BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Filologi 1. Pengertian Filologi Pada mulanya, istilah ”filologi (philologia)” lahir dan berkembang di kawasan kerajaan Yunani, yaitu kota Iskandariyah. Pada saat itu filologi diartikan sebagai suatu keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan berupa tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya (BarorohBaried, 1985: 1). Salah satu tujuan dari diadakannya pengkajian terhadap teks yang ada di dalam naskah lama pada saat itu adalah untuk menemukan bentuk teks yang asli serta untuk mengetahui maksud dari pengarangnya dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya. Secara etimologis, filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang arti asliya ”kegemaran berbincang-bincang”. Makna filologi berkembang lagi menjadi ”cinta kepada kata sebagai pengejawantahan pikiran, kemudian menjadi ”perhatian terhadap sastra” dan akhirnya ”studi ilmu sastra” (Wagenvoort,1947: 41 dalam Sulastin-Sutrisno, 1981: 1). Menurut Saputra (2008: 79), pengertian ”kata” pada ”cinta kepada kata” dapat diperluas lagi menjadi bahasa dan berkembang lagi menjadi ”kebudayaan”, sehingga studi filologi berarti studi tentang kebudayaan masa lalu melalui naskah dan teks. Dalam Kamus Istilah Filologi, filologi didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya (SulastinSutrisno, 1981: 7). Webster’s New International Dictionary memberikan batasan
16
17
sesuai dengan arti kata philogia yang diperluas dengan pengertian: ilmu bahasa dan studi tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa yang beradab seperti diungkapkan terutama dalam bahasa, sastra, dan agama (Sulastin-Sutrisno, 1981: 8). Kemudian Darusuprapta (1990: 3) menambahkan pengertian filologi, yaitu suatu disiplin ilmu yang mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan mengungkapkan makna teks tersebut dalam segi kebudayaannya. Boeckh (dalam Wellek dan Warren, 1956: 27) mendefinisikan filologi sebagai “knowledge of the known”, artinya bahwa filologi juga dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah diketahui orang. Pendapat tersebut berarti bahwa pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau dapat disebut sebagai pintu gerbang untuk mengungkapkan khazanah masa lampau. Sebagai suatu disiplin ilmu, filologi lahir disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Baroroh-Baried (1994: 2), faktor-faktor penyebab lahirnya filologi sebagai disiplin ilmu adalah sebagai berikut. a. Munculnya informasi tentang masa lampau di dalam sejumlah karya tulisan. b. Anggapan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampau masih relevan dengan kehidupan sekarang ini. c. Kondisi fisik dan substansi materi informasi akibat rentang waktu yang panjang. d. Faktor sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya tulisan masa lampau yang tidak ada lagi atau tidak sama dengan latar sosial budaya pembacanya masa kini. e. Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa filologi merupakan salah satu disiplin ilmu atau keahlian yang mengkaji dan mempelajari tentang hasil budaya dalam arti luas (bahasa, sejarah, sastra, dan
18
kebudayaan) yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau dengan tujuan untuk mengungkapkan khazanah budaya serta perkembangan kerohanian suatu bangsa dalam segi kebudayaannya dalam arti yang luas. Oleh karena itu, filologi dapat digolongkan sebagai disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan yang bertujuan untuk mengungkapkan hasil budaya manusia pada masa lampau yang termuat di dalam naskah dan teks lama. 2. Objek Penelitian Filologi Setiap kajian ilmu mempunyai objek penelitian. Kajian ilmu filologi juga mempunyai objek sebagai sasaran untuk penelitiannya. Objek dari penelitian filologi berupa naskah dan teks. a. Naskah Naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pemikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa pada masa lampau (BarorohBaried, 1985: 54). Pendapat tersebut kemudian diperkuat dengan pendapat yang dinyatakan oleh Suyami (1996: 220), yaitu naskah merupakan salah satu saksi dari suatu dunia berbudaya dan tradisi peradaban yang menginformasikan budaya manusia pada masanya. Naskah juga didefinisikan sebagai karangan tulisan tangan baik asli maupun salinannya, yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu (Onions dalam Darusuprapta, 1984: 1). Kemudian, Baroroh-Baried (1985: 55) menyebut naskah lama yang berupa tulisan tangan dengan istilah handschrift dan manuskrip. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa naskah dapat didefinisikan sebagai karangan tulisan tangan yang asli maupun salinannya dan
19
merupakan salah satu saksi dari dunia berbudaya serta tradisi peradaban yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata sebagai hasil ungkapan pemikiran dan perasaan budaya masa lampau. Ungkapan pemikiran dan perasaan tersebut dapat berupa ide-ide dan gagasan-gagasan nenek moyang yang bernilai dan dapat digali untuk diterapkan dalam kehidupan masa kini. Naskah lama merupakan produk budaya masa lampau yang ditulis dalam berbagai aksara yang berkembang pada saat itu. Aksara-aksara yang digunakan untuk menulis naskah di antaranya adalah aksara Jawa, aksara Arab Pegon, dan aksara Latin. Aksara Jawa masih dapat dibedakan menjadi beberapa ragam sesuai dengan gaya penulisannya. Ismaun (1966: 7) menyatakan bahwa ragam aksara Jawa dapat dibedakan menjadi empat. Keempat ragam aksara yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1. Mbata sarimbag bentuk aksaranya menyerupai rimbag, yaitu cetakan batu merah yang berbentuk persegi mirip dengan batu bata merah. 2. Ngetumbar, cirinya adalah bentuk setengah bulat menyerupai biji ketumbar pada sudut-sudutnya tidak lagi berupa sudut siku ataupun sudut lain. 3. Mucuk eri, bentuk aksara Jawa pada bagian tertentu berupa sudut lancip seperti eri (duri). 4. Ragam kombinasi, aksaranya merupakan kombinasi dari ketiga ragam yang telah disebutkan di atas. Kombinasi tidak hanya terjadi pada tiap-tiap aksara, tetapi juga dapat terjadi pada tiap baris, alenia, bahkan pada tiap halaman. Naskah Sêrat Sêkar Wijåyåkusumå adalah produk masa lampau yang mengandung ungkapan pemikiran dan perasaan nenek moyang yang ditulis tangan dengan menggunakan aksara Jawa. Kemudian, ragam aksara yang digunakan adalah ragam kombinasi antara ragam aksara ngêtumbar dan mucuk êri. Akan tetapi, ragam aksara yang digunakan tersebut lebih terdominasi oleh ragam aksara ngêtumbar.
