BAB II DASAR TEORI
2.1 Kecelakaan Secara Umum 2.1.1 Definisi dan Istilah-istilah Umum Secara umum kecelakaan merupakan segala suatu yang terjadi tidak sesuai dengan kondisi operasional yang diinginkan baik itu disebabkan karena adanya kesalahan, kegagalan dan sebab-sebab lain atau kombinasi adanya antara kesalahan, kegagalan dan sebab-sebab lain tersebut. Dalam hal ini tingkat bahaya, korban jiwa dan luka-luka, atau kerugian biasanya tidak dipersoalkan. Dalam dunia penerbangan serta dalam bidang investigasi istilah kecelakaan biasanya didefinisikan sebagai dua kondisi yang berbeda, yaitu kecelakaan (accident) dan kejadian (incident). Lahirnya kedua istilah ini didasarkan pada adanya perbedaan tingkat bahaya, korban jiwa, luka-luka, serta tingkat kerugian yang terjadi. International Civil Aviation Organization (ICAO) mendefinisikan kecelakaan (accident) sebagai suatu kejadian yang berhubungan dengan suatu operasi penerbangan dan terjadi pada waktu pesawat beroperasi dengan terdapat orang (penumpang dan atau kru) yang menaiki pesawat tersebut yang melibatkan kondisi: 1. Pesawat mengalami kerusakan cukup parah, hilangnya bagian pesawat atau hilangnya pesawat secara keseluruhan. 2. Terdapat korban jiwa (fatal injury) atau korban luka-luka yang cukup parah (serious injury) yang meliputi: x
Orang yang menaiki pesawat secara langsung,
x
Orang yang secara langsung maupun dengan perantara berhubungan dengan pesawat tersebut, serta
x
Orang yang terkena semburan jet.
Sedangkan suatu kejadian (incident) ICAO definisikan sebagai suatu peristiwa selain kecelakaan yang berkaitan dengan operasi penerbangan yang dikategorikan dapat mempengaruhi keselamatan operasi penerbangan. Pembajakan (hijacking), sabotase atau tindak kriminal didefinisikan tersendiri tanpa dimasukkan dalam kategori 5
kecelakaan dan insiden penerbangan. Hal ini dikarenakan pembajakan, sabotase dan tindak kriminal tidak berkaitan langsung dengan interaksi operasi antara kru penerbang (pilot dan co-pilot), pesawat, pihak bandara/ATC dan lingkungan luar (cuaca, angin, awan dll.)
meskipun kejadian tersebut terjadi pada saat operasi
penerbangan. Beberapa istilah lain yang berhubungan dengan tingkat kerusakan pesawat antara lain: 1. Hull Loss, yaitu kerusakan yang cukup parah pada pesawat serta secara ekonomis tidak memungkinkan diperbaiki atau terlampau mahal. Dalam hal ini hull loss meliputi hal-hal sebagai berikut: x
Hilangnya pesawat.
x
Reruntuhan pesawat tidak ditemukan serta dihentikannya upaya pencarian.
x
Pesawat mengalami rusak parah dan tidak dapat dijangkau.
2. Substantial Damage, yaitu kerusakan atau kegagalan struktur yang berakibat penurunan kekuatan struktur, prestasi terbang, atau karakteristik pesawat namun dapat beroperasi kembali secara normal dengan membutuhkan perbaikan atau penggantian komponen terkait yang rusak. Beberapa kerusakan terbatas yang tidak termasuk dalam substantial damage adalah: x
Kerusakan satu engine pesawat (dari dua atau lebih engine yang ada).
x
Bengkoknya fairing aerodinamik.
x
Penyoknya kulit pesawat.
x
Kerusakan landing gear.
x
Kerusakan roda landing gear.
x
Kerusakan ban pesawat.
x
Kerusakan pada flap.
2.1.2 Klasifikasi Penyebab Kecelakaan Salah satu hasil investigasi kecelakaan penerbangan terutama pada pesawat komersial yaitu penentuan penyebab terjadinya kecelakaan. Informasi penyebab kecelakaan ini biasanya dijadikan pedoman pihak otoritas untuk menentukan kebijakan yang akan diambil terkait kejadian tersebut. Biasanya kebijakan yang dihasilkan berupa solusi dan rekomendasi untuk dijadikan rujukan agar tidak terulangnya kasus serupa demi terjaminnya keselamatan di masa mendatang. 6
Beragamnya penyebab terjadinya sebuah kecelakaan mendorong ICAO dan Commercial Aviation Safety Team (CAST) membentuk taksonomi kategori kecelakaan yang diperkenalkan dengan maksud agar kalangan dunia penerbangan lebih familiar dalam mengenal permasalahan umum yang sering muncul. Anggota CAST sendiri berisikan perwakilan resmi pemerintah, dan perwakilan industriindustri penerbangan. Berikut ini merupakan isi taksonomi tersebut: ARC AMAN ADRM ATM CABIN CFIT EVAC F-NI F-POST FUEL GCOL RAMP ICE LOC-G LOC-I LALT MAC OTHR RE RI-A RI-VAP SEC SCF-NP SCF-PP TURB USOS UNK WSTRW
Abnormal Runway Contact Abrupt Maneuver Aerodrome Air Traffic Management/Communications, Navigation, Surveillance Cabin Safety Events Controlled Flight into or Toward Terrain Evacuation Fire/Smoke (Non-Impact) Fire/Smoke (Post-Impact) Fuel Related Ground Collision Ground Handling Icing Loss of Control –Ground Loss of Control –In flight Low Altitude Operations Midair/Near Midair Collision Other Runway Excursion Runway Incursion –Animal Runway Incursion –Vehicle, Aircraft or Person Security Related System/Component Failure or Malfunction (Non-Powerplant) System/Component Failure or Malfunction (Powerplant) Turbulence Encounter Undershoot/Overshoot Unknown or Undetermined Wind shear or Thunderstorm
