BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR A. Kajian Teori 1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). SMP Negeri 11 Surakarta pada tahun pelajaran 2015/2016 menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional disusunlah Standar nasional pendidikan yang terdiri atas 8 standar yaitu : Standar Isi; Standar Proses; Standar Kompetensi Kelulusan; Standar Tenaga Kependidikan; Standar Sarana Prasarana; Standar Pengelolaan; Standar Biaya; dan Standar Penilaian Pendidikan. SMP Negeri 11 Surakarta telah menyusun KTSP sebagai pelaksanaan pendidikan di sekolah dengan berdasarkan dua dari delapan Standar nasional pendidikan tersebut. Dua Standar nasional itu adalah Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Permendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Permendiknas nomor 24 tentang pelaksanaan Permendiknas 22 dan 23 tahun 2006. KTSP disusun oleh Kepala Sekolah, guru, karyawan, siswa dan Komite sekolah serta pengawas sebagai nara sumber sekaligus pemberi masukan tentang kesesuaian program dengan potensi dan relevansi yang ada di daerah. Sehingga program-program yang dibuat sesuai dengan kebutuhan seluruh warga sekolah. Selain itu, juga untuk mengakomodasi penerapan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang telah dilaksankan sejak diberlakukannya otonomi daerah.
11
12
Kurikulum dikembangkan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk belajar : (1). Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2). Memahami dan menghayati lingkungan hidup sekitarnya; (3). Mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; (4). Hidup bersama dan beguna untuk orang lain, dan; (5). Membangun, menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dalam melaksanakan kurikulum KTSP, disamping mengembangkan kompetensi yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi iptek, SMP Negeri 11 Surakarta juga mengembangka karakter peserta didik. Di antara karakter minimal yang dikembangkan antara lain : religius;
jujur; toleransi; disiplin; kerja keras; kreatif;
mandiri; demokrasi; rasa ingin tahu; semangat kebangsaan; cinta tanah air; menghargai prestasi; bersahabat/komunikatif; cinta damai; gemar membaca; peduli lingkungan; peduli sosial; dan tanggung jawab. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan tujuan untuk menghasilkan kualitas peserta didik yang beriman, handal, mandiri, bertanggung jawab, peduli sosial dan
13
lingkungan , serta mampu menghadapi perkembangan iptek dan tuntutan zaman yang terus berkembang.
a. Pembelajaran IPS di SMP. Dalam arti sempit pembelajaran dapat diartikan suatu proses atau cara yang dilakukan agar seseorang dapat melakukan kegiatan belajar. Pembelajaran tidak hanya dalam konteks guru dengan peserta didik di kelas secara formal, akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan belajar peserta didik di luar kelas yang mungkin saja tidak dihadiri oleh guru secara fisik dalam Zainal Arifin (2011: 10). Menurut Trianto (2011: 17) pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Pembelajaran secara simpel dapat diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup. Dalam makna yang lebih kompleks pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya dalam rangka mencapai tujuan. Pembelajaran menurut Gagne dan Briggs dalam M. Atwin Suparman (2012: 10) adalah a set of event which affect learners in such a way that learning is facilitated. Pembelajaran adalah suatu rangkaian peristiwa yang mempengaruhi peserta didik atau pembelajaran sedemikian rupa sehingga perubahan perilaku yang disebut hasil belajar terfasilitasi. Pembelajaran mengandung makna bahwa serangkaian kegaitan belajar itu dirancang lebih dahulu agar terarah pada tercapainya perubahan perilaku yang diharapkan. Rangkaian kegiatan itu dilaksanakan peserta didik dengan atau tanpa fasilitasi pengajar namun melalui perencanaan. Pembelajaran yang dilaksanakan dengan fasilitasi penajara dapat
14
disebut pengajaran seperti yang terjadi pada lembaga pendidikan tatap muka biasa atau dilakukan oleh peserta didik sendiri tanpa kehadiran pengajar seperti yang dilakukan di lembaga pendidikan jarak jauh. Lebih Jauh Puskur dalam Abdul Majid (2009: 24) kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memperdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi
yang
diharapkan.
Kegiatan
pembelajaran
mengembangkan
kemampuan untuk mengetahui, memahami, melakukan sesuatu, hidup dalam kebersamaan
dan
mengaktualisasikan
diri.
