BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teori 2.1.1
Konsep Pajak Bumi dan Bangunan
2.1.1.1 Pajak Bumi dan Bangunan Pengertian bumi menurut Suandy (2002: 349) adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Sedangkan bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah: (1) jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut; (2) jalan tol; (3) kolam renang; (4) pagar mewah; (5) tempat olahraga; (6) galangan kapal; (7) taman mewah; (8) tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; (9) fasilitas lain yang memberikan manfaat. Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan (Direktorat Jenderal Pajak 2008: 28) Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah merupakan iuran masyarakat kepada negara yang dipungut oleh pemerintah. b. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dipungut berdasarkan undang-undang (Undang-undang no 12 tahun 1985) atau dapat dipaksakan. c.
Tidak ada jasa balik dari negara yang langsung dapat ditunjukkan.
d.
Obyek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah harta tak gerak dan keadaan atau status orang atau yang paling menonjol yang juga menjadi ciri tersendiri dari pajak bumi dan bangunan.
e. Keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subyek dari pajak bumi dan bangunan (PBB) tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak sehingga dengan demikian pengenaan atau besar kecilnya jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak ini ditentukan oleh besar kecilnya harta tak gerak yang dimiliki orang atau badan yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan ini selama harta tak gerak itu tidak digunakan untuk kepentingan umum atau bersifat sosial. Menentukan klasifikasi bumi/tanah ada faktor-faktor yang diperhatikan yakni (Suandy, 2002: 351): a. Bumi/tanah meliputi; letak, peruntukan, pemanfaatan, kondisi lingkungan dan lain-lain. b. Bangunan meliputi; bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan dan lain-lain.
2.1.1.2 Cara Menghitung dan Menetapkan PBB a. Tarif Pajak Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% dan jenis tarif ini disebut sebagai tarif tunggal yang berlaku terhadap obyek pajak jenis apapun di seluruh wilayah Indonesia. b. Dasar Pengenaan PBB: (a) Adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru atau nilai objek pajak pengganti (b) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3 tahun sekali, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun dengan perkembangan daerahnya (c) Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Kena Pajak (d) Besarnya persentase Nilai jual Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional. Mardiasmo (2011: 319) mengemukakan bahwa di dalam penentuan NJOP PBB oleh dirjen pajak atas nama kepala perpajakan PBB ditentukan 3 metode penilaian atau pendekatan penilaian, antara lain: (a) pendekatan data pasar (market data approach); (b) pendekatan biaya (cost approach); dan (c)
pendekatan pendapatan (income approach). Sedangkan untuk cara penilaian menggunakan 2 cara, yakni: (1) penilaian massal (mass appraisal), dan (2) penilaian individual (individual appraisal) c. Dasar Perhitungan PBB Dasar Perhitungan yang digunakan untuk menghitung pajak terhutang adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Kena Pajak (Peraturan Pemerintah. Besarnya persentase NJKP yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional (Direktorat Jenderal Pajak 2008: 30). Berdasarkan PP No. 74 tahun 1998 ketentuan mengenai NJKP untuk perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan sebesar 20% atas 40% dari Nilai Jual Objek Pajak. NILAI JUAL KENA PAJAK = 20% atau 40% x Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Selanjutnya PP No. 46 tahun 2000 memperbarui PP 74 tahun 1998, yang menjelaska besarya NJKP sebagai dasar perhitungan kena pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 tahun 1994 ditetapkan untuk: (a) obyek pajak perkebunan sebesar 40% dari nilai jual Ojek pajak; (b) objek pajak kehutanan sebesar 40% dari Nilai Jual Objek pajak; (c) objek pajak pertambangan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek pajak; dan (d) Objek pajak lainnya: sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila nilai jual objek pajaknya Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar) atau lebih dan sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila nilai jual Objek pajaknya kurang dari Rp. 1.000.000.000,PP 25 Tahun 2002 memperbarui PP 46 tahun 2000, berisi ketentuan sebagai berikut: a. Obyek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40% dari Nilai Jual Objek pajak. b. Obyek Pajak lainnya : Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya Rp. 1.000.000.000,- (satu Milyar) atau lebih. Sebesar 20%
dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek
Pajaknya kurang dari Rp. 1.000.000.000,d. Cara Menghitung Pajak Menurut Mardiasmo (2011: 318) bahwa unsur-unsur yang harus diketahui agar dapat menghitung Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut : a. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yakni NJOP Bumi dan NJOP Bangunan. b. Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yakni 20% atau 40% dari NJOP c. Tarif tunggal : 0,5% d. NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) yakni ditetapkan secara regional paling tinggi sebesar Rp. 12.000.000,Sehingga sesuai Pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 1985 rumus untuk menghitung Pajak Bumi Bangunan Terhutang : Pajak Bumi Bangunan Terhutang = Tarif Pajak x Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
Sebelum dikalikan dengan tarif NJOP harus dikurangkan dengan NJOPTKP. Ketentuan menyangkut NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Paja adalah sebagai berikut: NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) ditetapkan secara regional sebesar Rp. 12.000.000,- yang diberikan dengan ketentuan : - Untuk setiap wajib pajak hanya diberikan satu NJOPTKP terhadap satu objek yang dimiliki atau disewa/atau dipakai - Diberikan untuk bumi dan/atau bangunan - Jika wajib pajak memiliki beberapa objek pajak yang diberikan NJOPTKP hanya salaah satu objek yang memiliki nialai jual objek pajak tertinggi. Rumus Perhitungan PBB PBB Terhutang = Tarif x NJKP = 0,5% x 20% atau 40% x NJOP, sehingga dari rumus asal ini dapat dijabarkan menjadi : = 0,5% x 20% x (NJOP – NJOPTKP) = 0,5% x 20% x NJOP = 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP) = 0,5% x 40% x NJOP Catatan : NJOP = NJOP bumi + NJOP bangunan NJOPTKP = ditetapkan secara regional paling tinggi Rp. 12.000.000,-
2.1.1.3 Objek dan Subjek Pajak PBB Mardiasmo (2011: 313) mengemukakan bahwa yang menjadi objek pajak PPB adalah sebagai berikut:
a. Yang menjadi objek adalah bumi dan atau bangunan b. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan perhitungan pajak terutang Dalam menentukan kalsifikasi bumi/tanah diperhaikan faktor-faktor sebagai berikut: (a) letak; (b) peruntukan; (c) pemanfaatan; dan (d) kondisi lingkungan dan lain-lain. c. Pengecualian objek pajak Objek pajak yang dikenakan pajak bumi dan bangunan adalah objek pajak yang: a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain: (1) di bidang ibadah, contoh masjid, gereja, vihara; (2) di bidang kesehatan, contoh rumah sakit; (3) di bidang pendidikan, contoh madrasah, pesantren; (4) di bidang sosial, contoh panti asuhan; (5) di bidang kebudayaan nasional, contoh museum, candi b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan, wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasasi oleh desa, dan tanah yang belum dibebani suatu hak d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik
e. Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. d. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintah, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. e. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing Kabupaten/Kota dengan besar setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. Selanjutnya, Mardiasmo (2011: 317) menyatakan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah sebagai berikut: 1) Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguaasi, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilik hak. 2) Subjek pajak sebagaimana dimasud dalam no. 1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak. 3) Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1 sebagai wajib pajak.
4) Subjek pajak yang ditetapkan sebagai mana dimaksudkan No. 3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud. 5) Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam No. 4 disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dalam no. 3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. 6) Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasanalsannya. 7) Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dalam no. 4 Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui. 2.1.2
Bagi Hasil Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Dana bagi hasil dari penerimaan pajak bumi dan bangunan sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 33 tahun 2004 pasal 11 ayat (2), di bagi antara daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan pemerintah pusat. Dana bagi hasil dari pemerintah pusat pajak bumi dan bangunan sebesar 90% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut: a. 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah provinsi. b. 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan kerekening kas umum daerah kabupaten/kota.