Seluruh kasus di atas secara spesifik merinci penyebab kecelakaan yang mungkin terjadi pada penerbangan secara luas dari sudut pandang teknik. Berdasarkan hubungan interaksinya kasus di atas dapat disederhanakan dalam pengklasifikasiannya menjadi tiga kelompok saja, yaitu: 1. Kesalahan Manusia (Human Error) Secara ringkas human error dapat diartikan sebagai suatu aksi atau keputusan manusia yang mengakibatkan satu atau lebih hasil negatif yang tidak 7
dikehendaki. Human error biasanya timbul atas reaksi karena interaksi manusia sebagai operator dengan pesawat sebagai alat (tools) yang meliputi dua komponen utama yaitu software dan hardware disamping interaksi dengan lingkungan luar3). 2. Faktor alam dan Cuaca (Weather) Faktor alam merupakan sesuatu yang pengaturannya di luar kekuasaan manusia. Setidaknya data menunjukkan bahwa sejak tahun 1975 tercatat dua faktor utama yang menjadi salah satu penyebab kecelakaan yang termasuk dalam klasifikasi cuaca buruk, yaitu adanya badai halilintar (thunderstrorm) serta angin 4)
samping (windshear) . Beberapa sifat alam yang kurang bersahabat yang biasanya menjadi salah satu penyebab kecelakaan penerbangan diantaranya: a. air masses dan Front, b. bentukan awan, c. hujan dan badai halilintar, d. microburst dan low-level windshear, e. icing, f. turbulence, dan g. wake vortex turbulence. 3. Kegagalan Internal Pesawat (Aircraft Failure) Secara umum dilihat dari fungsinya, suatu pesawat dapat dipecah ke dalam tiga bagian sebagai berikut:
Gambar 2.01 Aircraft Technical Documentation Sumber: Edy Suwondo. Diktat Kuliah: Aircraft Maintenance Management. ITB.
Kegagalan internal pesawat secara ringkas dapat diartikan sebagai modus kegagalan yang terjadi karena adanya airframe/sistem/powerplant pesawat yang tidak dapat bekerja sesuai dengan fungsinya. Selain kegagalan sistem (mekanik, hidrolik, pneumatik dll.), kegagalan struktur (airframe) dan powerplant (mesin) dikategorikan 3) 4)
Afi, Yafis. 2007. Kelalaian Manusia dalam Kecelakaan Penerbangan. ITB Annual Summaries of Air Crashes. Newsweek:23. MIT 8
pula sebagai kegagalan internal pesawat. Dalam hal ini struktur gagal memenuhi fungsinya dalam menahan pembeban pada pesawat sedangkan powerplant gagal menyediakan gaya dorong sebagai kemampuan utama untuk terbang. Kegagalan internal biasanya bisa diakibatkan karena adanya cacat produksi pada komponen, aircraft defect, mechanical deficiencies, atau karena kesalahan proses perawatan.
2.2 System Failure 2.2.1 Pengenalan sistem dan komponen Sebelum membahas lebih jauh tentang kegagalan pada sistem pesawat ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu definisi komponen, fungsi, sistem, dan subsistem. Hubungan apa yang ada pada sistem serta keterkaitannya dengan sistemsistem lain. Secara umum sistem pada pesawat dapat diartikan sebagai suatu himpunan bagian yang saling berhubungan dan bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan bersama5). Dari pernyataan di atas dapat kita jabarkan unsur-unsur pembentuk suatu sistem sebagai berikut: 1. Komponen:
2. Atribut:
3. Hubungan (relasi):
Bagian sistem yang beroperasi dan meliputi input (masukkan), proses, dan output (keluaran). Setiap komponen sistem mungkin mendapat berbagai nilai untuk menjabarkan tingkat keadaan sistem sebagaimana diatur oleh tindakan kendali (control action) dan satu atau lebih kendala. Sifat atau manifestasi yang dapat dicerna dan dimiliki suatu komponen sistem. Atribut ini memberikan karakteristik sistem. Rantai antara komponen dan atribut.
Himpunan komponen di atas biasanya memiliki sifat dan tingkah laku seperti saling mempengaruhi dan kebergantungan baik antara komponen dengan komponen ataupun komponen dengan himpunan keseluruhan. Setiap subset (himpunan bagian) komponen yang memiliki kedua sifat di atas, tidak dapat dibagi ke dalam subset yang bebas (independen). 5)
Pasaribu M, Hisar. Diktat Kuliah : Teknik Keamanan Sistem Pesawat. ITB.
9
Secara umum sistem dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yaitu sebagai berikut: 1. Sistem statis, merupakan sistem yang keadaannya konstan terhadap waktu. 2. Sistem dinamis, merupakan sistem yang keadaannya bervariasi terhadap waktu. Sistem ini dibedakan menjadi tiga yaitu: x
Sistem kontinyu, yaitu variabel sistem berubah secara kontinyu terhadap waktu.
x
Sistem diskrit, yaitu variabel sistem berubah tidak kontinyu terhadap waktu.