Dengan
demikian,
kegiatan
pembelajaran perlu : 1) berpusat pada peserta didik; 2) mengembangkan kreatifitas peserta didik; 3) menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang; 4) bermuatan, nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan 5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan pembelajaran adalah usaha sadar dari seorang guru yang direncanakan untuk melangsungkan proses belajar mengajar baik dengan guru maupun tanpa kehadiran guru. b. IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di SMP. Numan Sumantri dalam Materi Pelatihan Terintegrasi Pengetahuan Sosial buku 1. PS-03 Konsep Dasar Pengetahuan Sosial, Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama (2004 : 3) menyebutkan bahwa IPS adalah program pendidikan yang memilih bahan pendidikan dan disiplin ilmu-ilmu sosial dan humanity (ilmu pendidikan dan sejarah) yang diorganisir dan disajikan secara
15
ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan kebudayaan Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar Isi pada lampiran Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dinyatkan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk menjadi warga Negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan masyarakat yang dinamis. Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensip dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkunganya. 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial. 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam msayarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
16
c. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran IPS Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi peserta didiklah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Konstruktivisme juga sebagai pembelajaran yang bersifat generative, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Konstruktivisme sebenarnya bukan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman. Oleh karena itu, Slavin (2009:10) menyatakan bahwa dalam proses belajar dan pembelajaran siswa harus terlihat aktif dan siswa menjadi pusat kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas. Guru dapat memfasilitasi dengan menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa. Selain itu, Jean Piaget dan Vygotsky juga menekankan pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan perubahan secara koseptual. Beberapa pandangan tokoh-tokoh besar konstruktivisme antara lain konsep Jean Piaget dan Vygotsky tentang belajar yang merupakan dasar bagi pendekatan kontruktivisme dalam belajar. a. Konsep Belajar Kontruktivisme Jean Piaget
17
Menurut Piaget (dalam Dale H. Schunk, 2012: 107-108) manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebah kotak-kotak yang masingmasing mempunyai makna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Oleh karena itu, pada saat manusia belajar, sebenarnya telah terjadi dua proses dalam dirinya yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi. Proses organisasi adalah kegiatan ketika manusia menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Melalui proses organisasi inilah manusia dapat memahami sebuah informasi baru yang didapatnya dengan menyesuaikan informasi tersebut dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya, sehingga manusia dapat mengasimilasikan dan mengakomodasikan informasi atau pengetahuan tersebut. Proses adaptasi adalah kegiatan yang berisi dua kegiatan. a. Menggabungkan atau mengintegrasikan pengethuan yang diterima oleh manusia atau disebut dengan asimilasi. b. Mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur pengetahuan baru, sehingga akan terjadi keseimbangan. Dalam proses adaptasi ini, Piaget mengemukakan empat konsep dasar (Suyono, 2004:109) yaitu skemata, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan. a. Skemata yaitu manusia berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
18
b. Asimilasi yaitu penyerapan informasi atau pengalaman baru dalam pikirannya dan memadukan stimulus dengan perilaku yang sudah ada dalam diri. c. Akomodasi yaitu menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. d. Keseimbangan yaitu keserasian antara asimilasi dan akomodasi dalam diri seseorang agar terjadi efisiensi interaksi dalam lingkungannya. Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan perkembangan kognitif anak tergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses kesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaaan keseimbangan. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Berkaitan dengan penelitian ini, penerpan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach dan Tobin, 1992). Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang siswa sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu.
19
Perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Siswa perlu menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar (Novan & Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan. Ditekankan juga dalam penelitian ini, pandangan konstruktivisme memberikan penekanan bahwa belajar merupakan suatu proses mengkonstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental siswa secara aktif. Belajar juga merupakan suatu proses mengasimilasi dan menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman tentang objek tertentu menjadi lebih kokoh. Berdasarkan pemikiran-pemikiran inilah yang menyebabkan di dalam proses pembelajaran siswa harus terus didorong untuk memiliki semangat dan motivasi yang tinggi untuk mengembangkan penalaran terhadap apa yang mereka pelajari, dengan cara mencari makna, membandingkan sesuatu yang harus dipelajari dengan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya. Jadi, belajar dalam hal ini lebih menitikberatkan pada pengembangan pemikiran yang memungkinkan siswa mampu memberdayakan fungsi-fungsi fisik dan psikologis dirinya secara menyeluruh. Itulah sebabnya konstruktivisme menjadi landasan peneliti dalam melaksanakan model Problem Based Learning dalam Penelitian Tindakan kelas ini.