20
b. Teks Teks artinya kandungan naskah, sesuatu yang abstrak, dan hanya dapat dibayangkan saja (Baroroh-Baried, 1985: 56). Onions (1974: 913 dalam Darusuprapta, 1984: 1), mendefinisikan teks sebagai rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu. Pendapat lain diungkapkan oleh Istanti (2010: 14) bahwa teks adalah informasi-informasi yang terkandung di dalam naskah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa teks merupakan bagian yang abstrak dari suatu naskah. Teks hanya dapat dibayangkan saja dan dapat diketahui isinya jika sudah dibaca. Isi dari teks adalah berupa ide-ide, informasi, pesan atau amanat yang akan disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Menurut de Han (1993 dalam Baroroh-Baried, 1985: 57), terjadinya teks diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu (1) aslinya hanya ada dalam ingatan pengarang, (2) aslinya adalah teks tertulis, yaitu berupa kerangka yang masih memerlukan kebebasan seni, dan (3) aslinya merupakan teks yang tidak mengizinkan
kebebasan
dalam
pembawaannya
karena
pengarang
telah
menentukan pilihan kata, urut-urutan kata, dan komposisi untuk memenuhi maksud tertentu yang ketat dalam bentuk literer. Kemudian, untuk mengetahui kandungan teks dan seluk beluk teks dapat dilakukan penelitian lebih mendalam dengan tekstologi. Tekstologi, yaitu ilmu yang meneliti tentang penjelmaan dan penurunan teks serta penafsiran dan pemahaman tentang teks. Teks Widjåjåkoesoemå adalah salah satu kandungan/muatan naskah Sêrat Sêkar Wijåyåkusumå. Isi dari teks Widjåjåkoesoemå berupa piwulang laku yang
21
dijalankan oleh para abdi dalêm untuk mengambil/memetik bunga wijayakusuma di Pulau Bandung, Nusakambangan, Donan, Cilacap bersamaan pada waktu penobatan Raja Paku Buwono VIII. 3. Tujuan Filologi Filologi mempunyai tujuan tertentu. Tujuan filologi menurut Djamaris (2002: 9) adalah sebagai berikut. a. Mentransliterasikan teks dengan tugas utama menjaga keaslian/ciri khusus penulisan kata dan menterjemahkan teks yang ditulis dalam bahasa daerah ke bahasa Indonesia. b. Menyunting teks dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan pedoman ejaan yang berlaku, penggunaan huruf kapital, tanda-tanda baca, penyusunan alinea, dan bagian-bagian cerita. c. Mendeskripsikan kedudukan dan fungsi naskah dan teks yang diteliti supaya dapat diketahui tempat karya sastra yang diteliti itu dalam kelompok atau jenis sastra yang mana dan apa manfaat dan gunanya karya sastra itu. d. Sebagai tambahan, tujuan kritik teks adalah membersihkan teks dari kesalahan yang terjadi selama penyalinan berulang kali itu; merekontruksi isi naskah, sehingga naskah telah tersusun kembali seperti semula; dan menjelaskan bagian-bagian cerita yang kurang jelas sehingga seluruh teks dapat dipahami. Menurut Baried-Baroroh (1985: 5), tujuan filologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dan tujuan khusus yang dimaksud adalah sebagai berikut. a. Tujuan umum filologi a) memahami kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan maupun tertulis. b) memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya. c) mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan. b. Tujuan khusus filologi a) menyunting sebuah teks yang dipandang paling dekat dengan teks aslinya. b) mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya. c) mengungkap resepsi pembaca pada setiap kurun penerimaannya. Tujuan filologi dalam penelitian ini, yaitu menjadikan naskah Sêrat Sêkar Wijåyåkusumå terutama teks Widjåjåkoesoemå terbaca, tersunting, teredit
22
(diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Tujuan lain dari penelitian filologi ini adalah mengungkapkan kandungan produk budaya masa lampau sehingga dapat disampaikan kepada masyarakat. 4. Cara Kerja Penelitian Filologi Cara kerja atau langkah kerja penelitian filologi adalah tahapan kerja dalam penelitian filologi yang memiliki keterkaitan antartahapannya. Adapun cara kerja atau langkah kerja dari penelitian filologi secara berurutan adalah sebagai berikut. a. Pengumpulan Data atau Inventarisasi Naskah Tahap pertama yang harus dilakukan dalam penelitian filologi adalah pengumpulan data yang berupa inventarisasi naskah. Inventarisasi naskah adalah kegiatan mengumpulkan informasi mengenai keberadaan naskah-naskah yang mengandung teks sekorpus. Naskah-naskah yang mengandung teks sekorpus, yaitu naskah-naskah yang mengandung teks sejudul, yang dapat tercantum pada sampul naskah luar atau sampul dalam naskah. Meskipun demikian, menurut Saputra (2008: 81) tidak berarti bahwa naskah-naskah yang mengandung teks sejudul berarti mengandung teks sekorpus atau sebaliknya ada kemungkinan naskah-naskah yang tidak sama judulnya tetapi mengandung teks sekorpus. Sebelum melakukan inventarisasi naskah, langkah awal yang harus dilakukan adalah menentukan teks atau naskah yang akan diteliti. Kemudian, teks dan naskah yang akan ditentukan untuk diteliti perlu dipertimbangkan dari berbagai segi. Menurut Surono (tanpa tahun: 5), penting tidaknya suatu naskah digarap perlu dipertimbangkan dari berbagai segi di antaranya adalah naskah
23
dipertimbangkan dari segi bobot ilmiah, manfaat bagi pembangunan bangsa, dan sebagainya. Pengumpulan data atau inventarisasi naskah dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti metode studi pustaka dan metode studi lapangan (field research). Metode studi pustaka menggunakan sumber data berupa katalogus naskah yang berada di berbagai perpustakaan dan museum. Katalog adalah buku yang memuat daftar naskah Jawa yang ditulis tangan ataupun cetak yang menguraikan tentang keadaan naskah atau teks dengan ringkas (Mulyani, 2009a: 2). Di dalam katalog (Behrend, 1990) disebutkan bahwa jenis isi naskah Jawa beraneka macam, yaitu jenis (1) sejarah, (2) sarasilah, (3) hukum, (4) wayang, (5) sastra wayang, (6) sastra, (7) piwulang, (8) Islam, (9) primbon, (10) bahasa, (11) musik, (12) tari-tarian, (13) adat-istiadat, dan (14) lain-lain, yaitu teks-teks yang tidak dapat digolongkan ke dalam ketiga belas jenis tersebut dimasukkan ke dalam jenis teks lain-lain. Dalam metode studi pustaka, sumber yang digunakan sebagai acuan tidak hanya mengacu pada satu sumber. Sumber lain yang dapat digunakan selain katalog adalah berupa buku-buku atau daftar naskah yang terdapat di perpustakaan, museum, dan instansi lain yang menaruh perhatian terhadap naskah lama. Seperti telah disebutkan di atas bahwa kegiatan inventarisasi naskah selain dapat dilakukan dengan metode studi pustaka, juga dapat dilakukan dengan metode studi lapangan (field research). Metode studi lapangan (field research) merupakan kegiatan inventarisasi naskah yang dilakukan dengan mengadakan
24
pelacakan keberadaan naskah di tempat penyimpanan, yaitu sebagai koleksi dari museum, perpustakaan, maupun koleksi pribadi perseorangan. Beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu dalam melakukan studi lapangan adalah tempattempat yang menyimpan naskah, sehingga diperlukan instrumen penelitian yang berupa kuisioner yang antara lain berisi pertanyaan tentang asal-usul naskah, pemilik naskah, fungsi naskah, dan kedudukan naskah tersebut. Hasil dari pengumpulan data atau inventarisasi naskah adalah berupa daftar mengenai sejumlah naskah (sekorpus) yang akan menjadi sumber data penelitian, yaitu judul naskah, nomor koleksi, tempat penyimpanan, pemilik naskah, dan sebagainya. Saputra (2008: 82) berpendapat bahwa hasil dari inventarisasi naskah sekaligus memungkinkan dapat menentukan eliminasi naskah (pencoretan naskah dari daftar naskah-naskah yang akan diteliti karena berbagai alasan pada tahap awal). b. Deskripsi Naskah dan Teks Deskripsi naskah adalah penyajian informasi mengenai kondisi fisik naskah-naskah yang menjadi objek penelitian (Saputra, 2008: 83). Selain melakukan deskripsi naskah, sebaiknya juga melakukan deskripsi teks, hal tersebut disebabkan karena yang menjadi objek dari penelitian filologi adalah naskah dan teks. Deskripsi teks adalah penjelasan untuk menggambarkan keadaan teks untuk memberikan keterangan bagaimana cara mengkaji teks yang akan diteliti (Mulyani, 2009a: 9). Deskripsi naskah secara terperinci dapat dilakukan setelah memperoleh naskah melalui inventarisasi naskah.
