BAB II KAJIAN TEORI
A. Tinjauan tentang Anak Tunagrahita Ringan 1. Pengertian Anak Tunagrahita Ringan Terdapat berbagai istilah dan definisi tunagrahita yang berkembang sesuai dengan kebutuhan layanan terhadapnya. Istilah yang berkaitan dengan pemberian label terhadap tunagrahita, antara lain: mentally retarded, mental retardation, student with learning problem, intellectual disability, mental subnormality dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut sering dipergunakan sebagai label terhadap anak yang mempunyai kesulitan dalam memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan konsep-konsep dan keterampilan akademik (membaca, menulis, dan menghitung angka-angka). Istilah hambatan
perkembangan secara
perlahan kemudian mulai menggeser dan berupaya menggantikan istilah yang selama ini digunakan untuk menunjukkan individu yang terbelakang mental. Edgare Dale (Mumpuniarti, 2000: 27) mengemukakan bahwa aeseorang dianggap tunagrahita jika ditandai: (a) tidak berkemampuan secara sosial dan tidak mampu mengelola dirinya sendiri sampai tingkat usia dewasa, (b) mental di bawah normal, (c) terlambat kecerdasannya sejak dari lahir, (d) terlambat tingkat kemasakannya, (e) cacat mental disebabkan pembawaan dari keturunan atau penyakit, dan (f) tidak dapat disembuhkan. Menurut American Association Mental Retardation
10
11
(Mumpuniarti, 2000: 32), klasifikasi anak tunagrahita antara lain: tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat. Tunagrahita ringan, tingkat kecerdasan (IQ) mereka berkisar 50-70, dalam penyesuaian sosial yang lebih luas dan mampu melakukan pekerjaan setingkat semi terampil. Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki
IQ
antara
52-68
menurut
Binet,
sedangkan
menurut
SkalaWeshler (WISC) memiliki IQ 55-69. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak tunagrahita ringan pada saatnya akan dapat mmperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri (Sutjihati Somantri, 2006: 106). Menurut Bratanata (Sutjihati Somantri, 2006: 103) seseorang dikategorikan berkelainan mental sub normal atau tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya
(di bawah
normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya. Berdasarkan beberapa batasan di atas dapat ditegaskan bahwa, yang dimaksud anak tunagrahita ringan adalah anak yang mempunyai tingkat kecerdasan di bawah normal dengan IQ 55-69, tidak mampu mengikuti program sekolah biasa tetapi masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung secara sederhana serta mampu menguasai keterampilan kerja sederhana yang akhirnya dapat menjadi warga masyarakatyang mandiri.
12
2. Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan Tin Suharmini (2009: 4) mengatakan bahwa karakteristik yang menonjol pada anak tunagrahita pada fungsi kognitifnya, yakni pada kemampuan akademik. Anak tunagrahita masih dapat mengikuti pelajaran akademik di sekolah khusus, anak tunagrahita banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbendaharaan katanya. Menurut Mumpuniarti, (2000: 41–42) karakteristik anak tunagrahita dapat ditinjau secara fisik, psikis, dan sosial yang diuraikan sebagai berikut: a. Karakteristik fisik nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik. b. Karakteristik psikis sukar berpikir abstrak dan logis, kurang memiliki kemampuan analisis, asosiasi lemah, fantasi lemah, kurang mampu mengendalikan perasaan, mudah dipengaruhi, kepribadian kurang harmonis karena tidak mampu menilai baik buruk. c. Karakteristik sosial mereka mampu bergaul, menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa. Keterampilan kognitif merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia, termasuk pada anak tunagrahita. Mengingat keterampilan ini sangat dibutuhkan dalam interaksi dalam lingkungannya, terutama dalam memecahkan berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Hampir
13
tidak ada persoalan di dunia ini yang pemecahannya tidak memerlukan keterampilan kognitif. Perkembangan kognitif pada anak tunagrahita lebih lambat dibandingkan dengan anak normal. Biasanya untuk mengukur tingkat kognitif anak tunagrahita menggunakan standard Mental Age. Menurut Tin Suharmini (2009: 45) perkembangan kognitif anak tunagrahita dapat penulis kemukakan sebagai berikut: a. Mempunyai Mental Age yang lebih rendah dibanding Cronological Age. b. Tahap
sensomotoris
sampai
tahap
operasional
mengalami
keterlambatan 2-3 tahun atau lebih. c. Perkambangan maksimal kelas 4/5/6 SD dengan MA 12 tahun. d. Tidak mampu mendeteksi kesalahan pada dirinya, sehingga acuh tak acuh. e. Mengalami kesulitan dalam konsentrasi. f. Kemampuan berpikir rendah, lambat perhatian dan ingatannya rendah. James B. Pages (Mumpuniarti, 2003: 24) menguraikan karakteristik anak tunagrahita yaitu: a. Ciri Kecerdasan Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang abstrak, maka lebih banyak belajardengan cara membeo (rote learning) bukan dengan pengertian.
