa di injak, merasa dilupakan dan ditolak oleh orang tua, dan lain-lain. Pendeknya, anak mengalami banyak frustasi dalam lingkungan keluarga sendiri, dan mereaksi negatif terhadap tekanan lingkungannya. 4. Sebagai jalan keluarnya anak memuaskan semua kebutuhan dasarmya ditengah lingkungan anak-anak kriminal. Gang delinkuen memberikannya alternative hidup menyenangkan. Mereka akhirnya mengadopsi etik dan kebiasaan gangnya, dan dipakai sebagai sarana untuk meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya adalah penting, cukup “menonjol” dan berarti. Gang tersebut memberikan pada dirinya perasaan aman, diterima bahkan biasa mendapatkan “bimbingan” untuk menonjolkan egonya. 5. Secara typis mereka dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervise dan latihan disiplin yang teratur. Sebagai akibatnya, anak tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Bahkan banyak dari mereka menjadi kebal terhadap nilai kesusilaan: sebaliknya menjadi lebih peka terhadap pengaruh jahat. Ringkasnya, delinkuensi ini terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial. Mereka mencari panutan dan sekunderitas dari dan didalam kelompok gangnya namun pada usia dewasa mayoritas anak delinkuen tipe terisolir tadi meninggalkan tingkah laku kriminalnya paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perbuatanya pada usia 21-23 tahun. Tampaknya pola tingkah laku delinkuen mereka itu merupakan bagian dari proses pendewasaan diri, untuk segera memasuki fase hidup baru, dan menyandang peranan sosial baru, lewat proses menjadi lebih dewasa. b. Kenakalan Neurotik (Delinkuensi Neurotik) pada umumnya anak-anak dilenkuen tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa: kecemasan merasa selalu tidak aman, merasa terancam, tersudut dan
terpojok, merasa selalu tidak aman, merasa terancam, tersudut dan terpojok, merasa bersalah atau berdosa, dan lain-lain. Ciri tingkah laku mereka antara lain: 1. tingkah laku delinkuennya bersumber pada sebab - sebab psikologisnya yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gangnya yang kriminal itu saja: juga bukan berupa usaha untuk mendapatkan prestise social dan simpati dari luar. 2. Tingkah laku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan. Karena itu tindak kejahatan dan kebingungan batinnya yang jelas tidak terpikulkan oleh egonya. 3. Biasanya, anak remaja delinkuen tipe terisolir ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekkan jenis kejahatan tertentu; misalnya suka memperkosa lalu membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik. 4. Anak delinkuen neurotik ini banyak yang berasal dari kelas menengah, yaitu dari lingkungan konvensional yang cukup baik kondisi sosial-ekonominya. Namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah; dan orang tuanya biasanya juga neurotik dan psikopatik. 5. Anak delinkuen neurotik ini memiliki ego yang lemah, dan ada kecenderungan untuk mengisolir diri dari lingkungan orang dewasa atau anak-anak remaja lainnya. 6. Motivasi kejahatan mereka berbeda-beda. Misalnya, para penyudut api ( pyromania, suka membakar) didorong oleh nafsu ekshibisionistis, anak-anak yang suka membongkar melakukan pembongkaran didorong oleh keinginan melepaskan nafsu seks, dan lain-lain. 7. Perilakunya memperlihatkan kwalitas komplusif (paksaan). Kwalitas sedemikian ini tidak terdapat pada tipe delinkuen terisolir. Anak-anak dan orang muda tukang bakar, para peledak
dinamit dan bom waktu, penjahat seks, dan pecandu narkotik dimasukkan dalam kelompok tipe neurotik ini. Oleh karena perubahan tingkah laku anak-anak delinkuen neurotik ini berlangsung atas dasar konflik jiwani yang serius atau mendalam sekali, maka mereka akan terus melanjutkan tingkah laku kejahatanya sampai usia dewasa dan umur tua. c. Kenakalan Psikopatik (Delinkuensi Psikopatik) Delikuen psikopatik ini sedikit jumlahnya; akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum criminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka ialah: 1. hampir seluruh anak delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan selalu menyia-nyiakan anak-anaknya. Tak sedikit dari mereka berasal dari rumah yatim-piatu. Dalam lingkungan demikian mereka tidak pernah merasakan kehangatan, kasih sayang, dan relasi personal yang akrab dengan orang lain. Sebagai akibatnya , mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi, sedang kehidupan perasaannya pada umumnya menjadi tumpul atau mati. Sebagai akibatnya, mereka tidak mampu menjalin relasi emosional yang akrab atau baik dengan orang lain. 2. Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa atau melakukan pelanggaran. Karena itu sering meledak tidak terkendali 3. Bentuk kejahatanya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau tidak dapat diduga-duga. Mereka pada umumnya agresif dan implusif.. Biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.
4. Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial yang berlaku. Juga tidak pernah peduli terhadap norma norma subkultur gangnya. 5. Acapi mereka juga menderita gangguan neurologis sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Psikopat itu merupakan bentuk kekalutan mental dengan ciri-ciri sebagai berikut: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri. Orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, dia selalu konflik dengan norma sosial dan hukum. Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu a-sosial, eksentrik kegila-gilaan dan jelas tidak memiliki kesadaran sosial serta intelegensi sosial. Mereka sangat egoistis, fanatik dan selalu menentang apa dan siapapun juga . sikapnya aneh, sangat kasar, kurang ajar, ganas buas terhadap siapapun tanpa sebab sesuatu pun juga. kata-katanya selalu menyakiti hati orang lain; perbuatannya sering ganas sadis, suka menyakiti jasmani orang lain tanpa motif apapun juga. Karena itu remaja delinkuen yang psikopatik ini digolongkan kedalam bentuk penjahat yang paling berbahaya. d. Kenakalan Defek Moral (Delinkuensi Defek Moral) Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan
dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif, diantara para penjahat residivis remaja, kurang lebih 80 % mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah, jadi mereka menderita defek mental. Hanya kurang dari 20 % yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar.
Dapat disimpulkan bahwa dari kedua aspek-aspek menurut para ahli adalah membahas tentang perilaku yang melanggar aturan dan status, serta perilaku yang membahayakan diri sendiri serta kenakalan terisolir yang mana kenakalan ini lebih kepada kenakalan mereka didorong karena keinginan meniru, kenakalan neurotik membahas tentang kenakalan yang menderita gangguan kenakalan
kejiwaan, kenakalan psikopatik lebih cenderung kepada
lingkungan yang keluarganya brutal yang orang tuanya selalu menyia-menyiakan mereka, kenakalan defect moral yaitu mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, rasa kemanusiaannya sangat terganggu. Oleh karena itu dari kedua teori tersebut yang akan saya gunakan sebagai tindak lanjut penelitian adalah aspek menurut Kartono Dr. karena aspek tersebut membahas tingkah laku kenakalan remaja pada siswa maupun anak dan bagaimana perilaku mereka terhadap orang tua.
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja Pada Siswa Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Kartono Dr. ( 2011: 125 ) mengatakan bahwa lebih rinci dijelaskan sebagai berikut : 1. Faktor Internal ( Endogen) Faktor internal berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru oleh anak-anak remaja dalam menanggapi milieu (lingkungan) di sekitarnya dan semua pengaruh dari luar. Tingkah laku mereka merupakan reaksi yang salah atau irasional dari proses belajar, yang terwujud dalam bentuk ketidakmampuan mereka untuk beradaptasi terhadap lingkungan sekitar. Kemudian mereka melakukan mekanisme pelarian dan pembelaan diri dalam wujud kebiasaan adaptif, agresi dan pelanggaran terhadap norma-norma sosial serta hukum formal. 2. Faktor Eksternal ( Eksogen) Faktor eksternal adalah semua perangsang dan pengaruh luar yang menimbulkan tingkah laku terhadap anak-anak remaja. Faktor-faktor ini misalnya tindak kekerasan, kejahatan, perkelahian, massal, dan lain sebagainya.yang dilihat dan kemudian ditiru oleh remaja. Sedangkan faktor eksternal yang disebabkan oleh faktor keluarga, diantaranya rumah tangga berantakan, perlindungan yang berlebihan yang berlebihan dari orang tua, penolakan orang tua, dan pengaruh buruk dari orang tua. Hal ini harus diatasi dengan melibatkaan peran dari orang tua. Orang tua harus menyadari bahwa mereka memiliki andil dalam membentuk watak dan kepribadian anak. Tidak hanya sekadar menyalahkan, orang tua juga wajib untuk memberikan teladan yang baik.