25
Metode yang digunakan dalam deskripsi naskah adalah metode deskriptif. Semua naskah dideskripsikan dengan pola yang sama, yaitu nomor naskah, ukuran naskah, keadaan naskah, tulisan naskah, bahasa, kolofon, garis besar isi cerita, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan tahap penelitian selanjutnya, yaitu berupa pertimbangan (recentio) dan pengguguran (eliminatio). Kemudian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan deskripsi naskah (Mulyani, 2009b: 31-32) adalah sebagai berikut. 1) Koleksi siapa, disimpan di mana, nomor kodeks berapa. 2) Judul bagaimana, berdasarkan keterangan dalam teks oleh penulis pertama, atau berdasarkan keterangan yang diberikan bukan oleh penulis pertama. 3) Pengantar (manggala dan doksologi), uraian pada bagian awal di luar isi teks: waktu mulai penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan penulisan, tujuan penulisan, harapan penulis, pujaan kepada Dewa Pelindung atau Tuhan Yang Maha Esa, pujian kepada penguasa pemberi perintah atau nabi-nabi. 4) Penutup (kolofon), uraian pada bagian akhir di luar isi teks: waktu menyelesaikan penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan penulisan, tujuan penulisan, harapan penulis. 5) Ukuran teks: lebar x panjang teks, jumlah halaman teks, sisa halaman kosong. 6) Ukuran naskah: lebar x panjang naskah, tebal naskah, jenis bahan naskah, (lontar, bambu, dluwang, kertas), tanda air. 7) Isi; lengkap atau kurang, terputus atau hanya fragmen, hiasan gambar, prosa atau puisi, jika prosa berapa rata-rata jumlah baris tiap halaman, berapa ratarata jumlah kata tiap halaman, jika puisi berapa jumlah pupuh, apa saja nama tembangnya, berapa jumlah bait pada tiap pupuhnya. 8) Termasuk ke dalam golongan jenis naskah apa, bagaimanakah ciri-ciri jenis itu (harus diakui belum ada pembagian jenis naskah yang seragam). 9) Tulisan: jenis aksara/huruf : Jawa/Jawi/Bali/Latin/Bugis/Lampung bentuk aksara/huruf : persegi/bulat ukuran aksara/huruf : besar/kecil/sedang sikap aksara/huruf : tegak/miring goresan aksara/huruf : tebal/tipis warna tinta : hitam/coklat goresan tinta : jelas/kabur 10) Bahasa : baku, dialek, campuran, pengaruh lain. 11) Catatan oleh tangan lain : di dalam teks : halaman berapa, di mana, bagaimana di luar teks pada pias tepi: halaman berapa, di mana, bagaimana 12) Catatan di tempat lain : dibicarakan dalam daftar naskah/katalogus/artikel
26
mana saja, bagaimana hubungannya satu dengan yang lain, kesan tentang mutu masing-masing. Menurut Saputra (2008: 84), ada dua model deskripsi yang dapat digunakan, yaitu model tabel dan model paparan. Keduanya masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu, kedua model deskripsi tersebut apabila diterapkan secara bersamaan akan saling melengkapi. Seperti telah disebutkan di atas bahwa deskripsi yang disajikan dalam bentuk tabel dan paparan, masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan dari deskripsi yang disajikan dengan model tabel, yaitu deskripsi naskah dan teks menjadi lebih jelas dan mudah dipahami oleh pembaca sedangkan kelemahannya, yaitu deskripsi naskah dan teks yang disajikan kepada pembaca kurang dapat membawa pembaca berimajinasi terhadap naskah yang dideskripsikan. Saputra (2008: 88) menjelaskan bahwa deskripsi naskah yang disajikan dengan model paparan, secara teknis lebih mudah diterapkan dan juga, lebih memberikan informasi yang luas mengenai segala hal yang berkaitan dengan naskah dan segala hal yang ditemui secara inderawi pada setiap halaman naskah. Adapun kelemahan dari deskripsi model paparan, yaitu pembaca tidak dapat secara langsung mengetahui rincian informasi mengenai keadaan naskah yang dideskripsikan karena pembaca harus membaca deskripsi yang disajikan dengan paparan tersebut secara keseluruhan. Model deskripsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model tabel dan paparan. Model tabel digunakan dengan tujuan agar deskripsi naskah Sêrat Sêkar Wijåyåkusumå dan teks Widjåjåkoesoemå menjadi lebih jelas dan mudah
27
dipahami. Selanjutnya, hasil deskripsi naskah Sêrat Sêkar Wijåyåkusumå dan teks Widjåjåkoesoemå yang dibuat dalam bentuk/model tabel diperluas dengan deskripsi model paparan. c. Alih Tulis Teks Salah satu tujuan dari penelitian filologi adalah pengalihtulisan atau pengalihaksaraan suatu teks. Artinya, dengan adanya alih tulis pembaca dapat dengan leluasa membaca teks-teks lama peninggalan nenek moyang dengan bahasa yang dimengerti oleh pembaca masa kini. Menurut Mulyani (2009b: 20), suatu teks supaya dapat dibaca dan dipahami hendaknya teks itu (1) ditulis dengan aksara yang masih berlaku, (2) sudah dibersihkan dari tulisan yang ”rusak” (korup), dan (3) disajikan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat masa kini. Tahap alih tulis teks terdiri atas transliterasi teks, suntingan teks, dan penyajian aparat kritik. Penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga langkah kerja tersebut adalah sebagai berikut. a) Transliterasi teks Transliterasi teks merupakan salah satu tahap atau langkah dalam penyuntingan teks yang berupa penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain (Djamaris, 1977: 29). Misalnya, teks yang ditulis dengan huruf atau aksara Jawa dan Arab Pegon dialihtulis atau diganti ke huruf atau aksara Latin. Mulyani (2009a: 13) mendefinisikan transliterasi sebagai alih tulis yang disajikan dengan jenis tulisan yang berbeda dengan tulisan yang digunakan dalam naskah yang disalin.