14
b. Ciri Fungsi Mental Mereka
mengalami
kesukaran
dalam
memusatkan
perhatian,
jangkauanperhatiannya sangat sempit dan cepat beralih sehingga kurang tangguh dalam menghadapi tugas.pelupa dan mengalami kesukaran mengungkapkankembali ingatan, kurang mampu membuat asosiasi, serta sukar membuat kreasi baru. Menurut Supratiknya (1995: 77) karakteristik anak tunagrahita ringan antara lain: Penyesuaian sosial mereka hampir setara dengan remaja normal, namun kalah dalam hal imajinasi,kreativitas, dan kemampuan membuat penilaian-penilaian. Mereka dapat dididik, artinya bila kasus mereka diketahui sejak dini dan selanjutnya mendapatkan pendampingan dari orang tua serta mendapatkan program pendidikan dari orang tua serta mendapatkan program pendidikan luar biasa, sebagian besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan, mampu menguasai ketrampilan akademik dan keterampilan sederhana, dan dapat menjadi warga masyarakat yang mandiri. Sedangkan menurut Sutjihati Somantri (2006: 106-107) karakteristik anak tunagrahita ringan: Masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana, dapat bekerja di pabrik–pabrik dengan sedikit pengawasan, tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen, ia akan membelanjakan uangnya dengan lugu (malahan tolol), tidak dapat merencanakan masa depan, dan bahkan sering berbuat kesalahan, tidak mengalami gangguan fisik, dapat bersekolah di sekolah anak berkesulitan belajar dan akan dilayani pada kelas khusus dengan guru dari pendidikan luar biasa. Berdasarkan beberapa batasan di atas dapat ditegaskan bahwa anak tunagrahita ringan memiliki karakteristik, antara lain: mental di bawah normal, mengalami keterlambatan dalam sensomotoris, penyesuaian sosial mereka hampir setara dengan remaja normal, namun kalah dalam hal
15
imajinasi, kreativitas, dan kemampuan dalam membuat penilaianpenilaian, tidak mampu menyimpan instruksi yang sulit, sukar berpikir abstrak dan logis, mengalami kesulitan dalam konsentrasi, perkembangan maksimal setara dengan anak kelas 4/5/6 SD dengan MA 12 tahun.
B. Tinjauan tentang Pembelajaran Matematika 1. Pengertian Matematika Matematika
menurut
kamus
umum
bahasa
Indonesia
(Poerwodarminto, 1996: 354) diartikan sebagai mengerjakan hitungan seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Matematika sebagai salah satu komponen dari serangkaian mata pelajaran di sekolah, mata pelajaran ini sangat penting karena peran matematika memecahkan permasalahan dalam segala sektor kehidupan, maka pelajaran matematika juga sangat penting diberikan kepada anak tunagrahita ringan sebagai bekal pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Matematika dibuat secara praktis, sehingga anak dapat membangun hubungan antara operasi sederhana dengan yang lebih komplek. Fokus pada fungsi matematika dalam kehidupan sehari-hari seperti menghitung waktu dan jarak tempuh dari rumah ke sekolah, menghitung buku yang di beli di toko dan sebagainya. Sebagian besar tugas praktik dan memfokuskan pada elemen yang dikenali anak, maka hal seperti itu dapat mengembangkan keterampilan matematika melalui penggunaan benda kongkret tidak hanya konsep abstrak.
16
Dalam pembelajaran matematika, sekalipun dalam batas-batas tertentuanak mampu mengerjakan persoalanmatematika sederhana dengan baik, namun akibat keterbatasan kemampuan intelektualnya anak tunagrahita cukup mengalami kesulitan yang cukup kompleks. Hal ini ditunjukkan dengan dijumpainya berbagai kesulitan dan kekurang pahaman tentang: (a) angka, (b) makna bilangan, (c) nilai tempat, (d) perhitungan, dan (e) proses perhitungan. Dalam hal proses perhitungan sederhana, salah satu masalah yang sering dihadapi anak adalah dalam penjumlahan bilangan.
