BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Pegertian Perilaku agresif Menurut Walgito (2005:11) dalam ilmu psikologi disebutkan bahwa perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun kompleks. Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah sifat deferensialnya. Maksudnya, satu stimulus dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda dapat saja menimbulkan satu respon yang sama. Perilaku atau aktivitas itu merupakan jawaban atau respon terhadap stimulus yang mengenainya. Menurut Thoha (2005:2), perilaku pada hakikatnya merupakan tingkah laku manusia. Kerangka dasar pengetahuan bidang ini didukung oleh dua komponen, yaitu individu-individu yang berperilaku dan wadah dari perilaku itu. Ciri peradaban manusia yang bermasyarakat senantiasa ditandai dengan keterlibatannya dalam suatu organisasi tertentu atau kelompok tertentu. Aal ini berarti bahwa manusia tidak bisa melepaskan dirinya untuk terlibat pada kegiatankegiatan organisasi atau kegiatan sosial lainnya baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat luas. Selanjutnya Thoha (2005:5) berpendapat perilaku adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat.
7
8
Perilaku tersebut ditimbulkan dari pengaruh masyarakat terhadap manusia dan aspek yang ditimbulkan oleh manusia terhadap masyarakat. Cummings (dalam Thoha, 2005:6) menekankan bahwa perilaku adalah cara
berpikir,
suatu
cara
untuk
memahami
persoalan-persoalan
dan
mendefinisikan secara nyata hasil-hasil penemuan berupa tindakan-tndakan pemecahan. Selanjutnya Cummings menambahkan beberapa perilaku tersebut antara lain; a) masalah dan persoalan-persoalan dirumuskan secara tipikal dalam bentuk kerangka kerja yang bebas, b) mendorong adanya suatu perbuatan sebagai hasil yang diinginkan oleh organisasi dan orang-orang yang berbeda dalam organisasi, c) perilaku dapat mengembangkan pribadi manusia, d) perilaku dapat menjadi pengetahuan yang lebih berorentasi pada pelaksanaan kerja, e) pengetahan perilaku banyak dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku, kehatihatian, refleksi ilmu pengetahuan umum yang didasarkan pada kenyataan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku seorang individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Seseorang akan berperilaku baik apabila lingkungan tempat tinggal individu berperilaku baik, begitu pula sebaliknya. Lingkungan yang berperilaku baik adalah lingkungan di mana seseorang individu beradaptasi dan melakukan aktivitas. Terkait dengan perilaku agresif, Rosmala (2005:42) mengatakan bahwa perilaku agresif adalah perilaku yang dilakukan anak yang menyebabkan anak lain merasa terganggu atau merasa kurang enak. Di sisi lain perilaku agresif dapat mempengaruhi proses pembelajaran, dimana hal ini berdampak pada konsentrasi
9
belajar anak itu sendiri maupun anak lain. Perilaku agresif pada dasarnya mengganggu orang lain tanpa menghiraukan objek yang diganggu tersebut. Rosmala (2005:42) menambahkan, contoh perilaku agresif antara lain mengejek, menyebar
rumor,
menghasut,
mengucilkan,
menakut-nakuti
(intimidasi),
mengancam, menindas, memalak, atau menyerang secara fisik (mendorong, menampar, atau memukul). Dengan demikian, membiarkan atau menerima anak berperilaku agresif, berarti sama halnya dengan menciptakan interaksi sosial tidak sehat dan meningkatkan budaya kekerasan dan kebiadaban. Interaksi sosial yang tidak sehat dapat menghambat pengembangan potensi diri secara optimal sehingga memandulkan budaya pembentukan kerakter terpuji. Selanjutnya, perilaku agresif usia TK perlu mendapat perhatian penuh dari guru, mengingat anak usia TK merupakan masa pendidikan awal. Apabila hal ini diabaikan, maka perilaku tersebut akan berpengaruh pada jenjang pendidikan selanjutnya. Dalam dunia pendidikan, anak usia TK harus diperkenalkan, dilatih dan dibiasakan untuk berbudi pekerti luhur, sopan santun, serta ramah dalam pergaulan misalnya, tidak boleh sombong dan congkak terhadap orang lain, cara menghormati guru, menghormati teman sebaya, menyayangi orang yang lebih muda, sopan dalam berjalan, lembut dalam bercakap-cakap dengan orang lain, peduli terhadap sesama, belajar dengan giat, dan sebagainya.