28
Sifat aksara pada naskah yang ditransliterasikan berbeda dengan aksara Latin. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika melakukan transliterasi teks. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam transliterasi teks (Mulyani, 2009b: 21) adalah sebagai berikut: 1) tata tulis aksara yang digunakan dalam naskah dan sifat aksara yang akan digunakan untuk mengalihtuliskannya, 2) sifat aksara dalam naskah dan sifat aksara yang akan digunakan untuk mengalihtuliskannya (dalam hal pemisahan kata), 3) ejaan, yaitu untuk mempertahankan variasi ejaan naskah, pengejaan kata pinjaman terutama dalam teks yang berbentuk puisi, dan 4) pungtuasi, yaitu tanda baca yang berfungsi sebagai tanda penuturan kalimat (koma, titik koma, titik, titik dua, tanda tanya, tanda seru, dan tanda petik) serta tanda metra yang berfungsi sebagai tanda pembagian puisi, yaitu pembatas larik, pembatas bait, dan tembang. Pada tahap transliterasi teks, seorang filolog mempunyai dua tugas pokok yang harus dilakukan. Pertama, menjaga kemurnian bahasa lama dalam naskah, khususnya penulisan kata. Penulisan kata yang menunjukkan ciri ragam bahasa lama dipertahankan bentuk aslinya, tidak disesuaikan penulisannya dengan penulisan kata menurut EYD dengan tujuan agar bahasa lama dalam naskah tidak hilang. Kedua, menyajikan teks sesuai dengan pedoman ejaan yang berlaku sekarang, khususnya teks yang tidak menunjukkan ciri bahasa lama yang disebutkan dalam tugas pertama di atas (Djamaris, 2002: 19-21). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada dua metode transliterasi yang dapat digunakan agar tugas filolog dapat tercapai, yaitu transliterasi diplomatik dan transliterasi standar. Transliterasi diplomatik, yaitu alih tulis dari aksara teks ke dalam aksara sasaran dengan tidak mengadakan perubahan pada teks yang disalin atau sesuai apa adanya, sehingga kemurnian teks dapat terjaga dengan mempertahankan bentuk aslinya dan tidak disesuaikan dengan pedoman Ejaan yang Disempurnakan
29
(EYD). Wiryamartana (1990: 30) menambahkan bahwa tujuan transliterasi dengan terbitan diplomatik, yaitu agar pembaca dapat mengikuti teks, seperti yang termuat dalam naskah sumber. Tujuan lain dari adanya transliterasi dengan terbitan diplomatik disebutkan oleh Suyami (2001: 28), yaitu untuk memberikan deskripsi atau gambaran yang lebih jelas mengenai keseluruhan isi teks dengan apa adanya. Transliterasi standar adalah alih tulis yang merupakan pengulangan dari transliterasi diplomatik dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan untuk pemahaman teks (Wiryamartana, 1990: 32). Artinya, agar suatu teks dapat dipahami oleh pembaca maka teks dialihaksarakan dari aksara yang digunakan dalam teksnya ke dalam aksara sasaran dengan membetulkan teks-teks yang salah disesuaikan dengan suatu sistem ejaan yang benar atau disesuaikan dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Pada penelitian ini, metode transliterasi yang digunakan untuk mentransliterasi teks Widjåjåkoesoemå adalah metode transliterasi standar. Transliterasi standar digunakan untuk mengalihaksarakan teks Widjåjåkoesoemå dari aksara Jawa ke dalam aksara Latin yang kemudian disesuaikan dengan sistem ejaan yang berlaku tanpa mengubah bentuk/ciri khas bahasa lama yang terdapat dalam teks Widjåjåkoesoemå. Hasil dari transliterasi standar tersebut merupakan dasar untuk melakukan suntingan teks agar teks yang dihasilkan bersih dari bacaan yang korup, sehingga dapat memudahkan pembacaan isi naskah bagi pembaca yang kurang paham terhadap huruf/aksara daerah dan untuk mempercepat pemahaman isi naskah dalam kepentingan penelitian naskah.
30
b) Suntingan teks Setelah teks ditransliterasikan, langkah selanjutnya adalah mengadakan suntingan teks. Darusuprapta (1984: 5) mendefinisikan suntingan teks sebagai suatu cara yang dilakukan dalam langkah kerja penelitian filologi dengan mengadakan
pembetulan-pembetulan,
perubahan,
penambahan,
maupun
pengurangan dengan harapan teks yang dihasilkan bersih dari segala kekeliruan. Menurut Baroroh-Baried (1985: 69), suntingan teks dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu suntingan teks edisi diplomatik dan suntingan teks edisi standar. Suntingan teks diplomatik memperlihatkan secara tepat cara mengeja kata-kata dari naskah tesebut yang merupakan gambaran nyata mengenai konvensi pada waktu dan tempat tertentu dan juga, memperlihatkan cara penggunaan tanda baca yang tepat di dalam teks tersebut (Robson, 1988: 20). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa suntingan edisi diplomatik dilakukan dengan tujuan agar pembaca dapat mengetahui teks dari naskah sumber. Suntingan teks edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan serta ejaannya disesuaikan dengan sistem ejaan yang berlaku. Di dalam suntingan teks edisi standar diadakan pembagian kata, pembagian kalimat, digunakan huruf kapital, pungtuasi, dan juga diberikan komentar mengenai kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalam teks (Baroroh-Baried, 1985: 69). Suntingan teks dengan melakukan perbaikan bacaan terdapat campur tangan peneliti dengan tujuan agar teks dapat dimengerti dan dipahami isinya oleh pembaca.
31
Pada penelitian ini, suntingan teks yang digunakan adalah suntingan teks edisi standar. Suntingan teks edisi standar dilakukan dengan mengadakan perbaikan pada bacaan yang korup ataupun tidak ajeg yang disesuaikan dengan sistem ejaan yang berlaku pada masa kini. c) Penyajian aparat kritik Penyajian kritik teks dalam penelitian ini disertai dengan adanya aparat kritik (aparatus criticus). Menurut Mulyani (2009b: 29) aparat kritik (aparatus criticus) adalah pertanggungjawaban ilmiah dari kritik teks yang berisi kelainan bacaan (variae lectiones atau varian) yang ada dalam suntingan teks atau penyajian teks yang sudah bersih dari korup. Oleh karena itu, aparat kritik digunakan untuk menjelaskan segala perubahan, pengurangan, dan penambahan yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah dalam suatu penelitian naskah. Jadi, apabila dalam suatu penelitian diadakan perubahan, penambahan, maupun pengurangan maka dicatat dalam aparat kritik. Penyajian aparat kritik dalam suntingan disebutkan oleh Mulyani (2009b: 29-30) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) dicantumkan di bawah teks sebagai catatan kaki atau (2) dilampirkan di belakang suntingan teks sebagai catatan halaman. d. Terjemahan Teks Terjemahan adalah pemindahan arti dari bahasa satu ke bahasa lain atau pemindahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Terjemahan teks dilakukan dengan tujuan agar masyarakat yang tidak paham dengan bahasa teks dapat memahami isi teksnya, sehingga amanat atau pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami oleh pembaca.