2. Pembelajaran Matematika Anak Tunagrahita Ringan Pembelajaran merupakan proses belajar yang dilakukan individu untuk mencapai suatu. Menurut Nyoman S. Degeng (1993: 1) pembelajaran atau pengajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Dalam pengertian ini secara implisit dalam pengajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pengajaran yang di inginkan. Pemilihan, penetapan dan pengembangan metodeini di dasarkan pada kondisi pengajaran yang ada. Menurut Polloway dan Patton (Mumpuniarti, 2007: 35) pembelajaran dapat didefinisikan berbagai cara yang meliputi: “The development of awareness and insight”, artinya pengembangan tentang kesadaran dan pemahaman serta “observable changes in behavior resulting from interaction with the environment”, yang artinya pengubahan secara nyata pada tingkah laku yang dihasilkan dari interaksi dengan lingkungan. Pembelajaran menandaskan suatu
17
usaha untuk mengupayakan individu melakukan proses perubahan, pengembangan dan peningkatan. Dimyati
dan
Mudjiono
(Mumpuniarti,
2007:
35)
program
pembelajaran berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku dan evaluasi. Pembelajaran sebagai berorientasi kepada hasil, dan hasil itu berupa perilaku hasil belajar yang meliputi kapabilitas keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Berdasarkan pengertian
di
atas
penulis
berpendapat
bahwa
pembelajaran matematika anak tunagrahita ringan dimaksudkan terjadi perubahan dalam pengetahuan, ketrampilan, sikap, tingkah laku setelah mengikuti proses pembelajaran. Perubahan yang diharapkandalam penelitian ini adalah anak mampu menyelesaikan penjumlahan dengan konsep yang betul.
3. Tujuan Pembelajaran Matematika Mengacu kurikulum yang digunakan sekolah pada kelas III SDLB Tunagrahita Ringan menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2006 : 101), tujuan diberikannya mata pelajaran matematika dapat penulis kemukakan sebagai berikut: a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan dalam pemecahan masalah mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat.
18
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan dan masalah. e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
4. Materi Pelajaran Matematika Anak Tunagrahita Ringan Ruang lingkup mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan Sekolah Dasar Luar Biasa Tunagrahita Ringan (SDLB-C) seperti yang tercantum dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a. Bilangan b. Geometri dan pengukuran c. Pengolahan data Materi pelajaran matematika anak tunagrahita ringan SDLB kelas III hanya dicantumkan yang sesuai dengan judul penelitian tersebut dengan mengambil materi dari salah satu standar kompetensi dan beberapa kompetensi dasar. Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar
19
yang tercantum dalam Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) (2006: 79) sebagai berikut: Tabel 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Standar Kompetensi Melakukan perhitungan bilangan sampai 20
Indikator
Kompetensi Dasar Melakukan penjumlahan ke samping dua angka
-
-
-
Membaca lambang bilangan 0-10 Membaca lambang bilangan 10-20 Membaca lambang bilangan 0-20 Membaca lambang bilangan penjumlahan dengan betul Mampu melakukan langkah-langkah penjumlahan Mampu menjumlahkan dua bilangan Mampu membaca hasil jumlah bilangan Mampu menaruh hasil jumlah bilangan
5. Dasar-dasar Pembelajaran Matematika Anak Tunagrahita Ringan Dasar pembelajaran matematika bagi anak yang mengalami hambatan mental ringan maupun hambatan mental sedang, menurut Wehman & Laughlin (Mumpuniarti, 2006: 121) dapat diuraikan sebagai berikut: a. Menghitung merupakan keterampilan hubungan kuantitas dan keanekaragaman pengoperasiannya. b. Pembelajaran bilangan (number). Anak tunagrahita harus belajar untuk bidang yang ada hubungannya dengan angka kardinal (satu, dua, atau
20
c.
d.
e.
f.
g. h.