x
Sistem kombinasi, yaitu sistem yang memiliki perubahan diskrit dalam sistem kontinyu. Dalam memahami konsep komponen, sistem, dan subsistem maka perlu kita
ketahui bahwa suatu sistem bukan sekedar penjumlahan dan pengelompokkan bagian-bagian komponen. Tetapi suatu komponen pun bisa berupa suatu sistem tersendiri dan suatu sistem bisa merupakan bagian dari sistem yang lebih tinggi sehingga menjadi subsistem dari sistem yang lebih tinggi tersebut. Setiap sistem mencakup bagian-bagian/komponen memiliki fungsi tertentu. Adapun suatu sistem secara utuh memiliki fungsi sistem tertentu seperti mengubah material, energi atau informasi. Pengubahan ini mencakup masukkan, proses dan keluaran. 2.2.2 Prinsip dasar kegagalan sistem Kegagalan pada sistem didefinisikan sebagai kondisi ketidaksesuaian suatu sistem terhadap kriteria prestasi/fungsi yang telah ditetapkan. Adanya sifat dan perilaku sistem yang saling mempengaruhi dan kebergantungan antar himpunan pembentuk
sistem
menyebabkan
kegagalan
yang
terjadi
pada
suatu
komponen/subsistem mempengaruhi keseluruhan kinerja sistem yang dapat berdampak pada kegagalan. Oleh karena itu dalam analisis suatu sistem, fungsi setiap komponen/subsistem pembentuk sistem perlu dipelajari terlebih dahulu. pemahaman terhadap fungsi setiap unsur pembentuk sistem inilah yang mempermudah proses penentuan modus kegagalan potensial. Dengan ditentukannya modus kegagalan potensial inilah dapat dianalisis bagaimana suatu obyek mengalami kegagalan.
10
Suatu modus kegagalan tidak dapat telepas dari dua faktor utama yaitu penyebab (cause) dan akibat (effect). Mempelajari sebab-akibat pada kegagalan suatu sistem tidak semudah mengeja kedua kata tersebut. Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa sebagian besar sistem di dunia ini tidak mengikuti model sebab-akibat yang sederhana. Suatu penyebab tunggal dapat memiliki akibat yang jamak. Suatu kombinasi penyebab mungkin menuntun pada suatu akibat atau mungkin menimbulkan berbagai akibat. Terkadang pada suatu kasus terdapat suatu penyebab yang juga memiliki penyebab lain dapat menjadi suatu modus kegagalan. Sedangkan pada kasus lain suatu kejadian tunggal dapat menjadi suatu penyebab, suatu dampak, dan suatu modus kegagalan. Oleh karena itu dalam menganalisis suatu kegagalan perlu melibatkan seluruh unsur pembentuk sistem. Pemodelan analisis kegagalan pada gambar 2.02 mempergunakan bentuk pentagon asimetrik sebagai lambang lima modus kegagalan. Ini berarti bahwa modus kegagalan dapat dikelompokkan ke dalam salah satu dari lima modus kegagalan. Arti lain penggunaan pentagonal asimetrik ini menunjukkan bahwa modus kegagalan dapat juga dinyatakan sebagai anti-fungsi.
Gambar 2.02 Hubungan antara fungsi, penyebab, modus kegagalan dan dampak Sumber: Pasaribu M, Hisar. Diktat Kuliah : Keamanan Sistem Pesawat. ITB.
Adapun penggolongan kelima modus kegagalan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Complete failure, yaitu kegagalan fungsional secara keseluruhan dimana kondisi obyek tidak dapat dioperasikan sama sekali. 2. Partial failure, yaitu kegagalan yang terjadi pada kondisi obyek yang tidak dapat bekerja secara optimal memenuhi fungsinya seratus persen.
11
3. Intermittent
failure,
kegagalan
terjadi
sewaktu-waktu
di
tengah
pengoperasian baik itu dalam intensitas tinggi maupun rendah. 4. Failure over time, yaitu degradasi kegagalan seiring dengan pertambahan usia pakai obyek (life time). 5. Over perfomance of function, ada kalanya obyek sebelum mengalami salah satu dari keempat modus di atas memiliki kemampuan melebihi fungsi dan kinerja yang ditetapkan – biasanya sering terjadi sebelum mengalami complete failure-. Selain ditinjau dari segi modus terjadinya kegagalan, penggolongan kegagalan dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab (cause), tingkat dan penggunaannya sebagai berikut: 1. Defect, yaitu kondisi obyek yang teridentifikasi mengalami telah kegagalan potensial namun masih dapat bekerja sampai mencapai kegagalan fungsionalnya. 2. Malfunction, kegagalan terjadi akibat obyek tidak dapat dioperasikan atau gagal dioperasikan dan biasanya terjadi pada waktu yang tidak terduga tanpa memperlihatkan tanda-tanda kegagalan terlebih dahulu. Misalnya emergency door yang tidak bisa dibuka saat dibutuhkan. 3. Failure, yaitu kegagalan obyek yang mengalami kerusakan fungsional. Misalnya jadwal penggantian ban pesawat tidak dilakukan saat ban mulai memperlihatkan keausan sehingga ban bocor dan tidak dapat dipakai. 4. Fault, kegagalan yang terjadi pada obyek yang bekerja tidak sesuai fungsinya. Misalnya rudder yang berdefleksi tidak sesuai dengan input yang diberikan pilot. 5. Reject, tipe kegagalan dengan kondisi obyek tidak sesuai dengan fungsinya dengan menolak input yang diberikan. Model pentagonal di atas merupakan salah satu teknik pemodelan secara sederhana analisis kegagalan pada keterkaitan unsur-unsur pembentuk sistem. Namun pada suatu sistem dengan integrasi tinggi dan memanfaatkan redundansi untuk mencapai tingkat keandalan yang tinggi, modus kegagalan timbul karena adanya kegagalan modus bersama (common cause failure). Pada kegagalan ini, satu kejadian, atau penyebab, menghasilkan kegagalan beruntun pada lebih dari satu jalur redundan, dan dapat menimbulkan kegagalan besar (major). 12
Common causse failure (CCF) yang bagi sebagian kalanggan populer dengan sebutan multiple failuure due to a common cause (kegagalan jamaak yang disebabkan oleh penyebab yang sama) memiliki keterkaitan dengan beberapaa modus kegagalan lain seperti crosslinkked, systematic failure, common disaster dan coupled failure. Khusus untuk kasus ccoupled failures terdapat dua bentuk CCF da dalam tinjauan yang berbeda, yaitu: 1. Kegagalan jam mak (multiple failures ) karena satu penyebab yang sama. 2. Kegagalan yanng bergantung pada kegagalan lain. Pengkategoriaan penyebab terjadinya CCF merupakan ssalah satu langkah dasar dalam mengannalisis CCF. Karena kebutuhan itulah paada 1979 Watson memperkenalkan koonsepnya perihal pengkategorian penyebabb terjadinya CCF (Gambar 2.03). Konssep yang dikemukakan dapat diaplikasikan secara umum pada setiap proses industrii. Konsep penyebab CCF pada pesawat beriikut ini merupakan pengkhususan dari konsep CCF proses proses industri seccara umum yang dirumuskan pria dari National Centre of System Reability, Inggris tersebut.
