BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu wujud nyata serta partisipasi masyarakat dalam rangka ikut membiayai pembangunan nasional. Adapun definisi menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak dapat mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: 1) Iuran dari rakyat kepada kas negara dimana yang berhak memungut pajak adalah negara, baik Pemerintah daerah maupun Pemerintah pusat. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2) Berdasarkan Undang-Undang dimana pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. 3) Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4) Digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 7
2.1.2. Fungsi Pajak Ada dua fungsi pajak, yaitu: 1) Fungsi budgetair, dimana pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran—pengeluarannya (Mardiasmo,2011,1) 2) Fungsi mengatur (regulerend), dimana pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi (Mardiasmo,2011,2). Contoh: (a) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras dan untuk mengurangi konsumsi minuman keras. (b) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif (c) Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia. 2.1.3. Pengelompokan Pajak (Mardiasmo 2011:5) mengelompokkan pajak menjadi tiga, yaitu menurut golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemungutnya. 1) Menurut golongannya, pajak ada 2, yaitu: (a) Pajak langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan.
8
(b)Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2) Menurut sifatnya, pajak 2, yaitu: (a) Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan (b) Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3) Menurut lembaga pemungutnya, pajak ada 2, yaitu: (a) Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Matrai. (b) Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas: - Pajak Provinsi, Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
9
- Pajak Kabupaten/Kota, Contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran,Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan jalan. 2.1.4. Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak sangatlah berperan penting dalam tata cara pemungutan pajak. Terdapat tiga jenis sistem pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2011:7), yaitu: 1) Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: (a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus. (b) Wajib pajak bersifat fasif. (c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2) Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.Ciri-cirinya: (a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. (b) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. (c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 10
3) With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. 2.1.5. Wajib Pajak Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, melitputi pembayaran pajak, memotong pajak, dan memungut pajak, yang mampunya hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan. 2.1.6. Nomor Pokok Wajib Pajak. Menurut pasal 1 UU No 16 Tahun 2009, Nomor pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai tanda pengenal atau identitas bagi setiap Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya dibidang perpajakan. Berdasarkan sistem penaksiran sendiri untuk setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, untuk diberikan NPWP. NPWP memiliki beberapa fungsi, antara lain: 1) Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan.
11
2) Sebagai identitas Wajib Pajak. 3) Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan. 4) Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan. NPWP terdiri atas 15 digit, dengan pembagian 9 digit pertama merupakan Kode Wajib Pajak dan 6 digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan. Format tersebut adalah: XX.XXX.XXX.X.XXX.XXX. Mulai Tahun 1998, NPWP ini otomatis sama dengan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. 2.1.7. Objek Pajak Penghasilan Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai sebagai konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Jenis penghasilan yang dikenakan pajak atau disebut Objek Pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah sebagai berikut: 1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan , honorarium, komisi, bonus,gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. 2) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan. 12
3) Laba usaha. 4) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta. 5) Penerimaan Kembalipembayaran Pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. 6) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang. 7) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun (termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis) dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 8) Royalti. 9) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. 11) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 12) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. 13) Selisih karena penilaian kembali aktiva. 14) Premi asuransi. 15) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri atas Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 16) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
13
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2000, terhadap penghasilan penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikecualikan dari pengenaan PPh (bukan merupakan Objek Pajak), yaitu: a) Bantuan atau sumbangan, termasuk Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, srepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, atau pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. b) Warisan. c) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. d) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah. e) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. f) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha 14
Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia. g) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. h) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. i) Bagian laba yang diperoleh atau diterima anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi. j) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha. k) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di indonesia. 2.1.8. Masa dan Tahun Pajak Menurut Pasal 1 UU No 16 Tahun 2000, Masa Pajak adalah jangka waktu yanglamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwin atau jangka waktu yang lamanya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwin. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
15
2.1.9. Surat Pemberitahuan (SPT) Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak, dan/atau Harta dan kewajiban,menurut peraturan perundangundangan perpajakan. Wajib Pajak akan melaporkan pajak-pajak yang dibayaar dan/atau dipotong/dipungut dengan menyampaikan SPT ke KPP atau KP4 tempat Wajib Pajak terdaftar.SPT memiliki beberapa fungsi, antara lain: 1) Sebagai
sarana
Wajib
Pajak
dalam
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. 2) Sebagai pelaporan pembayaran atau pelunasan pajak, baik yang dilakukan Wajib Pajak sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. 3) Sebagai pelaporan harta dan kewajiban serta pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak yang telah dilakukan. SPT dibedakan menjadi 2 yaitu: a) SPT Masaa, yaitu SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas pembayaran pajak bulanan. b) SPT Tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan.
16
2.1.10. Surat Setoran Pajak (SSP) Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui kantor pos dan/atau bank BUMN atau bank BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. SSP dapat berupa: 1) SSP Standar, yaitu surat yang Wajib Pajak digunakan atau berfungsi untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor Penerima pembayaran dan digunakan sebagai bukti pembayaran dengan bentuk, ukuran, dan isi sebagaimana ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 2) SSP Khusus, yaitu bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke Kantor Penerima Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan menggunakan mesin transaksi dan/atau alat lainnya yang isinya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak ini, dan mempunyai fungsi yang sama dengan SSP Standar dalam administrasi Perpajakan. 3) SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor), yaitu SSP yang digunakan oleh importir atau Wajib Pajak dalam rangka Impor. 4) SSCP (Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Dalam Negeri), yaitu SSP yang digunakan oleh pengusaha untuk cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN hasil tembakau buatan dalam negeri.
