BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kemampuan Mengeja Alphabet/Abjad 2.1.1 Kemampuan Mengeja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999:623), berarti
kesanggupan
atau
kecakapan.
“Mengeja”
“kemampuan”
berarti
melafalkan
(menyebutkan) huruf-huruf satu demi satu. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia menyebutkan bahwa membaca adalah memahami isi dari apa yang tertulis, atau mengeja dan melafalkan apa yang tertulis. Jadi mengeja merupakan salah satu cara untuk belajar membaca. (KBBI, 1999:72). 2.1.2 Alphabet /Alphabets Alphabet adalah sebuah set standar lengkap huruf simbol ditulis dasar yang masing-masing kira-kira merupakan fonem dari bahasa lisan, baik seperti yang ada sekarang atau seperti yang mungkin telah dimasa lalu. Ada sistem lain penulisan seperti menulis logosyllabic, dimana masing-masing simbol merupakan morfem, atau kata atau suku kata atau tempat kata dalam sebuah kategori, dan syllabaries, di mana setiap simbol mewakili sebuah suku kata. Kata "alphabet" itu sendiri populer diyakini berasal dari alfa dan beta, dua huruf pertama dari alphabet Yunani, tetapi beberapa etymologists berpendapat bahwa kata bukan berasal dari Aleph dan taruhan, dua huruf pertama dari abjad Fenisia (benar-benar jenis suku kata) yang kemudian memunculkan abjad Ibrani. Asal sebenarnya dari kata tersebut tidak jelas. Ada puluhan huruf yang digunakan saat ini. Kebanyakan dari mereka adalah 'linear', yang berarti bahwa
mereka terdiri dari baris. Pengecualian terkemuka adalah Braille, huruf manual, kode morse, dan alphabet runcing kota kuno Ugarit. Terlepas dari ketidaktepatan nya, "alphabet" Istilah ini umumnya digunakan untuk mengacu pada setiap sistem penulisan yang baik grafem merupakan suara konsonan dan vokal. Grafem adalah suatu entitas abstrak yang mungkin secara fisik diwakili oleh gaya yang berbeda dari mesin terbang. Ada tertulis banyak entitas yang tidak merupakan bagian dari alphabet, termasuk angka, simbol matematika, dan tanda baca. Beberapa bahasa manusia yang biasa ditulis dengan menggunakan kombinasi logograms (yang merupakan morfem atau kata-kata) dan syllabograms bukan alphabet. Hieroglif Mesir dan karakter Cina adalah dua dari sistem penulisan yang paling terkenal dengan representasi yang umumnya non-abjad. Pada dasarnya abjad dalam bahasa Inggris sama dengan abjad dalam bahasa Indonesia, hanya berbeda sedikit dalam pengucapannya. Sebelum mempelajari bahasa Inggris, terlebih dahulu kita akan mulai dengan alfabet (alphabet). (Prayogo, 2010:3-4). A /ei/
B /bi/
C /si/
D /di/
E /i/
F /ef/
G /ji/
H /eitj/
I /ai/
J /jei/
K /kei/
L /el/
M /em/
N /en/
O /ou/
P /pi/
Q /kyu/
R /ar/
S /es/
T /ti/
U /yu/
V /vi/
W /dabelyu/
X /eks/
Y /wai/
Z /zed/
Sebelum memulai membaca, sebaiknya kita belajar mengeja. Dimulai dengan mengeja kata-kata yang mudah. Cat
dieja
c-a-t (/si/-/ei/-/ti/)
2.1.3
Do
dieja
d-o-g (/di/-/ou/-/ji/)
Bag
dieja
b-a-g (/bi/-/ei/-/ji/)
House dieja
h-o-u-s-e (/eitj/-/ou/-/yu/-/es/-/i/)
Horse dieja
h-o-r-s-e (/eitj/-/ou/-/ar/-/es/-/i/).