tiga bola), angka ordinal (dalam urutan kesatu, kedua, ketiga), dan angka rasional (setengahnya, sepertiganya, seperempatnya). Konsep pembelajaran tersebut memerlukan tentang konsep kuantias dan kontinun. Pengangkaan (numeration). Anak tunagrahita agar memiliki konsep angka perlu belajar tentang hubungan pasangan antara belajar verbal terkait dengan simbol yang dikatakan secara verbal. Hubungan (relation). Hubungan melibatkan korespondensi dua atau lebih tentang susunan. Keterampilan khusus ini termasuk konsep sama dan ketidaksamaan, penempatan (di tengah, di belakang, di muka) dan perbandingan (rasio). Semua keterampilan ini membutuhkan pembelajaran konsep dan penamaannya dapat menggunakan bantuan benda kongkrit dan gambar permainan. Pengukuran (measurement). Pengukuran termasuk penggunaan bilangan untuk mendiskripsikan obyek dan hubungan tentang waktu, uang, temperatur, cairan, berat dan unit-unit secara garis lurus (linier), Pengoperasian bilangan cacah (operation with whole numbers). Termasuk dalam keterampilan ini menghitung, menambah, mengurang, mengalikan dan membagi. Pengoperasian bilangan rasional (operation with rasional numbers). Pemecahan masalah (problem solving). Keterampilan ini melibatkan penggunaan hitung untuk menjelaskan hal-hal yang belum diketahui dalam situasi praktis sehari-hari. Delapan bidang hitung untuk siswa tunagrahita tersebut diberikan dengan mempertimbangkan taraf perkembangan kemampuan yang telah dicapai, serta usia mental tunagrahita yang bersangkutan.
6. Prinsip-prinsip Pembelajaran Matematika Anak Tunagrahita ringan Strategi pembelajaran matematika bagi tunagrahita menurut Wehman & Laughlin (Mumpuniarti, 2007: 250) berpedoman pada prinsipprinsip, antara lain: a. Intraindividual and interindividual variations, maksudnya setiap siswa bervariasi dalam kemajuan antar siswa lainnya, demikian juga setiap siswa itu sendiri memiliki tingkat kemajuan yang berbeda-beda pula.
21
b. Need
for
Multiple
Presentations,
bahwa
dalam
penyajian
membutuhkan berbagai cara. Cara itu baik dalam setting maupun peraganya. c. Variety of procedure, bahwa dalam penyajian perlu pengulangan, saat diulang perlu menggunakan variasi procedure tetapi tidak sematamata diulang. Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diuraikan di atas, untuk operasi hitung dalam penjumlahan untuk anak tunagrahita ringan menurut pendapat penulis lebih ke prinsip need for multiple presentation yaitu penyampaian pembelajaran dalam operasi penjumlahan bentuk pendek tanpa teknik penyimpanan dibantu dengan menggunakan media “papan bilah penjumlahan”.
C. Tinjauan tentang Bentuk-bentuk Penjumlahan Bilangan Asli Menurut Wahyono (1998: 3) penjumlahan merupakan suatu proses penggabungan atau penyatuan dua buah bilangan atau lebih menjadi sebuah bilangan yang disebut jumlah. Dalam penelitian ini terkandung dua buah kata kunci, yakni penjumlahan dan jumlah. Kata “penjumlahan” menunjuk makna suatu proses, sedangkan kata “jumlah” menunjuk kata hasil.Penulisan bentuk penjumlahan itu ada dua macam, yakni (1) bentuk mendatar, cara membacanya dari kiri ke kanan, misalnya: 2 + 5 = 7, (2) bentuk tegak/ vertical (bersusun), cara membacanya dari atas ke bawah, misalnya: 2 5 7
22
Pembelajaran konsep penjumlahan sering menggunakan berbagai alat bantu, antara lain, balok, biji-bijian, lidi, kerikil, jari tangan. Dalam penelitian ini, penulis mencoba menggunakan media “papan bilah penjumlahan” dalam pembelajaran penjumlahan bilangan bagi anak tunagrahita kelas III SDLB, mengingat anak sudah hafal lambang bilangan 0–20, sehingga diharapkan anak akan dengan mudah melakukan operasi penjumlahan. Setiap alat bantu tersebut bermanfaat untuk mendorong siswa agar aktif, guna menemukan hasil suatu penjumlahan secara mandiri (bekerja dan berusaha sendiri) Kemampuan penjumlahan bilangan yang dimaksud disini adalah kemampuan
anak
tunagrahita
ringan
untuk
menghitung
atau
menggabungkan/menyatukan dua buah bilangan atau lebih menjadi sebuah bilangan, sehingga diharapkan anak benar-benar dapat menghitung hasil penggabungan dua bilangan tersebut dan mendapatkan hasil yang benar. Dalam pelaksanaan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni tujuan pembelajaran, materi, situasi dan kondisi, proses belajar, fasilitas pembelajaran, guru dan siswa. Dengan adanya teknik–teknik penjumlahan yang beragam, maka guru anak tunagrahita ringan dituntut
mampu
mangimplementasikan dan
menemukan teknik tertentu yang mudah dipahami oleh anak tunagrahita ringan, sehingga proses pembelajaran penjumlahan bilangan tersebut dapat berlangsung lebih efisien dan efektif, dan salah satu media yang dipercayai dan dapat diterapkan serta mudah dikuasai, sehingga mampu memberikan
23
kemudahan anak tunagrahita ringan dalam belajar penjumlahan adalah melalui media papan bilah penjumlahan.