10
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif adalah secara keseluruhan semua tingkah laku anak yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, baik yang berhungan dengan norma agama, etika, peraturan sekolah, keluarga, dan lain-lain. Perilaku agresif pada umumnya nampak pada unsur mental dengan motif subyektif, yaitu mencapai suatu objek tertentu dengan disertai kekerasan agresif. 2.1.2 Bentuk-bentuk Perilaku agresif Menurut Setiono (2007:27) dalam perkembangan menuju kematangan sosial, bentuk-bentuk perilaku agresif selalu ditunjukkan, di antarannya: 1. Pembangkangan (Negativisme) Bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia empat tahun dan mulai menurun pada usia lima hingga enam tahun. Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang pertanda mereka anak yang nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif lainnya, sebaiknya orang tua mau memahami
sebagai proses
perkembangan anak dari sikap dependent menuju kearah independent. 2. Agresi (Agression) Agresi diartikan perilaku untuk menyerang balik secara fisik maupun nonfisik. Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya bentuk ini
11
diwujudkan dengan menyerang seperti; mencubut, menggigit, menendang dan lain sebagainya. Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang agresif maka egretifitas anak akan semakin memingkat. 3. Berselisih (bertengkar) Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap atau perilaku anak lain. 4. Menggoda (teasing) Menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya. 5. Persaingan (rivaly) Persaingan (rivaly) ini terjadi karena adanya keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan prestise dan pada usia enam tahun semangat bersaing ini akan semakin baik. 6. Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior) Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior) dimaksudkan adalah tingkahlaku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap bossiness. Wujud dari sikap ini adalah; memaksa, meminta, menyuruh, mengancam dan sebagainya.
12
8. Mementingkan diri sendiri (selffishness) Mementingkan diri sendiri (selffishness) atau sering disebut sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya Berdasarkan bentuk-bentuk perilaku agresif yang telah disebutkan, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perilaku agresif pada usia TK merupakan perwujudan jati diri agar bisa tumbuh menjadi orang dewasa yang siap untuk menjadi diri sendiri tanpa harus membebani orang lain. Dengan kata lain, perilaku agresif pada usia TK tidak harus sama dengan perilaku agresif orang dewasa. Perilaku agresif usia TK adalah bagian agresifitas untuk bisa menjadi diri sendiri. 2.1. 3 Faktor–faktor yang Mempengaruhi Anak Berperilaku Agresif Pada dasarnya, ada dua faktor yang mempengaruhi anak berperilaku agresif, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. a. Faktor Internal Adapun faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri. Menurut Martina (2007:17-18), di antara faktor internal tersebut adalah: 1. Terhalangnya keinginan anak untuk mendapatkan sesuatu, yaitu setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, maka jiwa anak langsung memberontak sehingga nampak tingkah laku anak bersifat negatif. 2. Ketidakmampuan mengungkapkan diri, yaitu dengan adanya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tetapi tidak bisa, dan orang tua pun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustasi dan terungkap dalam bentuk tingkah laku negatif.
13
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan, yaitu dengan adanya keinginan memnuhi kebutuahnnya, maka anak akan membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Misalnya; kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah berperilaku agresif. Contoh lainnya adalah; anak yang berusia 3-4 tahun ingin mengambil minuman yang memakai wadah gelas kaca, tetapi tidak diperbolehkan oleh orang tuanya atau pegasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau rasa kesal karena tidak diperbolehkan, ia berperilaku negatif agar dipebolehkan. b. Faktor Eksternal Adapun faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri anak. Menurut Musbikin (2009:69), di antara faktor eksternal tersebut adalah: 1. Orang tua Orang tua merupakan figur pertama dan utama yang sangat mempengaruhi kehidupan anak. Sehinga kepedulian dan keterlibatan orang tua dalam pembentukan perilaku anak sangat penting demi menciptakan anak-anak yang memiliki kepribadian dan tingkah laku mulia. Az-Zhecolany (2011:73) menyatakan bahwa hubungan orang tua dengan anak merupakan interaksi awal yang dirasakan anak. Dikatakan interaksi awal karena orang yang pertama kali dikenal dan berada didekatnya adalah orang tuanya. Hubungan