c. 9% untuk biaya pemungutan Dana bagi hasil dari penerimaan pajak bumi dan bangunan sebesar 10% dibagikan kepada seluruh kabupaten dan/ kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut: d. 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan/ kota. e. 35% dibagikan secara intensif kepada daerah kabupaten dan/kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
2.1.3
Kontribusi dan Efektivitas Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Pendapatan Daerah Menurut Depdikbud (2002: 521) pengertian kontribusi adalah uang iuran
(kepada perkumpulan dan sebagainya). Sedangkan pengertian kontribusi bila berdasarkan kata asalnya dari bahasa Inggtis “contribution” memiliki pengertian dalam bahasa Indonesia adalah sumbangan, sokongan, bantuan. Menurut (Guritno, 1992: 76) kontribusi adalah sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama. Sehingga kontribusi yang dimaksud dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan oleh pendapatan PBB terhadap besarnya pendapatan daerah. Jika potensi penerimaan pajak bumi dan bangunan semakin besar dan pemerintah daerah dapat mengoptimalkan sumber penerimaannya dengan meningkatkan target dan realisasi pajak bumi dan bangunan yang berlandaskan potensi sesungghnya, hal ini dapat meningkatkan total hasil dana perimbangan.
Sehingga akan mengurangi rasio ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Untuk mengetahui bagaimana dan seberapa besar kontribusi pajak bumi dan bangunan, maka untuk mengklasifikasikan kriteria kontribusi pajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan daerah digunakan rumus sebagai berikut (Halim, 2001: 164): Realisasi Penerimaan PBB Kontribusi PBB = ----------------------------------------------------x100% Realisasi Penerimaan Pendapatan Daerah
Kalsifikasi kriteis kontribusi dapat dilihat pada tabel 2 berikut. Tabel 2 Klasifikasi Kriteria Kontribusi Persentase Kriteria 0.00 - 10% Sangat Kurang 10.00 - 20% Kurang 20.00– 30% Sedang 30.00 – 40% Cukup Baik 40.10 – 50% Baik Di atas 50% Sangat Baik Sumber : Tim Litbang Depdagri-Fisipol UGM 1991 dalam Sari (2009) Efektivitas menurut Liang Gie dalam Halim (2004:166), adalah suatu keadaan yang terjadi sebagai akibat yang dikehendaki. Kalau seseorang melakukan
sesuatu
perbuatan
dengan
maksud
tertentu
dan
memang
dikehendakinya, maka orang itu dikatakan efektif bila menimbulkan akibat atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendakinya. Selanjutnya efektifitas harus dinilai atas tujuan yang bisa dilaksanakan dan bukan atas konsep tujuan maksimum. Jadi efektifitas menurut ukuran seberapa jauh organisasi berhasil mencapai tujuan yang layak dicapai (Steers dalam Halim, 2004: 166).
Siagian (2001: 24) mendefinisikan efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankanya. Efektifitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Mardiasmo (2004: 134) mendefinisikan efektifitas sebagai ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan dengan efektif. Mulyasa (2003: 82) mengemukakan bahwa efektivitas
sebagai
bagaimana
organisasi
berhasil
mendapatkan
dan
memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Pengertian-pengertian efektifitas di atas dapat disimpulkan bahwa efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Keberadaan pajak bumi dan bangunan harus ditentukan dari target yang akan diperolehnya setiap tahun dan tercapainya dapat dilihat dalam realisasi yang diperoleh setiap tahun dari PBB tersebut. Dengan demikian, maka untuk menghitung atau mengukur tingkat efektivitas penerimaan PBB dapat digunakan rumus sebagai berikut (Halim, 2001: 164): Realisasi Penerimaan PBB Efektivitas PBB = ---------------------------------------x100% Potensi PBB
Untuk menilai efektivitas tidaknya penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Pendapatan Daerah, maka ditafsirkan pada kriteria tabel 3 sebagai berikut (Halim, 2001: 163): Tabel 3 Interprestasi Nilai Efektivitas Persentase >100% 90 – 100% 80 – 90% 60 – 80% <60%
Kriteria Sangat Efektif Efektif Cukup Efektif Kurang Efektif Tidak Efektif
2.2 Konsep Pendapatan Daerah Pendapatan daerah menurut Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 1 poin 15 adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Sedangkan pendapatan daerah menurut Permendagri No. 13 tahun 2006 pasal 23 ayat 1 adalah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Struktur pendapatan daerah terdiri dari: (a) pendapatan asli daerah; (b) dana perimbangan; (c) lain-lain pendapatan yang sah. 2.2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pengertian pendapatan asli daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan perturan perundang undangan. pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari: 1) Pajak daerah Menurut pasal 1 ayat 10 undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang perubahan atas undang-undang No. 18 tahun 1997 dan Undang-undang No. 34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah mengatakan bahwa pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak, yaitu pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jenis-jenis pajak daerah menurut undang-undang No. 28 tahun 2009 adalah sebagai berikut: a. Pajak hotel Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga hotel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). b. Pajak restoran Pajak restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan
dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. c. Pajak hiburan Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran. d. Pajak reklame Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum. e. Pajak penerangan jalan Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. f. Pajak mineral bukan logam dan batuan Pajak mineral bukan logam dan batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. g. Pajak parkir Pajak parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. h. Pajak sarang burung walet Pajak sarang burung walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Burung walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi. i. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. 2) Retribusi daerah Pasal 1 ayat 64 undang-undang No. 28 tahun 2009 yaitu perubahan undang undang No. 18 tahun 1997 dan undang-undang No. 34 tahun 2000 tentang pajak daerah menyatakan retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi, yaitu retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Contoh jenis pendapatan retribusi untuk kebupaten atau kota meliputi objek pendapatan, diantaranya: retribusi pelayanan
kesehatan, retribusi pelayanan persampahan atau kebersihan, retribusi penggantian biaya cetak KTP, retribusi pelayanan pemakaman, dan lain-lain. 3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang disisipkan Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut ini: a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah atau BUMN b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah atau BUMN c. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. 4) Lain-lain pendapat daerah yang sah Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari penerimaan lain-lain milik pemerintah daerah. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut: (a) hasil penjualan kekayaan daerah yan tidak dapat dipisahkan; (b) jasa giro; (c) pendapatan bunga; (d) penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; (e) penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; (f) pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; (g) pendapatan denda pajak; (h) pendapatan denda retribusi; (i) penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah; (j)
pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; (k) pendapatan dari pengembalian; (l) fasilitas sosial dan fasilitas umum; (m) pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; (n) pendapatan dari angsuran atau cicilan penjualan. 2.2.1.2 Dana Perimbangan Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari dana penerimaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Menurut Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang kelompok pendapatan dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatannya yang terdiri atas: 1. Dana bagi hasil Bagi hasil pajak terdiri dari: a. Bagi hasil pajak, terdiri dari pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak pengahasilan pasal 21 b. Bagi hasil bukan pajak, terdiri atas provisi sumber daya hutan (PSDH), pemberian hak atas tanah negara, dan penerimaan dari iuran eksplorasi. 2. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untu membiayai kebutuhan pengeluarannya dala rangka pelaksanaan desentralisasi. Estimasi untuk pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Estimasi
untuk
perhitungan
anggaran
DAU
berdasarkan UU No. 25 tahun 1999 dan PP No. 41 tahun 2000.
dihitung
3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana alokasi khusus yaitu dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Berdasarkan pasal 19 ayat 1 PP No. 104 tahun 2000 tentang dana perimbangan, disebutkan bahwa DAK dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dalan APBN. 1.1.2.3
Lain-lain Pendapatan yang Sah Menurut Permendagri No. 13 tahun 2006 mengenai kelompok lain lain
pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup: 1. Hibah, berasal
dari
pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan
lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat baik dalam bentuk devisa, rupiah mupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali 2. Dana darurat, dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban atau kerusakan akibat bencana alam 3. Dana bagi hasil pajak dari propinsi kepada kabupaten/kota 4. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah bantuan keuangan dari propinsi atau dari pemerintah lainnya.