D. Tinjauan tentang Media Pembelajaran Media pembelajaran merupakan salah satu komponen dari sistem pengajaran yang menjadi faktor dominan untuk menunjang berhasilnya proses belajar mengajar. Media pembelajaran digunakan oleh guru untuk membantu mempermudah
pemahaman
siswa
terhadap
materi
pelajaran
yang
disampaikan, selain itu agar kegiatan belajar mengajar yang berlangsung antara guru dan siswa tidak membosankan dan menimbulkan minat serta memberi rangsangan untuk belajar. 1. Pengertian Media Pembelajaran Media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari buku, tape recorder,kaset, video camera, video recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar, grafik, televisi dan komputer (Azhar Arsyad, 2002: 4). Umar Suwito (Suharsimi Arikunto, 1990: 45) memberikan batasan media pendidikan sebagai berikut: media pendidikan adalah sarana pendidikan yang digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Pengertian media menurut R. Angkowo dan A. Kosasih (2007: 10) adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan, rangsangan pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa, sehingga dapat terdorong terlibat dalam proses pembelajaran. Dari berbagai
24
pengertian media yang ditulis oleh beberapa ahli di atas, penulis mempunyai pendapat bahwa yang dimaksud media adalah merupakan alat bantu yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi pelajaran (pesan) kepada siswa di dalam proses pembelajaran.
2. Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran Media pembelajaran dapat memenuhi tiga fungsiutama apabila media itu digunakan untuk perorangan, kelompok atau kelompok pendengar yang besar jumlahnya yaitu: (a) memotivasi minat atau tindakan, (b) menyajikan informasi, dan (c) memberi instruksi (Azhar Arsyad, 2002: 19). Lebih lanjut Azhar Arsyad (2002: 26-27) berpendapat bahwa manfaat praktis dari penggunaan media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar adalah: a. Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar. b. Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak, sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara siswa dan lingkungannya dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya. c. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang dan waktu. d. Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat dan lingkungan misalnya melalui karya wisata, kunjungan ke museummuseum atau kebun binatang. Manfaat media pembelajaran yang dikemukakan Nana Sujana dan Ahmad Rifai (2005: 2) antara lain:
25
a. Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa, sehingga membangkitkan motivasi belajar. b. Bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya, sehingga lebih dapat dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran. c. Metode belajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap jam pelajaran. d. Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti melakukan, mendemonstrasikan, memerankan dan lain-lain.
3. Kriteria dalam Pemilihan Media Pembelajaran Media pembelajaran merupakan salah satu sarana untuk membantu peningkatan efektivitas proses belajar mengajar. Setiap media mempunyai karakteristik tersendiri. Penggunaan media pembelajaran harus diseleksi secara cermat dan tepat. Pendapat Nana Sujana dan Ahmad Rivai (2002: 4-5) dalam memilih media pembelajaran dapat penulis kemukakan sebagai berikut: a. Ketepatan dengan tujuan pengajaran artinya media pengajaran dipilih atas dasar tujuan instruksional yang telah ditetapkan. b. Dukungan terhadap isi bahan pelajaran artinya bahan pelajaran yang sifatnya fakta, prinsip, konsep dan generalisasi sangat memerlukan bantuan media agar mudah dipahami anak. c. Kemudahan memperoleh media artinya media yang diperlukan mudah diperoleh, setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada waktu mengajar. d. Keterampilan guru dalam menggunakannya artinya apapun jenis media
yang
diperlukan
syarat
utama
guru
harus
dapat
26
menggunakannya dalam proses pengajaran. Nilai dan manfaat bukan pada medianya tetapi dampak penggunaannya oleh guru pada saat terjadinya interaksi belajar siswa dengan lingkungannya. e. Tersedia waktu untuk menggunakannya artinya media tersebut dapat bermanfaatbagi siswa selama pengajaran berlangsung. f. Sesuai dengan taraf berpikir siswa artinya makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahamioleh para siswa.