Hakikat Pembelajaran Bahasa Inggris
a. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien (Komalasari, 2010:3). Pembelajaran merupakan suatu sistem, yang terdiri atas berbagai komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Komponen tersebut meliputi: tujuan, materi, metode, evaluasi. Keempat komponen pembelajaran tersebut harus diperhatikan oleh guru dalam memilih dan menentukan model-model pembelajaran apa yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran (Rusman, 2012:1). Menurut Komalasari (2010:3-4), pembelajaran dapat dipandang dari dua sudut, pertama pembelajaran dipandang
sebagai suatu sistem,
pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisasi antara lain tujuan
pembelajaran,
materi
pembelajaran,
strategi
dan
metode
pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran (remedial dan pengayaan).
Kedua, pembelajaran dipandang sebagai suatu proses, maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar. Proses tersebut meliputi: 1.
Persiapan, dimulai dari merencanakan program pengajaran tahunan, semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) berikut penyiapan perangkat kelengkapannya, antara lain berupa alat peraga dan alat-alat evaluasi. Persiapan pembelajaran ini juga mencakup kegiatan guru untuk membaca buku-buku atau media cetak lainnya yang akan disajikannya kepada siswa dan mengecek jumlah dan keberfungsian alat peraga yang akan digunakan.
2.
Melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengacu pada persiapan pembelajaran
yang
telah
dibuatnya.
Pada
tahap
pelaksanaan
pembelajaran ini, struktur dan situasi pembelajaran yang diwujudkan guru akan banyak dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan metode-metode pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang penerapannya, serta filosofi kerja dan komitmen guru, persepsi, dan sikapnya terhadap siswa. 3.
Menindak lanjuti pembelajaran yang telah dikelolanya. Kegiatan pasca pembelajaran ini dapat berbentuk enrichment (pengayaan) dapat pula berupa pemberian layanan remedial teaching bagi siswa yang memiliki kesulitan belajar.
b. Bahasa Inggris
Bahasa Inggris merupakan alat untuk berkomunikasi secara lisan dan tulis. Berkomunikasi adalah memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Kemampuan berkomunikasi dalam penegrtian yang utuh adalah kemampuan
berwacana,
yakni
kemampuan
memahami
dan/atau
menghasilkan teks lisan dan/atau tulis yang direalisasikan dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan inilah yang digunakan untuk menanggapi atau menciptakan wacana dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, mata
pelajaran
Bahasa
Inggris
diarahkan
untuk
mengembangkan
keterampilan-keterampilan tersebut agar lulusan mampu berkomunikasi dan berwacana dalam bahasa Inggris pada tingkat literasi tertentu. Tingkat literasi mencakup performative, functional, informational, dan epistemic. Pada tingkat performative, orang mampu membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara dengan simbol-simbol yang digunakan. Pada tingkat functional, orang mampu menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti membaca surat kabar, manual atau petunjuk. Pada tingkat informational, orang mampu mengakses pengetahuan dengan kemampuan berbahasa, sedangkan pada tingkat epistemic orang mampu
mengungkapkan
pengetahuan
ke
dalam
bahasa
sasaran
(Wells,1987). (Permen No. 22 Tahun 2006). Kebijakan tentang pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar muncul ketika terbitnya surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan nomor
060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993 tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris lebih dini sebagai mata pelajaran muatan lokal. Dan kemudian Bahasa Inggris telah resmi menjadi muatan lokal di sekolah dasar sejak tahun 1994. (Suyanto, 2007:10). Mata pelajaran bahasa Inggris di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Mengembangkan kompetensi berkomunikasi dalam bentuk lisan secara terbatas untuk mengurangi tindakan (language accompanying action) dalam konteks sekolah. 2. Memiliki kesadaran tentang hakikat dan pentingnya bahasa Inggris untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam masyarakat global. (Permen No. 22 Tahun 2006). c. Pembelajaran Bahasa Inggris Salah satu faktor penting dalam pembelajaran bahasa Inggris untuk anak adalah guru yang peduli terhadap kebutuhan anak didiknya. Dari hasil penelitian dan kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak masih banyak kelemahan dan kekurangannya (Kasihani K.E. Suyanto, 2007). Selain penguasaan dan keterampilan bahasa Inggris yang mumpuni, guru juga harus menguasai teknik-teknik mengajar bahasa Inggris untuk anak. Mempelajari bahasa Inggris sangatlah penting bahkan bisa dikatakan wajib terutama pada usia dini. Ini dikarenakan bahasa Inggris adalah bahasa Internasional. Alasan kedua adalah dengan menguasai bahasa Inggris maka
