BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Hakikat Hasil Belajar 2.1.1 Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2008: 2). Hasil belajar adalah hasil yang dicapai dalam bentuk angka-angka atau skor setelah diberi tes hasil belajar pada setiap akhir pelajaran (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 3). Selanjutnya, menurut Bloom (dalam Agus, 2010: 6) hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik, hal yang sama juga diungkapkan oleh Agus (2010: 7) hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi manusia saja. Menurut Syaiful dan Aswan (2006: 107) setiap proses belajar selalu menghasilkan hasil belajar. Masalah yang dihadapi adalah sampai ditingkat mana prestasi (hasil ) belajar yang dicapai. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki siswa yang dinyatakan dalam bentuk angka yang diperoleh siswa dari serangkaian tes yang dilaksanakan setelah siswa mengikuti proses pembelajaran. Dalam melakukan kegiatan belajar terjadi proses berpikir yangmelibatkan kegiatan mental, terjadi penyusunan hubungan informasi-informasiyang diterima sehingga timbul suatu pemahaman dan penguasaan terhadapmateri yang diberikan.
Dengan adnya pemahaman dan penguasaan yangdidapat setelah melalui proses belajar mengajar maka siswa telah memahamisuatu perubahan dari yang tidak diketahui
menjadi
diketahui.
Perubahan
inilahyang
disebut
dengan
hasil
belajar.Menurut Crow and Crow (dalam Sofyan, 2005:15) mengemukakan bahwa hasilbelajar merupakan perolehan kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap. Hasil
belajar dapat
dijelaskan dengan memahami
dua kata
yang
membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil (product) merujuk pada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya
infut
secara
fungsional.
Sedangkan
belajar
dilakukan
untuk
mengusahakan adanya perubahan perilaku pada individu yang belajar. Perubahan belajar itu merupakan perolehan yang menjadi hasil belajar. Winkel (dalam Purwanto, 2009:45) mengatakan bahwa “Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya”. Selanjutnya Soedijarto (dalam Purwanto, 2009:46) “Mendefinisikan hasil belajar sebagai tingkat penguasaan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti proses belajar mengajarsesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan”. Hasil belajar merupakan peristiwa yang bersifat internal dalam arti sesuatu yang terjadi di diri seseorang. Peristiwa tersebut dimulai dari adanyaperubahan kognitif yang kemudian berpengaruh pada perilaku. Dengan demikian perilaku seseorang didasarkan pada tingkat pengetahuan terhadap sesuatu yang dipelajari yang kemudian dapat diketahui melalui tes, dan pada akhirnya muncul hasil belajar dalam
bentuk nilai riel atau non riel. Baik buruknya hasil belajar sangat bergantung dari pengetahuan dan perubahan perilaku individu yang besangkutan terhadap yang dipelajari. Pencapaian belajar atau hasil belajar diperoleh setelah dilaksanakannya suatu program pengajaran. Penilaian atau evaluasi pencapaian hasil belajar merupakan langkah untuk mengetahui seberapa jauh tujuan kegiatan belajar mengajar (KBM) suatu bidang studi atau mata pelajaran telah dapat dicapai. Jadi hasil belajar yang dilihat dari tes hasil belajar berupa keterampilan pengetahuan integensi, kemampuan dan bakat individu yang diperoleh disekolah biasanya dicerminkan dalam bentuk nilai-nilai tertentu. Tes bertujuan untuk membangkitkan motivasi siswa agar dapat mengorganisasikan pelajaran dengan baik.
2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut Sabri (2005) bahwa hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor lingkungan dan faktor yang datang dari diri siswa. Faktor yang datang dari diri siswa seperti kemampuan belajar (inteligensi), motivasi belajar, minta dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, faktor fisik dan psikis. Clark dalam Sabri (2005) mengemukakan bahwa hasil belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Artinya, selain faktor dari diri siswa sendiri, masih ada faktor-faktor di luar dirinya yang dapat menentukan atau mempengaruhi hasil belajar yang dicapai.