17
2.1.11. Pajak Penghasilan (PPh) Menurut Undang-undang nomor 7 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 36 tahun 2008 pasal 1, Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak. 2.1.12. Subjek Pajak Penghasilan Menurut Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pasal 2 ayat (1), yang menjadi subjek pajak adalah: a) (1) Orang pribadi; (2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; b) Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, perse-kutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk lembaga lainnya termasuk kontrak investasi kolektif(Mardiasmo 2011,136); dan c) Bentuk Usaha Tetap. Yang tidak termasuk dalam subjek pajak PPh dalam Undang-Undang Perpajakan pasal 3 adalah:
18
1)
(a) Kantor perwakilan negara asing; (b) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dari konsulat atau pejabatpejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakian timbal balik (c) Organisasi-organisasi internasional dengan syarat: 1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut. Dan 2. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. (d) Pejabat—pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.1.13. Objek Pajak Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai sebagai konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. 19
Jenis penghasilan yang dikenakan pajak atau disebut Objek Pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah sebagai berikut: 1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan , honorarium, komisi, bonus,gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. 2) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan. 3) Laba usaha. 4) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta. 5) Penerimaan Kembalipembayaran Pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. 6) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang. 7) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun (termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis) dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 8) Royalti. 9) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. 11) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 12) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. 20
13) Selisih karena penilaian kembali aktiva. 14) Premi asuransi. 15) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri atas Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 16) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. 17) Penghasilan dari usaha berbasis syariah. 18) Imbalan bunga yang telah diatur dalam Undang-Undang. 19) Surplus Bank Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU No. 38 Tahun 2008, terhadap penghasilan penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikecualikan dari pengenaan PPh (bukan merupakan Objek Pajak), yaitu: 1) Bantuan atau sumbangan, termasuk Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. 2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, srepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, atau pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 3) Warisan. 21
4) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. 5) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah. 6) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. 7) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia. 8) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. 9) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 10) Bagian laba yang diperoleh atau diterima anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi termasuk pemegang unit pernyertaan kontrak investasi kolektif. 22
11) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha. 12) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di indonesia, dengan syarat merupakan perusahan mikro, kecil, menengah, atau menjalankan kegiatan dalam sektor usaha yang telah diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan (KMK), serta sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia. 13) Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu dan ketentuannya telah diatur berdasarkan KMK. 14) Sisa lebih yang diterimaatau diperperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang pendidikan dan pengembangan,
yang
telah
terdaftar
pada
instansi
yang
telah
membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama empat tahun sejak diperloeh sisa lebihnya tersebut, yang ketentuannya telah diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 15) Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 23
2.1.14. Tarif Penghasilan Kena Pajak Sesuai dengan pasal 17 Undang-undang no.36 Tahun 2008, besarnya tarif pajak penghasilan adalah sebagai berikut : 1) Wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Tarif Pajak Penghasilan WP orang pribadi dalam negeri. Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif pajak
Sampai dengan Rp.50.000.000
5% (lima persen)
Diatas Rp.50.000.000 s.d Rp.250.000.000
15% (lima belas persen)
Diatas Rp.250.000.000 s.d Rp.500.000.000
25% (dua puluh lima persen)
Diatas Rp.500.000.000
30% (tiga puluh persen)
2) Wajib pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Tarif Pajak Penghasilan WP Badan dalam negeri dan BUT 28 % (tarif tunggal) 2.1.15. Pajak Penghasilan Pasal 25 Pajak Penghasilan Pasal 25 merupakan angsuran PPh yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam Tahun Pajak berjalan. Pembayaran angsuran setiap bulan itu sendiri dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam membayar pajak terutang. Angsuran PPh Pasal 25 tersebut dapat dijadikan keredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir Tahun Pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh). 24
2.1.16. Menghitung Angsuran PPh Pasal 25. Besarnya angsuran dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan (PPh Pasal 25) sama dengan PPh yang terutang menurut SPT Tahunan Pajak yang lalu dikurangi dengan: 1) PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23 serta PPh yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 22: dan 2) PPh yang dibayar/terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 24; dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian Tahun Pajak. 2.1.17. Menghitung angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan – bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh. SPT Tahunan PPh dapat disampaikan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah Tahun Pajak berakhir (jika digunakan tahun takwin, adalah tanggal 31 Maret tahun berikutnya). Jika ada Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan PPh pada batas waktutersebut, angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak pada bulan-bulan sebelum batas waktu tersebut (angsuran pajak bulan januari dan februari) belum dapat diketahui secara pasti. Menurut Pasal 25 ayat (2) UU No.17 Tahun 2000, Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh tersebut adalah sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir Tahun Pajak yang lalu. 25
2.1.18. Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 Apabila dalam Tahun berjalan Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk Tahun Pajak yang Lalu Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk Tahun Pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut. Perubahan besarnya angsuran pajak berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak. 2.1.19. Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 25 1) PPh Pasal 25 harus dibayar/disetorkan selambat-lambatnya pada tanggal 15 (lima belas) bulan takwin berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. 2) Wajib Pajak dibajibkan untuk menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya 20 (dua puluh hari) setelah Masa Pajak berakhir. 3) Bagi Wajib Pajak pengusaha tertentu, berlaku ketentuan berikut: (a) Jika Wajib Pajak memiliki beberapa tempat usaha dalam satu wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak, harus mendaftarkan masing-masing tempat usahanya di Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. (b)Wajib Pajak yang memiliki beberapa tempat usah di lebih dari 1 (satu) wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak, harus mendaftarkan setiap tempat usahanya di Kantor Pelayanan Pajak masing-masing tempat usaha Wajib Pajak berkedudukan. (c) SPT Tahuna PPh harus disampaikan di Kantor Pelayanan Pajak tempat domisili Wajib Pajak terdaftar dengan batas waktu seperti pada ketentuan butir 2. 26