1.2 Penelitian Terdahulu Penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya oleh Rochman tahun 2008, dengan judul penelitian ” Analisis Efektifitas Pemungutan Pajak Bumi
Bangunan (PBB) dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten Lumajang”. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis deskriptif kualitatif. Pengumpulan datanya yaitu dengan menggunakan metode Dokumentasi dan Wawancara. Teknik analisa data yang dipergunakan adalah analisa target dan realisasi, analisis efektifitas dan analisis kontribusi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa rasio efektifitas PBB Kabupaten Lumajang periode 2001-2006 sudah efektif. Dengan persentase tahun 2001 mencapai 81,71%, tahun 2002 mencapai 134,45%, tahun 2003 mencapai 133,64%, tahun 2004 mencapai 144,32%, tahun 2005 mencapai 141,29% dan tahun 2006 mencapai 146,50%. Kontribusi PBB terhadapat pendapatan daerah tahun 2001 sebesar 3,41%, tahun 2002 sebesar 3,30%, tahun 2003 sebesar 3,44%, tahun 2004 sebesar 3,99%, tahun 2005 sebesar 4,00% dan tahun 2006 sebesar 4,37%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerimaan PBB kabupaten Lumajang dari periode 2001-2006 sudah efektif meskipun terjadi fluktuasi. Kontribusi PBB terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten Lumajang masih relatif kecil, hal ini disebabkan persentase pertumbuhan pendapatan daerah lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan pajak bumi bangunan. Sari tahun 2009, dengan judul penelitian “Analisis Efektivitas dan Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Terhadap Pendapatan Daerah di Kota Bandung. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa tingkat efektivitas penerimaan pajak bumi dan bangunan Tahun 2002 sampai dengan 2008 berdasarkan target. Didapatkan nilai tertinggi pada tahun 2006 dengan kriteria sangat efektif. Efektivitas terendah pada tahun 2002 dengan kriteria cukup
efektif. Hal ini menunjukan bahwa pengelolaan pajak bumi dan bangunan pada pemerintah daerah kota Bandung telah dilaksanakan secara memadai, dan menunjukan keadaan perekonomian dan pembangunan daerah kota Bandung mengalami perkembangan. Terlihat akan kebutuhan fasilitas masyarakat seperti fasilitas kesehatan yang mudah tersedia dan di dapat dengan baik. Laju pertumbuhan pendapatan daerah tertinggi terjadi pada tahun 2006 dan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2005. Pendapatan daerah yang berasal dari PAD, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 mengalami peningkatan. Hal ini menunjukan bahwa keadaan daerah kota Bandung mengalami perkembangan. Tingkat kontribusi pajak bumi dan bangunan tahun 2002 sampai dengan 2008, yang terbesar dicapai pada tahun 2008 dengan kategori sangat kurang. Dengan rata-rata kontribusi pajak bumi dan bangunan adalah hanya sebesar 5.94% yang berarti sangat kurang atau rendah. Dengan kata lain sumbangan atau manfaat tentang pajak bumi dan bangunan. Selanjutnya, penelitian yang sama pula yang dilakukan oleh Nurwulan tahun 2008, dengan judul penelitian “Kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Cirebon”, dengan objek penelitian kontribusi PBB dan Pendapatan Asli Daerah. Hasil penelitian menunjukan bahwa pajak bumi dan bangunan (PBB) dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah Kabupaten Cirebon, hal ini dapat ditunjukkan dengan jumlah penerimaan PBB yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Phares
tahun 1985 yang
menyatakan bahwa dalam pemeriksaaan beban pajak penduduk setiap negara di Amerika Serikat pada berbagai titik sepanjang spektrum pendapatan. Metode yang digunakan untuk mengukur beban pajak; arus pajak antara negara-negara; Struktur pendapatan federal; variasi antara negara-negara dalam dampak bahwa berbagai jenis pajak terhadap pembayar semua pajak ada. Penelitian yang dilakukan oleh Raskolnikov tahun 2009 mengemukakan bahwa orang membayar pajak mereka untuk berbagai alasan. Beberapa memilih untuk permainan sistem, membayar hanya ketika biaya ketidakpatuhan melampaui manfaatnya. Lainnya memenuhi karena kebiasaan, rasa tugas atau timbal balik, keinginan untuk menghindari