orang dengan mudah masuk dan dapat mengakses dunia informasi dan teknologi. Dengan pengenalan bahasa Inggris di Sekolah Dasar maka mereka mempunyai pengetahuan dasar yang lebih baik sebelum melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Meskipun bahasa Inggris belum menjadi second language buat masyarakat Indonesia akan tetapi keberadaan bahasa Inggris sebagai foreign language sudah diperkenalkan pada jenjang pendidikan dasar atau bahkan pada
usia dini. Ada dua hal utama yang mendukung anak-anak untuk
belajar bahasa asing. Pertama, mereka memiliki pendengaran dan memori yang tajam pada usia ini merupakan puncak kemampuan mereka sebelum usia 12 tahun, mereka dapat belajar mengikuti bunyi dengan cepat dan tepat serta dapat menguasai pembelajaran baru tanpa kesulitan. Kedua, anakanak memiliki hambatan yang lebih sedikit, merespon dengan senang, dan spontan. Hal ini diperkuat oleh pandangan Mc Quown yang mendukung gagasan bahwa secara alamiah anak-anak adalah pebelajar bahasa yang berbakat yang dalam proses pendidikannya wajib mempelajari bahasa asing dalam usia dini. Beberapa pakar bahasa mendukung pandangan "semakin dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu". Misalnya, McLaughlin dan Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat memperoleh bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa. (Suyanto, 2007:10).
Suyanto menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar adalah guru (Suyanto, 2007:12). Karena guru bahasa Inggris adalah orang yang pertama kali mengenalkan kepada anak bahwa ada bahasa lain selain bahasa ibu dan bahasa Indonesia. Dalam praktiknya, guru dituntut untuk bisa menggunakan teknik yang baik dalam proses pembelajaran dikelas. Teknik pengajaran bahasa Inggris untuk anak adalah agar anak merasa tertarik dan senang ketika mereka belajar (Murdibjono, 1995). Situasi yang menyenangkan sudah seharusnya diciptakan dalam rangka mencapai tujuan pengajaran yang diprogramkan. Dengan karakter yang dimiliki oleh anak-anak, guru juga harus pintar meramu aktifitas selama proses pembelajaran. Aktifitas yang diberikan kepada anak harus sesuai dengan karakter yang dimiliki anak. Kalau kita membicarakan pembelajaran bahasa Inggris untuk anak atau yang biasa disebut EYL ( English for Young Learners ), kita perlu memahami siapa yang kita maksud dengan siswa EYL. Siswa EYL adalah pebelajar muda yang belajar bahasa Inggris. Mereka adalah anak-anak usia sekolah dasar yangmendapatkan pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal disekolahnya. Pebelajar muda di sini adalah siswa sekolah dasar yang berusia antara 6-12 tahun. Mereka dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu Younger Group (6-8 tahun) dan Older Group (9-12 tahun). Menurut jenjang kelasnya, mereka bisa disebut anak-anak Lower Classes, yaitu anak kelas 1, 2, dan 3 serta Upper Classes siswa kelas 4,5 dan
6. Sementara itu, Scott dan Ytreberg (1990) membagi mereka dalam kelompok Level one atau tingkat pemula (5-7 tahun) dan Level two (8-10 tahun). Kelompok Level Two juga bisa disebut beginners jika mereka baru mulai belajar bahasa Inggris pada usia itu. Saat ini banyak anak preschool atau siswa taman kanak-kanak yang juga belajar bahasa Inggris sehingga kita dapat mengelompokkan mereka dalam kelompok very young learners. Pada dasarnya, yang perlu diingat sebagai salah satu tujuan penting dalam pembelajaran bahasa Inggris adalah menumbuhkan minat anak dalam belajar bahasa Inggris. (Suyanto, 2007:10). Berikut ini karakteristik atau ciri-ciri pebelajar muda secara umum (Suyanto, 2007:11): 1. Pada umumnya, anak-anak usia 5-7 tahun memiliki sikap egocentric di mana kecenderungan mereka suka menghubungkan apa yang mereka pelajari atau mereka lakukan dengan dirinya sendiri. Mereka menyukai materi pelajaran yang berhubungan dengan kehidupan mereka
sehari-hari
dan
sekelilingnya,
misalnya
topik
yang
menggunakan kata atau frasa, seperti ”My ... : my family, my house .... Mereka juga memberikan perhatian lebih pada kalimat atau frasa yang menyangkut benda-benda miliknya atau yang dipakainya bahkan pada anggota tubuhnya. Ketika anak-anak bertambah usia, yaitu ketika menginjak usia 10 tahun (kelas 4 SD) mereka sedang dalam proses perubahan yang tadinya egocentric menuju ke hubungan timbal balik atau reciprocity.