Willis (2008:93) menjelaskan terdapat empat faktor penyebab timbulnya kenakalan remaja, yaitu sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang ada dalam diri anak remaja itu sendiri, meliputi: a. Predisposing faktor, yaitu faktor kelainan yang dibawa sejak lahir, seperti cacat keturunan fisik dan mental. b. Lemahnya kemampuan pengawasan diri terhadap pengaruh lingkungan. c. Kurangnya dasar-dasar keagamaan dalam diri, sehingga sukar mengukur norma-norma luar atau memilih norma yang baik sesuai dengan lingkungan masyarakat. 2. Faktor-faktor yang berasal dari lingkungan masyarakat di antaranya adalah: a. Kurangnya pelaksanaan pendidikan agama secara konsekuen, sehingga
kenakalan remaja
dalam lingkungan mereka semakin meningkat. b. Masyarakat kurang memperoleh pendidikan, sehingga keinginan dan tingkah laku remaja berjalan sesuai dengan kehendak mereka. c. Pengaruh norma baru yang datang dari luar, dimana anak pada usia remaja selalu ingin mengetahui dan memiliki hal-hal baru, tanpa mempertimbangkan apa akibat yang ditimbulkannya. d.Sekolah kadang-kadang juga dapat menyebabkan timbulnya kenakalan remaja bila tidak terbina dengan baik.
Dari uraian di atas dapat dilihat dari faktor-faktor kenakalan remaja menurut Kartono ( 2011: 125 ) mengatakan bahwa lebih rinci dijelaskan membagi dua faktor, yaitu dari dalam berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru oleh anak-anak remaja dalam menanggapi millieu ( lingkungan) di sekitarnya dan semua pengaruh dari luar sedangkan faktor
eksternal adalah semua perangsang dan pengaruh luar yang menimbulkan tingkah laku terhadap anak-anak remaja 2.2 Pengertian Religiusitas Menurut (Kahmad, 2002). Ada beberapa istilah untuk menyebutkan agama, antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio/relegare (Latin), dan dien (Arab). Kata religion (Inggris) dan religie (Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat. Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti. al-khidmat (pelayanan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), alibadat (pengabdian). Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Meski berakar kata sama, namun dalam penggunaannya istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau agama. Kalau agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban; religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu didalam hati. Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam( Nashori Fuad Dan Diana Rachmy, 2002). Ancok dan Suroso (2001) mendefinisikan religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber jiwa keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia itu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan. Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang. Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan definisi religiusitas sebagai statu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran- ajaran agama yang dianutnya. Menurut Jalaluddin ( 2000:212) religiusitas sebagai suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.
Dari beberapa definisi yang diungkapkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas merupakan suatu bentuk hubungan manusia dengan penciptanya melalui ajaran agama yang sudah terinternalisasi serta dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya.
Oleh karena itu pendapat yang akan saya gunakan sebagai tindak lanjut penelitian adalah pendapat Glock & Stark (dalam Ancok:2010) yang menjelaskan bahwa religiusitas seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang.
2.2.1 Aspek- Aspek Yang Mempengaruhi Religiusitas Menurut Glock dan Stark (77: 2010) membagi religiusitas menjadi lima dimensi yakni: 1. Dimensi keyakinan ( the ideological dimension) Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana orang religious berpegang teguh pada pandangan keyakinan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama-agama, tetapi seringkali juga di antara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.
2. Dimensi Praktek Agama Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu: a. Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus. Tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakan. Contohnya dalam Kristen sebagian dari pengharapan ritual itu diwujudkan dalam kebaktian di gereja. Persekutuan suci, baptis, perkawinan, dan semacamnya. b. Ketaatan. Ketaatan dan ritual bagaikan bagaikan ikan dengan air. Meski ada perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama
yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi. Ketaatan di lingkungan penganut Kristen diungkapkan melalui sembahyang pribadi, membaca alqur’an. 3. Dimensi Pengalaman Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengaharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supranatural). Seperti telah kita kemukakan, dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil , dalam suatu esensi ketuhanan , yaitu dengan tuhan kenyataan terakhir, dengan otoritas transendental. 4. Dimensi Pengetahuan Agama (The Intellectual Dimension) Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi ini pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimaannya. Walaupun demikian, keyakinan tidak perlu di ikuti oleh syarat pengetahuan. Juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan. Lebih jauh, seseorang dapat berkeyakinan bahwa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit. 5. Dimensi efek atau pengalaman (the consequential dimension) Konsekuensi komitmen agama berlainan dari keempat dimensi yang sudah dibicarakan diatas. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari “ kerja” dalam pengertian teologis