perasaan bersalah atau malu, dan untuk alasan lainnya. Pajak sistem penegakan kami telah mengabaikan ini berbagai pembayar pajak motivasi selama beberapa dekade. Hal ini terus mengandalkan terutama pada audit dan denda, setidaknya dimana informasi pelaporan dan pemotongan tidak mungkin. Denda dan audit mencegah orang-orang rasional memainkan permainan kepatuhan pajak, tetapi boros atau bahkan kontra produktif bila diterapkan kepada orang lain. Kekurangan dari saat ini satu ukuran yang cocok untuk semua pendekatan penegakan pajak dipahami dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Rixen tahun 2011 yang mengemukakan bahwa kasus normatif untuk pemerintahan pajak global. Berlawanan dengan bagian berpengaruh dari literatur, pilihan kebijakan pajak nasional menyebabkan eksternalitas yang signifikan bagi negara-bangsa lainnya. Berfokus pada perpajakan bisnis, artikel ini menunjukkan bahwa persaingan pajak merongrong
integritas dan prinsip distributif dari sistem pajak dalam negeri dan memperburuk ketidaksetaraan antara negara maju dan berkembang. Selanjutnya, mengemukakan bahwa efek persaingan pajak internasional tidak adil terlepas dari apakah globalis atau kurang menuntut perspektif internasionalis pada keadilan diadopsi. Persyaratan minimum keadilan adalah untuk merancang aturan global yang memastikan bahwa sistem pajak nasional tetap mampu menerapkan keadilan distributif sebagai mereka mau. Akhirnya, artikel ini menyajikan dan membahas proposal konkret bagi pemerintahan global persaingan bisnis pajak, yaitu, perpajakan kesatuan dengan pembagian susu formula. Untuk lebih jelasnya penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 4 berikut:
Tabel 4: Penelitian Terdahulu Nama Peneliti & Tahun Penelitian Mochamad Abdul Rochman, 2008
Judul Penelitian
Variabel
Hasil Penelitian
Analisis Efektifitas Pemungutan Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten Lumajang
- Efektivitas Pemungutan - Konstribusi - Pendapatan Daerah
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis deskriptif kualitatif. Pengumpulan datanya yaitu dengan menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Teknik analisa data yang dipergunakan adalah analisa target dan realisasi, Analisis Efektifitas dan Analisis kontribusi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa rasio efektifitas PBB Kabupaten Lumajang periode 2001-2006 sudah efektif. Dengan persentase tahun 2001 mencapai 81,71%, tahun 2002 mencapai 134,45%, tahun 2003 mencapai 133,64%, tahun 2004 mencapai 144,32%, tahun 2005 mencapai 141,29% dan tahun 2006 mencapai 146,50%. Kontribusi PBB terhadapat Pendapatan Daerah tahun 2001 sebesar 3,41%, tahun 2002 sebesar 3,30%, tahun 2003 sebesar 3,44%, tahun 2004 sebesar 3,99%, tahun 2005 sebesar 4,00% dan tahun 2006 sebesar 4,37%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerimaan PBB
kabupaten Lumajang dari periode 2001-2006 sudah efektif meskipun terjadi fluktuasi. Kontribusi PBB terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten Lumajang masih relatif kecil, hal ini disebabkan persentase pertumbuhan pendapatan daerah lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan Pajak Bumi Bangunan Yulia Anggara Sari, 2009
Rindi Septi Coriah Nurwulan, 2008
Phares, Donald (1985)
Analisis Efektivitas dan Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Terhadap Pendapatan Daerah di Kota Bandung
- Efektivitas dan Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi dan Banguan - Pendapatan Daerah
Kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Pendapatan Daerah di Kabupaten Cirebon
- Kontribusi PBB - Pendapatan Daerah
-