2. Pebelajar muda kelompok Level One, yaitu usia 5–7 tahun masih sulit membedakan hal-hal yang konkret dan yang abstrak. Garis pembatas antara dunia nyata dan dunia imajinasi tidak atau belum jelas bagi mereka. Mereka belum bisa membedakan sesuatu merupakan hal nyata atau tidak nyata. Benda konkret dengan mudah dapat diperkenalkan kepada siswa dalam bahasa Inggris. Bendabenda tersebut dapat diajarkan dan dikemas dalam sebuah nyanyian, misalnya sambil menunjuk benda-benda di kelas, guru pun mengajari siswa untuk bernyanyi. Ketika menginjak usia 8–10 tahun, mereka sudah bisa membedakan antara fakta dan fiksi, juga bisa mengerti hal yang abstrak. 3. Anak-anak juga cenderung imajinatif dan aktif.
Mereka juga
menyukai pembelajaran melalui permainan, cerita maupun lagu sehingga mereka akan lebih termotivasi untuk belajar bahasa Inggris walaupun secara tidak langsung. Belajar berbahasa sambil bermain merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak atau sering disebut sebagai
recreational time out activities. Ur (1996)
mengatakan ada tiga sumber perhatian untuk anak-anak dalam kelas, yaitu gambar, dongeng, dan permainan. 4. Perasaan mudah bosan, mereka mempunyai tingkat konsentrasi dan perhatian yang pendek. Untuk mengatasinya kegiatan belajar harus variatif dan perlu diganti setiap 10 – 15 menit.
5. Kehidupan anak-anak penuh warna dan keceriaan. Kegiatan dan tugas yang disertai dengan gambar yang menarik dan berwarna-warni akan membuat anak-anak lebih gembira. Keceriaan anak-anak juga bisa dituangkan dalam
lagu. Pada umumnya bernyanyi dan
mendengar lagu juga disukai oleh hampir semua anak, termasuk anak yang pemalu sekalipun tanpa disadari mereka bisa belajar kosakata dan frasa yang diulang-ulang dalam sebuah lagu yang mereka nyanyikan dalam waktu yang singkat. Anak-anak biasanya cepat hafal nyanyian yang sederhana, riang, dan mudah untuk diucapkan, apalagi bila nyanyian itu dilagukan dengan gerakan yang sesuai. 6. Anak-anak
menyukai
cerita
sebagaimana
mereka
menyukai
permainan. Melalui cerita, siswa dapat dilatih untuk lebih memusatkan perhatian pada konteks secara keseluruhan daripada jika dinyatakan kata per kata. Sementara melalui permainan, siswa lebih terdorong untuk lebih aktif dan lebih bebas dalam menggunakan bahasa Inggris yang kadang-kadang akan terucap bahasa menurut versi mereka. 7. Last but not least, pebelajar muda merupakan pemikir aktif yang senang belajar sesuatu termasuk juga belajr bahasa dengan cara melakukan sesuatu (learning by doing), misalnya
bermain atau
bernyanyi dengan menggerakan anggota tubuh untuk memberi isyarat atau memberi makna ungkapan yang diucapkan (Suyanto, 2007: 11). 2.1.4 Numbered Heads Together (Kepala Bernomor)
a. Pengertian Numbered Heads Together (Kepala Bernomor) Numbered Heads Together dari Spencer (1992) dalam Komalasari (2010, 62-63) mengemukakan bahwa pada model pembelajaran ini setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok dan secara acak guru memanggil nomor dari siswa. Menurut Suprijono (2009:92) pembelajaran dengan menggunakan model Numbered Heads Together diawali dengan numbering. Tipe kesempatan
pembelajaran pada
siswa
Numbered untuk
Heads
saling
Together
membagikan