4. Jenis-jenis Media Pembelajaran Hujair AH. Sanaki (2009: 48-50) berpendapat ada beberapa jenis media yang sering digunakan dalam pembelajaran, antara lain: a. Media Cetak Media cetak adalah jenis media yang paling banyak digunakan dalam prose belajar. Jenis media ini mempunyai bentuk yang bervarisi, mulai dari buku, brosur, leaflet, tudi guide, jurnal dan majalah. b. Media Pameran Jenis media ini memiliki bentuk dua dan tiga dimensi. Media yang diklasifikasikan ke dalam jenis media pameran yaitu: poster, grafis,malia dan model. c. Media yang Diproyeksikan Jenis media yang diproyeksikan adalah: overhead transparan, slide suara, dan film strip.
27
d. Rekaman Audio Media rekaman audio banyak digunakan dalam pembelajaran bahasa asing, Al-qur’an dan latihan-latihan yang bersifat verbal. e. Video dan VCD Gambar bergerak yang disertai dengan unsur suara dapat ditayangkan melalui media video dan video compact disk (VCD). f. Komputer Sebagai media pembelajaran, komputer memiliki kemampuan yang sangat luar biasa dan komputer mampu membuat proses belajar menjadi interaktif. Jenis media yang biasa dipakai dalam kegiatan belajar mengajar menurut Hujair AH Sanaki (2009: 91-103) adalah media audio, visual dan audio-visual antara lain: audio kaset, radio, televisi, video/VCD, DVD, sound slide projector, film projector, laboratorium bahasa, komputer dan LCD. Untuk media papan bilah penjumlahan, penulis mengklasifikasikan dengan model, karena bentuk model dua dimensi.
E. Tinjauan tentang Media Papan Bilah Penjumlahan 1. Fungsi dan Perlengkapan Media Papan Bilah Penjumlahan Elizaberh G. Hainstock (2002: 63) menjelaskan bahwa “papan bilah penjumlahan” dapat membantu untuk menentukan cara yang sistematis untuk mempelajari tabel penjumlahan. Lebih lanjut menurut Elizabeth G. Hainstock (2002: 24-25) media papan bilah penjumlahan terdiri dari
28
selembar papan poster dengan ukuran kira-kira 16” x 10” atau dapat menggunakan kertas karton.Papan terbagi-bagi dalam bidang-bidang dengan ukuran 3/4 “. Bilah atau kepingan angka biasa juga dipotong potong dari papan poster ataupun dari kardus tipis. Media papan bilah penjumlahan dapat dirinci sebagai berikut: a. Media Papan Bilah Papan ini terbagi-bagi ke dalam sejumlah bidang persegi, 18 mendatar dan sepuluh menurun. Angka 1 sampai 10 ditulis di bagian atas papan dengan warna merah dan angka 11- 18 juga di tulis secara mendatar dengan warna biru. Hal tersebut divisualisasikan seperti gambar di bawah ini : 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Gambar 1. Media Papan Bilah
14
15
16
17
18
29
b. Bilah Angka Ada dua rangkaian bilah angka yaitu merah dan biru.Setiap rangkaian berisi sembilan bilah dimana masing-masing panjangnya berukuran satu bidang persegi sampai sembilan bidang persegi. Angka 1 sampai 9 ditulis disetiap bilah terakhir sesuai panjang rangkaian 9 8 7 6 5 4 3 2 1 Gambar 2. Bilah Angka
9 8 7 6 5 4 3 2 1
c. Tabel Penjumlahan Tabel 2. Model Penjumlahan + 7 1 3 5 5 3 4 4 6 2 2 6
8 8 8 8 8 8
2. Cara Pembuatan Papan Bilah Penjumlahan Menurut Elizabeth G. Hainstock (2002: 24-25) langkah-langkah pembuatan alat sebagai berikut: a. Sebuah papan atau dapat juga kertas katon dibagi-bagi ke dalam sejumlah bidang persegi, delapan belas mendatar dan sepuluh
30
menurun. Angka 1 sampai 10 ditulis di bagian atas papan dengan warna merah, angka 11 sampai 18 juga ditulis secara mendatar di atas, tetapi dengan warna biru. Sebuah garis merah tegak lurus membagi papan pada garis batas antara kotak kesepuluh dan kesebelas. b. Buat dua rangkaian bilah papan, yang satu merah dan yang lain biru. Buat satu rangkaian dengan sembilan bilah, di mana masing-masing panjangnya berukuran satu bidang persegi sampai sembilan persegi. Angka 1 sampai 9 ditulis di setiap bilah terakhir sesuai panjang rangkaian. Buat satu rangkaian yang lain dengan cara yang sama. Papan bilah ini paling baik dibuat dari selembar papan poster berukuran kira-kira 16” x 10”, terbagi dalam bidang-bidang dengan ukuran 3/4 . c. Bilah atau kepingan angka bisa juga di potong dari papan poster ataupun dari kardos d. Membuat papan tabel dengan dari kertas yang ditulisi angka yang akan dihitung dan hasil dari penjumlahan.
