7
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1
Kajian Teoretis
2.1.1 Hakekat Kemampuan Di dalam kamus bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari kata “mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan sesuatu, dapat, berada,
kaya, mempunyai
harta
berlebihan).
Kemampuan adalah
suatu
kesanggupan dalam melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa melakukan sesuatu yang harus ia lakukan. Menurut Chaplin ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini sejalan dengan Hasan yang menyatakan bahwa kemampuan (ability)
adalah
kesanggupan,
kecakapan,
pengetahuan,
keahlian
atau
kepandaian yang dapat dinyatakan melalui pengukuran-pengukuran tertentu. (Syafaruddin, 2012:71-72) Robbin (Yusdi, 2007:1) kemampuan berarti kapasitas seseorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Lebih lanjut Robbin menyatakan bahwa kemampuan (ability) adalah sebuah penilaian terkini atas apa yang dapat dilakukan seseorang. Dia juga melanjutkan, kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktek.
8
Robbins (dalam Yusdi, 2011:1) membagi kemampaun menjadi dua yaitu ”kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. (1) kemampuan intelektual (intelectual ability) merupakan kemampuan melakukan aktivitas secara mentalberfikir, menalar dan memecahkan masalah, (2) kemampuan fisik (physical ability) merupakan kemampuan melakukan aktivitas berdasarkan stamina kekuatan dan karakteristik serupa.” Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, kemampuan adalah kesanggupan seseorang individu untuk melakukan suatu pekerjaan sendiri demi tercapai suatu tujuan yang diharapkan. 2.1.2 Jaring-Jaring Kubus 2.1.2.1 Pengertian Kubus Kubus adalah bangun ruang tiga dimensi yang dibatasi oleh enam bidang sisi yang berbentuk bujur sangkar. Kubus memiliki 6 sisi, 12 rusuk dan 8 titik sudut. Kubus juga disebut bidang enam beraturan, selain itu juga merupakan bentuk khusus dalam prisma segiempat (Wikipedia, 2012:1). Bangun berbentuk kubus dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari : a) Dadu yang berbentuk kubus b) Gambar kubus yang terdiri dari enam buah bidang yag berbentuk persegi yang kongruen c) Kerangka kubus yang terbuat dari logam (yang disebut rusuk) terdiri dari 12 rusuk kubus yang sama panjang. (dalam e-dukasi, 2010:1)
9
a)
b)
c)
Gambar 2.1 Bentuk kubus dalam kehidupan sehari-hari. Penamaan kubus disesuaikan dengan sisi alas dan sisi atas. Jika sisi alas kubus ABCD, dan sisi atas kubus EFGH, maka kubus tersebut dinamakan kubus ABCD.EFGH.
Gambar 2.2 Kubus 2.1.2.2 Pengertian Jaring-Jaring Kubus Sebuah kubus apabila dipotong menurut rusuk-rusuknya kemudian tiap sisinya direntangkan akan menghasilkan jaring-jaring kubus. Jaring-jaring kubus terdiri dari enam buah persegi kongruen yang saling berhubungan. (Nuria, 2012:1) Jaring-jaring kubus adalah rangkaian sisi-sisi suatu kubus yang jika dipadukan akan membentuk suatu kubus (Nurjanah, 2009:146). Pada gambar di bawah ini adalah sebuah kubus ABCD.EFGH yang sudah direntangkan disetiap sisinya dan menghasilkan sebuah jaring-jaring.
10
Gambar 2.3 Kubus dan jaring-jaring kubus 2.1.2.3 Membuat Jaring-Jaring Kubus Apabila pada bagian tadi kita membuat jaring-jaring kubus dengan cara memotong kubus yang sudah jadi menurut rusuk-rusuknya, sekarang kita akan membuat jaring-jaring kubus. Enam buah persegi yang kongruen kalau disusun belum tentu merupakan jaring-jaring kubus. Susunan persegi tersebut merupakan jaring-jaring kubus apabila dilipat kembali keenam sisi kubus tepat tertutup oleh 6 buah persegi yang kongruen tersebut.