20
2. Model Pembelajaran a. Pengertian model pembelajaran. Sebelum berbicara tentang model Problem Based Learning (PBL), sebaiknya terlebih dahulu membahas tentang hakikat dari konsep model pembelajaran itu sendiri. Istilah model mempunyai banyak pengertian. Secara kaffah model dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu hal. Menurut Meyer, W.J dalam Trianto (2011: 21) sesuatu yang nyata dan dikonversikan untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif. Menurut Gafur (2012:23) bahwa model dapat diartikan sebagai penyederhanaan (simplikasi) sesuatu yang kompleks untuk mudah dipahami. Lebih lanjut Rusman, (2012 : 132) dalam memilih model pembelajaran ada beberapa dasar pertimbangan antara lain : 1). Pertimbangkan terhadap tujuan yang hendak dicapai antara lain, berkenaan dengan kompetensi akademik, kepribadian, sosial dan kompetensi vokasional atau yang diistilahkan dengan domain kognitif, afektif dan psikomotorik. 2). Pertimbangkan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran yang berupa fakta, konsep, hukum atau teori tertentu yang memerlukan prasarat atau tidak. 3). Pertimbangkan dari sudut peserta didik yang berkaitan dengan tingkat kematangan, minat, bakat, dan kondisi peserta didik serta gaya belajar. 4) Pertimbangkan berupa non teknis antara lain apakah cukup dengan satu model atau tidak. Menurut Soekamto (dalam Trianto, 2011: 22), model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu,
21
dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merancanakan aktivitas belajar mengajar. Dengan demikian, aktivitas pembelajaran, pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sistimatis dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. b. Model Problem Based Learning. Sedangkan model Problem Based Learning menurut Egen dan Schuk, (2012 : 307) mengatakan pembelajaran berbasis masalah merupakan seperangkat model
mengajar
yang
menggunakan
masalah
sebagai
fokus
untuk
mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri. Menurut Panen dalam Rusmono (2012: 74) dalam strategi pembelajaran dengan PBL, siswa diharapkan untuk terlibat dalam proses penelitian yang mengharuskannya untuk mengidentifikasi permasalahan, mengumpulkan data, dan menggunakan data tersebut untuk memecahkan masalah. Smith dan Ragan dalam Rusmono (2012: 74) mengatakan bahwa strategi pembelajaran dengan PBL merupakan usaha untuk membentuk suatu proses pemahaman isi suatu mata pelajaran pada seluruh kurikulum. Beberapa ciri penting dari berbasis masalah (problem based learning) adalah sebagai berikut (Brooks & Martin, 1993) : (1) Tujuan pembelajaran
22
dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan pembelajaran dalam pola pemecahan masalah, sehingga pembelajaran diharapkan mampu mengembangkan keahian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasikan permasalahan, dalam hal ini ada dua tuntutan yang harus dipenuhi yaitu ; Pertama : harus memunculkan konsep dan prinsip yang relevan dengan kandungan materi yang dibahas. Kedua, permasalah harus bersifat nyata sehingga dapat melibatkan pebelajar tentang kesamaan dengan suatu permasalahan. (2). Adanya presentasi permasalahan, siswa yang tak berpengalaman, masalah-masalah akan paling efektif jika masalah itu jernih, kongkret serta dekat degan keseharian pribadi. (3). Mengases materi, setelah mengidentifikasi topik, kemudian menentukan tujuan belajar, memilih masalah dan mengakses materi-materi yang perlu serta siap menerapkanya. Ciri-ciri model Problem Basd Learning (PBL) menurut Baron ( dalam Rusmono 2012 : 74 ) adalah : 1). Menggunakan permasalahan dalam dunia nyata ; 2). Pembelajaran dipusatkan pada penyelesaian masalah ; 3). Tujuan pembelajaran ditentukan oleh siswa ; 4). Guru berperan sebagai fasilisator. Kemudian masalah yang digunakan harus relevan dengan tujuan pembelajaran, muthakir, dan menarik berdasarkan informasi yang luas; terbentuk secara konsisten dengan masalah lain dan termasuk dalam dimensi kemanusiaan. Langkah-langkah pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Lie. (2002 : 77) merumuskan langkah-langkah pembelajaran Problem Based Learning (PBL) sebagai berikut :
23
a. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan sarana dan alat yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih, b. Guru membantu siswa mengidentifikasikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dan lain-lain). c. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah. d. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya
yang
sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan teman. e. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. Dari pendapat diatas kami simpulkan Model Problem Based Learning adalah model pembelajaran berdasarkan masalah dan masalah harus dipecahkan secara kelompok dan masalahnya harus aktual. Problem Based Learning mempunyai langkah-langkah sebagai berikut : guru menjelaskan tujuan pembelajaran, guru membantu mengidentifikasi dan mengorganisasi masalah, guru mendorong siswa mengumpulkan informasi, guru membantu menyiapkan laporan, guru membantu siswa melakukan refleksi. 3. Media Film Dokumenter a. Pengertian Media.
24
Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti „tengah‟, „Perantara‟ atau „pengantar‟. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Menurut Gerlach dan Ely dalam Azhar Arsyad (2013: 3) media bila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, ketrampilan, atau sikap. Batasan
media
menurut
AECT
(Association
of
Education
and
Communication Technology, 1977) adalah sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Disamping sebagai sistem penyampai atau pengantar, media yang sering diganti dengan kata mediator menurut Fleming (1987: 234) adalah penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak dan mendamaikannya. Dengan istilah medioator media menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar siswa dan isi pelajaran. Media pembelajaran diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Bahan yang mengutamakan kegiatan membaca atau dengan menggunakan simbol-simbol kata dan visual (bahan-bahan cetakan dan bacaan). 2) Alat-alat audio-visual, alat-alat yang tergolong ke dalam kategori ini yaitu a). media proyeksi(overhead projektor, slide, film, dan LCD), b). media non-proyeksi (papan tulis, poster, papan temple, kartun, papan planel, komik, bagan, diagram, gambar, grafik, dll), c). Benda tiga dimensi antara lain benda tiruan, diorama, boneka, topeng, lembaran balik, peta, globe, pameran, dan museum.