Aircraft CCF
ring
Operation (O)
(E)
Design (ED)
Functional Deficiencies (EDF)
Manufacture (ECM)
alisation Faults (EDR)
Maintenance
Flight Operation
(OM)
(OF)
Normal (OEN)
ronment (OE)
Storage (OS)
External (OEE)
Gambar 2.003 Penyebab CCF pada pesawat berbasis konsep W Watson 6) Sumber: Pasaaribu M, Hisar. Diktat Kuliah : Keamanan Sistem Pesawat. ITB. 6)
Edwards, G. T. dan W Watson, I. A., A Study of CommonMode Failure, SRD R146.
13
2.2.3 Analisis Kegagalan pada Sistem Pesawat Dalam menganalisis kegagalan pada sistem pesawat terdapat dua metode yang biasa digunakan. Kedua metode ini yaitu metode Analisis Modus dan Efek Kegagalan (Failure Mode and Effect Analisis, FMEA), serta metode Analisis Pohon kesalahan (Fault Tree Analysis, FTA). FMEA biasanya banyak digunakan sebagai prosedur analisis pada pengembangan awal sistem, sementara FTA merupakan tingkatan analisis lanjutan dari FMEA dalam memeriksa keandalan dan keamanan sistem yang rumit dan besar. Failure Mode and Effect Analisis, FMEA FMEA bertujuan mengidentifikasi berbagai kegagalan dan modus kegagalan yang dapat terjadi pada komponen, subsistem, atau sistem dan untuk mengevaluasi konsekuensi kegagalan tersebut. Dengan adanya hasil identifikasi ini maka diharapkan rancangan sistem terhindar dari perubahan dan modifikasi yang mahal karena defisiensi rancangan dalam reability dan safety tidak ditemukan saat pengembangan sistem. Salah satu keutamaan dalam metode FMEA yaitu kemampuan mengidentifikasi kelemahan-kelemahan perancangan, seperti: x
Modus kegagalan titik tunggal pada sistem yang memiliki laju kegagalan tinggi.
x
Modus kegagalan yang dapat memicu kegagalan-kegagalan lain (dan dalam beberapa kejadian menyebabkan downtime yang telah lama atau masalah perawatan yang rumit).
x
Modus kegagalan yang berbahaya (hazardous) terhadap elemen sistem lain, terutama unsur manusia pada personil operasi dan perawatan. Biasanya metode FMEA yang sering digunakan selama fase
konseptual dan fase desain awal sistem juga diiringi dengan penggunaan metode analisis kekritisan kegagalan. Metode ini kemudian dikenal dengan sebutan Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). FMECA ini digunakan untuk membantu membuat analisis diagram blok keandalan dan memeriksa perencanaan untuk tujuan perbaikan. 14
Adapun beberapa prosedur yang dicakup dalam FMECA diringkaskan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi semua modus kegagalan potensial sistem. 2. Menghubungkan penyebab, pengaruh dan bahaya tiap modus kegagalan. 3. Memprioritaskan modus kegagalan tertentu relatif terhadap probabilitas kejadian, kekritisan, kegagalan dan kemampuan pendeteksian. 4. Menyediakan kelanjutan/aksi perbaikan yang pas untuk tiap-tiap modus kegagalan. Prosedur FMECA dapat diimpletasikan menggunakan formulir berkas FMECA yang telah distandarkan. Meskipun demikian detail berkas seharusnya mencerminkan kebutuhan khusus dan karakteristik bagian sistem yang dianalisis. Biasanya detail yang harus ada pada berkas FMECA adalah serial number, modus kegagalan, frequensi kegagalan, efek kegagalan, metode
menidentifikasi
kegagalan,
tingkat
kegagalan,
probabilitas
ditemukannya kegagalan, serta langkah-langkah koreksi. Keempat prosedur di atas dapat dimodelkan lebih jelas menjadi beberapa proses FMECA seperti pada gambar 2.04.
Gambar 2.04 Proses Analisis, Modus, Efek dan Kritikalitas Kegagalan Sumber: Pasaribu M, Hisar. Diktat Kuliah : Keamanan Sistem Pesawat. ITB. 15
Analisis Pohon Kesalahan (Fault Tree Analysis, FTA) FTA digunakan dalam mengembangkan struktur hubungan logis yang sederhana dan digunakan untuk mengekspresikan hubungan probabilistik di antara berbagai kejadian yang mengawali kejadian sistem. Proses FTA hanya dapat
dilakukan
apabila
telah
melalui
proses
FMEA
dengan
mengidentifikasikan penyebab dan pengaruh kegagalan sistem. Sesuai dengan namanya, FTA adalah representasi grafis hubungan kejadian yang biasanya bersifat katastrofik antara kombinasi kejadian khusus tertentu dan kejadian puncak yang tidak diinginkan seperti adanya kegagalan sistem. Grafis analisis FT menggunakan penjelasan diagram alir dalam mengidentifikasi suatu urutan fungsional dalam hubungan logis antar berbagai komponen sistem. Sedangkan metode analisis FTA sendiri menggunakan teknik top-down dengan identifikasi pertama pada kejadian puncak (Top Event, TE) baru kemudian mendefinisikan kejadian yang tidak diinginkan (biasanya bersifat katastrofik) dan mengkaji logika yang memungkinkan hal ini terjadi. FTA biasanya dibangun dengan tiga kelas kejadian/kesalahan tak diinginkan: Kelas 1 : Kelas 2 :
Kelas 3 :
Kejadian/kesalahan yang menyebabkan kematian, luka berat atau kerusakan peralatan yang ekstensif. Kesalahan sistem untuk melakukan fungsi yang diinginkan atau kejadian yang menyebabkan luka ringan atau kerusakan peralatan yang kecil. Kesalahan sistem yang meyebabkan tidak dapat melaksanakan fungsinya, tetapi dapat mengakibatkan luka pribadi atau kerusakan pada peralatan lain, misalnya ketepatan pengukur karena keausan.