32
Proses pemindahan bahasa saat melakukan terjemahan teks harus dilakukan secara teliti dan jelas agar didapatkan hasil terjemahan teks yang baik. Menurut Darusuprapta (1984: 9), keberhasilan terjemahan teks bergantung kepada beberapa hal di antaranya adalah sebagai berikut. a) Pemahaman yang sebaik-baiknya terhadap bahasa sumber, yaitu bahasa yang diterjemahkan. b) Penguasaan yang sempurna terhadap bahasa sasaran, yaitu bahasa yang digunakan untuk menterjemahkan. c) Pengenalan latar belakang penulisan, baik tentang diri penulisnya maupun masyarakat bahasanya. Metode terjemahan teks terdiri atas bermacam-macam metode. Menurut Darusuprapta (1984: 9), metode terjemahan teks tersebut dapat diringkas hanya menjadi tiga. Ketiga metode terjemahan teks yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1) Terjemahan harfiah, yaitu terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya, berguna untuk membandingkan segi-segi ketatabahasaan. 2) Terjemahan isi atau makna, yaitu kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sumber diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan. 3) Terjemahan bebas, yaitu keseluruhan teks bahasa sumber diganti dengan bahasa sasaran secara bebas. Terjemahan teks pada penelitian ini dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan ketiga metode terjemahan teks. Ketiga metode terjemahan teks yang dimaksud adalah terjemahan harfiah, terjemahan isi/makna, dan terjemahan bebas.
B. Pandangan Hidup Orang Jawa Orang Jawa didefinisikan sebagai mereka yang benar-benar trah (keturunan) Jawa (Santosa, 2011: 9). Maksudnya, baik secara pribadi maupun
33
sosial masih berada dalam ruang lingkup kebudayaan Jawa, meskipun tidak menetap di Pulau Jawa, tetapi memiliki kesadaran kognitif, afektif, dan psikomotorik terhadap nilai kebudayaan Jawa dan berperan secara aktif melestarikan adat dan budaya Jawa. Pendapat yang berbeda mengenai definisi orang Jawa disebutkan oleh Suseno (dalam Haq, 2011: 4) bahwa orang Jawa adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Salah satu ciri masyarakat Jawa adalah masyarakat Jawa memiliki kepercayaan yang mengakar, yaitu kepercayaan terhadap sesuatu ’kekuatan’ di luar alam yang mengatasi orang-orang Jawa. Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan. Pandangan orang Jawa yang demikian menurut Haq (2011: 5) dapat disebut dengan kawulå (hamba) dan Gusti (Tuhan), yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah untuk mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir untuk itulah manusia harus menyerahkan diri secara total selaku kawulå (hamba) terhadap Gusti-nya (Tuhan). Dengan
adanya
kapercayaan
yang
mengakar
tersebut,
sehingga
menumbuhkan suatu pandangan hidup masyarakat Jawa. Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah suatu ide, gagasan, cita-cita, pola pikir, paham, kepercayaan, atau kumpulan konsep yang dijadikan pedoman pengaturan mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap untuk menentukan tujuan hidup, moral, serta perilaku seseorang maupun masyarakat (Santosa, 2011: 9).
34
Pandangan hidup juga dapat diartikan sebagai pengaturan mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat berkembang menjadi suatu sikap terhadap kehidupannya. Ciri pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Orang Jawa meyakini bahwa kehidupan di dunia sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedudukan manusia sebagai hamba yang wajib menjalankan segala sesuatu yang telah digariskan tersebut. Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini hakikatnya merupakan satu kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu berhubungan erat dalam kosmos raya. Menurut pandangan hidup orang Jawa, kehidupan manusia dirumuskan berada pada dua kosmos (alam), yaitu makrokosmos (jagad gêdhé) dan mikrokosmos (jagad cilik). Makrokosmos dalam alam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius. Mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos. Pandangan
hidup
orang
Jawa
yang
meyakini
tentang
adanya
keseimbangan yang harmonis antara mikrokosmos dan makrokosmos, dapat
35
dilihat dari beberapa perilaku orang Jawa dalam kehidupannya. Menurut Santosa (2011: 10-21), realitas keseharian hidup orang Jawa yang mencerminkan pandangan hidup orang Jawa, misalnya: 1)
tradisi slamêtan (selamatan), 2)
kebiasaan mempunyai kalangênan (kesenangan terhadap sesuatu), 3) puasa, dan 4) keyakinan mengenai båndhå donyå mung sadêrmå anggadhuh pêparingé Gusti Kang Akaryå Jagad, yaitu harta benda merupakan anugerah dan titipan dari Tuhan yang menciptakan alam semesta, dan 5) kematian, orang Jawa meyakini bahwa setiap perbuatan akan berpengaruh terhadap kematian seseorang.
C. Laku Manusia Jawa dalam Naskah Jawa Dari latar belakang pandangan manusia Jawa terhadap kehidupan, menimbulkan orientasi manusia Jawa dalam segi kehidupannya. Adapun beberapa orientasi hidup manusia Jawa (Santosa, 2011: 22-25) adalah sebagai berikut. 1. Menjadi manusia unggul, yaitu memilki kemampuan melebihi orang lain memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas, dan memiliki budi yang luhur, bijaksana, dan berwibawa. 2. Hidup tenteram dan berkecukupan, yaitu kehidupan yang harmonis, seimbang, tenteram lahir dan batin. 3. Patêmbayatan hidup, yaitu meliputi kecukupan materi yang harus diusahakan dengan kerja keras, tolong menolong, bahu-membahu, dan membalas budi baik orang lain. 4. Kesempurnaan batin, yaitu memiliki semangat yang tinggi dalam ngudi kasampurnaning batin (berusaha mencapai kesempurnaan batin). 5. Mencari surga, yaitu orientasi manusia Jawa di dunia adalah berbuat amalan yang baik dan benar sebagai bekal kehidupan di akhirat. Kelima pandangan hidup manusia Jawa di atas saling berhubungan satu sama lain. Kelima pandangan hidup tersebut adalah sebagai pandangan hidup primer manusia Jawa yang kemudian akan menurunkan pandangan-pandangan hidup sekunder manusia Jawa.