Gambar 2.4 Contoh jaring-jaring kubus Untuk mengetahui apakah suatu rangkaian persegi (seperti gambar di atas) merupakan suatu jaring-jaring kubus atau bukan adalah dengan menentukan salah satu sisinya sebagai alas bidang alas (AL). Setelah itu dapat ditentukan bidangbidang: atas (AT), kanan (KA), kiri (KI), depan (D), dan belakang (B). Jika tidak ada bidang-bidang sisi yang berhimpitan maka rangkaian tersebut merupakan suatu jaring-jaring kubus. Pada rangkaian di atas, jika dilanjutkan akan didapat
11
hasil berikut di mana tidak ada dua bidang sisi yang berimpitan sehingga dapat disimpulkan bahwa rangkaian tersebut merupakan jaring-jaring kubus
Gambar 2.5 Contoh model jaring-jaring Jika digunakan cara seperti di atas, akan nampak bahwa rangkaian enam persegi di bawah ini bukanlah jaring-jaring kubus karena ada dua persegi yang akan berhimpitan. Ada dua bidang sisi atas (AT), sedangkan tidak memiliki sisi depan (D)
Gambar 2.6 bukan model jaring-jaring kubus 2.1.2.4 Pola Jaring-Jaring Kubus Ada 11 buah jenis jaring-jaring kubus dan untuk memudahkan dalam mengingat bentuk masing-masing jaring-jaring maka akan digunakan pola-pola. Pola-pola tersebut adalah: 1. Pola 141 sebanyak 6 jenis Pola 141 artinya berbaris pada rangkaian 4 persegi dengan 1 persegi masingmasing terletak pada sebelah menyebelah rangkaian persegi.
12
Tetap Pindah
Tetap Pindah
Gambar 2.7 model jaring-jaring kubus pola 141 2. Pola 231 sebanyak 3 jenis Pola 231 artinya berbaris pada rangkaian 2 persegi, 3 persegi, dan 1 persegi terletak pada sebelah menyebelah rangkaian 3 persegi. Tetap
Pindah
Gambar 2.8 model jaring-jaring kubus pola 231 3. Pola 222 sebanyak 1 jenis
Gambar 2.9 model jaring-jaring kubus pola 222 4. Pola 33 sebanyak 1 jenis
Gambar 2.10 model jaring-jaring kubus pola 33
13
2.1.3
Hakekat Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
2.1.3.1 Pengertian Model Pembelajaran kooperatif Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Sedangkan Menurut Weil (Abimanyu, 2008:24-25) model pembelajaran dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu yang berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar mengajar. Alma
(2009:81)
cooperative
learning
merupakan
suatu
model
pembelajaran dengan menggunakan kelompok kecil, bekerja sama. Keberhasilan dari model ini sangat tergantung pada kemampuan aktivitas anggota kelompok, baik secara individual maupun dalam bentuk kelompok. Cooperative learning tidak sama dengan belajar kelompok, atau kelompok kerja, tetapi memiliki strutur dorongan dan tugas yang bersifat cooperative, sehingga terjadi interaksi secara terbuka dan hubungan interpendensi yang efektif. Cooperative learning ini sangat menyentuh hakekat manusia sebagai makhluk sosial, yang selalu berinteraksi, saling membantu ke arah yang makin baik secara bersama ”getting better togerther”. Dalam proses belajar disini betul-betul diutamakan saling membantu diantara anggota kelompok
14
Slavin (dalam Prismawati, 2008:1) menjelaskan bahwa
“pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam satu kelas dijadikan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang untuk memahami konsep yang difasilitasi oleh guru. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dengan setting kelompok-kelompok kecil dengan memperhatikan keberagaman anggota kelompok sebagai wadah siswa bekerjasama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial dengan teman sebayanya, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan dan ia menjadi narasumber bagi teman yang lain. Jadi Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai pembelajaran.”