orang tua dengan anak pada
14
lingkungan keluarganya akan sangat membekas dan dapat bernilai pendidikan manakala arahan, bimbingan dan segala aktivitas orang tua dan seluruh anggota keluarganya dicerna dan menjadi karakter pembentuk sikap dan watak anak. Aswari (2008:39) mengungkapkan bahwa “memulai pendidikan dan melatih anak sejak kecil merupakan kunci dari pembentukan perilaku agresif anak dan cara yang baik maupun cara yang jelek yang diterimanya sejak kecil membekas dihati anak bila ia telah dewasa”. Selanjutnya Achmadi (2007:26) mengemukakan bahwa hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang tua mendidik anak agar berperilaku positif di antaranya: a) Memotivasi dan mengarahkan anak-anak agar aktif melaksanakan ibadah, b) Mengarahkan dan memberi keteladanan kepada anak dengan bertutur kata yang sopan, berbuat yang jujur, bertindak yang benar, lemah lembut dalam bersikap, dan lain-lain, c) Membiasakan anak untuk selalu bekerja dan mandiri. d) Menanamkan nilai-nilai solidaritas dan rasa bertanggung jawab terhadap tugas yang diemban. Jika upaya-upaya yang disebutkan tersebut dapat dioptimalkan oleh orang tua, maka secara kodrati orang tua telah melaksanakan amanat Tuhan serta telah mendidik anak-anaknya berperilaku mulia atau tidak menjadi anak nakal. 2. Lingkungan Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan rumah dan lingkungan sekolah. Kedua lingkungan sangat mempengaruhi perilaku agresif dan watak
15
anak. Rohani (2006:19) mengemukakan bahwa, antara pembawaan dan lingkungan, keduanya saling membutuhkan dan saling terdapat jalinan erat melekat. Berdasarkan hal tersebut dapat dimaknai, bahwa faktor lingkungan secara potensial sanggup atau dapat mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku. Anak yang dalam tahap perkembangannya tidak lepas dari lingkungan, banyak menerima pengaruh positif maupun negatif. Perilaku agresif yang diluar batas kewajaran merupakan pengaruh negatif yang perlu ditindaki. Di samping itu, orang tua perlu memperhatikan lingkungan tempat anak berinteraksi. Secara psikologis, interaksi anak dengan lingkungan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Hal ini beralasan oleh karena anak banyak bergaul dengan orang-orang yang berasal dari lingkungan keluarga yang berbeda-beda. Pada awalnya anak banyak meniru perbuatan siapa saja yang ia kenal, tanpa mempertimbangkan apakah perilakunya baik atau tidak baik. Semakin sering anak bergaul dengan lingkungannya yang baik, maka potensi anak untuk berperilaku baikpun semakin besar. Sebaliknya, jika anak sering bergaul dengan lingkungan yang kasar, dengan orang yang tidak jujur, malas, sombong dan lainnya, maka semakin besar pula sikap negatif itu akan membekas pada diri si anak. Dengan demikian, lingkungan keluarga hendaknya memberikan kepada anak ketegasan tentang ukuran mengenai yang baik, mengarahkan anak pada perasaan suka pada yang baik, serta membenci perbuatan yang tidak baik termasuk perilaku agresif.
16
3. Teman sebaya Banyak anak yang dari lingkungan keluarga berperilaku baik, begitu beradaptasi dengan teman sebaya yang perilakunya agak menyimpang, maka anak turut pula terseret megikuti perilaku temannya yang negatif tersebut. Hal ini dilakukan berdasar pada ketaatan berteman, di mana apabila anak tersebut tidak mengikuti perilaku temannya, ia tidak diikut sertakan dalam kelompok bermain. Proses meniru pada anak tentang perilaku anak lainnya perlu ditangani secara serius oleh orang tua maupun orang dewasa lainnya. Berteman bagi anak merupakan kebutuhan psikologis anak yang harus dipenuhi. Namun dalam hal ini orang tua perlu tanggap dalam