Dalam membangun pohon kesalahan perlu adanya klasifikasi kesalahan terlebih dahulu. Pemahaman dalam membedakan suatu kesalahan dan kegagalan, kemampuan pengklasifikasian kesalahan ke dalam kesalahan primer, kesalahan sekunder dan kesalahan komando serta kemampuan pengklasifikasian kesalahan ke dalam kesalahan aktif dan pasif merupakan fondasi awal dalam membangun FT.
16
Mengkaji sistem serta menemu-kenali kesalahan-kesalahan potensial sistem tersebut merupakan langkah awal membangun FT.
Materi dasar
pemahaman sistem yang akan dibangun pohon kesalahannya seperti “pengetahuan tentang kesalahan yang mungkin terjadi pada sistem dan kondisi yang menyebabkan kesalahan-kesalahan tersebut, serta mengenali komponen atau prosedur yang berkontribusi terhadap kesalahan-kesalahan yang ada” merupakan salah satu dasar pembangunan FT. Materi dan pengetahuan dasar sistem tersebut kemudian secara grafis digambarkan untuk menunjukkan dalam suatu diagram logika apa yang berkontribusi terhadap kejadian yang tidak diinginkan. Metode FT secara umum melibatkan tiga kemungkinan logis dan dua simbol utama sebagai media pendeskripsian secara grafis. Proses ini akan melibatkan gates (gerbang) sedemikian rupa sehingga masukkan (input) di bawah gerbang memiliki kesalahan. Secara umum simbol-simbol dan gates yang digunakan dalam FT dapat dilihat pada gambar 2.05. Berikut beberapa langkah yang biasa dijadikan referensi dalam meyusun FT: 1. Mengidentifikasi TE, yaitu kesalahan sistem yang serius. 2. Memeriksa kejadian-kejadian tertentu sehingga terdeteksi apakah kejadian tersebut dapat menyebabkan TE, baik secara sendiri-sendiri atau bila bersama kejadian lain. 3. Prosedur dilanjutkan sampai didapatkan kejadian dasar yang tersedia datanya. 4. Himpunan kejadian yang semuanya diperlukan untuk menghasilkan kejadian yang diamati, dihubungkan dengan gerbang AND. 5. Himpunan kejadian yang masing-masing dapat menghasilkan kejadian yang diperhatikan, dihubungkan dengan gerbang OR. 6. Analisis selanjutnya dilakukan dengan mengubah data dan hubungan yang telah dibangun.
17
Gambar 2.05 Simbol-simbol pohon kesalahan Sumber: Pasaribu M, Hisar. Diktat Kuliah : Keamanan Sistem Pesawat. ITB.
2.2.4 Regulasi Keandalan dan Keamanan Sistem Dasar dalam menentukan standar keamanan suatu pesawat terhindar dari kegagalan katastrofik telah ditetapkan sejak tahun 1960-an oleh Air Registration Board (ARB), sekarang Civil Airworthinness Authority (CAA).
Aturan standar
keselamatan ini kemudian sekarang ini diadopsi sebagian besar otoritas kelaikan udara Eropa dalam Joint Airworthinnes Regulation (JAR 25) serta Federal Aviation Administration (FAA) dalam Advisory Circular 25.1309. Dalam peraturan tersebut ditetapkan peluang kegagalan katastrofik harus lebih kurang dari 10-9 per jam terbang. Artinya dalam setiap satu milyar jam terbang jumlah kegagalan katastrofik tidak boleh terjadi lebih dari satu kali. Peraturan lain
18
perihal kegagalan berdasar kategori pengaruhnya diklasifikasikan menjadi empat kelompok yang dinyatakan secara numerik, sebagai berikut: Tabel 2.01 Pengaruh Kegagalan dan Peluang Kejadian Kecelakaan Sumber: Pasaribu M, Hisar. Diktat Kuliah : Keamanan Sistem Pesawat. ITB. Pengaruh Kegagalan MINOR MAJOR HAZARDOUS CATASTROPHIC
Peluang Kejadian (per jam terbang) 10-3 10-5 10-7 10-9
Pendekatan probabilistik inilah yang menjadi standar perancangan dan perawatan dalam menjamin adanya keamanan dan tercapainya sasaran-sasaran kelaikan udara. Kelaikan udara suatu pesawat udara tidak terlepas dari kelaikan setiap sistem yang terpasang pada pesawat udara tersebut. Pihak manufaktur biasanya dalam menjamin kelaikan suatu sistem mengacu pada peraturan Joint Airworthinnes Regulation (JAR) dan atau Federal Aviation Regulation (FAR). Hal ini disebabkan karena sebagian besar negara tempat pemasaran mengacu pada kedua peraturan ini. Selain itu pesawat harus memenuhi peraturan yang dibuat otoritas negara bersangkutan, dalam hal ini Civil Aviation Safety Regulation (CASR) negara tempat manufaktur. Aturan FAR, CASR dan JAR yang mengatur secara khusus perihal keamanan sistem pesawat yaitu CASR 25, FAR 25 dan JAR 25 dengan pasal utama CASR/FAR/JAR 25.1309. Ketiga aturan tersebut merupakan pedoman dan standar keamanan sistem pada semua varian Boeing 737 karena memiliki dasar aturan yang wajib diterapkan pada pesawat yang memiliki MTOW 12.500 lbs. (5.670 kg.). adapun inti dari isi peraturan FAR/JAR 25.1309 adalah sebagai berikut:
19
Definisi menurut JAR ACJ 25.1309
Remote
Major
-7
10
Improbable
Essential
Extremely Remote -9
10
Extremely Improbable Extremely Improbable
Critical
Catasthrophic Catasthrophic
Kehilangan pesawat udara dan atau fasilitasnya.