memberikan ide-ide
dan
mempertimbangkan jawaban yang paling tepat serta mendorong siswa untuk meningkatkan kerjasama (Lie, 2002:58). Dapat disimpulkan bahwa melalui model pembelajaran Number Heads Together dapat bekerjasama dan mempunyai pengetahuan secara merata, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kemampuan kognitif siswa b. Langkah-langkah Pembelajaran Model Numbered Heads Together (Kepala Bernomor) Langkah-langkah Pembelajaran Numbered Heads Together dalam Komalasari (2010, 62-63): 1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam kelompok mendapat nomor. 2. Guru
memberikan
mengerjakannya.
tugas
dan
masing-masing
kelompok
3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota
kelompok
dapat
dapat
mengerjakannya/mengetahui
jawabannya. 4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerja sama mereka. 5. Tanggapan dari teman lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain. 6. Kesimpulan. Menurut Suprijono (2009:92), Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil, jumlah kelompok sebaiknya mempertimbangkan jumlah konsep yang dipelajari. Jika jumlah peserta dalam satu kelas terdiri dari 40 siswa dan terbagi menjadi 5 kelompok berdasarkan jumlah konsep yang dipelajari, maka tiap kelompok terdiri 8 orang. Tiap-tiap orang dalam tiap-tiap kelompok diberi nomor 1-8. Setelah kelompok terbentuk guru mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh tiap-tiap kelompok. Berikan kesempatan tiap-tiap kelompok menemukan jawaban. Pada kesempatan ini tiap-tiap kelompok menyatukan kepalanya “Heads Together” berdiskusi memikirkan jawaban atas pertanyaan dari guru. Langkah berikutnya adalah guru memanggil peserta didik yang memiliki nomor yang sama dari tiap-tiap kelompok. Mereka diberi kesempatan untuk memberi jawaban atas pertanyaan yang diterimanya dari guru. Hal itu dilakukan terus hingga semua peserta didik dengan nomor yang sama dari masing-masing kelompok mendapat giliran memaparkan jawaban atas pertanyaan guru. Berdasarkan jawaban-jawaban
itu guru dapat mengembangkan diskusi lebih mendalam, sehingga peserta didik dapat menemukan jawaban pertanyaan itu sebagai pengetahuan yang utuh. Supaya pembelajaran Numbered Heads Together dapat berjalan dengan lancar dan efektif maka perlu ditanamkan kepada peserta didik yaitu ketergantungan
positif,
tanggungjawab
perseorangan,
tatap
muka,
komunikasi antar anggota dan evaluasi proses kelompok. 2.2 Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah sebagai berikut: “Jika menggunakan model numbered heads together maka kemampuan siswa mengeja alphabet akan meningkat. 2.3 Indikator Kinerja Sebagai indikator kinerja keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah terjadi peningkatan kemampuan siswa
dalam mengeja alphabet melalui
model numbered heads together di kelas I SDN 23 Tibawa Kabupaten Gorontalo. Kemampuan siswa diukur melalui beberapa indikator sebagai berikut:` a. Apabila terjadi perubahan sikap dan perilaku siswa mengikuti pembelajaran yang ditandai dengan aktivitas siswa ketika mendapat tindakan dengan model numbered heads together.
b. Dari 28 siswa mengalami peningkatan penguasaan kosakata pada materi mengeja alphabet sebesar 70%.