25
3) Media yang menggunakan teknik atau masinal, yaitu silde, film strif, film rekaman, radio, televisi, vidio, VCD, laboratorium elektronik, perkakas otoinstruktif, ruang kelas otomatis, sistem interkomunikasi, komputer, internet. 4)
Kumpulan benda-benda (material kehidupan,
mata
pencaharian,
collection), yaitu berupa peninggalan industri,
perbankan,
perdagangan,
pemerintahan, agama, kebudayaan, politik, dan lain-lain. 5) Contoh-contoh kelakuan, perilaku pengajar. Pengajar memberi contoh perilaku atau suatu perbuatan. Misalnya, mencotohkan suatu perbuatan dengan gerakan tangan dan kaki, gerakan badan, mimik dan lain-lain. Media pembelajaran dalam bentuk ini, sangat tergantung pada inisiatif dan kreasi pengajar dan “jenis media seperti ini, hanya dapat dilihat, dan ditirukan oleh pembelajaran.(Hujair AH Sanaky: 2011: 41) Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi dalam proses belajar mengajar sehingga siswa memahami isi pelajaran. b. Film Dokumenter. Sedangkan
Film Dokumenter (ducumentaries) menurut Heinich dkk
dalam Yudhi Munadi (2013: 177) adalah film-film yang dibuat berdasarkan fakta bukan fiksi dan bukan pula memfiksikan yang fakta. Atau dengan kata lain, Grierson (Heinich, 1985: 212) berpendapat bahwa documentary sebagai “a creative treatment of actuality” yakni perlakuan kreatif terhadap suatu kenyataan.
26
Point penting dalam film ini, menurutnya adalah menggambarkan permasalahan kehidupan manusia meliputi bidang ekonomi, budaya, hubungan antar manusia, etika dan lain sebagainya. Misalnya, film tentang dampak globaisasi terhadap sosial budaya di suatu daerah
atau negara;
kehidupan manusia di daerah
pedalaman; kehidupan nelayan di daerah pesisir, dsb. Film dokumenter juga bisa menampilkan rekaman penting dari sejarah manusia. Keunggulan-keunggulan media film menurut (Arief S. Sadimab: 2014) adalah sbb : 1.
Film merupakan suatu denominator belajar yang umum. Baik anak yang cerdas maupun yang lamban akan memperoleh sesuatu dari film yang sama. Ketrampilan membaca atau penguasaan bahasa yang kurang, bisa diatasi dengan menggunakan film.
2.
Film sangat bagus untuk menerangkan suatu proses. Gerakan-gerakan lambat dan pengulangan-pengulangan akan memperjelas uraian dan ilutrasi.
3.
Film dapat menampilkan kembali masa lalu dan menyajikan kembali kejadian-kejadian sejarah yang lampau.
4.
Film dapat mengembara dengan lincahnya dari satu negara ke negara lain, horizon menjadi amat lebar , dunia luar dapat dibawa masuk kelas.
5.
Film dapat menyajikan baik teori maupun praktek dari yang bersifat umum ke khusus atau sebaliknya.
6.
Film dapat mendatangkan seorang ahli dan memperdengarkan suaranya di kelas.
27
7.
Film dapat menggunakan teknik-teknik seperti warna, gerak lambat, animasi, dan sebagainya untuk menampilkan butir-butir tertentu.
8.
Film memikat perhatian anak.
9.
Film lebih realistis, dapat diulang-ulang, dihentikan, dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan. Hal-hal yang abstrak menjadi jelas.
10. Film dapat mengatasi daya indera kita (penglihatan). 11. Film dapat merangsang atau memotivasi kegaitan anak. Sekalipun banyak kelebihannya, film memiliki kelemahan antara lain harga/biaya produksi relatif mahal, film tidak dapat mencapai semua tujuan pembelajaran, penggunaannya perlu ruang gelap. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa media film dokumenter adalah alat yang digunakan dalam pembelajaran yang dikemas dalam bentuk film yang isinya dokumen-dokuman suatu pristiwa, dalam hal ini dokumen pergerakan kebangsaan. 4. Sikap Nasionalisme Usaha penanaman sikap nasionalisme dapat digunakan metode yang dapat menciptakan kondisi kondusif dalam pembelajaran. Untuk dapat menanamkan sikap nasionalisme perlu dijelaskan pengertian nasionalisme. Kata Nasionalisme berasal dari bahasa Latin “natio” yang berarti “lahir”. Kemudian berubah konotasinya seiring perkembangan jaman menjadi “bangsa” nation. Menurut pengertian Walker Connor (1994) bangsa adalah suatu masyarakat yang percaya bahwa antar anggotanya memiliki hubungan leluhur yang sama berdasarkan ikatan kekeluargaan. Asasnya adalah ikatan psikologis
28
yang menyatukan masyarakat tersebut yang membuat kelompoknya itu berbeda dengan kelompok lainnya (Smith, 2003:88). Senada dengan pernyataan Connor, Hans Kohn mengartikan bangsa sebagai himpunan komunitas yang memiliki kesamaan bahasa, ras, agama dan peradaban yang berkembang karena adanya akar sejarah yang membentuknya (Ubaid dan Bakir, 2015: 17). Dalam arti kekinian nasionalisme dipahami sebagai paham bagi individu maupun kelompok masyarakat yang mencita-citakan suatu kehidupan berbangsa dan bertanah air bersama dengan landasan sejarah, budaya dan kekeluargaan sebagai ikatannya. Basis filosofi nasionalisme ini masih dipakai hingga saat ini sebagai kekuatan suatu bangsa untuk mempertahankan kelestarian kelompoknya. Seperti yang dikatakan Blank and Schmidt (2003 dalam Latcheva, 2010:192) “nationalism is characterized by blind support for the nation and feeling of national superiority...is based on republican values and includes critical loyalty towards the in-group nation.” Hal itu karena “...ethnicity as the principal element in the definition of nationalism...that of human community manifesting a historical, linguistic, religious, and economic unity animated by a common will to live.” (Daniel Jhonson, 1966 dalam Rocher, 2002: 4). Jadi kekuatan suatu bangsa dalam mempertahankan eksistensinya berasal dari kerelaan anggotanya untuk membela tanah airnya. Dasar kerelaan tersebut dikarenakan adanya ikatan yang tumbuh karena
adanya
nilai-nilai
yang
dijunjung
bersama.