digunakan di sini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagain dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama . Adapun aspek-aspek religiusitas menurut Brech (2001:6) : 1 Iman (seberapa kokoh keyakinan), 2 Ihsan (seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut), 3 Amal (sejauh mana perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari), 4 Ibadah (sejauh mana pelaksanaan ibadah seseorang), 5 Ilmu (seberapa jauh pengetahuan tentang agama), Dari aspek menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa aspek religiusitas menurut Starck dan Glock lebih cenderung kepada sejauh mana seseorang menerima, melakukan, merasakan dan mengetahui serta menunjukkan prilaku agamanya dalam kehidupan sosial. Sedangkan aspek Brech menekankan kepada 5 iman, ihsan, amal, ibadah, ilmu. Sehingga yang saya gunakan untuk tindak lanjut penelitian saya adalah pendapat menurut starck dan Glock karena dari ke lima dimensi tersebut mendorong kita atau seorang remaja yang lebih dikhususkan kepada siswa dapat mengetahui nilai-nilai religiusitas dan moral untuk melakukan hal-hal yang tujuannya baik. 2.2.2 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas Dalam
http://idahceris.wordpress.com/2012/02/13/religiusitas menyebutkan
beberapa
faktor yang mempengaruhi religiusitas yaitu : a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan, termasuk pendidikan
orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh lingkungan. b. Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai: 1) Keindahan, keselarasan dan kebaikan didunia lain (faktor alamiah) 2) Adanya konflik moral (faktor moral) 3) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif). Menurut Rakhmat ( 2000: 31) ada dua faktor religiusitas yang terbentuk: a. Faktor internal Didasarkan pada pengaruh dari dalam diri manusia itu sendiri, yang pada dasarnya dalam diri manusia terdapat potensi untuk beragama, asumsi ini didasarkan karena manusia merupakan akhlak homo religius potensi tersebut termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri,akal perasaaan maupun kehendak dan lain sebagainya. b. Faktor eksternal Timbul dari luar diri individu itu sendiri, seperti karena adanya rasa takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah ( sense of quilt) ( Jalaluddin, 2000: 222) Dari beberapa faktor menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa religiusitas seseorang dilihat dari perkembangan lingkungan, tuntutan-tuntutan dan kebutuhan karena mengembangkan sikap agama yang positif serta tindakan dari luar dan dalam aspek kejiwaan naluri, akal, serta ketergantungan ataupun rasa bersalah karena rasa takut.
Dari uraian yang telah dikatakan diatas bawah salah satu bentuk reaksi ketidakpuasan remaja terhadap kondisi lingkungan sosialnya adalah menarik diri ke dalam dirinya sendiri sehinga ia tampil sebagai seorang pendiam, pemalu atau pemurung, yang dalam gangguan kejiwaannya bisa menjadi skizofrenik autis atau katatonik. Akan tetapi, penarikan diri itu bisa juga berupa pemilihan lingkungan atau norma tertentu dan cenderung mengikatkan diri pada lingkungan tertentu atau norma tertentu tersebut.
2.3 Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kenakalan Remaja
Salah satu pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Dengan demikian, tingkat partisipasi remaja dalam organisasi religius dapat menjadi hal yang lebih penting dibandingkan afasiliasi dengan agama tertentu, dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku yang mengarah pada hubungan seks pranikah. Bagi remaja tentang hubungan tingkat religiusitas dengan perilaku kenakalan remaja. Dengan adanya
penelitian
ini
diharapkan
remaja
mampu
membentengi
diri
mereka
dari
perilaku kenakalan remaja dengan meningkatkan religiusitasnya dengan cara meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan, meningkatkan frekuensi ibadah, meningkatkan penghayatan terhadap agama, meningkatkan pengetahuan tentang agama serta selalu bersikap sesuai dengan ajaran agama.
Dewasa ini dapat kita ketahui bahwa nilai religiusitas merupakan salah satu factor penunjang kenakalan remaja terutama pada siswa SMA, Kajian pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan dan menggambarkan hubungan religiusitas dengan kenakalan remaja pada siswa SMA Negeri I Tibawa. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui peranan religiusitas pada siswa serta mengembangkan dan menekan atau mengontrol kenakalan remaja di sekolah
Religiusitas difokuskan pada lima aspek, yaitu keyakinan, ritual, pengalaman, konsekuensi, dan penghetahuan. Sedangkan kenakalan remaja terdiri dari lima aspek, yaitu perkelahian, pencurian, minum minuman keras, menonton VCD porno, dan membolos sekolah oleh karena itu sangat berpengaruh antara religiusitas siswa dan pada kenakalan remaja (siswa).
2.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara religiusitas dengan kenakalan remaja pada siswa SMA Negeri I Tibawa.