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa tingkat efektivitas penerimaan pajak bumi dan bangunan Tahun 2002 sampai dengan 2008 berdasarkan target. Didapatkan nilai tertinggi pada tahun 2006 dengan kriteria sangat efektif. Efektivitas terendah pada tahun 2002 dengan kriteria cukup efektif. Hal ini menunjukan bahwa pengelolaan pajak bumi dan bangunan pada pemerintah daerah kota Bandung telah dilaksanakan secara memadai, dan menunjukan keadaan perekonomian dan pembangunan daerah kota Bandung mengalami perkembangan. Terlihat akan kebutuhan fasilitas masyarakat seperti fasilitas kesehatan yang mudah tersedia dan di dapat dengan baik. Laju pertumbuhan pendapatan daerah tertinggi terjadi pada tahun 2006 dan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2005. Pendapatan daerah yang berasal dari PAD, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 mengalami peningkatan. Hal ini menunjukan bahwa keadaan daerah kota Bandung mengalami perkembangan. Tingkat kontribusi pajak bumi dan bangunan tahun 2002 sampai dengan 2008, yang terbesar dicapai pada tahun 2008 dengan kategori sangat kurang. Dengan rata-rata kontribusi pajak bumi dan bangunan adalah hanya sebesar 5.94% yang berarti sangat kurang atau rendah. Dengan kata lain sumbangan atau manfaat tentang pajak bumi dan bangunan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa pajak bumi dan bangunan (PBB) dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah Kabupaten Cirebon, hal ini dapat ditunjukkan dengan jumlah penerimaan PBB yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahwa dalam pemeriksaaan beban pajak penduduk setiap negara di Amerika Serikat pada berbagai titik sepanjang spektrum pendapatan. Metode yang digunakan untuk mengukur beban pajak; Arus pajak antara negara-negara; Struktur pendapatan federal;
Variasi antara negara-negara dalam dampak BAHWA berbagai jenis pajak terhadap pembayar semua pajak ada. Penelitian yang dilakukan oleh Raskolnikov, Alex (2009) mengemukakan bahwa orang membayar pajak mereka untuk berbagai alasan. Beberapa memilih untuk permainan sistem, membayar hanya ketika biaya ketidakpatuhan melampaui manfaatnya. Lainnya memenuhi karena kebiasaan, rasa tugas atau timbal balik, keinginan untuk menghindari perasaan bersalah atau malu, dan untuk alasan lainnya. Pajak sistem penegakan kami telah mengabaikan ini berbagai pembayar pajak motivasi selama beberapa dekade. Hal ini terus mengandalkan terutama pada audit dan denda, setidaknya di mana informasi pelaporan dan pemotongan tidak mungkin. Denda dan audit mencegah orang-orang rasional memainkan permainan kepatuhan pajak, tetapi boros atau bahkan kontra produktif bila diterapkan kepada orang lain. Kekurangan dari saat ini satuukuran-cocok-semua pendekatan penegakan pajak dipahami dengan baik. Raskolnikov, Alex (2009)
-
Rixen, Thomas (2011)
-
Bahwa orang membayar pajak mereka untuk berbagai alasan. Beberapa memilih untuk permainan sistem, membayar hanya ketika biaya ketidakpatuhan melampaui manfaatnya. Lainnya memenuhi karena kebiasaan, rasa tugas atau timbal balik, keinginan untuk menghindari perasaan bersalah atau malu, dan untuk alasan lainnya. Pajak sistem penegakan kami telah mengabaikan ini berbagai pembayar pajak motivasi selama beberapa dekade. Hal ini terus mengandalkan terutama pada audit dan denda, setidaknya dimana informasi pelaporan dan pemotongan tidak mungkin. Denda dan audit mencegah orang-orang rasional memainkan permainan kepatuhan pajak, tetapi boros atau bahkan kontra produktif bila diterapkan kepada orang lain. Kekurangan dari saat ini satu-ukuran-cocoksemua pendekatan penegakan pajak dipahami dengan baik. Bahwa kasus normatif untuk pemerintahan pajak global. Berlawanan dengan bagian berpengaruh dari literatur, pilihan kebijakan pajak nasional menyebabkan eksternalitas yang signifikan bagi negara-bangsa lainnya. Berfokus pada perpajakan bisnis, artikel ini menunjukkan bahwa persaingan pajak merongrong integritas dan prinsip distributif
dari sistem pajak dalam negeri dan memperburuk ketidaksetaraan antara negara maju dan berkembang. Selanjutnya, setanstrates bahwa efek persaingan pajak internasional tidak adil terlepas dari apakah globalis atau kurang menuntut perspektif internasionalis pada keadilan diadopsi. Persyaratan minimum keadilan adalah untuk merancang aturan global yang memastikan bahwa sistem pajak nasional tetap mampu menerapkan keadilan distributif sebagai mereka mau. Akhirnya, artikel ini menyajikan dan membahas proposal konkret bagi pemerintahan global persaingan bisnis pajak, yaitu, perpajakan kesatuan dengan pembagian susu formula.
1.3
Kerangka Pemikiran Ditetapkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU
No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,
maka
pemerintah
kabupaten/kota
dituntut
untuk
meningkatkan
kemampuan dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan sumber-sumber keuangan sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki keuangan daerahnya. Hal ini disebabkan pemerintah daerah harus mengelola keuangan daerahnya sendiri dengan meningkatkan penerimaan daerahnya untuk dapat membiayai pengeluaran atau belanja daerah secara efektif dan efisien. Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat di daerahnya. Untuk mewujudkan tugasnya tersebut maka pemerintah daerah harus memiliki sumber keuangan yang cukup dan memadai kerena untuk pelaksanaan pembangunan daerah itu diperlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber keuangan untuk
penyelenggaraan
pembangunan daerah tersebut adalah dari dana perimbangan yang mana salah
satunya merupakan dana bagi hasil pajak yang bersumber dari pajak bumi dan bangunan (PBB). Pengertian yang terkandung dalam pajak bumi dan bangunan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yaitu bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan. PBB merupakan pajak pusat karena dalam APBN termasuk dalam dana perimbangan. PBB juga merupakan azas pembantuan karena dana bagi hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah provinsi, 64,8% untuk daerah kabupaten; kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah kabupaten kota,9% untuk biaya pemungutan. Sedangkan sisa 10% bagian pemerintah yang dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan imbangan sebagai berikut: 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten kota, dan 3,5% dibagikan secara intensif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. Nominal 64,8% ini memiliki kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan daerah. Wajib pajak menyetorkan PBB pada suatu badan yang ditunjuk oleh pemerintah untuk kemudian dikelola
lebih lanjut oleh kantor pajak bumi dan bangunan (KPBB). Instansi ini bertanggung jawab pada pemerintah pusat. Sedangkan pengertian pendapatan daerah menurut ketentuan umum Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 1 poin 15 tentang pemerintahan daerah adalah: “Pendapatan daerah penambahan nilai
adalah semua hak daerah yang diakui sebagai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan”. Pendapatan daerah bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil terdiri bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan dan pajak penghasilan (PPh) pasal 25 dan 29 wajib pajak orang pribad dalam negeri dan PPh pasal 21. Penelitian ini akan membahas pajak bumi dan bangunan yang menitikberatkan efektivitas dan kontribusinya terhadap pendapatan daerah. Dalam hal ini pajak bumi dan bangunan merupakan faktor yang mempengaruhi untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antar daerah. Berdasarkan landasan teori pada tinjauan pustaka di atas, maka secara skema kerangka pemikiran dapat digambarkan seperti pada gambar 1 berikut:
Permasalahan Penelitian Berdasarkan fenomena dan kesediaan teoritis serta studi empiris tentang kontribusi dan tingkat efektivitas penerimaan PBB dan pendapatan daerah di Kabupaten Bone Bolango, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan memformulasikan judul penelitian “analisis kontribusi dan tingkat efektivitas penerimaan PBB terhadap pendapatan daerah Kabupaten Bone Bolango”
Dasar Teori Suandy (2002: 349) pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Sedangkan pendapatan asli daerah dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 tahun 2004 adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan perturan perundang undangan”
1.
2.
3.
Mochamad Abdul Rochman (2008) dengan judul penelitian ” Analisis Efektifitas Pemungutan Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten Lumajang” Yulia Anggara Sari (2009) dengan judul penelitian “Analisis Efektivitas dan Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Terhadap Pendapatan Daerah di Kota Bandung” Rindi Septi Coriah Nurwulan (2008) dengan judul penelitian “Kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Pendapatan Daerah di kAB.Kabupaten Cirebon”
Kontribusi dan efektivitas penerimaan PBB
Pendapatan daerah
Gambar 1: Kerangkan Pemikiran