Nilai-nilai
tersebut
dimanifestasikan ke dalam kehidupan berbangsa seperti dalam pemakaian bahasa, beragama, dan kerjasama ekonomi yang membuat mereka tetap utuh untuk hidup bersama.
29
Nasionalisme suatu kelompok bangsa akan selalu menggambarkan akar kebudayaan masyarakat tempat bangsa itu hidup. Adanya peran budaya ditujukan untuk membangkitkan kembali komunitas moral bangsa dengan memperhatikan identitas budaya, harmoni sosial, dan tujuan moral (Smith, 2003:95). Menurut Naoko Hosokawa (Vorokova dan Mansour, 2015: 3) sumber identitas nasional bisa berasal dari kebudayaan lokal suatu masyarakat, sebagai contohnya adalah penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa nasional. Lebih lengkapnya adalah sebagai berikut: “...the relation between nationalism and linguistic purism, in particular the manner in which a shared sense of national belonging is expressed and reproduced through the display of public attitudes towards foreignisms in a given society... national language is conceptualized as a source of national identity while certain foreign loanwords are excluded from the perceptual framework of national language”.
Di Indonesia, nasionalisme budaya dibangun di atas kerangka keberagam etnik, linguistik, religius, dan subkultural dengan prinsip kesatuan berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika. Kepribadian tersebut sangat dipengaruhi oleh etos bangsa, yaitu kelakuan serta gaya hidup masyarakatnya (Sartono Kartodirdjo, 1993:15). Penguatan identitas sebagai sebuah bangsa dengan penggunaan bahasa saja tidaklah cukup, sehingga perlu disadari bahwa permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia bukan hanya pada modernisasi kultur saja, tetapi meliputi segala aspek kehidupan masyarakat seperti etos dan gaya hidup yang mencerminkan identitas nasional agar berbeda dengan bangsa lain (Sartono Kartidirdjo, 1993:16).
30
Perkembangan jaman akan membawa perubahan paradigma tentang nasionalisme. Nasionalisme yang dirajut di jaman pra-kemerdekaan mungkin sudah tidak relevan lagi diterapkan sekarang ini. Meskipun demikian, nasionalisme masih tetap dapat terbentuk apabila terdapat prinsip-prinsip seperti kesatuan (unity), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), kepribadian (personality), dan prestasi (performance) dalam suatu bangsa (Sartono Kartodirdjo, 2003, 15). Di era pasca kemerdekaan, nasionalisme bukan lagi ditunjukan pada bagaimana suatu bangsa memerdekakan diri dari dominasi kekuatan asing melalui kekuatan fisik, tetapi lebih pada bagaimana memerdekakan diri dari kebodohan sesuai yang disematkan dalam amanat pembukaan UUD 1945. Menurut Tilaar (2015: 68-73) manusia cerdas yang dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut: 1. Manusia cerdas secara intelektual,
yaitu manusia yang mampu
mengembangkan akal yang berbudi dalam meningkatkan taraf hidupnya. 2. Manusia yang cerdas bersosial, yaitu manusia Indonesia yang menjunjung asas kegotong-royongan atau kerja sama. 3. Manusia yang cerdas secara ekonomi, yaitu seorang yang giat bekerja dengan menghilangkan sifat inferioritas, malas, dan masa bodoh terhadap potensi kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. 4. Kecerdasan jasmani yang sehat, yaitu manusia Indonesia yang memiliki gaya hidup sehat.