36
Dengan adanya pandangan hidup kemudian melahirkan orientasi atau citacita hidup orang Jawa, misalnya orientasi untuk hidup sukses di dunia. Untuk dapat mencapai orientasi hidup tersebut, manusia Jawa berusaha dengan menjalankan berbagai laku. Laku yang dijalankan tersebut adalah laku yang berdasarkan pada keyakinan manusia Jawa dalam berbagai segi kehidupannya. Laku tersebut kemudian mengakar sebagai suatu bentuk laku kejawen yang mentradisi. a. Tåpå atau sêmadi Definisi tåpå dalam arti sempit adalah suatu laku atau jalan hidup untuk menggapai anugerah Tuhan (wahyu) atau dalam rangka mencapai tujuan mêmayu hayuning bawånå (menjaga ketenteraman, kesejahteraan, dan keseimbangan dunia). Pelaku tåpå hanya mencakup pada raja-raja atau orang-orang tertentu. Kemudian, tåpå diartikan secara luas, yaitu sebagai suatu usaha manusia untuk mengendalikan diri dari nafsu-nafsu duniawi yang berpengaruh negatif terhadap diri seseorang. Laku tåpå biasanya dijalankan bersamaan dengan sêmadi. Sêmadi berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu samadhi yang berarti maju ke depan untuk mencapai kesempurnaan, memperoleh keyakinan, dan mengatasi kesukaran dalam kehidupan. Sêmadi juga dapat diartikan sebagai suatu situasi yang sunyi dengan memusatkan pikiran serta hati nurani dan berkontemplasi. Laku tåpå sering dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu. Menurut Santosa (2011: 135), laku tåpå juga dilakukan oleh Panembahan Senapati seperti yang tercantum dalam Sêrat Wedhåtåmå, yaitu terdapat pada Pupuh Sinom.
37
“nuladå laku utamå / tumraping wong tanah Jawi / wong agung ing Ngêksigåndå / Panêmbahan Sénåpati / kepati amarsudi / sudanên håwå lan napsu / pinêsu tåpå bråtå / tanapi ing siyang ratri / amamangun karyå nak tyasing sasåmå //” Terjemahan Tirulah tindakan atau pekerti utama bagi orang Jawa, yaitu orang besar dari Mataram, Panembahan Senapati. Beliau selalu berdaya upaya mencegah keinginan hawa nafsu, dengan disertai laku prihatin bertapa. Di samping itu, setiap hari selalu membuat orang lain senang. b. Puasa Seperti telah disebutkan di atas bahwa puasa biasanya dilakukan oleh orang Jawa bersamaan dengan tåpå. Selain itu, puasa juga dilakukan oleh orang Jawa ketika akan menyambut hari-hari keagamaan seperti puasa di bulan Ramadhan. Di dalam masyarakat Jawa, juga banyak dijumpai orang-orang Jawa yang melakukan puasa karena adat kepercayaan mereka, misalnya puasa mutih, puasa wêton, puasa Sênèn Kêmis, dan sebagainya. Puasa yang dilakukan tersebut mempunyai makna yang penting bagi orang Jawa. Makna puasa yang dilakukan oleh orang Jawa, yaitu puasa sebagai suatu bentuk ibadah, puasa digunakan sebagai sarana penguatan batin, dan puasa digunakan sebagai upaya penyucian batin untuk mencapai kesempurnaan rohani. Laku puasa sudah ada sejak dahulu dan dicontohkan oleh para leluhur orang Jawa. Ajaran untuk menjalankan laku puasa tersebut seperti tercantum dalam kutipan Sêrat Wulangrèh, yaitu pada Pupuh Kinanthi (Widyawati, 2009: tanpa halaman). ”pådhå gulangên ing kalbu / ing sasmita amrih lantip / åjå pijêr mangan néndrå / kaprawiran kang dèn èsthi / pesunên sarirå nirå / sudanên dhahar lan guling //”
38
”dadiå lakunirèku / cêgah dhahar lawan guling / lan åjå kasukan-sukan / anganggoå sawatawis / ålå watêké wong sukå / nyudå prayitnå ing batin //” Maksud kedua bait Pupuh Kinanthi di atas adalah piwulang untuk menahan nafsu yang dapat dilakukan dengan cara menjalankan puasa, yaitu dengan cara mengurangi makan, minum, tidur, dan berpenampilan apa adanya. Laku tersebut tidak hanya memiliki tujuan yang berdampak bagi dirinya sendiri, melainkan untuk dapat mempertahankan keseimbangan batin dan untuk dapat berkelakuan sesuai dengan tuntutan keselarasan sosial. c. Menyepi Menyepi adalah suatu upaya menjalani kesendirian, meninggalkan keramaian, keluarga, dan pekerjaan dalam waktu-waktu tertentu, dalam rangka melakukan perenungan, olah batin, sêmadi, dan sebagainya. Menyepi juga dapat diartikan sebagai laku tåpå yang dilakukan karena didasari oleh suatu tujuan, misalnya untuk mendapatkan wahyu, untuk merenungi segala perilaku yang pernah dilakukan, dan sebagainya. Laku nyepi juga merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan guna mengasah hati untuk menjadi manusia utama. Hal tersebut tercermin dalam petikan Sêrat Wédhåtåmå pada Pupuh Sinom (Hadiatmaja, 2010: 73). “mangkono janmå utåmå / tuman tumanêming sêpi / ing sabên rikålå mångså / masah amêmasuh budi / lairé anêtêpi / ing rèh kasatriyanipun / susilå anor rågå / wignyå mêt tyasing sasami / yéka aran wong bérag agåmå //” Terjemahan: Begitulah manusia utama. Gemar membiasakan diri berada di alam sepi (menyingkir dari dunia ramai). Pada saat-saat tertentu mengasah hati membersihkan jiwanya. Manifestasinya dengan cara berpegang teguh pada