mengamati anak dalam berteman. Simandjuntak (2006:81) menjelaskan, bahwa hal lain yang tidak ada dalam pergaulan antar anak, ialah tujuan etis yang ingin dicapai. Karena itu situasi pendidikan, apalagi situasi mendidik tidak akan muncul, seperti halnya di dalam pergaulan anak di lingkungan keluarganya. Tujuan anak-anak bergaul sering hanya karena ingin berteman untuk bermain-main, yang pada hakekatnya merupakan aspek sosial yang besar pengaruh pada pembentukan pribadi anak. Selanjutnya, Baradja (2005:76) menjelaskan bahwa anak memerlukan teman sebaya yang akan menjadi tempat untuk menyatukan perasaan, pemikiran motif dan tingkah laku dirinya dengan orang lain yang seusianya memungkinkan akan terjalin hubungan sosial, sehingga antara satu dengan yang lainnya akan terjadi saling mempengaruhi. Namun demikian, di dalam pergaulan antar anakanak dikatakan tidak ada proses mendidik, karena tidak ada di antara anak-anak
17
itu yang memiliki kewibawaan. Jadi lain halnya dengan pergaulan antara anak dengan orang tuanya. Sebabnya ialah, karena semua anak itu pada kedudukan yang sama, terutama di lapangan moril. Mungkin tampak ada anak yang mendominasi teman-temannya dalam pergaulan antar anak, tetapi dominasi tersebut dapat disebabkan oleh umur yang lebih tua atau olah keadaan fisik yang melebihi anak lain. Pergaulan antar anak dengan teman sebaya akan mendidik mereka untuk tidak berbuat sekehendak hatinya, misalnya ia tidak akan mengambil dan mempergunakan milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya. Di samping itu disadarinya juga, bahwa milik orang lain yang digunakannya harus dijaganya dengan sebaik–baiknya. Peraturan ini berlaku bagi semua anak. Tampak di sini betapa anak belajar hidup bersama dengan landasan etik sosial. Selain uraian tersebut, Gunarsa (2006:273) mengemukakan bahwa penyebab perilaku agresif dibagi menjadi tiga, yaitu; faktor sosiologis, psikologis, dan biologis. Faktor sosiologis merupakan faktor eksternal yang mendukung terjadinya perilaku agresif, sehingga dapat dikatakan adanya suatu lingkungan delinquen yang dapat mempengaruhi anak agresif tersebut. Termasuk di dalamnya adalah; latar belakang keluarga, komunitas di mana anak berada, dan lingkungan sosial. Di samping itu, peranan lingkungan masyarakat, penerimaan dan umpan balik masyarakat terhadap anak memberikan dampak yang besar terhadap perilaku agresif anak. Bila peranan lingkungan masyarakat positif, maka akan memberikan
18
dampak positif pula pada anak, tetapi bila sebaliknya, maka tidak menutup kemungkinan pengaruh lingkungan dapat menjadikan anak berperilaku nakal. Adapun faktor psikologis, meliputi hubungan anak dengan orang tua dan faktor kepribadian anak itu sendiri. Suasana dalam keluarga, hubungan antara anak dengan orang tua memegang peranan penting atas terjadinya perilaku agresif. Sedangkan faktor biologis, yaitu pengaruh lemen fisik, organik, atau biologis yang terdapat pada diri anak. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pengaruh teman sebaya dalam pembentukan perilaku anak ada yang bersifat positif dan ada juga bersifat negatif. Bersifat positif, ketika anak dalam proses pergaulan dengan teman sebaya memperoleh petunjuk secara spontanitas, misalnya mengambil barang orang lain tidak di perbolehkan. Makanya dengan tidak melibatkan dirinya dalam kelompok bermain, merupakan pelajaran yang berharga. Selanjutnya bersifat negatif, anak turut serta dalam pergaulan teman sebaya yang tidak disenangi oleh lingkungan/teman lainnya, seperti memukul-mukul meja pada saat pembelajaran berlangsung. Sebagai pendidik pergaulan antar anak di dalam sekolah perlu mendapatkan
perhatian,
terutama
penanaman
rasa
persaudaraan,
saling
menghargai, berlaku sopan, saling menyayangi perlu diberikan pada semua pelajaran secara terpadu.
19