31
5. Kecerdasan agamis, yaitu manusia Indonesia yang mengimani adanya Tuhan dan hidup secara damai dengan penganut agama lain. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan nasionalisme bangsa Indonesia adalah nasionalisme cinta tanah air yang berlandaskan pada UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara prinsipil berdasarkan pada Pancasila. 5. Prestasi Belajar Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran IPS adalah adanya perubahan tingkah laku sosial siswa ke arah yang lebih baik. Perubahan tingkah laku sosial ini diperoleh melalui proses belajar. Pada umumnya orang menyatakan belajar adalah mengumpulkan sejumlah pengetahuan. Proses pengumpulan pengetahuan tersebut dipahami dengan membaca buku dan mengerjakan tugas-tugas sekolah. Padahal belajar yang sesungguhnya tidak hanya sebatas pada membaca buku dan mengerjakan tugas. Melalui proses belajar maka seorang siswa akan memperoleh prestasi belajar. Menurut Zainal Arifin (2011: 12) kata “prestasi” berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie. Kemudia dalam bahasa Indonesia menjadi “prestasi” yang berarti “hasil usaha”. Istilah “prestasi belajar” (achievement)
berbeda
dengan “hasil belajar” (learning outcome). Prestasi belajar pada umumnya berkenaan dengan aspek pengetahuan, sedangkan hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak peserta didik. Saifudin Azwar (2009: 9) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bentuk penampilan maksimal seseorang dalam menguasai bahan atau
32
materi yang telah diajarkan. Ini berarti berupa sebuah kemampuan yang dapat diraih dan dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran di kelas. Kemampuan ini ditunjukkan dengan penguasaan terhadap suatu materi pembelajaran yang dibuktikan melalui suatu keberhasilan dalam menyelesaikan pelatihan. Menurut Suratinah Tirtonegoro (1998: 43) menyebutkan prestasi belajar adalah “penilaian hasil usaha yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, ataupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai setiap anak dalam suatu periode tertentu.” Lebih lanjut Wingkel (1983 : 161) menjelaskan bahwa prestasi belajar adalah setiap kegiatan belajar yang menghasilkan suatu perubahan yaitu hasil belajar. Bukhari (1997: 85) berpendapat bahwa prestasi adalah hasil yang dicapai anak sebagai hasil belajar yang berupa angka, huruf, serta tindakan hasil belajar yang dicapai. Menurut Tabrani (1991: 22) “Prestasi adalah kemampuan nyata yang dicapai individu dari suatu kegaiatan atau usaha. Prestasi merupakan hasil dari suatu kegiatan yang dimiliki seseorang, karena orang itu melakukan kegiatan usaha tertentu.” Sedang menurut Zaenal (1990: 2) Prestasi adalah kemampuan ketrampilan dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal. Menurut Djamarah (1994: 19) prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun secara kelompok. Menurut Mas‟ud Hasan Abdul dalam Anam(2012: 25) bahwa prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Dari pengertian yang dikemukakan tersebut
33
diatas, terlihat jelas perdedaan pada kata-kata tertentu sebagai penekanan, namun intinya sama yaitu hasil yang dicapai dari suatu kegiatan. Untuk itu dapat dipahami bahwa prestasi adalah hasil dari suatu yang telah dikerjakan, diciptakan, yang menyenangkan hati, yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja, baik secara individual maupun secara kelompok dalam bidang kegiatan tertentu. Menurut Nurkencana dalam Anam (2012:26) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai atau diperoleh anak berupa nilai mata pelajaran. Ditambahkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar. Dik. Das. Men. (2000: 11) menjelaskan bahwa “prestasi belajar” (achievment) berbeda dengan “hasil belajar” (learning out come). Hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak seorang siswa. Sedangkan prestasi belajar bersifat pengetahuan saja. Jadi tes prestasi belajar yang hendak diukur ialah tingkat kemampuan seorang siswa dalam menguasai bahan pelajaran yang telah diajarkan kepadanya. Prestasi belajar tersebut menurut Gagne dibedakan menjadi lima aspek yaitu : kemampuan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan keterampilan; sedangkan hasil belajar menurut Bloom dibedakan tiga aspek : kognitif, afektif dan psikomotor. Pendapat Bloom sesuai dengan prestasi belajar menurut Nasution dalam prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapai sesorang dalam berfikir (kognitif), merasa (afektif) dan berbuat (psikomotor). Menurut Bloom dalam Surani Tri Rahayu (2013: 22) dijelaskan bahwa hasil belajar dibagi tiga ranah yaitu ranah kognitif berkenaan dengan hasil
34
intelektual, ranah afektif berkenaan dengan sikap dan ranah psikomotoris berkenaan dengan keterampilan dan kemampuan bertindak. Ketiga ranah menjadi objek penilaian hasil belajar, tetapi bahwa ranah kognitif paling banyak dinilai oleh
guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam
menguasai isi bahan pelajaran, oleh Bloom dalam Surani Tri Rahayu (2013: 22). Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar adalah suatu usaha maksimal yang dilakukan siswa setelah mengikuti proses pembelajaran di kelas yang diakhiri dengan tes, berupa kemampuan menguasai dan memahami materi pembelajaran siswa, diwujudkan dalam bentuk angka atau huruf atau kalimat yang menginformasikan sejauh mana penguasaan dan pemahaman materi pembelajaran. B. Penelitian Yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Enny Puspita ( Surakarta 2010 ) Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL) Terhadap Motivasi dan Prestasi Belajar Pada Mata Kuliah Kebutuhan Dasar Manusia (Studi Kasus di AKPER Bahrul Ulum Jombang). Tujuan penelitian diatas adalah : 1) Untuk mengetahui pengaruh Model Problem Based Learning terhadap peningkatan motivasi belajar mahasiswa pada mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia di Akper Bahrul Ulum Jobang. 2) Untuk mengetahui pengaruh model Problem Based Learning terhadap peningkatan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia di Akper Bahrul Ulum Jombang.