Pengurangan besar dalam margin keselamatan, Gangguan fisik atau beban kerja sedemikian sehingga awak penerbang tidak dapat diandalkan lagi untuk melaksanakan tugasnya secara akurat atau lengkap, Kemungkinan luka serius atau kematian pada sebagian kecil penumpang. Major Hazardous
Pengurangan secara berarti dalam margin keselamatan. Pengurangan kemampuan awak pesawat untuk mengatasi kondisi operasi yang buruk, Kemungkinan menyebabkan luka pada penumpang.
Halangan terhadap penerbangan lanjutan dan pendaratan pesawat udara yang aman
Pengurangan dalam kemampuan manuver pesawat udara atau kemampuan awak pesawat untuk mengatasi kondisi operasi yang buruk.
Probable Frequent Reasonably Probable -3 -5 10 10
Non-essential
Minor Minor
Tidak ada degradasi yang berarti dalam kemampuan pesawat udara. Tindakan yang diperlukan dari awak pesawat berada dalam batas-batas kemampuan yang wajar. Pengurangan kecil dalam margin keselamatan. Penambahan kecil dalam beban kerja misalnya perubahan rutin dalam rencana peerbangan (Flight plan), atau tidak ada penumpang yang terluka. Mungkin perlu transisi manuver secara minor.
Sumber: Pasaribu M, Hisar. Diktat Kuliah : Keamanan Sistem Pesawat. IT
Kisaran Peluang Kualitatif menurut FAR dan JAR
Kategori Efek FAR menurut FAR AC 25.1309-1A Kategori Efek JAR menurut ACJ No. 1 JAR 25.1309 dan versi EuropeCae DO 178A Kategori Kritikalitas untuk fungsi sistem berdasarkan RTCA DO-178A Terminologi Peluang Kualitatif menurut FAR Terminologi Peluang Kualitatif menurut FAR
Pengaruh kondisi kegagalan yang dikenali pada pesawat dan penumpang
Definisi menurut FAR Advisory Circular AC 25.1309-1A
Tabel 2.02 Deskripsi Pengaruh dan Peluang Kegagalan Sistem menurut FAR 25.1309 dan JAR 25.1309
2.3 Sistem Rudder Boeing 737 Alat kendali 737-series dari sistem rudder berada pada ekor vertikal yang berupa rudder tunggal. Sebagai komponen utama pengendali gerakan yaw, sistem rudder digerakkan oleh sebuah rudder Power Control Unit (PCU) yang mendapat sumber tenaga dari sistem hidrolik A dan atau sistem hidrolik B. 737-series merupakan satu-satunya pesawat kategori pesawat besar yang memiliki rudder serta sistem penggerak/aktuator tunggal. Secara umum sistem kendali pada 737-series terpusat di tiga tempat pada pesawat, antara lain di flight deck, kompartemen pesawat sepanjang bawah lantai kabin, serta pada bagian ekor (Gambar 2.06). Pada ketiga tempat tersebut terdapat beberapa subsistem dan komponen yang kompleks misalnya saja pada flight deck terdapat beberapa komponen dan subsistem utama seperti Rudder pedals, Pedals position transmitter, Trim control indicator, dan Forward quadrant. Namun dalam pokok bahasan ini tidak semua komponen dan subsistem akan dibahas, akan tetapi terbatas pada subsistem utama saja. Adapun subsistem-subsistem utama sistem rudder antar lain rudder (control surface), rudder pedals, rudder aft control quadrant, rudder control torque tube, rudder trim control mechanism, rudder trim actuator, rudder feel and centering mechanism, serta main rudder power control unit (PCU).
2.06 Sistem rudder Boeing 737-series 21
Sumber: Service Bulletin Boeing 737-200 No. 27-21-1
2.3.1 Panel Rudder Panel rudder (control surface) merupakan alat kendali pesawat pembangkit kendali gerakan yaw. Seperti halnya sayap rudder terbentuk dari spar yang berupa monospar dan beberapa rib. Pada 737-NG (-600/700/800/900) material yang digunakan sebagai struktur rangka panel rudder adalah grafit/komposit sedangkan pada seri-seri sebelumnya masih berupa materal aluminium. Dari sisi luar, beberapa rudder seri 737 dibungkus material honeycomb atau fiberglass sedangkan pada seriseri lain terbuat dari campuran grafit. Rudder 737-series seperti telah disebutkan di atas merupakan seri pesawat besar yang hanya memiliki satu panel rudder. Mengingat 737 memiliki konfigurasi dua engine yang terdapat pada kedua bawah sayap maka pemilihan panel rudder secara tunggal dianggap sudah cukup. Rudder pada pesawat yang memiliki konfigurasi engine dibawah kedua sayap dari sisi aerodinamik jauh lebih efisien dibanding tipe pesawat yang memiliki konfigurasi engine yang menempel pada fuselage bagian belakang. Hal ini disebabkan aliran udara yang mengalir pada rudder pesawat dengan konfigurasi engine pada fuselage belakang relatif lebih terganggu dibanding aliran udara pada rudder pesawat dengan engine dibawah kedua sayap.