2.1.4 Upaya-upaya dalam Meminimalkan Perilaku Agresif Anak Perilaku agresif pada dasarnya merupakan perbuatan yang dapat merugikan orang lain serta diri sendiri, sehingga perlu diminimalisir atau dikurangi bahkan dihilangkan. Perilaku ini di samping mengganggu ketertiban umum juga mempengaruhi peroses belajar mengajar. Itulah sebabnya, untuk meminimalisir perilaku agresif yang dijumpai di sekolah, menurut Permanarian (2005:49), ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu usaha pencegahan dan usaha refresif atau pengembalian/perbaikan. Adapun untuk usaha pencegahan yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah, menurut Permanarian (2005:50) di antaranya; a) melengkapi semua sarana pendidikan dan pengajaran sekolah, b) penggunaan waktu yang senggang hendaknya selalu memperoleh perhatian dan pengawasan guru. Jika hal ini diperhatikan dengan baik, maka akan mengurangi kebosanan anak serta terhindarnya anak dari perbuatan yang nakal. Selanjutnya, untuk upaya represif atau perbaikan ialah usaha mengembalikan bagi anak yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran norma sosial. Jadi usaha ini pada hakikatnya merupakan sarana dalam mengatasi dan menanggulangi masalah kenakalan yang mengarah pada usasha pencegahan dan penyembuhan. Sarana yang bersifat represif antara lain membuat tata tertib sekolah tentang kenakalan anak. Kalau perilaku individu mencakup segala pernyataan hidup, maka betapa banyak kata yang harus dipergunakan untuk mendeskrepsikannya. Untuk
20
keperluan studi tentang perilaku perlu ada sistematika pengelompokan berdasarkan kerangka berfikir tertentu (taksonomi). Dalam konteks pendidikan, Bloom (dalam Gulo, 2005:69) mengungkakan tiga domain (kawasan) perilaku individu, yaitu; 1) kaawasan kognitif; 2) kawasan afektif; 3) kawasan psikomotor. Tasonomi perilaku tersebut menjadi rujukan penting dalam peroses pendidikan, terutama kaitannya dengan usaha dan hasil pendidikan, segenaap usaha pendidikan seyogyanya diarahkan untuk terjadinya perubahan perilaku anak secara menyelruh, dengan mencakup semua kawasan perilaku. 2.1.5 Pengertian Bermain Peran Bermain (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang. Arti yang paling tepat ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Menurut Hurlock (dalam Tedjasaputra, ahli bahasa, 2001: 320) bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat yang menghasilkan pengertian untuk memberikan informasi, memberikan kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak. Bermain mempunyai fungsi sangat penting bagi perkembangan pribadi anak dan juga perkembangan sosial dan emosional. Melalui bermain, anak merasakan berbagai pengalaman emosi yang berupa: senang, sedih, bergairah, kecewa, bangga, marah, dan sebagainya. Melalui bermain pula anak memahami kaitan antara dirinya dan lingkungan sosialnya, belajar bergaul dan memahami aturan ataupun tata cara pergaulan.
21
Bermain peran berarti selama proses pembelajaran berlangsung anak diminta memerankan perilaku atau tingkah laku seseorang atau sekelompok orang atau tokoh pada suatu kejadian yang berkaitan dengan materi yang dipelajari. Djamariah dan Zain (2006: 100) mengemukakan bahwa bermain peran pada dasarnya adalah memerankan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Semiawan (2005: 82) bahwa unsur yang menonjol dalam bermain peran adalah unsur hubungan sosial, di mana anak dapat: 1) Mencoba menempatkan diri sebagai tokoh atau pribadi tertentu, misalnya sebagai dokter, petani, guru, pedagang: 2) Berlaku sebagai benda-benda, misalnya berpura-pura menjadi pohon, burung, serta benda-benda lainnya. Memperhatikan uraian-uraian tersebut jelaslah bahwa metode bermain peran berarti meminta anak memerankan perilaku atau tingkah laku seseorang atau sekelompok orang atau tokoh pada suatu kejadian. Dengan kata lain, selama proses pembelajaran berlangsung anak diminta memerankan perilaku atau tingkah laku seseorang atau sekelompok orang atau tokoh pada suatu kejadian yang berkaitan dengan materi yang dipelajari. 2.1.6 Penerapan Metode Bermain Peran pada Anak TK Penelitian dan teori mendukung pengalaman bermain sebagai sebuah dasar untuk anak yang bermutu, tetapi semua anak tidak mendapatkan keuntungan secara penuh tanpa rencana, penataan lingkungan, dan pijakan orang dewasa dalam memberi pengalaman. Itulah sebabnya agar semua anak mendapatkan keuntungan penuh setelah melakukan permainan, maka pengalaman bermain anak
22