Salah satu lingkungan belajar yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar di sekolah ialah kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran juga dipengaruhi oleh karakteristik kelas. Variabel karakteristik kelas antara lain: 1. Ukuran kelas (class size). Artinya, banyak sedikitnya jumlah siswa yang belajar. Ukuran yang biasanya digunakan adalah 1:40, artinya, seorang guru melayani 40 orang siswa. Diduga makin besar jumlah siswa yang harus dilayani guru dalam satu kelas maka makin rendah kualitas pengajaran, demikian pula sebaliknya. 2. Suasana belajar. Suasana belajar yang demokratis akan memberi peluang mencapai hasil belajar yang optimal, dibandingkan dengan suasana yang kaku, disiplin yang ketat dengan otoritas yang ada pada guru. Dalam suasana belajar demokratis ada kebebasan siswa belajar, mengajukan pendapat, berdialog dengan teman sekelas dan lain-lain. 3. Fasilitas dan sumber belajar yang tersedia. Kelas harus diusahakan sebagai laboratorium belajar bagi siswa. Artinya, kelas harus menyediakan sumbersumber belajar seperti buku pelajaran, alat peraga, dan lain-lain.
2.1.3 Hakikat Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran IPA di SD 2.1.3.1 Pendekatan Kontekstual Pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata. Pembelajaran ini memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, sebagai warga
masyarakat dan nantinya sebagai tenaga kerja. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil (Kasihani, 2003: 1). Pendekatan kontekstual merupakan suatu pendekatan pembelajaran dan pengajaran yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai individu, anggota (keluarga, masyarakat, dan bangsa). Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berusaha dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri, bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang berbasis kontekstual (Kasihani, 2003: 4). Pendekatan kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain. Pendekatan kontekstual di kembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat di jalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada (Kasihani, 2003: 4-5).
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang pembelajaran kontekstual, yaitu antara lain: Johnson (dalam Nurhadi, 2004: 12) mengatakan bahwa pendekatan kontekstual merupakan suatu proses pembelajaran yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem kontekstualakan menuntun siswa melalui kedelapan komponen utama kontekstual: 1) melakukan hubungan yang bermakna, 2) mengerjakan pekerjaan yang berarti, 3) mengatur cara belajar sendiri, 4) bekerja sama, 5) berfikir kritis dan kreatif, 6) memelihara atau merawat pribadi siswa, 7) mencapai standar yang tinggi, dan 8) menggunakan asesmen autentik. Menurut Kasihani (2003: 2)Contextual Teaching and Learning adalah suatu konsep mengajar dan belajar yang membantu guru menghubungkan kegiatan dan bahan ajar mata pelajarannya dengan situasi nyata dan memotivasi siswa untuk dapat menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari siswa sebagai anggota keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat di mana dia hidup. Nurhadi, dkk (2004: 12) mengatakan bahwa pendekatan kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang
diajarkan. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang. Menurut Nwrel(dalam Nurhadi, 2004: 12) ada tujuh atribut yang mencirikan konsep kontekstual, yaitu: 1) kebermaknaan (meaningfulness), 2) penerapan ilmu (application of knowledge), 3) berfikir tingkat tinggi (higher order thinking), 4) kurikulum yang digunakan harus standar (standards-based curricula), 5) berfokus pada budaya (cultures focused), 6) keterlibatan siswa secara aktif (active engagement), dan 7) asesmen autentik (authentic assessmen). Teachnet(dalam Nurhadi, 2004: 12) mengatakan bahwasanya pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai macam konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pola kelompok belajar yang bebas.