BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Pengertian Akuntansi Perpajakan Akuntansi adalah urusan proses kegiatan pencatatan, penggolongan, peringkasan, dan penyajian, dengan cara tertentu atas transaksi keuangan yang terjadi dalam perusahaan atau organisasi serta penafsiran terhadap hasilnya. (Muljono: 2009: 1) Muljono (2009: 1) Akuntansi yang dilaksanakan oleh perusahaan atau organisasi pada umumnya mengacu pada Prinsip Akuntansi atau Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dalam pengertian ini disebut akuntansi komersial. Akuntansi yang berkaitan dengan perhitungan perpajakan dan mengacu pada peraturan dan perundang-undang perpajakan beserta aturan pelaksanaannya disebut Akuntansi Pajak. Pengertian Akuntansi pajak juga dikemukakan oleh King (2009) dalam journal internasional yang peneliti temukan, hal ini dapat dilihat dari pernyataan dibawah ini : “According to King (2006) in Ilda Duhanxhiu journal tax accounting is developed as a distinct dialect from financial accounting due to public policy and business issues. Although at the beginning of their “relationship”, financial accounting and tax accounting were in some accord, today the accountants have to work hard to reconcile their respectiv conflicting objectives. Accounting rules and tax rules are two concepts developed by different authorities and serving different purposes”. 9
Dari pernyataan diatas menunjukan bahwa akuntansi pajak adalah akuntansi yang berbeda dengan akuntansi keuangan akibat dari kebijakan publik dan masalah bisnis. Meskipun pada awal "hubungan" mereka, akuntansi keuangan dan akuntansi pajak berada di beberapa kesepakatan, hari ini akuntan harus bekerja keras untuk mendamaikan masing-masing tujuan yang saling bertentangan. Aturan akuntansi dan peraturan pajak adalah dua konsep dikembangkan oleh otoritas yang berbeda dan melayani tujuan yang berbeda. Rudianto (2009: 8) akuntansi pajak adalah bidang akuntansi yang berfungsi utamanya adalah untuk mempersiapkan data tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kewajiban dan hak perpajakan dari setiap transaksi yang dilakukan perusahaan. lingkup kerja di dalam bidang ini mencangkup aktivitas perhitungan pajak yang harus dibayar dari setiap transaksi yang dilakukan perusahaan, sampai dengan perhitungan pengembalian pajak (restitusi pajak) yang menjadi hak peruasahaan.
2.1.2 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Mardiasmo (2009 : 269) Pajak Pertamabahan Nilai merupakan penggantian dari pajak penjualan. Alasan penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.
Wahono ( 2012: 264 ) pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak atas barang dan jasa di daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan pajak pertambahan nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari pajak pertamabahan nilai. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai juga telah dikemukakan oleh Bird (2005) dalam journal internasional yang peneliti temukan, hal ini dapat dilihat dari pernyataan dibawah ini : “Bird (2005) in Onaolapo, dkk journaldefined value added tax as a multi stage tax imposed on the value added to goods and services as they proceed through various stages of production and distribution and to services as they are rendered” which is eventually borne by the final consumer but collected at each stage of production and contribution chain.” Dari pernyataan diatas menunjukan bahwa pajak pertambahan nilai sebagai pajak multi stage dikenakan pada nilai tambah barang dan jasa karena mereka melaksanakan kegiatan produksi dan distribusi dan layanan seperti yang diberikan " yang akhirnya ditanggung oleh konsumen akhir (pembeli) tetapi disetorkan pada saat bulan pembayaran masa PPN . UU PPN No. 42 Tahun 2009 : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengertian lainnya yang peneliti temukan dalam jurnal internasional menurut Adereti, dkk. (2011) , yakni adalah sebagai berikut :
“Adereti, dkk. (2011) VAT is a consumption tax levied at each stage of the consumption chain and borne by the final consumer of the product or service. Dari pernyataan diatas menunjukan bahwa PPN adalah pajak konsumsi yang dikenakan pada setiap tahapan konsumsi dan ditanggung oleh konsumen akhir(penjual) dari produk atau jasa . Mardiasmo (2009: 270) Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut : 1.
Daerah Pebean adalah wilaya Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya serta tempattempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landasan Kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tantang Kepabeanan.
2.
Impor adalah setiap kegiatan memasukan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean
3.
Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dalam daerah pabean keluar daerah pabean
4.
Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuru orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut
5.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang lama sama dengan satu bulan takwin atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keungan paling lama 3 bulan takwin.
2.1.3 Kelebihan Dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2.1.3.1 Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) : 1.
Mencegah terjadinya pemunggutan pajak berganda
2.
Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri
3.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan, sesuai dengan tipe konsumsi (consumption type VAT) dan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction method)
4.
Ditinjau dari sumber pendapatan Negara, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mendapat predikat sebagai “money marker” karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memunggutnya. (Aldie Haris Mandey : 4) Kelebihan lain dari Pajak Pertambahan Nilai yakni sebagai berikut : (mardiasmo: 2009: 269)
1.
Menghilangkan pajak berganda
2.
Menggunakan tarif tunggal, sehingga memudahkan pelaksanaan
3.
Netral dalam persaingan dalam negeri
4.
Netral dalam perdagangan internasional
5.
Netral dalam pola konsumsi
6.
Dapat mendorong ekspor
2.1.3.2 Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Kelemahan dari Pajak Pertambah an Nilai yang diambil dalam jurnal yang dibuat oleh Mandey (2013) yakni sebagai berikut : 1.
Biaya administrasi relative tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak Langsung lainnya, baik dipihak administrasi pajak maupun dipihak wajib pajak.
2.
Menimbulkan
dampak
regresif,
yaitu
semakin
tinggi
tingkat
kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul, dan sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul. Dampak ini timbul sebagai konsekuensi karakteristik PPN sebagai pajak objektif. 3.
PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak. Kerawanan ini ditimbulkan sebagai akibat dari mekanisme pengkreditan yang merupakan upaya memperoleh kembali pajak yang dibayar oleh pengusaha dalam bulan yang sama tanpa terlebih dahulu melalui prosedur administrasi fiskus.
2.1.4 Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2.1.4.1 Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1.
Pengusaha Kena Pajak Subjek pajak pertambahan nilai adalah pengusaha yaitu orang
pribadi atau badan orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya
menghasilkan
barang,
mengimpor
barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar pabean. Termasuk badan adalah sekumpulan orang dan atau badan modal yang merupakan kesatuan baik melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komenditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau oragnisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya. Pengertian badan tersebut termasuk kerja sama operasi (joint operation) (Pasal 3PP No.1 Tahun 2012). Pengusaha yang dikenakan pajak pertambahan nilai disebut Pengusaha Kena pajak (PKP). (Sugeng Wahono : 2012 : 264) Pengusaha
yang
telah
memenuhi
syarat
dikenakan
pajak
pertambahan nilai wajib dikukuhkan menjadi PKP yaitu : (Wahono: 2012: 265)
1)
Pengusaha yang apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak melebihi batasan pengusaha kecil yaitu Rp. 600 juta (PMK68/PMK.03./2010),
kecuali
pengusaha
kecil
memilih
untuk
mengkukuhkan sebagai PKP. 2)
Seluruh pengusaha yang melakukan ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak yang tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak tanpa batasan penyerahan,
3)
Kerja sama operasi dalam hal melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak atas nama bentuk kerja sama operasi. Apa bila wajib pajak yang menghasilkan brutonya telah melebihi Rp.
600 juta tetapi tidak melaksanakan kewajibannya untuk melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP Direktur
Jenderal
Pajak dapat
mengukuhkan pengusaha sebagai pengusaha kena pajak secara jabatan. Dan Direktur Jendral Pajak dapat menerbitkan SKP dan/atau STP untuk masa pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai PKP, terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
brutonya
melebihi
Rp.
68/PMK.03/2010). (Wahono: 2012: 265)
600
juta
(pasal
5
PMK-
2.1.4.2 Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak pertambahan nilai dikenakan (Pasal 4 (1), pasal 16 C, dan 16 D UU PPN) atas : (Wahono: 2012: 267-268) 1.
Penyerahan kena pajak didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
2.
Impor barang kena pajak
3.
Penyerahan jasa kena pajak di dalam dearah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
4.
Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
5.
Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
6.
Ekspor barang kena pajak berwujud oleh pengusaha kena pajak
7.
Ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak
8.
Kegiatan membangun sendiri (KMS) ( Pasal 16 C UU PPN)
9.
Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan (pasal 16D)
2.1.5 Mekanisme Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai Secara umum PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP dipungut oleh PKP penjual. Dengan demikian, pembelian BKP/JKP yang bersangkutan membayar kepada PKP penjual sebesar harga jual ditambahan PPN yang terutang (10%).
Mardiasmo
(2008:
284)
mekanisme
pengenaan
PPN
dapat
digambarkan sebagai berikut : 1.
Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak di muka dan disebut dengan pajak masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa faktur pajak
2.
Pada saat menjual/menyerahan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib dimemungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut meruapakan pajak keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak
3.
Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah pajak keluaran lebih besar dari pada jumlah pajak masukan. Selisihnya harus disetorkan ke kas negara
4.
Apabila dalam suatu masa pajak jumlah pajak keluaran lebih kecil daripada jumlah pajak masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya
5.
Pelaporan perhitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai (SPT masa PPN)
Mardiasmo (2008: 285) Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut : PPN = Dasar Pengenaan Pajak X Tarif Pajak
2.1.6 Pajak Masukan dan Pajak Keluaran Mardiasmo (2009: 270) Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak karena perolehan BKP dan atau penerimaan JKP dan atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean dan atau pemanfaatan JKP dari luar pabean dan atau impor BKP. Pajak masukan (PPN yang dibayar pada saat perolehan barang dan jasa ), sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak boleh dikreditkan. Untuk tujuan perpajakan, pajak masukan itu
mungkin
dapat dibiayakan
mungkin
juga
tidak. Tidak
boleh
dibiayakannya PPN itu menyebabkan adanya perbedaan antara akuntansi pajak dan akuntansi komersial yang seacar teoritis dibebankan kepada ekuitas. (Gunandi: 2007: 106) Pajak keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP. (Mardiasmo: 2009: 270) Pajak Masukan dan Pajak Keluaran Menurut Anastasia dan Lilis (2004: 233) yakni pajak masukan dam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa pajak yang sama. Dalam hal belum ada pajak keluaran dalam suatu masa pajak, maka pajak masukan tetap
dapat dikreditkan. Apa bila dalam suatu masa pajak, pajak keluaran lebih besar dari pada pajak masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. Apa bila dalam suatu masa pajak, pajak masukan yang dapat dikreditkan lebih besar dari pada pajak keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat diminta kembali atau dikomnpensasikan ke masa pajak berikutnya. Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan barang kena pajak dan jasa kena pajak dikreditkan dengan pajak keluaran ditempat pengusaha kena pajak dikukuhkan. Faktur pajak yang menjadi dasar pengkreditan harus memenuhi ketentuan yang berlaku, antara lain alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam faktur pajak harus sama dengan alamat pengusaha Kena pajak yang tercantum dalam Surat Keputusan Pengkukuhan.
2.1.7 Faktur Pajak Faktur adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP/JKP, atau bukti pungutan pajak karena impor BKP yang digunakan oleh direktorat Jendral Bea dan Cukai. (Herry Purwono : 2010 : 284)
2.1.7.1 Dasar Hukum Faktur Pajak Dasar hukum yang mengatur mengenai faktur pajak adalah : 1.
PMK-38/PMK.03/2010 tentang tata cara pembuatan dan tata cara pembentulan atau pengantian FP
2.
PER-13/PJ/2010
Jo.
Per-65/PJ/2010
tentang bentuk,
ukuran,
prosedur pemberitahuan dalam rangka pembuatan, tata cara pengisian
keterangan,
pembentulan
atau
penggatian,
dan
pembatalan FB 3.
SE-56/PJ./2010 tentang penjelasan mengenai penggunaan faktur pajak lama
4.
SE-131/PJ/2010 tentang penegasan perlakuan PPN atau PPnBM atas pengambilan BKP atau pembantalan JKP yang FP atas penyerahannya
tidak
mencantumkan
identitas
pembeli
atau
penerima jasa 5.