seharusnya direncanakan dengan hati-hati dan diberi pijakan untuk memenuhi kebutuhan setiap anak. Selanjutnya, dalam kegiatan belajar melalui metode bermain peran, seorang guru jangan hanya membiarkan anak bermain sendiri. Para guru, guru tidak mesti berdiam diri atau sekedar ngobrol, tanpa menghiraukan anaknya bermain, akan tetapi seharusnya mereka menuntun dan memperhatikan anak serta memberi mereka pijakan-pijakan sebagaiman tersebut. Turner and Helms (2007:15) lebih menyoroti kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi anak. Kegiatan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk bergaul dengan anak lain serta mampu mengenal berbagai aturan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Secara garis besar kegiatan bermain dibedakan menjadi tiga kategori besar yaitu: (a) exploratory and manipulative play (bermain menjelajah dan manipulatif), (b) deskruktive play (bermain menghancurkan) dan, (c) imaginative atau make-believe play (bermain berkhayal atau pura-pura). Ketiga teori permainan yang disebutkan tersebut menunjukkan, bahwa berdasarkan para ahli melalui metode bermain, maka sendirinya anak dapat melakukan pengalaman yang bermakna dan menyenangkan dalam hidupnya dengan bahan, benda, atau anak lain, berdasarkan bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa. Selanjutnya dengan metode bermain, dapat menolong para anak berkembang secara sempurna, baik fisik, emosi, kognisi, dan sosial. Itulah
23
sebabnya, teori dan penelitian tentang bermain seharusnya menjadi dasar untuk program pendidikan bagi anak yang berkualitas dan bermutu tinggi. Salah satu jenis bermain yang berkualitas dan bermutu tinggi bagi anak adalah berain peran. Bermain peran juga disebut main simbolik, main pura-pura, khayalan, fantasi, make-believe, fantasi, imajinasi, atau main drama. Permainanpermainan ini sangat penting untuk melatih perkembangan kognisi, sosial dan emosi pada anak sejak usia tiga sampai 15 tahun (Vygosky, 1967; Erikson, 1963). Di samping itu, bermain peran seperti ini dipandang sebagai sebuah kekuatan yang menjadi dasar untuk mengembangkan daya cipta, tahapan ingatan, kerja sama kelompok, penyerapan kosa kata, konsep hubungan kekeluargaan, pengendalian diri, keterampilan pengambilan sudut pandang spesial, dan ketrampilan pengampilan keputusan kognisi (Gowen, 2005:5). Bermain peran membolehkan anak memproyeksikan dirinya ke masa depan dan menciptakan kembali masa lalu. Anak TK yang terlibat dalam naskah main pura-pura/main peran bukan berarti lepas dari dunia nyata, melainkan untuk memahami dunia nyata. Bermain peran menyediakan kesempatan untuk mengurutkan, memahami dan mengendalikan dunia mereka sendiri. Orang dewasa yang hidup dalam kekerasan atau lingkungan yang berantakan, memerlukan main peran sebagai suatu cara untuk ambil bagian dalam pengalaman-pengalaman yang menakutkan atau buruk dan memungkinkan anak memahami potongan-potongan kejadian.
24
Namun demikian, menurut Abd. Kadir Husain (2003:35) mutu pengalaman bermain peran sangat tergantung pada variabel berikut ini : a) Cukup waktu untuk bermain (paling sedikit satu jam) b) Ruang yang cukup, sehingga perabotan tidak penuh sesak, alat-alat mudah dijangkau, dan semua anak dapat bermain secara kelompok yang paling sedikit sebanyak empat sampai enam anak dapat bermain dengan nyaman. c) Alat-alat untuk mendukung bermacam-macam adegan permainan. d) Orang dewasa dapat memberi pijakan bila dibutuhkan untuk meningkatkan ketrampilan main peran anak. Erik Erikson (2006:5) menjelaskan dua jenis bermain peran: mikro dan makro. Bermain peran mikro, yaitu anak dapat memainkan peran dengan menggunakan alat bermain berukuran kecil, contoh kandang dengan binatangbinatangan dan orang-orangan kecil. Sedangkan bermain peran makro, yaitu seorang yang belajar bermain menjadi tokoh menggunakan alat berukuran besar yang digunakan untuk menciptakan dan memainkan peran-peran, contoh memakai baju dan menggunakan kotak kardus yang dibuat menjadi mobil-mobilan atau benteng. Sentra bermain peran harus ada di dalam dan di luar, mendukung anak dengan alat dan perlengkapan untuk bermacam-macam bermain peran. Selanjutnya, untuk anak yang berusia 3 sampai 6 tahun dengan perkembangan dari anak TK, maka alat yang digunakan harus mendukung seluruh tema selain tema di sekeliling anak.