3. Langkah-langkah Menggunakan Media Papan Bilah Penjumlahan a. Mulailah dengan tabel penjumlahan mana saja, misalnya 8. b. Letakkan mistar 8 biru di papan, disampingnya letakkan mistar 1 merah. c. Hasilnya adalah 9, sebagaimana dibaca di depan, isilah jawaban pada tabel penjumlahan.
31
d. Sisihkan mistar 1 merah, ganti dengan mistar 2 merah dan tulislah jawaban pada tabel penjumlahan. e. Lanjutkan hal ini hingga seluruh tabel telah terisi. Anak kemudian mengulang mengisi tabel dengan cara yang sama. f. Biarkan anak melihat seberapa banyak cara yang mampu untuk dia tempuh dalam membentuk suatu bilangan. Sebagai contoh, 8: Pertama letakkan mistar 1 biru dan mistar 7 merah, di bawahnya letakkan mistar 2 biru dan 6 merah, kemudian mistarmistar 3 + 5 , 4 + 4 , 5 + 3, 6 + 2, 7 + 1. Anak akan menyaksikan bahwa setelah 4 + 4 kombinasi yang ada diulangi dalam urutan yang terbaik. Anak dapat memeriksa jawabannya dengan mengacu pada rangkuman tabel penjumlahan. 1
2
3
4
5
6
7
1 2
8 8 8 7 6
9 1
10
11
12
13
14
15
2
Gambar 3. Rangkuman Penjumlahan Tabel 3. Hasil Penjumlahan + 8 7 1 2 3 4 5 6 7
1 2 7 6 5 4 3 2 1
9 9 8 8 8 8 8 8 8
16
17
18
32
F. Faktor-faktor yang Mempangaruhi Hasil Pembelajaran Dalam pembelajaran matematika, sekalipun dalam batas-batas tertentu anak mampu mengerjakan persoalan matematika sederhana dengan baik, namun akibat keterbatasan kemampuan intelektualnya anak tunagrahita cukup mengalami kesulitan yang cukup kompleks. Hal ini ditunjukkan dengan dijumpainya berbagai kesulitan dan kekurang pahaman tentang: (1) simbol/lambang bilangan, (2) makna bilangan, (3) nilai tempat, (4) perhitungan, dan (5) proses perhitungan. Dalam hal proses perhitungan sederhana, salah satu masalah yang sering dihadapi anak adalah dalam penjumlahan bilangan. Hasil belajar secara umum dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: faktor internal dan faktor eksternal. Muh. Uzer usman dan Lilis Setiawati (1996: 100-101), mengemukakan yang tergolong faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah: 1. Faktor internal yaitu yang ada dalam diri anak itu sendiri, antara lain: a. Kelemahan mental yang berkaitan dengan faktor kecerdasan, intelegensi/kecakapan dan bakat khusus. b. Kelemahan fisik yang berkaitan dengan panca indera, syaraf dan cacat. c. Gangguan yang bersifat emosional. d. Sikap dan kebiasaan yang salah dalam belajar. 2. Faktor eksternal yaitu faktor yang terdapat di luar diri siswa, antara lain: a. Situasi belajar mengajar yang tidak merangsang siswa untuk aktif.