35
Teknik analisa yang dipergunakan dalam penelitian tersebut adalah deskreptif kualitatif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan motivasi belajar lebih dari 62,5% dan prestasi belajar dari 50% menjadi 80%. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pengaruh dari model Pembelajaran Problem Based Learning pada mahasiswa Akper Bahrul Ulum Jombang berdampak positif. Berdasarkan penelitiaan tersebut, penggunaan Model Based Learning fokus pada peningkatan motivasi dan prestasi pada mahasiswa, sedangkan peneliti fokus dan menekankan pada peningkatan nasionalisme dan prestasi belajar di kelas VIIIC SMP 11 Surakarta. Selain itu penelitian yang dibuat bertujuan memecahkan masalah yang dihadapi peneliti di kelas VIIIC SMP Negeri 11 Surakarta. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Erna Tutik Yustiana tahun 2011 dengan judul “Pembelajaran Saint Melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Motode Eksperimen Dan Demonstrasi Diskusi Ditinjau Dari Interaksi Sosial Dan Gaya Belajar Siswa”. Penelitian Erna Tutik bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode eksperimen dan demonstrasi diskusi ditinjau dari interaksi sosial dan gaya belajar siswa dengan model PBL dengan pelajaran Sains. 3. Penelitian yang dilakukan Choirul Anam dengan judul “Penggunaan Model Problem Based Learning Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Prestasi Belajar IPS Sejarah Kelas VIIIC SMP Negeri 3 Cepu Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012. Penelitian Choirul Anam bertujuan meningkatkan motivasi belajar dan prestasi belajar dengan menggunakan Problem Based Learning pada mata pelajaran IPS Sejarah kelas VIII C SMP Negeri 3 Cepu tahun 2011/2012. Hal
36
yang membedakan dengan penelitian ini lebih fokus pada nasionalisme dan prestasi belajar. Tiga penelitian yang relevan tersebut dapat menjadi rujukan pada penelitian ini. 4. Penelitian Rukmin Tjoede “Penggunaan Media Gambar Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Materi Pokok Sumber Daya Alam Pada Siswa Kelas IV SD Negeri 4 Tuladengi”. Jurnal Kratif Tadulako Online, Rukmin Tjoede, Imron, Nurvita, 2013. Vol. 1 No: 1 ISSN 2354-614X. Penelitan dalam jurnal ini digunakan sebagai pembanding karena sama-sama untuk meningkatkan hasil belajar/prestasi belajar IPS. Tujuan umum penelitan adalah (a) Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar IPS pokok bahasan sumber daya alam pada siswa kelas IV SDN 4 Tuladengi, (b) Untuk meningkatan hasil belajar IPS pokok bahasan sumber daya alam pada siswa kelas IV SDN 4 Tuladengi. Jenis penelitan ini adalah penelitian tindakan kelas yang berdaur ulang yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Hsil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan baik pada aktifitas guru maupun siswa dalammateri sumber daya alam dengan menggunakan media gambar. Hasil tes formatif siklus 1 nilai rata-rata siswa adalah 6,90. Dari nilai yang diperoleh siswa tersebut terdapat 11 orang (52,38%) yang telah berhasil mencapai target keberhasilan, 10 orang (47,61%) siswa tidak mencapai target keberhasilan yang telah ditentukan. Hasil tes formatif siklus II nilai rata-rata siswa adalah 8,19. Dari nilai yang diperoleh siswa tersebut terdapat 20 orang dengan
37
ketuntasan klasikal (95,23%) yang telah berhasil mencapai target keberhasilan, dan hanya 1 orang siswa (4,76%) yang belum mencapai target keberhasilan yang telah ditentukan. 5. Penelitian Esti Zaduqisti, “Problem-Based Learning (Konsep Ideal Model Pembelajaran...) Jurnal 184 FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010 Penelitan dalam jurnal ini digunakan sebagai pembanding karena sama-sama menggunakan Problem Based Learning. Dari tulisan ini disimpulkan bahwa Pengnaan Problem-Based Learning dapat meningkatan aspek-aspek psikologis siswa, dalam tulisan ini difokuskan pada peningkatan prestasi belajar dan peningkatan motivasi berprestasi. 6. Herniwati, “Meningkatkan Nilai Nasionalisme melalui Pembelajaran pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan”. Jurnal KEPENDIDIKAN TRIADIK, April 2011, Volume 14, No.1
Penelitan dalam jurnal ini digunakan sebagai pembanding karena sama-sama meningkatkan
nasionalisme. Dari tulisan ini disimpulkan bahwa ada
peningkatan nilai nasionalisme siswa, dan peningkatan prestasi belajar siswa. 7. Novia Ayu Puspitasari, “ Penggunaan Film Dokumenter Sebagai Media Dalam meningkatkan Prestasi Belajar siswa pada Mata Pelajaran PPKn Di Kelas XMM SMK Muhammadiyah 5 Kepanjen”. http://jurnal-online.
um.ac.id/data/artikel/artikel
65E148A9COF BAA 425DB48.