25
2.1.7 Keuntungan dan Kelemahan Metode Bermain Peran Semua metode pembelajaran memiliki keunggulan di samping kelemahankelemahannya. Pada metode bermain peran, Mubtadiin (2009:1) mengemukakan keunggulan metode bermain peran, yaitu mampu melatih kompetensi anak didik dalam melaksanakan kegiatan praktis karena dirancang secara cermat dan mendekati kegiatan yang sebenarnya. Pendapat lainnya, oleh Muthoharoh (2010:2) yang mengemukakan kebaikan atau keunggulan metode bermain peran, yaitu: 1) Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan anak didik, disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan; 2) Sangat menarik bagi anak didik, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias; 3) Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri anak didik, serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi; 4) Anak didik dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, serta dapat mengambil makna yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan anak didik sendiri. Selain keunggulan-keungulan tersebut, metode bermain peran memiliki kekurangan atau kelemahan. Dalam kaitan dengan hal ini, Mubtadiin (2009:2) mengemukakan kelemahan metode bermain peran, yakni; (1) tidak semua guru
26
menguasai kompetensi yang akan disimulasikan, sehingga jika dipaksa menerapkan metode bermain peran, maka simulasi tidak mewakili kondisi nyata; (2) Tidak semua guru memiliki kompetensi merancang kegiatan simulasi; (3) memerlukan persiapan dan penyiapan yang matang serta membutuhkan banyak waktu; (4) bisa terjadi demotivasi dalam diri anak didik yang kurang berperan dalam kegiatan tersebut atau memainkan peran yang kurang disukainya. Sementara itu, Muthoharoh (2010:3) yang mengemukakan pula kelemahan metode bermain peran, yaitu: 1) Sosiodrama dan bermain peranan memelukan waktu yang relatif panjang. 2) Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun anak didik, dan ini tidak semua guru maupun anak didik yang memilikinya; 3) Kebanyakan anak didik yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk melakukan suatu adegan tertentu; 4) Apabila pelaksanaan bermain pemeran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai; 5) Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode bermain peran. Memperhatikan uraian tersebut jelaslah bahwa metode bermain peran, selain memiliki keunggulan atau kelebihan, juga mempunyai kekurangan atau
27
kelemahan. Hal ini mengharuskan guru lebih profesional dalam menerapkan metode pembelajaran tersebut. 2.1.8 Langkah-langkah Penerapan Metode Bermain Peran Guna mengefektifkan metode bermain peran, perlu diperhatikan beberapa petunjuk penggunaan teknik bermain peran. Berkaitan dengan hal ini, Semiawan (2006:83) mengemukakan beberapa langkah dalam menggunakan metode bermain peran dalam kegiatan pembelajaran, yaitu: (1) menentukan topik; (2) menyusun kalimat-kalimat untuk berperan; (3) menentukan anggota-anggota pemeran; (4) Anak mempelajari perannya masing-masing; (5) melaksanaan permainan peran. Pendapat lainnya oleh Djamariah (2006:100) yang mengemukakan langkahlangkah bermain peran dalam pembelajaran sebagai berikut: (1) menetapkan dahulu masalah yang menarik perhatian anak; (2) menceritakan kepada anak mengenai isi dari masalah-masalah dalam konteks cerita tersebut; (3) menetapkan anak yang mampu dan bersedia untuk memainkan peranannya; 4) menjelaskan kepada anak mengenai peranan mereka pada waktu pembelajaran berlangsung. Sejalan dengan pendapat tersebut, Muthoharoh (2010: 4) mengemukakan langkah-langkah penerapan metode bermain peran, sebagai berikut. 1. Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan melalui metode ini, dan tujuan tersebut diupayakan jelas dan mudah dilaksanakan; 2. Menjelaskan latar belakang bermain peranan tersebut, untuk menarik minat anak bermain peran;
28
3. Menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan bermain peran melalui peranan yang harus anak didik lakukan/mainkan; 4. Menetapkan siapa-siapa diantara anak didik yang pantas memainkan/ melakonkan jalannya suatu cerita. 5. Sebaiknya diadakan latihan-latihan secara matang, kemudian diadakan uji coba terlebih dahulu, sebelum bermain peran dipentaskan. Selanjutnya Johana Rosalina K (2005:72), mengetengahkan beberapa manfaat dari metode bermain peran pada pembelajaran anak-anak, di antaranya: a. Kemampuan sosial Sambil bermain, anak juga ikut belajar berbagi, belajar mengantri, dan berkomunikasi bersama teman-temannya. Ia pun mulai belajar untuk bekerja sama dengan orang lain. b. Kemampuan mengelola emosi Kemampuan ini termasuk untuk memahami perasaan takut, kecewa, sedih, marah, dan cemburu. Melalui imajinasi yang dibangunnya sendiri maka ia mulai belajar mengelola dan memahami perasaan-perasaan tersebut, misalnya; ketika ia melakukan permainanan yang melibatkan perasaan, ia mulai belajar untuk berempati dengan perasaan orang lain. c. Kreativitas Dalam dunia khayal, anak menjadi terbiasa melakukan apa saja. Bahkan, semakin sering ia melakukan permainan peran maka akan semakin besar daya kreatifitasnya terasah
29