PER-58/PJ/2010 dan SE-137/PJ/2010 tentang bentuk dan ukuran formulir serta tata cara pengisian keterangan pada FP bagi PKP pedagang ecearan (PKP P)
2.1.7.2 Ketentuan Umum Faktur Pajak Setiap pengusaha kena pajak (PKP) wajib membuat faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak karena penyerahan BKP/JKP, atau karena impor. Faktur Pajak dibuat oleh PKP penjual. Bagi penjual merupakan bukti pajak keluaran dan bagi pembeli adalah sebagai bukti pajak
masukan. Apa bila faktur pajak yang diterbitkan tidak membuat keterangan yang lengkap, maka dianggap sebagai faktur pajak cacat sehingga konsekuansinya tidak dapat dikredikan sebagai PPN masukan. Bagi PKP yang menerbitkan FP cacat akan dikenakan sanksi sebesar 2% dari DPP PPN, kecuali untuk hal-hal berikut : 1.
Tidak memuat nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP/menerima JKP
2.
Tidak memuat nama, alamat, dan NPWP pemebeli BKP/penerima JKP serta nama dan tanda tangan yang berhak menandatangi faktur pajak bagi PKP pedagang eceran
2.1.7.3 Jenis dan Saat Pembuatan Faktur Pajak Faktur Pajak (FP) dibedakan menjadi dua jenis yaitu : 1.
Faktur pajak yaitu faktur yang dibuat untuk setiap penyerahan barang atau jasa kena pajak
2.
Faktur pajak gabungan, yaitu faktur pajak yang meliputi semua penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak yang menjadi selam 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang sama atau penerima jasa kena pajak yang sama (penjelasan pasal 13 ayat (2) UU PPN) Saat pembuatan faktur pajak adalah :
1.
Faktur Pajak harus dibuat pada : 1) Saat penyerahan BKP dan/atau JKP
2) Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP 3) Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagai tahap kerja, atau 4) Saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai pemungatan PPN 2.
Faktur pajak gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan terjadinya penyerahan BKP dan/atau JKP. Pengusah kena pajak yang menerbitkan faktur pajak setelah
melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat FP seharusnya dibuat, dianggap tidak menerbitkan faktur pajak (Pasal 14 ayat (1) PER13/PJ/2010). Sedangkan PPN yang tercantum dalam FP tersebut tidak dapat dikreditkan bagi PKP pembeli (penerima FP) (Pasal 14 ayat (2) PER-13/PJ/2010).
2.1.7.4 Bentuk dan Ukuran Faktur Pajak yang Harus Dibuat PKP Bentuk dan ukuran formulir faktur pajak disesuaikan dengan kepentingan PKP Faktur Pajak paling sedikit harus memuat : (pasal 13 ayat (5) UU PPN) 1.
Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP
2.
Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP kecuali tidak jelas identitas pembelianya
3.
Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan pemotongan harga
4.
PPN yang dipungut
5.
PPnBM yang dipungut
6.
Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak, dan
7.
Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak, kecuali untuk pedagang eceran. Faktur pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan
faktur penjualan. Faktur pajak dapat berupa faktur penjualan atau faktur penjualan yang memuat keterangan sesuai Pasal 13 ayat (5) UU PPN, dan pengisiannya sesuai dengan tata cara pengisian keterangan pada faktur pajak sebagaimana diatur dalam per-13/pj/2010, dipersamakan dengan faktur pajak. (pasal 11 Per-13/PJ/2010) Faktur Pajak paling sedikit dibuat dalam 2 (dua) rangkap yang peruntungannya masing-masing yaitu : 1.
Lembar ke-1, disampaikan kepada pembeli BKP atau penerima JKP
2.
Lembar ke-2, untuk arsip PKP yang meneribitkan faktur pajak. Dalam hal faktur pajak dibuat lebih dari 2 rangkap, maka harus dinyatakan secara jelas peruntungannya dalam lembar faktur pajak yang bersangkutan.
2.1.7.5 Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tantang Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yakni sebagai berikut : Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit, yaitu: 1.
2(dua) digit pertama adalah Kode Transaksi;
2.
1 (satu) digit berikutnya adalah Kode Status; dan
3.