tujuan
Slavin (dalam Syaiful, 2010:1) juga mennyebutkan bahwa
“pembelajaran kooperatif adalah suatu solusi terhadap masalah meniadakan kesempatan berinteraksi secara kooperatif dan tidak dangkal kepada para siswa dari latar belakang etnik yang berbeda. Metode-metode kooperatif secara khusus menggunakan kekuatan dari sekolah yang menghapuskan perbedaan-perbedaan para siswa dari latar belakang ras etnik yang berbeda untuk meningkatkan hubungan antra kelompok”. Slavin (dalam Solihatin, 2009:4) menambahkan ”cooperatif
learning (pembelajaran kooperatif) lebih dari sekedar belajar
kelompok atau kelompok kerja, karena belajar dengan model cooperative learning harus ada ”struktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif” sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interpendensi yang efektif diantara anggota kelompok.”
15
Menurut Sagala (dalam Anonim, 2010:1) “pembelajaran kooperatif merupakan
salah
konstruktivisme
satu
bentuk
“konstruktivisme
pembelajaran
yang
berdasarkan
merupakan
landasan
berpikir
faham (filosofi)
pendekatan konstekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tibatiba.” Lie (dalam Juniadi, 2010:1) menjelaskan ”pembelajaran kooperatif adalah sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Susana belajar kooperatif menghasilkan prestasi yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif dan penyesuaian psikologis yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan memisah-misahkan siswa. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menitikberatkan pada pengelompokkan siswa dengan tingkat kemampuan akademik yang berbeda ke dalam kelompokkelompok kecil” Menurut Thomson, et al (dalam Santoso), pembelajaran kooperatif turut menambah
unsur-unsur
interaksi
sosial
pada
pembelajaran.
Di
dalam
pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 siswa, dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan pendapat dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama di
16
dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, memberikan penjelasan kepada teman sekelompok dengan baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan. Menurut Karlina (2010:1) Sistem pembelajaran gotong royong atau cooperative learning merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif dikenal dengan pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara anggota kelompok. Menurut Nur (dalam Arini, 2009:1), semua model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur penghargaan. Struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur penghargaan pada model pembelajaran kooperatif berbeda dengan struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur penghargaan pada model pembelajaran yang lain. Dalam proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif, siswa didorong untuk bekerja sama pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta berkembangnya keterampilan sosial.
17
Menurut Isjoni (dalam Anonim, 2010:1) “cooperative learning adalah mengelompokkan siswa ke dalam suatu kelompok suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.” Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah) dan jika memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. (Anonim, 2010:3) Sedangkan model pembelajaran menurut Kardi dan Nur (Anonim, 2009:2) ada lima model pembelajaran yang dapat digunakan dalam mengelola pembelajaran,
yaitu:
pembelajaran
langsung,
pembelajaran
kooperatif,
pembelajaran berdasarkan masalah, diskusi, dan learning strategi. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaktidaknya tiga tujuan pembelajaran penting. Menurut Depdiknas (Ipotes, 2008:1-2) tujuan pertama pembelajaran kooperatif, yaitu meningkatkan hasil akademik, dengan meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademiknya. Siswa yang lebih mampu akan menjadi nara sumber bagi siswa yang kurang mampu, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Sedangkan tujuan yang kedua, pembelajaran kooperatif memberi peluang agar siswa dapat menerima teman-
18
temannya yang mempunyai berbagai perbedaan latar belajar. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial. Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud antara lain, berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya. 2.1.3.2 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Menurut Ady (2009:1) Jigsaw adalah tipe pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Elliot Aronson’s. Model pembelajaran ini didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada kelompoknya. Pada model pembelajaran Jigsaw ini keaktifan siswa (student centered) sangan dibutuhkan, dengan dibentuknya kelompokkelompok kecil yang beranggotakan 3-5 orang yang terdiri dari kelompok asal dan kelompok ahli. Sunarto (2009:1) model jigsaw adalah teknik pembelajaran kooperatif di mana siswa, bukan guru, yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam melaksanakan pembelajaran. Tujuan dari jigsaw ini adalah mengembangkan kerja tim, ketrampilan belajar kooperatif, dan menguasai pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian.