d. Disiplin Saat bermain peran, biasanya ia mengambil peraturan dan pola hidupnya masing-masing. Misalnya, saat ia bermain peran sebagai orangtua yang menidurkan anaknya, ia akan bersikap dan menyatakan seperti apa yang sering dilakukan dan dikatakan oleh orang tuannya. Sehingga secara tidak langsung, ia pun membangun kedisiplinan dan keteraturan pada dirinya. e. Keluwesan Saat bermain peran, secara tidak langsung sikecil mulai belajar untuk mengatasi rasa takut dan hal-hal yang sebelumnya berbeda bagi mereka. Dengan demikian, kegiatan bermain peran sangat membantu guru untuk dapat mengevaluasi dan menemukan anak-anak yang memiliki bakat atau minat dalam hal seni kreatifitas. Itulah sebabnya dalam memenuhi predikat guru profesional, guru dituntut untuk lebih kreatif mempelajari metode-metode modern dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi guna diterapkan pada proses mengajar yang sangat dibutuhkan oleh semua pihak yang terkait dengan dunia pendidikan. Sehingga target pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa sebagai penerus cita- cita dapat tercapai . 2.2 Kajian Penelitian yang Relevan Berkaitan dengan kajian penelitian yang ada hubungannya dengan meminimalkan perilaku agresif anak melalui metode bermain peran di TK ABA V Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo, berikut ini peneliti akan paparkan hasil penelitian dimaksud antara lain:
30
1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim Papeyo (2011), dikemukakan bahwa kondisi lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku agresif anak. Dalam hal ini lingkungan yang menjadi obyek penelitiannya adalah lingkungan pasar sebagai tempat tinggal anak. Pengaruh tempat tinggal anak di sekitar pasar cenderung kelihatan kasar, nakal dan agresif. Itulah sebabnya upaya mengatasinya pun harus lebih persuasif dan bijaksana. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Silvana Harun (2011), bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi anak yang berperilaku agresif adalah meningkatkan peran pola asuh orang tua. Hal ini beralasan oleh karena, anak sebagai individu yang paling banyak berinteraksi dengan lingkungan keluarga, bahkan orang yang pertama kali ditemui oleh anak ketika lahir ke dunia ini adalah orang tuanya, maka hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku anak sangat dominan ketimbang yang lainnya. 3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suriati Pale (2011), mendeskripsikan bahwa suasana kehidupan keluarga sangat rentang dengan pembentukan perilaku sosial anak. Dari data statistik menunjukkan, hubungan yang diperoleh antara variabel X dan Y dengan harga r2=0,9467, yang berarti sebesar 94,67 % perilaku sosial anak ditentukan oleh suasana kehidupan keluarga, dan hanya 5,33 % ditentukan oleh faktor-faktor lain. Dari kajian dan uraian tersebut, setelah dianalisis belum ada yang meneliti secara rinci tentang meminimalkan perilaku agresif anak terlebih lagi
31
menfokuskan pada salah satu lembaga pra pendidikan formal yaitu Pendidikan Anak TK (Taman Kanak-kanak). Hal itulah yang kemudian memotivasi peneliti untuk melakukan kajian penelitian secara obyektif yaitu meminimalkan perilaku agresif anak melalui metode bermain peran di TK ABA V Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo, dengan menjadikan hasil penelitian tersebut tersebut sebagai referensi utama sekaligus sebagai sumber informasi munculnya gagasan untuk membahas secara spesifik tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini. 2.3 Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori tersebut tersebut, maka hipotesis tindakan yang dapat penulis rumuskan adalah “jika guru menggunakan metode bermain peran dalam kegiatan pembelajaran di TK ABA V Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo, maka perilaku agresif anak dapat diminimalkan”. 2.4 Indikator Kinerja Penelitian ini dinyatakan berhasil bila perilaku agresif anak dapat diminimalkan melalui metode bermain peran, dengan indikator jumlah anak yang perilaku agresifnya baik dari sebelumnya berjumlah 12 dari 20 orang atau (60 %) dapat diminimalkan menjadi 3 orang (15%) dari keseluruhan anak.
32
2.2 Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teoretis yang telah dikemukakan, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini sebagai berikut: Jika tutor menggunakan teknik permainan balok dalam pembelajaran, maka kreativitas anak TK Al-Ikhlas Desa Molingkapoto Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara dapat meningkat. Indikator kreativitas anak tersebut dapat berupa; anak dapat melakukan perbaikan atau solusi sendiri apabila ia berhadapan dengam masalah-
33
masalah yang ada di sekitar kehidupannya, anak dapat berinteraksi sosial secara baik dengan teman-temannya dalam melakukan suatu aktivitas, serta kemampuan anak dalam menyampaikan hasil permainannya kepada temannya akan semakin baik dan objektif. 2.3 Indikator Kinerja Sebagai indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah apabila minimal 75 % anak TK Al- Ikhlas Desa Molingkapoto Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara sudah meningkat kreativitasnya melalui teknik permainan balok. Dengan demikian, apabila dalam pelaksanaan penelitian nanti kreativitas anak di bawah dari 75%, maka dilakukan perbaikan pembelajaran dalam bentuk siklus dengan tetap menggunakan tekhnik permainan balok hingga mencapai harapan yang diinginkan.
34