1892FOBE9
ABC
38
Penelitan dalam jurnal ini digunakan sebagai pembanding karena sama-sama menakan film dokumenter. Dari tulisan ini disimpulkan bahwa penggunaan film dokumenter dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran PPKn di kelas X MM SMK Muhammadiyah 5 Kepanjen ada peningkatan nilai
nasionalisme siswa, dan peningkatan prestasi belajar siswa. 8. Fachrurazi. (Agustus 2015). “Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa SD” Jurnal Edisi Khusus No. 1 Penelitian ini mempunyai kesamaan dengan penelitian penulis yaitu sama-sama pembelajaran berbasis masalah. Penelitian ini mengahsilkan kesimpulan sebagai berikut : a). Siswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran berbasis masalah memiliki kemampuan berfikir kritis lebih baik dari siswa yang pembelajaran matematikanya dengan model konvensional, b). Siswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran berbasis masalah memiliki kemampuan komunikasi matematis lebih baik dari siswa yang pembelajaran matematikanya dengan model konvensional, c). Terdapat perbedaan peningkatan berfikir kritis antara siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang pembelajaran matematikanya
dengan
model
konvensional,
d).
Terdapat
perbedaan
peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang pembelajaran matematikanya dengan model konvensional.
39
9. Fatma Reni Pulungan. (Agustus 2015) “Pengaruh Pembelajaran Problem Based
Learning
Berbasis
Pendidikan
Karakter
dan
Kemampuan
Menyelesaikan Masalah Fisika SMA Negeri 11 Medan” Tesis. Universitas Negeri Medan. Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika Volume 4 (2) Desember 2012. Penelitian ini mempunyai kesamaan dengan penelitian penulis yaitu sama-sama menggunakan Model Problem Based Learning. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan : a). Terdapat pengaruh yang signifikan model PBL berbasis pendidikan karakter, b). Terdapat pengaruh positif yang signifikan model PBL dan kemampuan menyelesaikan masalah. C. Kerangka Berfikir Pada kondisi awal peneliti belum menggunakan
model pembelajaran
Problem Based Learning (PBL), sikap nasionalisme dan prestasi belajar siswa kelas 8b semester 1 SMPN 11 Surakarta rendah. Hal ini dapat dilihat pada saat pembelajaran ada siswa yang masih bicara sendiri, hanya sedikit siswa yang bertanya. Dan prestasi belajar siswa dapat dilihat dari hasil ulangan yang mendapat nilai kurang dari KKM (70) masih lebih dari 50%. Pada siklus pertama peneliti menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
pada pembelajaran di kelas 8b, dengan dibentuk
kelompok-kelompok yang anggotanya maksimal 6 siswa dan diberikan satu masalah untuk mendiskusikannya dan mempresentasikannya. Hasilnya siswa lebih aktif dalam pembelajaran, kerja kelompok, presentasi, bertanya, dan menjawab. Harapan kami sikap nasionalisme dan prestasi
belajar kelas
8b
40
semester 2 SMPN 11 Surakarta meningkat, jumlah anak yang bertanya meningkat dan anak-anak lebih konsetrasi. Sehingga diduga melalui model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan sikap nasionalisme dan prestasi belajar IPS siswa kelas VIII B SMPN 11 Surakarta.
KONDISI AWAL
Guru:
Belum
Siswa: Nasionalisme
menggunakan Model
dan prestasi belajar
Problem
IPS rendah.
Based
Learning ( PBL). Siklus 1: menggunakan Menggunakan TINDAKAN
Model
Model
Problem ased Learning
Problem Based
Learning ( PBL).
(PBL)dalam Pembelajaran. Siklus 2: menggunakan Model Diduga
melalui
Model
Problem Based
Learning ( PBL). dst
Problem Based Learning
KONDISI AKHIR
( PBL). dapat meningkatkan Nasionalisme
dan prestasi
belajar IPS
Gambar 2.1 Bagan alur penelitian. C. Hipotesis Tindakan Dari kajian teori, kerangka berfikir serta menjawab rumusan masalah diatas hipotesis tindakan dapat dikemukakan sebagai berikut :
41
1. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran guru dapat melaksanakan Model Problem Based Learning (PBL) dengan media film dokumenter pergerakan kebangsaan pada siswa kelas VIII B SMPN 11 Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016. 2. Penggunaan Model Problem Based Learning (PBL) dapat
meningkatkan
sikap nasionalisme pada siswa kelas VIII B SMPN 11 Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016 . 3. Penggunaan prestasi
Model Problem Based Learning ( PBL) dapat belajar
Pelajaran 2015/2016 .
IPS
meningkatkan
siswa kelas VIII B SMPN 11 Surakarta Tahun