33
b. Beban studi yang terlalu berat terlalu banyak tugas yang harus diselesaikan c. Metode mengajar yang monoton atau membosankan. d. Situasi di rumah yang kurang memotivasi anak untuk melakukan belajar. e. Kurikulum tidak fleksibel atau kaku. 3. Beberapa sifat murid dalam belajar. Dari pendapat
tersebut
dapat
penulis
simpulkan
bahwa
yang
mempengaruhi hasil belajar anak tunagrahita adalah: a. kondisi anak tunagrahita yang mempunyai kecerdasan di bawah normal sehingga akan sulit menerima pelajaran, sehingga guru dalam menyampaikan pelajaran harus di ulang-ulang. b. Mengalami kelemahan fisik (motorik), sehingga kemungkinan dalam menggunakan media pembelajaran (papan bilah penjumlahan) akan mengalami kesulitan, sehingga guru dalam menyampaikan pelajaran harus dengan berbagai metode dan tidak hanya secara klasikal tetapi juga secara individual c. Mengalami
gangguan
emosi
(emosi
tidak
stabil),
sehingga
kemungkinan anak akan terlalu tergesa-gesa dalam manyelesaikan tugas yang di berikan (dalam memasang bilah angka kemungkinan akan tidak sesuai letaknya, dalam membaca hasil penjumlahan akan keliru, dan sebagainya). Dengan demikian guru dituntut untuk bersikap sabar dan diulang-ulang dalam menyampaikan pelajaran.
34
G. Kerangka Pikir Penggunaan Papan Bilah Penjumlahan dalam Pembelajaran Matematika pada Anak Tunagrahita Ringan. Anak tunagrahita mempunyai tingkat intelegensi di bawah rata-rata, sehingga anak mampu diberi pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Dengan pembelajaran matematika praktis, anak dapat membangun hubungan antara operasi sederhana dengan yang lebih komplek. Pada prinsipnya kemampuan operasi penjumlahan anak tunagrahita ringan sangat terbatas, karena anak mengalami kesulitan untuk berpikir abstrak. Sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak tunagrahita ringan yang mengalami hambatan dalam perkembangan mental, maka mereka mempunyai keterbatasan yang sangat kompleks, terutama dalam hal berpikir, sehingga di dalam pembelajaran matematika yang meliputi penjumlahan bilanganpun mengalami kesulitan. Pelaksanaan pembelajaran matematika anak tunagrahita ringan perlu mendapatkan perhatian. Dalam penyampaian pelajaran harus menarik, mudah diterima anak, serta yang menyenangkan dan melibatkan siswa dalam interaksi belajar mengajar. Media yang dipilih hendaknya disesuaikam dengan kondisi anak. Salah satu carayangdi pandang perlu dalam pelaksanaan pembelajaran
matematika
anak
tunagrahita
ringan
adalah
dengan
menggunakan media papan bilah penjumlahan dalam penanaman konsep penjumlahan. Sebab media papan bilah penjumlahan mempunyai kelebihan yaitu dapat lebih menekankan pada hal yang konkrit, sehingga anak lebih
35
mudah memahami dan menguasai isi materi pelajaran. Selain itu, anaktidak cepat bosan karena pelaksanaan pembelajaran di buat seperti suasana bermain menempel angka. Papan bilah penjumlahan di tempel langsung oleh anak, sehingga anak memahami sendiri dengan media yang nyata.Sedangkan hasil dari penjumlahan tersebut ditulis pada tabel penjumlahan. Dengan demikian anak akan melihat seberapa banyak cara yang mampu ditempuh dalam membentuk satu bilangan, dan ke depan di harapkan sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari serta bekal kemandirian anak.
H. Pertanyaan Penelitian Melalui penelitian ini peneliti ingin mengungkap hal terkait dengan pertanyaan: 1. Apakah guru menyiapkan media papan bilah penjumlahan sebelum pembelajaran dimulai? 2. Apakah jumlah media papan bilah penjumlahan sesuai dengan jumlah siswa? 3. Apakah guru menjelaskan cara menggunakan media papan.bilah penjumlahan? 4. Bagaimana langkah-langkah pelaksanaan penggunaan papan bilah penjumlahan pada anak tunagrahita ringan kelas III di SLB Tunas Sejahtera Seyegan Sleman? 5. Apa kesulitan yang dihadapi siswa dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan papan bilah penjumlahan?
36
6. Apakah siswa mengalami kesulitan dalam mengambil bilah angka? 7. Apakah sisawa mengalami kesulitan dalam memasang bilah angka? 8. Apakah siswa mengalami kesulitan dalam membaca hasil penjumlahan dengan digunakannya papan bilah penjumlahan? 9. Apakah
siswa
mengalami
kesulitan
dalam
menuliskan
hasil
penjumlahan ke dalam tabel? 10. Berapa waktu yang digunakan untuk mengerjakan satu soal? 11. Bagaimana hasil belajar siswa dengan digunakannya media papan bilah penjumlahan?