22
Gambar 2.07 Paanel rudder 737 (kanan) serta batasan pergerakan rudder (kiri)
Pada keadaann normal tanpa pembebanan aerodinamik rudder 737 dapat berdefleksi maksimuum sebesar 26
0
baik ke arah kiri maupun kanan dengan
kecepatan sudut defleeksi maksimum mencapai 66 0 per detik (Gam mbar 2.07). Dalam mendukung keluwessan gerakan serta dalam menahan pembbebanan baik itu pembebanan aerodinaamik ataupun beban dari rudder itu sendiri teerdapat tujuh engsel yang menghubungkann rudder dengan bagian ekor vertikal. Dari ketujuh engsel ini engsel yang paling bawah dari rudder berfungsi sebagai engsel ppenggerak gerakan rudder dari PCU. 2.3.2 Rudder Pedals Kendali pilot terhadap rudder 737 secara umum meruppakan sistem loop tertutup dimana inputt kendali perintah dari pilot ditransmisikan peertama kali melalui pedal kendali pada kookpit kemudian sinyal kendali diteruskan mellalui sebuah sistem kabel kendali yang menghubungkan kokpit dengan bagian ekor pessawat.
Gambar 2.08 Pedal kendali rudder Sum mber: Service Bulletin Boeing 737-200 No. 27-21--1
Pedal pada sisstem rudder berfungsi sebagai alat pertama pengkonversi p input kendali pilot/copilot. Pedal kendali rudder terdapat di bawah pannel instrument pilot dan copilot pada kokkpit pesawat -yang di kalangan kru 737 dikkenal dengan nama
23
doghouse-. Pedal kendali sendiri berjumlah satu pasang (kiri dan kanan) sesuai dengan tugasnya mengkonversi gerakan yaw arah kiri dan kanan. Dalam operasi penerbangan normal diperlukan tenaga antara 9 sampai 70 lbf untuk menggerakan pedal. Tetapi apabila pilot ingin mempercepat defleksi rudder diperlukan gaya tambahan sebesar 300 lbf. Dengan gaya sebesar itu rudder dapat bergerak sejauh 1 inci. Untuk menghasilkan defleksi rudder sampai batas maksimal (blowdown limit) sebesar 260 diperlukan pergerakan rudder pedal sejauh 4 inci. Hal ini berarti untuk setiap pergerakan rudder pedal sejauh 1 inci maka rudder 0
berdefleksi sebesar 6.5 . 2.3.3 Rudder Aft Control Quadrant dan Rudder Control Torque Tube Rudder aft control quadrant merupakan komponen sistem rudder yang berfungsi mentransmisikan pergerakan dari kabel kendali pada torque tube. Rotasi dari quadrant ini berputar menarik atau mendorong quadrant input rod yang tersambung pada crank pada control torque tube (Gambar 2.09) Mekanisasi control torque tube berfungsi mentransimisikan input dari pedal kendali rudder yang berupa pergerakan dari quadrant input rod menuju rudder feel and centering unit, PCU utama rudder, serta standby PCU. Komponen-komponen yang terlibat dalam mekanisasi control torque tube ini meliputi load path torque tube, load path lower crank assembly, serta beberapa komponen penghubung input pada PCU.
24
Gambar 2.09 Rudder aft control quadrant dan torque tube Sumber: Service Bulletin Boeing 737-200 No. 27-21-1
2.3.4 Rudder Trim Control Mechanism Rudder
trim
mechanism
ini
memiliki
fungsi
sebagai
pengendali
keseimbangan pesawat, terdapat pada dua bagian pesawat yaitu di bagian depan pesawat pada kokpit (Gambar 2.10) serta pada bagian ekor di belakang kendali quadrant dan torque tube (Gambar 2.11). Komponen-komponen pembentuk mekanisme kendali sendiri meliputi tombol dan indikator rudder trim yang terhubung pada bagian belakang komponen control stand (di bawah kokpit), serta sebuah kabel yang terhubung pada tombol melalui vertical shaft. Rudder trim biasanya diaplikasikan untuk menyeimbangkan perbedaan momen akibat konfigurasi gaya dorong mesin yang tidak simetris. Untuk menyeimbangkan posisi terbang pesawat ekor vertikal dalam hal ini rudder harus diatur pada defleksi tertentu. Hal ini akan membangkitkan gaya pada ekor yang melawan momen tersebut sehingga pesawat dalam kondisi seimbang. Pergerakan maksimal dari rudder trim 737 dibatasi hanya 120 pada baik arah kiri maupun arah kanan. Rudder trim ini dapat dioperasikan dengan cara memutar
25
tombol pada kokpit yang telah dibuat dengan indikator skala. S Skala pada tombol rudder trim 737 dibaggi atas 10 bagian dalam kedua arah.
Gambbar 2.10 Rudder Trim Control Unit 737 bagian deppan Sum mber: Service Bulletin Boeing 737 200 No. 27211
Gambbar 2.11 Rudder Trim Control Unit 737 bagian ekkor Sum mber: Service Bulletin Boeing 737 200 No. 27211
26
2.3.4
Rudder Trim Actuator a berfungsi mengkonversi pergerakann kabel rudder trim Rudder trim actuator
ke dalam bentuk gaya linear yang diaplikasikan sebagai input padda rudder feel and centering mechanism m. Komponen-komponen pembentuk mekanissme ini terdiri dari sebuah cable drum m dan jackscrew nut, actuator housing, actuator screw , compression spring, thrust t bearing, serta spring guide (Gambar 2.112). Rotasi dari cable drum menyebabkan drum, nut
sertaa actuator housing
bergerak secara linierr pada skrup. Sementara itu gaya dari jacks kscrew nut di kirim pada actuator housingg melalui thrust bearing yang terletak pada bagian ujung yang lebih rendah pada actuator. Pergerakan actuator housing inilah yyang menyebabkan f unit berotasi. centering spring dan feel
Gambar 2.12 Rudder Trim Actuator Sum mber: Service Bulletin Boeing 737 -200 No. 27-21--1
27
2.3.5 Rudder Feel an nd Centering Mechanism Rudder feel aand centering mechanism (Gambar 2.13) meerupakan subsistem sistem rudder yang ddi dalamnya mencakup komponenkomponenn feel and centering unit. Subsistem ini bberfungsi menghasilkan artificial feel atau ggaya feedback pada pedal serta mengembbalikan rudder pada posisi netral (seimbangg) ketika tidak ada gaya diberikan pada ppedal (tidak ada input dari pilot). Subsistem ini juga berfungsi mencegah rudder berrgerak bebas seandainya kabel kendali rudderr terputus. Feel and centering unit ini terlletak di bagian belakang torque tube pada ekoor vertikal.