13 (tiga belas) digit berikutnya adalah Nomor Seri Faktur Pajak. Sehingga format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak secara
keseluruhan menjadi sebagai berikut :
Penulisan Kode dan Nomor Seri pada Faktur Pajak, harus lengkap sesuai dengan banyaknya digit. Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan akan memberikan nomor seri Faktur Pajak ke PKP sesuai dengan tata cara dimulai dari Nomor Seri 900-13.00000001 untuk Faktur Pajak yang diterbitkan tanggal 1 April 2013. Untuk tahun 2014 akan Faktur Pajak 000-14.00000001 demikian seterusnya. Contoh penulisan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagai berikut :
010.900-13.00000001,
berarti
penyerahan
yang
terutang
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan PPNnya dipungut oleh (PKP) Penjual yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak Normal (bukan Faktur Pajak Pengganti), dengan nomor seri 900-13.00000001 sesuai dengan dari Direktorat Jenderal Pajak. 011.900-13.00000001, berarti penyerahan yang terutang PPN dan PPNnya
dipungut
oleh
PKP
Penjual
yang
melakukan atau JKP dengan status Faktur Pajak Pengganti. Faktur Pajak Pengganti diterbitkan dengan 13.00000001 sesuai dengan nomor seri Faktur Pajak yang diganti.
2.1.8 Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan Mardiasmo (2009: 293) Pajak masukan pada dasarnya dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran. Akan tetapi tidak semua Pajak Masukan dapat dikreditkan. Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk: 1.
Perolehan BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
2.
Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
3.
Perolehan dan pemeliharaan kenderaan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan kombi, kecuali barang dagangan atau disewahkan.
4.
Pemanfaatan BKP tidak berwujud ataupun pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
5.
Perolehan BKP/JKP yang bukti pungutan pajaknya berupa faktur pajak sederhana.
6.
Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) UUN PPN, yang biasanya disubut dengan faktur pajak cacat.
7.
Pajak masukan yang dibayar untuk Perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahan barangnya dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai.
8.
Perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketettapan pajak
9.
Perolehan BKP atau jkp yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam
SPT
Masa
PPN
yang
ditemukan
pada
saat
waktu
pemeriksaan. 10. Berkenaan dengan : • Penyerahan kenderaan bermotor bekas • Penyerahan jasa yang dilakukan oleh pengusaha biro perjalanan atau pariwisata • Jasa pengiriman paket
• Jasa angkat piutang • Kegiatan membangun sendiri
2.1.9 Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pencatatan atas transaksi yang melibatkan PPN masih mengacu pada kerangka konseptual standar akuntansi. Ada dua hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan pencatatan perkiraan PPN yakni sifat PPN masukan (PM). Jika PM dapat dikreditkan, maka pencatatannya dilakukan sebagai uang muka pajak. Sebaliknya, jika PM tidak dapat dikreditkan, maka pencatatannya langsung dibebankan sebagai biaya. (Purwon: 2010: 308) Sebagai contoh, PT HGG menjual jasa software seharga Rp 150.000.000 secara tunai (belum termasuk PPN) kepada PT JKK pada tanggal 23 juli 2009. Jadi, PPN terutang adalah Rp 15.000.000 (10% dari Rp 150.000.000) dan jurnalnya, (Purwono: 2010: 308-309) Penjual
Pembeli
PT HGG
PT JKK
23 juli 2009 :
23 juli 2009 :
Kas
Pembelian
Rp 165.000.000
Penjualan
Rp 150.000.000
PPN Keluaran
Rp 15.000.000
Rp 150.000.000
PPN Masukan Rp 15.000.000 Kas
Rp165.000.000
Kemudian, pada tanggal 25 juli 2009, PT HGG membeli 2 unit komputer untuk memprogram dari PT Surya Komputer seharga Rp
20.000.000 (belum termasuk PPN). Jadi, PPN masukannya adalah Rp 2.000.000 (10% dari Rp 20.000.000) dan jurnalnya : Penjual
Pembeli
PT Surya Komputer
PT HGG
25 juli 2009 :
25 juli 2009 :
Kas
Pembelian
Rp 22.000.000
Penjualan
Rp 20.000.000
PPN Keluaran
Rp 2.000.000
Rp 20.000.000
PPN Masukan Rp 2.000.000 Kas
Rp22.000.000
Asumsikan selama bulan juli 2009, PT HGG hanya melakukan dua transaksi diatas, sehingga pada akhir masa pajak juli 2009, PT HGG akan membuat rekonsiliasi untuk mengetahui PPN yang masih harus dibayar. Undang-Undang No 42 Tahun 2009 Pasal 9 ayat (4) PPN keluaran
Rp 15.000
PPN masukan
Rp 2.000
PPN yang harus dibayar
Rp 13.000
Dalam hal ini, PPN yang masih harus dibayar sebesar Rp 13.000.000 harus disetorkan ke kas negara paling lambat 15 agustus 2009. Kemudian PT HGG juga berkewajiban melaporkan SPM PPN paling lambat tanggal 20 Agustus 2009.