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual adalah suatu proses pembelajaran yang bertujuanmenghubungkan materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari Demikian pula Sugiyanti (2010: 23) menyatakan bahwa pengajaran konteksual secara praktis menjanjikan peningkatan minat, ketertarikan belajar siswa dari berbagai latar belakang serta meningkatkan partisipasi siswa dengan mendorong secara aktif dalam memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengkoneksikan dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pendapat lain mengenai komponen-komponen utama dari pengajaran kontekstual yaitu menurut Johnson (dalam Nurhadi 2002: 6), yang menyatakan bahwa pengajaran kontekstual berarti membuat koneksi untuk menemukan makna, melakukan pekerjaan yang signifikan, mendorong siswa untuk aktif, pengaturan belajar sendiri, bekerja sama dalam kelompok, menekankan berpikir kreatif dan kritis, pengelolaan secara individual, menggapai standar tinggi, dan menggunakan asesmen otentik. Menurut Zahorik (dalam Nurhadi,2002:7) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual, yaitu : 1) Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), 2) Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya, 3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun (a) Konsep sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validisasi) dan atas
dasar tanggapan itu (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan, 4) Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), 5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Pada dasarnya konsep pembelajaran kontekstual dengan prinsip-prinsipnya bukan merupakan konsep baru. Konsep dasar pendekatan ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1916 oleh John Dewey yang menganjurkan agar kurikulum dan metodologi pengajaran dipertautkan dengan pengalaman dan minat siswa. Proses belajar akan sangat efektif bila pengetahuan baru diberikan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya (Kasihani, 2003: 1) Esensi pendekatan kontekstual adalah membantu siswa mengaitkan antara materi yang dipelajarinya dengan konteks kehidupan/situasi dunia nyata mereka sehari-hari sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat, dan anggota bangsa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan pendekatan kontekstual, proses belajar mengajar akan lebih konkret, lebih realistis, lebih aktual, lebih nyata, lebih menyenangkan, dan lebih bermakna.
2.1.3.2 Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran IPA Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan mengambil, mensimulasikan, menceritakan, berdialog, bertanya jawab atau berdiskusi pada
kejadian dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa, kemudian diangkat kedalam konsep yang akan dipelajari dan dibahas. Melalui pendekatan ini, memungkinkan terjadinya proses belajar yang di dalamnya siswa mengeksplorasikan pemahaman serta kemampuan akademiknya dalam berbagai variasi konteks, di dalam ataupun di luar kelas, untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya baik secara mandiri ataupun berkelompok. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Berns dan Ericson (2001: 13), yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu konsep pembelajaran yang dapat membantu guru menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dikehidupan sehari-hari dalam peran mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerja, sehingga mendorong motivasi mereka untuk bekerja keras dalam menerapkan hasil belajarnya. Dengan demikian pembelajaran kontekstual merupakan suatu sistem pembelajaran yang didasarkan pada penelitian kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga guru harus merencanakan pengajaran yang cocok dengan tahap perkembangan siswa, baik itu mengenai kelompok belajar siswa, memfasilitasi pengaturan belajar siswa, mempertimbangkan latar belakang dan keragaman pengetahuan siswa, serta mempersiapkan cara-teknik pertanyaan dan pelaksanaan assessmen
otentiknya,
sehingga
pembelajaran
mengarah
pada
peningkatan
kecerdasan siswa secara menyeluruh untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
Penerapan pendekatan kontektual dalam pembelajaran IPA didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata. Hal ini karena pemahaman konsep akademik yang mereka peroleh hanyalah merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh kebutuhan praktis kehidupan mereka baik dilingkungan kerja, maupun masyarakat (Masnur 2007:40) Penyusun program pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual, dirancang guru yang akan melaksanakan pembelajaran di kelas. Program berisi skenario tentang apa yang dilakukan siswanya sehubungan dengan materi yang akan dipelajarinya. Saran pokok dalam penyusunan program pembelajaran kontekstual menurut Depdiknas (2002:23) adalah sebagai berikut: a)
Kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.
b) Tujuan umum pembelajarannya. c)
Media untuk melakukan kegiatan itu.