19
Buchari Alma (2009:84-85), model pembelajaran Jigsaw adalah salah satu model cooperative learning, yang teknik pelaksanaannya dimulai dari pembentukan kelompok yang disusun oleh guru, agar siswa tidak memilih-milih teman yang disenangi saja, jadi sifatnya heterogen. Setiap anggota kelompok diberi tugas untuk mempelajari materi tertentu. Kemudian ada perwakilan kelompok bertemu dengan perwakilan kelompok lain, mereka belajar materi yang sama. Kemudian kelompok dari perwakilan kelompok ini kembali ke kelompok asalnya, dan menjelaskkan apa yang sudah mereka bahas dalam pertemuan perwakilan kelompok tadi. Mulyana (2012:1) Tipe Jigsaw adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif di mana pembelajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa yang bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran dan mendapatkan pengalaman belajar yang maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok. Pada pembelajaran tipe Jigsaw ini setiap siswa menjadi anggota dari 2 kelompok, yaitu anggota kelompok asal dan anggota kelompok ahli. Anggota kelompok asal terdiri dari 3-5 siswa yang setiap anggotanya diberi nomor kepala 1-5. Nomor kepala yang sama pada kelompok asal berkumpul pada suatu kelompok yang disebut kelompok ahli. Johnson (dalam Mulyana, 2011: 1) yang menyatakan bahwa “Pembelajaran Kooperatif Jigsaw ialah kegiatan belajar secara kelompok kecil, siswa belajar dan bekerja sama sampai kepada pengalaman belajar yang maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok”
20
Arends (Asep, 2011:1) pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4–6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain Lie, (Fitri, 2011:3) Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli. Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang
21
beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. (Fauzan, 2011:1) Jigsaw dirancang untuk memberikan kesempatan belajar yang adil kepada semua siswa. Demikian juga memberikan kesempatan yang sama untuk terlibat aktif dalam pembelajaran. Hal ini dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk mempelajari bagian materi ajar sehingga ia akan menjadi ahli dibidangnya. Keahlian yang dimilliki tersebut kemudian dibelajarkan kepada rekannya di kelompok lain. Rekannya di kelompok lain juga mempelajari materi ajar yang lain dan menjadi ahli di bidangnya. Interaksi yang terjadi adalah pola pembelajaran saling berbagi (share). Setiap siswa akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi karna memiliki keahlian tersendiri yang diperlukan siswa lain. Setiap siswa akan merasa saling memerlukan dan tergantung dengan siswa lain. (Anonim, 2012:1) Pola distribusi siswa dalam kelompok jigsaw adalah diawali dengan pembentukan kelompok asal. Dari kelompok asal kemudian didistribusikan ke kelompok ahli untuk mempelajari bidang tertentu sampai menjadi ahli. Siswa di kelompok ahli kemudian kembali ke kelompok asal untuk berbagi tentang ilmu yang sudah didapatkan melalui presentasi sederhana. Di kelompok asal siswa yang sudah ahli akan bertemu dengan siswa lain yang ahli di bidang lain untuk
22
saling berbagi menyelesaikan permasalahan yang diberikan guru. (Anonim, 2012:1) Dengan pola distribusi kelompok tersebut akan terjadi ketergantungan positif dengan teman kelompoknya. Rasa tanggung jawab antar anggota kelompok untuk memenangkan kuis pada akhir kegiatan menjadi tantangan bersama. Dengan demikian setiap anggota kelompok akan termotivasi untuk membuat rekan dalam kelompok asal memahami bagian materi untuk dapat menjawab permasalahan yang diberikan guru. Model pembelajaran tersebut membuat setiap komponen pembelajaran berelaborasi secara interaktif. Tantangan yang motivatif menyebabkan interaksi antara media, sumber belajar dan siswa meningkat. (Anonim, 2012:1) 2.1.3.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw (Emildadiany, 2008:3-4), langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw yang dikembangkan oleh Elliot Aronson’s adalah sebagai berikut : a. Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4–6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi
23
pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
Gambar 2.11 Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw b. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
24
c. Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual. d. Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya. e. Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran. f. Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. 2.1.3.4 Keunggulan Dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Menurut Ady (2009:1-2), model pembelajaran Jigsaw mempunyai Keunggulan dan kelemahandiantaranya : a. Keunggulan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yaitu : 1) Melibatkan seluruh peserta didik dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain. 2) Meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. 3) Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompok yang lain. 4) Siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan bekerjasama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan.