15 Agustus 2009 : PPN Keluaran
Rp 15.000.000
PPN masukan
Rp 2.000.000
Kas
Rp 13.000.000
Contoh Transaksi apabila terjadinya retur penjualan: PT Angin Ribut menjual satu unit Laptop pada tanggal 19 oktober 2013 dengan harga Rp 3.000.000 (belum termasuk PPN 10%), pada tanggal 30 PT. Maju mundur mengembalikan laptop tersebut dikarenakan ketidak sesuaian dengan yang diharapkan, maka Jurnal apa bila terjadi transaksi pengembalian barang oleh pembeli (retur) adalah sebagai berikut : 1.
Saat menerima barang retur :
Persediaan Barang Dagangan
Rp. 3.000.000
HPP 2.
Rp. 3.000.000
Saat pengembalian uang kepada pelanggan :
Retur Penjualan
Rp. 3.000.000
PPN Keluaran
Rp.
Kas/Bank
300.000 Rp. 3.300.000
2.2 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat tentang Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai yang peneliti temukan dengan judul 1) Analisis Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai Pada PT Hasjrat Abadi Manado, 2) Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT. Enam Enam Group Medan. Serta penulis juga meMasukan journal internasional dalam penelitian ini yakni dengan judul: Value Added Tax and Economic
Growth of Nigeria. Rincian penjelasan tentang penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 1: Penelitian Terdahulu Peneliti
Judul
Metode
Aldie Haris Analisis Akuntansi metode penelitian Mandey Pajak Pertambahan dengan Analisis (2013) Nilai Pada PT Hasjrat data dilakukan Abadi Manado adalah metode kuantitatif deskritif .
Andre H Penerapan Akuntansi Pakpahan Pajak Pertambahan ( 2009) Nilai (PPN) Pada PT. Enam Enam Group Medan
metode penelitian yang akan di gunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu menggumpulkan data-data yang
Hasil Hasil penelitian pada PT. Hasjrat Abadi Cabang Manado merupakan perusahaan swasta yang ada di Manado, dan bergerak dalam bidang perdagangan umum yang berdiri sejak tahun tahun 1956. Sebagai pengusaha kena pajak, PT. Hasjrat Abadi Cabang Manado wajib melaksanakan perlakuan PPN sesuai dengan UU. Dalam perlakuan akuntansi pajak pertambahan nilai PT. Hasjrat Abadi cabang Manado telah sesuai dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM. Dasar Pengenaan PPN pada PT. Hasjrat Abadi Cabang Manado adalah harga jual. Dimana tarif yang digunakan sebesar 10% dari harga jual. Perhitungan PPN yang digunakan adalah mengalikan DPP dengan Tarif Pajak. Pemberlakuan PPN pada perusahaan sudah sesuai aturan. Hasil penelitian ini adalah menunjukan bahwa akun PPN yang diterapkan perusahaan telah memadai dengan prinsip-prinsip akuntansi dan peraturan perpajakan , walaupun masih ada hal-hal yang belum
Adereti, dkk (2011)
diperlukan yang berasal dari perusahaan kemudian menguraikannya secara keseluruhan. Value Added Tax and Metode analisis Economic Growth of yang digunakan Nigeria (2011) adalah tekni analisis regresi sederhana dan metode statistik deskriptif.
dilaksanakan tetapi peruasahaan berusaha untuk menyempurnakannya.
Findings showed that the ratio of VAT Revenue to GDP averaged 1.3% compared to 4.5% in Indonesia, though VAT Revenue accounts for as much as 95% significant variations in GDP in Nigeria. A positive and significant correlation exists between VAT Revenue and GDP. Both economic variables fluctuated greatly over the period though VAT Revenue was more stable. No causality exists between the GDP and VAT Revenue, but a lag period of two years exists. This paper therefore recommends that all identified administrative loopholes should be plugged for VAT Revenue to continue to contribute more significantly to economic growth of the country. This should be done on the realization that any action taken on either VAT Revenue or the GDP will take two years to become effective.