d) Skenario tahap demi tahap kegiatan siswa. e)
Authentic assessment-nya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran. Sebuah
kelas
dikatakan
menggunakan
pendekatan
kontekstual,
jika
menetapkan komponen utama pembelajaran efektif ini dalam pembelajarannya. Penerapan pendekatan kontektual secara garis besar menurut Syaiful (2003:92)
adalah (1) kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; (2) laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua pokok bahasan; (3) mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya; (4) menciptakan masyarakat belajar; (5) menghadirkan model; (6) melakukan refleksi; (7) melakukan penilaian. Pembelajaran IPA dengan pendekatan kontektual mendorong para guru untuk memilih dan mendesain lingkungan belajar yang memungkinkan untuk mengaitkan berbagai bentuk pengalaman sosial, budaya, fisik dan psikologi dalam meningkatkan hasil dan keaktifan siswa dalam belajar. Pemanfaatan pendekatan kontekstual akan menciptakan ruangan kelas yang di dalamnya siswa menjadi aktif bukan hanya pengamat yang pasif dan bertanggung jawab dalam belajarnya. Penerapan pembelajaran kontekstual akan sangat membantu guru untuk menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa untuk membentuk hubungan antara pengetahuan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehai-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan pemaknaan sebuah pembelajaran akan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Melalui pendekatan kontekstual siswa menemui hubungan yang sangat bermakna antara ide-ide abstrak dan penerapan praktis dalam konteks dunia nyata. Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu
guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Bandono, 2008: 42). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dan bagaimana mencapainya. Dengan demikian siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya, sehingga akan membuat mereka berusaha menggapainya. Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered (Bandono, 2008: 42). Kunci dan strategi membelajarkan kontekstual adalah: 1) relating/mengaitkan, yaitu belajar dikaitkan dgn konteks kehidupan nyata, 2) experiencing/mengalami, belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif, 3) applying/menerapkan, belajar
bilamana
dipresentasikan
cooperating/kerjasama,
belajar
di
melalui
dalam
konteks
komunikasi
pemanfaatannya,
4)
inter/antarpersonal,
5)
transferring/mentransfer, belajar melalui pemanfaatan pengetahuan di dalam situasi konteks baru (Bandono, 2008: 43).
2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan Joko Sulianto (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Upaya meningkatkan berpikir kritis pada pembelajaran IPA melalui pendekatan kontekstual pada Siswa
Sekolah Dasar mengatakan bahwa kualitas pembelajaran IPA di kelas VI mengalami peningkatan setelah diterapkan pendekatan kontekstual pada materi “Keseimbangan Ekosistem”.Hasil nilai tes dengan skor rata-rata 61,4 (observasi awal), 69,7 (siklus I), 77 (siklus II). Dilihat dari persentase daya serap siswa juga meningkat dari 47% (observasi awal), 64,7% (siklus I), 82% (siklus II). Sedangkan dari ketuntasan belajar maka terjadi penurunan jumlah dari siswa yang berkriteria belajar rendah dan sangat rendah 12 siswa (observasi awal), 9 siswa (siklus I), dan 4 siswa (siklus II).. Yoessana (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Meningkatkan aktivitas dan hasil belajar IPA dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada siswa kelas V di SDN Bungur II Kabupaten Nganjuk menyimpulkan bahwa penerapan pendekatan kontekstual melalui pertanyaan kritis dan kreatif dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas V SDN Bungur II. Hal ini ditunjukkan dengan nilai yang diperoleh siswa dari setiap siklus mengalami peningkatan. Nilai yang diperoleh pada siklus I yaitu 64,50 sementara pada siklus nilai yang diperoleh siswa yaitu 78,15.
2.3 Hipotesis Tindakan Hipotesis dalam penelitian ini adalah: “Jika dalam pembelajaran
IPA
menggunakan pendekatan kontekstual, maka hasil belajar siswa kelas III SD Negeri 1 Hutuo Kecamatan Limboto dapat meningkat”.
2.4 Indikator Kinerja
Keberhasilan dalam penelitian ini berdasarkan indikator: Apabila jumlah siswa yang mengalami peningkatan hasil belajarnya dari 32,14% atau 9 orang menjadi 82,14% atau 23 orang dari jumlah siswa 28orang atau terjadi peningkatan sekitar 50% atau 14 orang dengan nilai ketuntasan secara klasikal di atas 70.