25
5) Melatih peserta didik agar terbiasa berdiskusi dan bertanggungjawab secara individu untuk membantu memahamkan tentang suatu materi pokok kepada teman sekelasnya. b. Kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yaitu: Dalam penerapan sering dijumpai beberapa permasalahan, yaitu: 1) Siswa yang aktif akan lebih mendominasi diskusi, dan cenderung mengontrol jalannya diskusi. 2) Siswa yang memiliki kemampuan membaca dan berfikir rendah akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan materi apabila ditunjuk sebagai tenaga ahli. 3) Siswa lebih cerdas cenderung merasa bosan. 4) Siswa yang tidak terbiasa berkompeten akan kesulitan untuk mengikuti proses pembelajaran. c. Cara mengantisipasi kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, yaitu: 1) Guru harus benar-benar memperhatikan jalannya diskusi, guru harus menekankan agar para anggota kelompok menyimak terlebih dahulu penjelasan dari guru. Kemudian baru mengajukan pertanyaan apabila tidak mengerti. 2) Guru harus memilih tenaga ahli secara tepat, kemudian memonitor kenerja mereka dalam menjelaskan materi, agar materi dapat tersampaikan secara akurat.
26
3) Guru harus pandai menciptakan suasana kelas yang menggairahkan agar siswa yang cerdas tertantang untuk mengikuti jalannya diskusi. 2.1.4 Penerapan Dalam Membuat Jaring-Jaring Kubus Langkah-langkah pembelajaran tentang membuat jaring-jaring kubus dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yang disusun peneliti berdasarkan pada model pembelajaran Jigsaw yang dikembangkan oleh Elliot Aronson’s (Emildadiany, 2008:3-4) adalah sebagai berikut: Guru mengatur tempat duduk siswa, mengabsen siswa dan meminta ketua kelas memimpin doa untuk memulai pelajaran. Mengadakan apersepsi dengan menanyakan kepada siswa “siapa yang tahu pengertian dari jaring-jaring kubus?”, setelah siswa menjawab, guru mengajukan pertanyaan lagi pada siswa ”siapa yang mengetahui cara membuat jaring-jaring kubus?”. Setelah siswa menjawab lagi, guru kemudian menjelaskan cara membuat jaring-jaring kubus. Guru menjelaskan cara membuat jaring-jaring kubus ada dua cara, yaitu yang pertama, dengan menggunting kubus yang sudah jadi menurut rusuk-rusuknya kemudian direntangkan. Yang kedua, dengan cara menyusun enam buah persegi yang kongruen. Setelah menjelaskan cara membuat jaring-jaring kubus, guru memberikan satu contoh model jaring-jaring kubus. Guru menjelaskan cara membuat jaringjaring tersebut dengan cara menyusun enam buah persegi yang kongruen. Pada saat guru memberikan contoh, siswa lain diminta untuk memperhatikan yang dijelaskan guru.
27
Setelah memberikan contoh model jaring-jaring kubus, guru membagi kelompok secara heterogen terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan kemampuan yang beragam. Terdapat 18 siswa di dalam kelas, maka pembentukan kelompok terdiri dari 3 kelompok ahli dan 6 kelompok asal.
Kelompok Asal
123
123
123
123
222 222
111 111
123
123
333 333
Kelompok Ahli
Gambar 2.12 Pembagian kelompok jigsaw di dalam kelas Pembagian kelompok dimulai dengan 3 kelompok ahli. Dalam kelompok ahli ini, siswa ditugaskan untuk membuat jaring-jaring dengan cara menyusun 6 buah persegi yang kongruen. Pada tiap masing-masing kelompok akan membuat model jaring-jaring kubus yang berbeda. Setelah membentuk kelompok ahli, guru membagikan bahan yang akan digunakan dalam membuat jaring-jaring kubus, sedangkan alat disiapkan oleh siswa dari rumah. Adapun alat dan bahan yang digunakan yaitu kertas karton atau kertas HVS dan gunting.
28
Keterangan Gambar = meja guru = papan tulis = meja siswa = tempat duduk siswa
Gambar 2.13 Pembagian kelompok ahli Setelah masing-masing kelompok membuat model jaring-jaring, maka guru akan membagi lagi kedalam 6 kelompok asal. Dalam kelompok asal ini, terdapat siswa dari masing-masing kelompok ahli. Disinilah tugas para siswa untuk menjelaskan materi kepada teman lainnya. Sehingga dalam semua kelompok asal tahu semua model dari jaring-jaring kubus.
Keterangan Gambar = meja guru = papan tulis = meja siswa = tempat duduk siswa
Gambar 2.14 Pembagian kelompok asal
29
Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan. Pada saat presentase kelompok, perwakilan masing-masing kelompok akan menjelaskan pola model jaring-jaring yang mereka temukan kepada kelompok lain agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan. Setelah presentase, guru menjelaskan materi secara singkat dan bersamasama dengan siswa memberikan kesimpulan. Adapun kesimpulan yang didapat yaitu terdapat 11 model jaring-jaring kubus. Selanjutnya, guru memberikan evaluasi kepada siswa yaitu membuat 5 model jaring-jaring kubus. Pada saat evaluasi, siswa dinilai melalui 3 aspek yaitu menggambar 5 bentuk jaring-jaring kubus, menggunting bentuk-bentuk jaringjaring dengan tepat, dan melipat bentuk jaring-jaring yang sudah digunting. Setelah menilai kemampuan siswa, guru memberikan motivasi pada siswa untuk rajin belajar di rumah kemudian menutup pelajaran. 2.1.5
Kajian Penelitian Relevan Penelitian tentang kemampuan siswa melalui model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw sebelumnya sudah ada yang meneliti, akan tetapi penelitian yang membahas tentang membuat jaring-jaring kubus belum ada. Berikut uraian singkat beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Priyanto, (2007) dalam pembelajaran Kimia pada materi Alkana dan Alkena pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Darut
30
Malang dengan tujuan untuk mengetahui: 1) persepsi siswa terhadap model cooperative learning tipe Jigsaw dan 2) apakah ada perbedaan hasil belajar antara siswa yang menggunakan model cooperative learning tipe Jigsaw dengan siswa yang belajar menggunakan metode ceramah. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa hasil belajar kelompok kooperatif lebih baik daripada kelompok ceramah dan siswa X Madrasah Aliyah Darut Malang yang memberi persepsi sangat baik terhadapmodel cooperative learning tipe jigsaw 2. Nini Sumarlin (2008) melakukan penelitian dengan judul Peningkatan Pertisipasi dan Hasil Belajar Bahasa Indonesia melalui Teknik Kooperatif Model Jigsaw di SMPN I Kubung Kabupaten Solok. Dalam hasil penelitiannya ditemukan bahwa penggunaan teknik kooperatif model Jigsaw dapat meningkatkan partisipasi dan hasil belajar siswa. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Susilayanti (2006), menyimpukan bahwa melalui model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw prestasi belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kendari pada Pokok Bahasan Persamaan garis lurus dapat ditingkatkan. 2.2
Hipotesis Tindakan Adapun hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah “jika menggunakan
model pembelajaran kooperative tipe Jigsaw, maka kemampuan membuat jaringjaring kubus pada siswa kelas V akan meningkat”
31
2.3
Indikator Kinerja Indikator kinerja dalam penelitian ini adalah jika jumlah siswa yang
mengalami peningkatan kemampuan membuat jaring-jaring kubus mencapai minimal 75% dari jumlah siswa yang dilakukan tindakan mampu memperoleh nilai minimal 70 ke atas dari jumlah siswa sebanyak 18 siswa.