39
kedudukan sebagai ksatria, bertingkah laku yang baik, pandai membuat senang orang lain. Kesemuanya itu, adalah gambaran orang yang serba baik dalam menjalankan agama. d. Menghormati arwah leluhur Orang Jawa selain percaya kepada Tuhan sebagai Dzat yang paling tinggi, mereka juga percaya terhadap adanya roh-roh leluhur. Kepercayaan tersebut kemudian diaplikasikan dengan adanya bentuk penghormatan di makam para leluhur dengan cara memberikan sajèn, membakar kemenyan, atau dupa, dan menabur bunga. Pada zaman sekarang ritus menghormati arwah leluhur seperti itu disebut dengan ziarah. Para peziarah tersebut biasanya membacakan doa-doa dan tahlil. Selain dengan ziarah, untuk menghormati arwah leluhur juga dapat dilakukan dengan cara mengadakan slamêtan. Slamêtan merupakan unsur penting yang sering dijumpai dalam setiap bentuk upacara yang ada di dalam tatanan hidup orang Jawa baik upacara kehamilan, kelahiran, pernikahan, maupun kematian. Adapun tujuan dari diadakannya slamêtan tidak hanya untuk memelihara solidaritas masyarakat, tetapi juga dalam rangka memelihara hubungan baik dengan arwah nenek moyang. e. Memperbaiki akhlak, moral, dan perilaku Orang Jawa dituntut untuk berlaku jujur, baik dalam perilaku maupun tutur kata. Ritualisasi laku tersebut banyak diajarkan oleh nenek moyang yang tertulis dalam naskah Jawa. Menurut Sêrat Darmo Wasito (Haq, 2011: 82), ada beberapa hal yang harus dilakukan agar kehidupan seseorang dapat mencapai
40
kesuksesan, yaitu dengan bertindak dan berperilaku yang baik di antaranya luruh (sabar), trapsilå (sopan santun), mardåwå (lembut/halus), manut mring caraning bångså (patuh dengan tata cara negara), andhap asor (sopan santun), mênêng (diam), prasåjå (sederhana), têpå salirå (tenggang rasa/saling tolong-menolong), éling (sadar), dan ulah batin (olah batin).
D. Penelitian yang Relevan Ada dua judul penelitian yang dapat dijadikan sebagai acuan penelitian yang relevan, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Amri (2010) dengan judul ”Tinjauan Filologi Teks Serat Wulang Bratasunu” dan penelitian yang dilakukan oleh Istikomah (2012) dengan judul ”Tinjauan Filologi Serat Darmawirayat”. Kedua penelitian tersebut relevan dengan penelitian ini dalam beberapa hal, yaitu kesamaan dalam sumber data penelitian yang digunakan dan kesamaan dalam metode penelitian yang digunakan. Sumber data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa naskah lama yang termasuk jenis naskah piwulang yang ditulis dengan menggunakan aksara Jawa dan bahasa pada teksnya menggunakan bahasa Jawa Baru. Begitu juga dengan sumber data penelitian yang digunakan oleh Amri (2010) dan Istikomah (2012), keduanya menggunakan naskah lama yang dikategorikan sebagai naskah jenis piwulang, ditulis dengan aksara Jawa, dan menggunakan bahasa Jawa Baru. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Amri (2010) maupun Istikomah (ini. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan isi dari kandungan teks setelah teks tersebut digarap dengan
41
metode penelitian filologi. Adapun langkah kerja penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Amri (2010) dan Istikomah (2012), juga mempunyai kesamaan. Langkah kerja penelitian filologi yang dimaksud, meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, transliterasi teks, suntingan teks dengan penyajian aparat kritik, dan terjemahan teks. Selain memiliki kesamaan, kedua penelitian di atas juga memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian ini. Adapun perbedaannya, yaitu bentuk teks dari naskah yang diteliti dan kajian terhadap kandungan teksnya. Penelitian yang dilakukan oleh Amri (2010) maupun Istikomah (2010) menggunakan teks yang digubah dalam bentuk tembang måcåpat, sedangkan teks yang digunakan dalam penelitian ini digubah dalam bentuk gancaran. Perbedaan lainnya adalah terletak pada kajian terhadap kandungan teksnya. Penelitian yang dilakukan oleh Amri (2010) maupun Istikomah (2010) mengkaji tentang nilainilai moral sedangkan penelitian ini mengkaji tentang beberapa laku yang dijalankan oleh para abdi dalêm ketika diperintah oleh raja untuk mengambil bunga wijayakusuma di Pulau Bandung, Nusakambangan, Donan, Cilacap. Meskipun demikian, kedua penelitian tersebut tetap dapat dijadikan sebagai salah satu acuan atau sumber tertulis dalam penelitian ini. Hal tersebut berdasarkan pada persamaan-persamaan antara kedua penelitian yang telah disebutkan di atas dengan penelitian ini, yaitu mendukung penelitian ini dari segi metode penelitian (langkah-langkah penelitian) dan teori yang digunakan. 2012), yaitu metode penelitian deskriptif filologis. Metode penelitian deskriptif filologis, juga digunakan dalam penelitian.