Ringkasan Penelitian Sebelumnya Sumber: Olahan (2013)
2.3 Kerangka Pemikiran Darmoko dkk (2013) menyatakan Pajak memiliki kontribusi yang besar dalam penerimaan Negara. Pajak merupakan modal untuk melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana guna kepentingan umum, seperti pembangunan jalan, jembatan, fasilitas listrik, dan fasilitas umum lainnya . menurut Mandey (2013) Beragam upaya dilakukan untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat dilakukan oleh Negara melalui pembangunan nasional.
Pembangunan nasional merupakan suatu
kegiatan yang terus menerus dan berkesinambungan dilakukan untuk kesejahtraan
rakyat. Untuk
melakukan semuanya
ini,
pemerintah
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana pembangunan tersebut salah satunya terbesar adalah penerimaan dari sektor pajak. Salah satu jenis pajak yang merupakan sumber penerimaan Negara adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang menggantikan Pajak Penjualan (PPn) sejak 1 April 1985 yang ditetapkan berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Dasar pemikiran pengenaan pajak ini pada dasarnya adalah untuk mengenakan pajak pada tingkat kemampuan
masyarakat
untuk
berkonsumsi,
dilakukan secara tidak langsung kepada konsumen.
yang
pengenaannya
Pengenaan pajak pertambahan nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari pajak pertamabahan nilai. (Sugeng Wahono : 2012 : 264). Pada saat terjadinya transaksi-transaksi pembelian dan penjualan maka Pihak pajak akan dipungut Pajak Masukan dan Pajak Keluaran menurut
Mardiasmo
(2009:
270)
Pajak
masukan
adalah
pajak
pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak karena perolehan BKP dan atau penerimaan JKP dan atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean dan atau pemanfaatan JKP dari luar pabean dan atau impor BKP. Sedangkan Pajak keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP. Dan perlakuan akuntansi pajak pertambahan nilai menerapkan Pencatatan atas transaksi yang melibatkan PPN masih mengacu pada kerangka konseptual standar akuntansi. Ada dua hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan pencatatan perkiraan PPN yakni sifat PPN masukan (PM). Jika PM dapat dikreditkan, maka pencatatannya dilakukan sebagai uang muka pajak. Sebaliknya, jika PM tidak dapat dikreditkan, maka pencatatannya langsung dibebankan sebagai biaya. (Purwono: 2010: 308)
Sebuah badan yang dipungut pajaknya merupakan obyek pajak, dalam perkembangannya perusahaan mengatur sedemikian rupa pajak yang akan dibayar sehingga pajaknya dapat memberikan nilai tambah kepada perusahaan bukan malah sebaliknya . berdasarkan hal tersebut diperlukan sebuah perhitungan pajak pertambahan nilai yang baik dan benar dalam rangka mengkoordinir peraturan pajak yang ada dan memberikan informasi yang baik dari sisi laporan keuangan perusahaan menyangkut pajak pertambahan nilai yang dilihat dari prespektif akuntansi pajak, perhitungan yang baik, pencatatan yang baik akan memperlihatkan perusahaan menjadi wajib pajak yang baik. Baik dari segi menjalankan perusahaan dan dari segi pembayaran pajak. Berdasar uraian diatas peneliti mengambarkan Kerangka berfikir yakni dibawah ini :
1.Mardiasmo (2009 : 269) Pajak Pertamabahan Nilai meruapakan penggantian dari pajak penjualan. Alasan penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak. 2. Pencatatan atas transaksi yang melibatkan PPN masih mengacu pada kerangka konseptual standar akuntansi. Ada dua hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan pencatatan perkiraan PPN yakni sifat PPN masukan (PM). Jika PM dapat dikreditkan, maka pencatatannya dilakukan sebagai uang muka pajak. Sebaliknya, jika PM tidak dapat dikreditkan, maka pencatatannya langsung dibebankan sebagai biaya. (Hendrry Purwono : 2010 : 308) 3. Bird (2005) defined value added tax as a multi stage tax imposed on the value added to goods and services as they proceed through various stages of production and distribution and to services as they are rendered” which is eventually borne by the final consumer but collected at each stage of production and contribution chain.
Penelitian Terdahulu 1. Aldie Haris Mandey (2013) 2. Andre H Pakpahan (2009) 3. Adereti, dkk (2011)
PT. XYZ
K Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai
PPN keluaran
PPN Masukan
Analisis Akuntansi Pajak Pertamabahan Nilai Pada PT XYZ
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran