BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Hakekat Hasil Belajar Menurut Hamalik (2001:159) hasil belajar menunjuk pada prestasi belajar, sedangkan prestasi belajar merupakan indikator adanya derajat perubahan tingkah laku siswa. Bloom (dalam Purwanto, 2004:42)) mengklasifikasi hasil belajar menjadi tiga ranah atau domaon, yaitu: (1) ranah kognitif, di mana ranah ini menaruh perhatian pada pengembangan kapabilitas dan keterampilan intelektal; (2) ranah afektif, ranah ini berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi yang dipelajari; (3) ranah psikomotor berkaitan dengan kegiatankegiatan manipulatif atau keterampilan motorik. Terdapat enam aspek pada ranah psikomotor, yaitu (1) gerak refleks, (2) keterampilan kerangka dasar, (3) kemampuan
perseptual,
(4)
keharmonisan
dan
ketepatan,
(5)
gerakan
keterampilan kompleks, (6) gerakan ekspresi dan interpretatif. Selanjutnya Bloom (dalam Purwanto, 2004:43) mengklasifikasikan ranah kognitf menjadi enam aspek yaitu: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Pengetahuan hafalan ialah tingkat kemampuan yang hanya meminta responden atau testee untuk mengenal atau mengetahui adanya konsep, fakta, atau istilah-istilah
tanpa
harus
mengerti,
atau
dapat
menilai,
atau
dapat
menggunakannya. Dalam hal ini biasanya hanya dituntut untuk menyebutkan kembali (recall) atau menghafal saja. Pemahaman adalah tingkat kemampuan yang mengharapkan mampu memahami arti konsep, situasi serta fakta yang
diketahuinya. Dalam hal ini tidak hanya hafal secara verbalitas, tetapi memahami konsep dari masalah atau fakta yang ditanyakan. Kemampuan berpikir yang ketiga adalah aplikasi atau penerapan. Dalam tingkat aplikasi, responden dituntut kemampuannya untuk menerapkan atau menggunakan yang diketahuinya dalam situasi yang baru baginya. Dengan kata lain aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi konkret atau situasi khusus. Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori ata petunjuk teknis. Tingkat kemampuan analisi yaitu tingkat kemampuan untuk menganalisis atau menguraikan suatu integrasi atau suatu situasi tertentu ke dalam komponenkomponen atau unsur-unsur pembentuknya. Pada tingkat anaisis diharapkan dapat memahami dan sekaligus dapat memilah-milahnya menjadi bagian-bagian. Tipe hasil belajar uang kelima adalah tingkat kemampuan sintesis. Tingkat kemampuan ini merupakan penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian ke dalam situasi yang menyeluruh. Dengan kemampuan ini seseorang dituntut untuk dapat menemukan hubungan kausal atau urutan tertentu. Berfikir sintesis merupakan salah satu terminal untuk menjadikan orang lebih kreatf. Tipe hasil belajar kognitif yang terakhir adalah evaluasi. Dengan kemampuan evaluasi, seseorang diminta untuk membuat suatu penilaian tentang suatu pernyataan, konsep, situasi, dan sebagainya berdasarkan suatu kriteria tertentu. Untuk ranah kognitif diukur melalui tes sedangkan untuk ranah afektif dan psikomotor
dinilai
pembelajaran.
melalui
pengamatan
aktivitas
siswa
selama
proses
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, maka penulis dapat penyimpulkan bahwa hasil belajar siswa merupakan nilai yang diperoleh siswa setelah mengikuti pembelajaran, nilai tersebut berupa angka yang diberikan oleh guru berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh setiap siswa. Kriteria keberhasilan belajar siswa dapat dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Yang tercakup dalam penilaian setiap aspek tersebut yakni : 1. Aspek kognitif Aspek kognitif yang berhubungan dengan kemampuan intelektual siswa yang meliputi : Tingkatan menghafal secara verbal mencakup kemampuan menghafal tentang materi pembelajaran seperti fakta, konsep, prinsip dan prosedur. Tingkatan
pemahaman
meliputi
kemampuan
membandingkan,
mengidentifikasi karakteristik, menggeneralisasi dan menyimpulkan. Tingkatan aplikasi mencakup kemampuan menerapkan rumus, dalil, atau prinsip terhadap kasus-kasus nyata yang terjadi dilapangan. Tingkatan analisis meliputi kemampuan mengklasifikasi, menggolongkan, merinci, dan mengurai suatu objek. Tingkatan sintesis meliputi kemampuan memadukan berbagai unsur atau komponen, menyusun, membentuk bangunan, mengarang. Tingkatan penilaian, meliputi kemampuan menilai terhadap objek studi menggunakan kriteria tertentu.
2. Aspek afektif Aspek afektif berhubungan dengan penilaian terhadap sikap dan minat siswa terhadap mata pelajaran dan proses pembelajaran. Evaluasi dalam aspek ini meliputi: Memberikan respons atau reaksi terhadap nilai-nilai yang dihadapkan kepadanya. Menikmati atau menerima nilai, norma, serta objek yang mempunyai nilai etika dan estetika. Menilai (valuating) ditinjau dari segi baik-buruk, adil-tidak adil, indahtidak indah terhadap objek studi. Menerapkan atau mempraktekkan nilai, norma, etika, dan estetika dalam perilaku kehidupan sehari-hari. 3. Aspek Psikomotor Pada aspek ini kompetensi yang harus dicapai meliputi: Tingkatan penguasaan gerakan awal berisi tentang kemampuan siswa dalam menggerakkan sebagai anggota tubuh. Tingkatan gerakan rutin meliputi kemampuan melakukan atau menirukan gerakan yang melibatkan seluruh anggota badan. Tingkatan gerakan rutin berisi kemampuan melakukan gerakan secara menyeluruh dengan sempurna dan sampai pada tingkatan otomatis Adapun hasil belajar yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hasil belajar ranah kognitif tipe pengetahuan, pemahaman, aplikasi dan analisis yang disesuaikan dengan indikator pembelajaran.
2.1.2 Hakekat Model Pembelajaran Kooperatif 1. Pengertian Model pembelajaran Kooperatif Menurut Nur (dalam Isjoni, 2009:27), model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang berhasil yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademik. Lukmanal
(2007:53-54)
menjelaskan
bahwa
salah
satu
bentuk
pembelajaran yang sesuai dengan falsafah dari pendekatan kontruktivisme adalah pembelajaran
kooperatif.
Pembelajaran
kooperatif
menggalakkan
siswa
berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Hal ini memungkinkan terjadinya penggabungan dan pemeriksaan ide sendiri dalam suasana yang tidak tertekan. Pembelajaran kooperatif mengacu pada kaidah pembelajaran yang melibatkan siswa dengan berbagai kemampuan untuk bekerja sama dalam kelompok kecil guna mencapai satu tujuan yang sama. Suprijono (2009: 54) mengartikan pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau yang diarahkan oleh guru. Depdiknas (dalam Lukmanal, 2007:54) menjelaskan terdapat beberapa aspek yang esensial dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: (a) saling bergantung antara satu sama lain secara positif (positif interdependence), (b) saling berinteraksi langsung antar anggota dalam kelompok (face-to-face interaction), (c) akuntabelitas individu atas pembelajaran diri sendiri (individual accountability), (d) keterampilan social (cooperative social skills), (e) pemrosesan kelompok (group processing).
Berdasarkan pengertian di atas dapat dikemukan bahwa model pembelajaran kooperatif dapat membangkitkan minat dan motivasi belajar siswa. Siswa dapat belajar berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan temannya, saling sharing pendapat dan saling menginformasikan pengetahuan dalam kelompok kecil. 2. Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif Johnson & Johnson (dalam Trianto, 2009:57) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam suatu team, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah. Zamroni (dalam Trianto, 2009:57-58) mengemukakan bahwa manfaat penerapan belajar kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas di kalangan siswa. Ibrahim, et al (dalam Isjoni, 2009:39-41)
pada dasarnya model
pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujian pembelajaran penting, yaitu: a.
Hasil belajar akademik Dalam pembelajaran kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan social, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting
lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan, model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. b.
Penerimaan terhadap perbedaan individu Pembelajaran kooperatif member peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugastugas akademik melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain. Dalam pembelajaran kooperatif guru berperan
sebagai
fasilitator.
Guru
bertanggung
jawab
untuk
mengembangkan kemampuan social siswa, karena itu perbedaanperbedaan yang ada di dalam kelas diusahakan tidak menjadi penghambat dalam mewujudkan interaksi social yang efektif antar siswa, setiap siswa didorong agar dapat membina interaksi social yang efektif, tanpa memandang perbedaan unik, agama, tingkat social ekonomi, dan prestasi akademik, setiap siswa dibantu agar memiliki kemampuan menghargai siswa lain, sehingga terbina hubungan pertemanan yang baik di antara mereka. c.
Pengembangan keterampilan sosial Penting mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan ini sangat penting untuk dimiliki oleh para siswa sebagai warga masyarakat, bangsa dan Negara, karena mengingat
kenyataan yang dihadapi bangsa ini dalam mengatasi masalah-masalah social yang semakin kompleks, serta tantangan bagi peserta didik supaya mampu dalam menghadapi persaingan global untuk memenangkan persainagn tersebut. 3.
Keterampilan Model Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif bukan hanya mempelajari materi saja, tetapi
siswa juga harus mempelajari keterampilan keterampilan khusus yang disebut keterampilan
kooperatif.
Fungsi
keterampilan
kooperatif
adalah
untuk
melancarkan hubungan kerja dan tugas. Untuk membuat keterampilan kooperatif dapat bekerja, guru harus mengajarkan keterampilan-keterampilan kelompok dan sosial yang dibutuhkan. Keterampilan itu menurut Ibrahim, dkk. (2000:47), antara lain: a.
Keterampilan Sosial Keterampilan sosial melibatkan perilaku yang menjadikan hubungan sosial berhasil dan memungkinkan seseorang bekerja secara efektif dengan orang lain.
b.
Keterampilan Berbagi Banyak siswa mengalami kesulitan berbagi waktu dan bahan. Komplikasi ini dapat mendatangkan masalah pengelolaan yang serius selama pelajaran pembelajaran kooperatif. Siswa siswa yang mendominasi sering dilakukan secara sadar dan tidak memahami akibat perilaku mereka terhadap siswa lain atau terhadap kelompok mereka.
c.
Keterampilan Berperan Serta Sementara ada sejumlah siswa mendominasi kegiatan kelompok, siswa lain tidak mau atau tidak dapat berperan serta. Terkadang siswa yang menghindari kerja kelompok karena malu. Siswa yang tersisih adalah jenis lain siswa yang mengalami kesulitan berperan serta dalam kegiatan kelompok.
d.
Keterampilan Komunikasi Kelompok pembelajaran kooperatif tidak dapat berfungsi secara efektif apabila kerja kelompok itu ditandai dengan miskomunikasi. Empat keterampilan komunikasi, mengulang dengan kalimat sendiri, memberikan perilaku, memberikan perasaan, dan mengecek kesan adalah penting dan seharusnya diajarkan kepada siswa untuk memudahkan komunikasi di dalam seting kelompok.
e.
Keterampilan Kelompok Kebanyakan orang telah mengalami bekerja dalam kelompok di mana anggota anggota secara individu merupakan orang yang baik dan memiliki keterampilan sosial. Sebelum siswa dapat belajar secara efektif di dalam kelompok pembelajaran kooperatif, mereka harus belajar tentang memahami satu sama lain dan satu sama lain menghormati perbedaan mereka. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa model pembelajaran
kooperatif disamping dapat mengembangkan keterampilan sosial antar siswa juga dapat mengembangkan prestasi akademik sehingga kualitas pembelajaran menjadi lebih baik.
2.1.3 Hakekat Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw a.
Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Isjoni (2009:77) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model pembelajaran ini terdapat tahap-tahap dalam penyelenggaraannya. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et al. sebagai metode cooperative learning. Dalam penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw guru harus memperhatikan schemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan schemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan komunikasi. (Lie, 2010:69). Arends (2001) mengemukakan bahwa pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif di mana siswa belajar dalam kelompok kecil terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama, bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok lainnya. Lebih lanjut Arends (2001) berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi
belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompokknya. Arends (2001) menggambarkan hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli sebagai berikut.
Keterangan: : Kelompok asal : Kelompok ahli
= kelompok asal siswa terdiri dari lima kelompok masing-masing lima orang siswa yang disebut kelompok awal
Setiap siswa sesuai tugas yang diterima membentuk tim/kelompok ahli menjadi lima kelompok
Bergabung dengan
bergabung dengan
bergabung dengan
bergabung dengan
bergabung dengan
Setiap kelompok ahli membahas topik pembelajaran dan kemudian kembali ke kelompok awal untuk memberikan penjelasan. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw merupakan salah satu model pembelajara kooperatif yang membentuk kelompok-kelompok kecil heterogen yang terdiri dari kelompok asal dan kelompok ahli dimana setiap siswa dalam kelompok akan mendapat materi tertentu dan bertanggung jawab atas penguasaan materi tersebut dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada temannya dalan satu kelompok. Dengan demikian model pembelajaran kooperatif tipe Jiksaw membuat siswa belajar lebih aktif dan terjadi ketergantungan positif antar siswa dalam setiap kelompok. b.
Tahap-Tahap Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Menurut Yudha ( 2001),model pembelajaran kooperatif Jigsaw ini terdapat
tahap-tahap dalam penyelenggaraannya, yaitu: 1) Guru membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi lima bagian 2) Sebelum bahan pelajaran diberikan , guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas. Guru dapat menuliskan materi pelajaran hari itu di papan tulis dan melakukan Tanya jawab tentang materi yang akan dipelajari tersebut. Kegiatan ini disebut dengan “brainstorming”, tujuannya untuk mengaktifkan schemata siswa agar lebih siap menghadapi pelajaran baru. 3) Siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pembentukan kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan oleh guru berdasarkan pertimbangan tertentu. Untuk mengoptimalkan manfaat belajar dalam kelompok
maka
sebaiknya
keanggotaan
dalam
kelompok karakteristik
heterogen,
baik
lainnya.
Jumlah
dari siswa
segi yang
kemampuannya bekerja
sama
maupun dalam
masing-masing kelompok pun harus dibatasi, agar kelompok-kelompok yang terbentuk dapat bekerja sama secara efektif. Jumlah kelompok yang tepat menurut penelitian adalah 4-6 orang. 4) Setelah siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok disesuaikan dengan banyaknya materi yang akan didiskusikan, di dalam Jigsaw ini setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari suatu materi tertentu. Kemudian siswa-siswa atau perwakilan dari kelompoknya masing-masing bertemu dengan anggota-anggota dari kelompok lain yang mempelajari materi yang sama. Selanjutnya materi tersebut didiskusikan dengan mempelajari serta memahami setiap masalah yang dijumpai sehingga masingmasing perwakilan tersebut dapat memahami dan menguasai materi tersebut. 5) Masing-masing perwakilan tersebut menguasai materi yang ditugaskannya, mereka kembali ke kelompok masing-masing atau kelompok asalnya. Masing-masing anggota saling menjelaskan pada teman satu kelompoknya sehingga teman satu kelompoknya dapat memahami materi yang ditugaskan oleh guru. 6) Siswa diberi tes/kuis oleh guru, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui pemahaman materi oleh siswa. c.
Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Menurut Isjoni (2009:80) dalam model pembelajaran Jigsaw ini setiap
siswa ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu. Kemudian siswa-siswa
tersebut akan bertemu dengan anggota-anggota kelompok lain yang mempelajari materi yang sama. Menurut Lie (2010:69) model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam penerapannya memiliki langkah-langkah sebagai berikut: 1) Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli. 2) Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. 3) Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal. 4) Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok
yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan. 5. Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Hanafiah dan Suhana (dalam Isjoni 2009:83) mengemukakan bahwa kunci kooperatif tipe jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan. Artinya para siswa harus memiliki tanggung jawab dan kerja sama yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan memecahkan masalah yang diberikan. d. Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif Dalam pembelajaran dengan penerapan Jigsaw, materi dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran. Penerapan Jigsaw dalam pembelajaran memiliki beberapa kelebihan. Adapun kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menurut Jarolimek & Parker adalah sebagai berikut. 1) Terdapat saling ketergantungan positif 2) Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu 3) Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan 4) Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antar siswa dan guru 5) Membiasakan anak untuk selalu aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran
6) Siswa mampu bersikap jujur dengan mengatakan apa adanya kepada teman kelompoknya. 7) Siswa dapat mewujudkan sikap kerjasama dengan kelompok dan merefleksikannya dalam kehidupan 8) siswa memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun anggota kelompoknya. 9) Menumbuhkan sikap percaya diri 10) meningkatkan kesediaan mengunakan ide orang lain yang dirasakan lebih baik; 11) meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan yang ada; 12) mengembangkan kesadaran bertanggung jawab dan saling menjaga perasaan; 13) meningkatkan sikap tenggang rasa meningkatkan kemampuan berfikir divergen atau berpikir kreatif; 14) meningkatkan rasa harga diri (self-esteem) dan penerimaan diri (self acceptance). e.
Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pelaksanaan pembelajaran yang menggunakan tipe jigsaw di dalam kelas
tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menurut Slavin, 2008 yaitu adanya “difusi tanggung jawab” yang mana dapat menjadi penghalang
pencapaian prestasi dari pembelajaran kooperatif. Sedangkan menurut Isjoni, 2007, model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam (internal) dan faktor dari luar (eksternal). Faktor dari dalam (internal) yaitu: (1) guru harus mempersiapkan pembelajaran dengan matang, di samping itu memerlukan banyak waktu, tenaga dan pemikiran, (2) agar proses pembelajaran berjalan dengan lancer maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai. Sedangkan faktor dari luar (eksternal) meliputi: (1) selama kegiatan diskusi kelompok berlangsun, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak waktu yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, (2) di saat diskusi kelas, terkadang didominasi seseorang. Hal ini mengakibatkan siswa yang lain pasif. 2.1.4 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Materi Adaptasi Hewan Adapun penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada materi adaptasi hewan dapat dilakukan sesuai dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1)
Siswa diingatkan kembali tentang materi pembelajaran yang dalam kegiatan ini guru menggali pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan dibelajarkan.
2)
Guru menjelaskan materi pokok pembelajaran tentang adaptasi hewan
3)
Siswa yang berjumlah 16 orang dibagi menjadi 4 kelompok, masingmasing kelompok beranggotakan 4 orang. Kelompok ini dinamakan kelompok asal.
4)
Guru membagikan LKS pada setiap siswa dengan memperhatikan tingkat kemampuan setiap siswa. Setiap LKS yang dibagikan itu diberi kode misalnya A1, A2, A3, A4.
5)
Siswa yang ada pada kelompok asal memiliki kode LKS yang sama membentuk satu kelompok yang disebut kelompok ahli dan masingmasing kelompok ahli tersebut membahas materi pada LKS.
6)
Siswa mendiskusikan materi yang ditugaskan pada kelompok ahli. Diusahakan setiap anggota kelompok ahli memahami materi yang didiskusikan.
7)
Guru membimbing dan mengarahkan secara umum kepada semua kelompok ahli dalam melakukan praktek atau mengerjakan tugas yang diberikan
8)
Guru memberikan bantuan dan bimbingan kepada kelompok ahli yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas
9)
Selesai berdiskusi siswa dalam kelompok ahli siswa kembali ke kelompok asal dan menginformasikan bagian tugas yang didiskusiakan pada kelompok ahli. Diupayakan setiap siswa menguasai materi yang diinformasikan tersebut.
10)
Salah
seorang
siswa
perwakilan
kelompok
maju
ke
mempresentasikan hasil diskusi kelompok tentang materi
depan alat
pernapasan pada hewan 11)
Kelompok lain diberi kesempatan untuk menanggapi atau memberi pertanyaan sehubungan dengan materi yang dipresentasikan
12)
Guru membimbing siswa menyimpulkan isi materi pembelajaran tentang adaptasi hewan
13)
Guru
memberikan
penghargaan
kepada
siswa/kelompok
yang
kinerjanya baik. 14)
Siswa mengerjakan evaluasi sehubungan dengan materi adaptasi hewan
15)
Guru memberikan PR berupa siswa merangkum materi adaptasi hewan yang telah dipelajari
16)
Penutup
2.1.5 Karakteristik Pembelajaran IPA Materi Adaptasi Hewan Menurut Samatowa (2010:5) IPA sebagai disiplin ilmu dan penerapannya dalam masyarakat membuat pendidikan IPA menjadi penting. IPA disiplin ilmu memiliki ciri-ciri sebagaimana disiplin ilmu lainnya. Setiap disiplin ilmu selain mempunyai ciri umum, juga mempunyai ciri khusus/karakteristik. Adapun ciri umum dari suatu ilmu pengetahuan adalah merupakan himpunan fakta serta aturan yang yang menyatakan hubungan antara satu dengan lainnya. Fakta-fakta tersebut disusun secara sistematis serta dinyatakan dengan bahasa yang tepat dan pasti sehingga mudah dicari kembali dan dimengerti untuk komunikasi. Ciri-ciri khusus tersebut dipaparkan berikut ini. a.
IPA mempunyai nilai ilmiah artinya kebenaran dalam IPA dapat dibuktikan lagi oleh semua orang dengan menggunakan metode ilmiah dan prosedur seperti yang dilakukan terdahulu oleh penemunya.
b.
IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejalagejala alam.
c.
IPA merupakan pengetahuan teoritis.Teori IPA diperoleh atau disusun dengan cara yang khas atau khusus, yaitu dengan melakukan observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, observasi dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain
d.
IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan. Dengan bagan-bagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen dan observasi, yang bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih lanjut (Depdiknas, 2006).
e.
IPA meliputi empat unsur, yaitu produk, proses, aplikasi dan sikap. Produk dapat berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Proses merupakan prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan, penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan, pengujian hipotesis melalui eksperimentasi; evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat dipandang sebagai produk dan
sebagai proses. Secara definisi, IPA sebagai produk adalah hasil temuan-temuan para ahli saintis, berupa fakta, konsep, prinsip, dan teori-teori. Sedangkan IPA sebagai proses adalah strategi atau cara yang dilakukan para ahli saintis dalam menemukan berbagai hal tersebut sebagai implikasi adanya temuan-temuan
tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa alam. IPA sebagai produk tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya IPA sebagai proses. Siswa SD yang secara umum berusia 6-12 tahun, secara perkembangan kognitif termasuk dalam tahapan perkembangan operasional konkrit. Tahapan ini ditandai dengan cara berpikir yang cenderung konkrit/nyata. Siswa mulai mampu berpikir logis yang elementer, misalnya mengelompokkan, merangkaikan sederetan objek, dan menghubungkan satu dengan yang lain. Konsep reversibilitas mulai berkembang. Pada mulanya bilangan, kemudian panjang, luas, dan volume. Siswa masih berpikir tahap demi tahap tetapi belum dihubungkan satu dengan yang lain. Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran IPA di SD yang perlu diajarkan adalah produk dan proses IPA karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Guru yang berperan sebagai fasilitator siswa dalam belajar produk dan proses IPA harus dapat mengemas pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa. Ada beberapa prinsip pembelajaran IPA untuk SD yang harus diperhatikan oleh guru. Prinsip tersebut antara lain: a) Pemahaman kita tentang dunia di sekitar kita di mulai melalui pengalaman baik secara inderawi maupun non inderawi. b) Pengetahuan yang diperoleh tidak pernah terlihat secara langsung, karena itu perlu diungkap selama proses pembelajaran. Pengetahuan siswa yang diperoleh dari pengalaman itu perlu diungkap di setiap awal pembelajaran. Pengetahuan pengalaman mereka ini pada umumnya kurang konsisten dengan pengetahuan para ilmuwan, pengetahuan yang kita miliki.
c) Setiap pengetahuan mengandung fakta, data, konsep, lambang, dan relasi dengan konsep yang lain. Tugas sebagai guru IPA adalah mengajak siswa untuk mengelompokkan pengetahuan yang sedang dipelajari itu ke dalam fakta, data, konsep, simbol, dan hubungan dengan konsep yang lain. IPA terdiri atas produk dan proses. Guru perlu mengenalkan kedua aspek ini walaupun hingga kini masih banyak guru yang lebih senang menekankan pada produk IPA saja. Perlu diingat bahwa perkembangan IPA sangat pesat. Guru yang akan mengembangkan IPA sebagai proses, maka akan memasuki bidang yang disebut prosedur ilmiah. Guru perlu mengenalkan caracara mengumpulkan data, cara menyajikan data, cara mengolah data, serta caracara menarik kesimpulan.
2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan Terdapat beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut: Siti Mukmin tahun 2010 dalam skripsinya yang berjudul: “Upaya meningkatkan hasil belajar IPA melalui pembelajaran kooperatif model Jigsaw pada siswa kelas IV SD Negeri 12 Sragen” menyimpulkan bahwa penggunaan model Jigsaw sangat efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa dengan capaian rata-rata hasil belajar 75, sedangkan tingkat ketuntasan rata-rata 82% dari 40 orang siswa.
Agus Muji Widodo (2004) dengan judul penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD Negeri Pilangsari 1, Kecamatan Ngrampel Kabupaten Sragen Tahun 2004. Dalam penelitian tersebut didapat suatu kesimpulan bahwa hasil belajar siswa meningkat dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional, dan guru dalam proses pembelajaran dikategorikan baik dilihat dari hasi persentase pengamatan penampilan guru. Faridha Susanti tahun 2010 dalam skripsinya yang berjudul “Penerapan Metode Jigsaw untuk Meningkatkan Prestasi Belajar IPA Siswa Kelas IV Semester I pada Pokok BAhasan Sifat dan Perubahan Wujud Benda di SD Negeri 3 Pohsanten Tahun Pelajaran 2009/2010 menyimpulkan bahwa penggunaan model Jigsaw sangat efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa dengan capaian rata-rata hasil belajar 70, sedangkan tingkat ketuntasan rata-rata 88% dari 43 orang siswa. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu terdapat hubungan dalam pemecahan masalah pembelajaran bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw mampu memberikan pengaruh positif terhadap beberapa aspek perkembangan siswa. Secara khusus sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian tentang meningkatkan hasil belajar adaptasi hewan dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada siswa kelas V Sekolah Dasar.
2.3 Hipotesis Tindakan. Berdasarkan kajian teoretis yang telah diuraikan, maka yang menjadi hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: jika diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, maka hasil belajar tentang adaptasi hewan pada siswa kelas V SDN 7 Limboto tahun pelajaran 2012/2013 akan meningkat.
2.4 Indikator Keberhasilan Tindakan Kriteria keberhasilan tindakan pada setiap siklus mengacu pada ketetapan sebagai berikut. 1. Minimal 85% aspek-aspek kegiatan guru dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw memperoleh nilai pengamatan dengan kriteria baik dan sangat baik. 2. Minimal
85%
aspek-aspek
kegiatan
siswa
dalam
pembelajaran
memperoleh nilai pengamatan dengan kriteria baik dan sangat baik. 3. Minimal 13 orang siswa atau 81% dari keseluruhan siswa yang diberi tindakan mengalami peningkatan hasil belajar adaptasi hewan dengan nilai ketuntasan minimal 75.