Gambar 2.13 Rudder Feel and Centering Un nit Sumber: Service Bulletin Boeing 737 200 No. 27 211 S
2.3.6 Main Rudder Power Control Unit (PCU) Rudder Poweer Control Unit (PCU) merupakan penggerrak utama defleksi rudder hasil konversii input dari pergerakan pedal, rudder trim, atau sinyal electris dari yaw damper mellalui hubungan mekanis dengan servo valve sebagai komponen penggerak utama. Serrvo valve menggerakan rudder dengan cara m memanjang (extend) 28
atau memendek (retract) dengan menggunakan aliran fluida hidrolik. Dengan mekanisme pergerakan servo valve tersebut tangkai aktuator PCU dapat menggerakan engsel panel rudder. PCU terletak pada ekor vertikal dengan badan utama menempel pada struktur sementara bagian penggerak tersambung pada rudder. Sebagai subsistem yang terdiri dari konfigurasi rangkap hydro-mechanical servo, PCU memiliki sumber tenaga yang berasal dari sistem hidrolik A dan B. Tenaga total yang dihasilkan PCU untuk menggerakan rudder dengan kecepatan 0
66 /detik pada kondisi tanpa pembebanan aerodinamik dapat mencapai 6.000 lbf. Tetapi hal tersebut dipenuhi apabila kedua sistem hidrolik beroperasi secara normal dimana masing-masing sistem menghasilkan tekanan 2.950 psi. Input yang berasal dari pedal kendali dan rudder trim ditransmisikan pada external input crank PCU melalui sambungan mekanis external summing lever. Selain karena kedua input di atas external input crank juga dapat bergerak berupa reaksi feedback karena pergerakan rudder yang berasal dari hubungan mekanis dari sistem. Pergerakan external input crank memicu input shaft berotasi dan menggerakan internal summing lever yang kemudian menggerakan secondary slides dari servo valve (Gambar 2.14).
29
Gambar 2.14 PCU utama rudder Boeing 737-200 Sumber: Service Bulletin Boeing 737-200 No. 27-21-1
Servo valve PCU yang merupakan mekanisme dual-consentric tandem valve terdiri dari primary slide yang bergerak di dalam secondary slide dimana keduanya terdapat dalam servo valve housing (Gambar 2.15). Primary dan secondary concentric slide digerakkan oleh primary dan secondary internal summing lever yang merupakan input dari yaw damper dan atau external input crank yang diterjemahkan dalam pergerakan aksial dari kedua slide.
30
Gambar 2.15 Main rudder PCU servo valve Boeing 737 Sumber: Service Bulletin Boeing 737-200 No. 27-21-1
2.3.7 Standby Rudder Actuator Standby rudder actuator merupakan penggerak rudder alternatif apabila sistem hidrolik A dan B tidak berfungsi. Tekanan hidrolik dipenuhi dari sistem standby yang selanjutnya mengoperasikan aktuator. Rotasi dari input crank akan menggerakan control valve dalam menampung fluida untuk menggerakan silinder.
Gambar 2.16 Standby rudder actuator Sumber: Service Bulletin Boeing 737-200 No. 27-21-1 31
2.3.8 Yaw Damper Yaw damper merupakan subsistem dari sistem rudder yang berfungsi mendeteksi adanya gangguan yaw pesawat yang diakibatkan oleh turbulensi atau karena faktor pesawat itu sendiri serta membangkitkan defleksi rudder guna melawan gangguan yaw tersebut. Yaw damper bekerja secara otomatis tanpa input perintah terhadap pedal kendali serta dapat beroperasi secara terus menerus selama penerbangan. Operasi sistem yaw damper dikendalikan langsung oleh pilot/copilot melalui saklar on/off yang terdapat pada overhead panel pada kokpit. Pada overhead panel ini juga dilengkapi indikator dalam memonitor aktivitas yaw damper. Sistem yaw damper terdiri dari saklar on/off serta yaw damper coupler yang di dalamnya terdapat rate gyro yang berfungsi mendeteksi pergerakan pesawat dalam arah yaw serta mengkonversikannya dalam sinyal elektris dan mengirimnya pada PCU rudder. Dalam PCU ini sinyal elektris dikonversi oleh komponen electrohidroulic servo valve (transfer valve) menjadi pergerakan PCU oleh pergerakan langsung fluida hidrolik yang berasal dari fluida sistem hidrolik B. Pergerakan PCU inilah yang kemudian menggerakan rudder dalam melawan arah gangguan yaw. Pada 737-200 pergerakan rudder karena system yaw damper dalam melawan 0 0 gangguan yaw terbatas hanya 2 dengan kecepatan 50 /detik baik arah kiri maupun
arah kanan.
Gambar 2.17 Batasan defleksi rudder dan batasan defleksi yaw damper Sumber: Aviation Mechanics Bulletin March-April 1997
32