BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Pajak Definisi atau pengertian pajak yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro dalam Siti Resmi (2009:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari definisii tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsurunsur: 1) Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2) Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
6
3) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjukkan. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4) Digunakan
untuk
membiayai
rumah
tangga
negara.,
yakni
pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2 Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2011:1) ada dua fungsi pajak, yaitu: 1) Fungsi budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. instrument
pengumpul
yaitu
dana
guna
pajak
dimanfaatkan
membiayai
sebagai
pengeluaran
–
pengeluaran pemerintah. Ditujukkan dengan masuknya pajak ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 2) Fungsi mengatur (regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. yaitu pajak dimanfaatkan sebagai instrumen pengatur melalui kebijakan – kebijakan yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, misalnya untuk
mempercepat
laju
pertumbuhan
pendapatan, dan stabilisasi ekonomi.
7
ekonomi,
redistribusi
2.1.3 Pengelompokan Pajak Menurut Mardiasmo (2011:5) pajak dapat di golongkan ke dalam beberapa kelompok, yaitu: 1) Menurut Golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai 2) Menurut Sifatnya a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh:
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
3) Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
8
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
2.1.4 Pengertian Pajak Penghasilan Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan dalam tahun pajak. Penghasilan merupakan setiap tambahan kemapuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. (Undang – Undang No. 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan).
2.1.5 Subjek Pajak Penghasilan Subjek Pajak Penghasilan diatur pada Pasal 2 Ayat 1 Undang Undang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008, yaitu.: 1)
Orang Pribadi yang dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.
2)
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, atau ahli waris.
3)
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, Badan Usaha Milik Negaraatau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
9
sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 4)
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Yang bukan termasuk subjek pajak: 1)
Kantor perwakilan Negara Asing.
2)
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka.
2.1.6 Objek Pajak Penghasilan Dalam Undang-undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: a) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undangundang. b) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
10
c) Laba Usaha d) Keuntungan
karena
penjualan
atau
pengalian
harta,
termasuk
keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai penggantian saham atau penyertaan modal. e) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak. f) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang. g) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak. i) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. j) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. k) Dan Lain-lain 2.1.7 Bukan Objek Pajak Penghasilan Berdasarkan ketentuan UU No. 36 Tahun 2008 tentang pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 3 yang dikecualikan dari objek pajak adalah: 1) Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil. 2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan. 3) Warisan
11
4) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan. 5) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk natura dan atau kenikmatan 6) Pembayaran
dari
perusahaan
asuransi
kepada
orang
pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa. 7) Dividen atau laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN, BUMD, dari pernyetaan modal pada Badan Usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. 8) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. 9) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 10) Bagian laba yang diterima atau yang diperoleh dari anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham. 11) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia. 12) Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
12
13) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
yang
telah
terdaftar
pada
instansi
yang
membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan. 14) Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh badan penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu.
2.1.8 Kewajiban Pembukuan Dalam UU KUP Nomor 16 Tahun 2009 pasal 28 ayat 1 diatur bahwa W ajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas dan WP badan di Idonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Hal ini dimaksudkan agar dengan melakukan pembukuan maka WP dapat menghitung besarnya pajak penghasilan terutang. Syarat menyelenggarakan pembukuan diatur dalam Pasal 28 ayat (3), (4), (5), dan (7) UU KUP adalah sebagai berikut : a) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta penjualan dan pembelian. b) Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan/kegiatan usaha yang sebenarnya.
13
c) Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia, dengan huruf latin, angka Arab, dengan bahasa Indonesia/dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. d) Buku-buku dan catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang menjadi pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang di kelola secara elektronik atau secara program on-line, wajib disimpan dalam waktu 10 tahun. e) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan stelsel akrual atau stelsel kas. f) Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
2.1.9 Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 Untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Bentu Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak untuk pajak penghasilan terutang adalah Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan untuk Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto. Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto. . Perhitungan besarnya penghasilan netto bagi wajib pajak badan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan pembukuan atau menggunakan norma perhitungan penghasilan netto. 1) Menghitung
Penghasilan
Kena
pembukuan:
14
Pajak
dengan
menggunakan
Untuk wajib pajak badan besarnya PKP sama dengan penghasilan nettonya yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh Undang-Undang PPh . PKP WP Badan = Penghasilan Netto = Penghasilan Bruto - Biaya yang diperkenankan UU PPh 2) Menghitung
PKP
dengan
menggunakan
norma
perhitungan
penghasilan netto Apabila dalam menghitung PKP nya wajib pajak yang menggunakan norma perhitungan penghasilan netto, besarnya penghasilan netto adalah dengan persentase norma perhitungan penghasilan netto dikali dengan jumlah peredaran usahanya. Tarif Pajak Penghasilan secara umum (disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum ini dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
15
a) Jika
peredaran
bruto
sampai
dengan
Rp
4.800.000.000,
maka
penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut: PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak b) Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut: PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas yaitu: (Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak – Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas. Namun, mulai tahun 2010, tarif PPh Badan adalah 25% dari penghasilan bruto. Tabel 2.1 Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap Tahun
Tarif Pajak
2009
28%
2010 dan selanjutnya
25%
Sumber: Mardiasmo (2011 ;150)
16
1) Biaya-biaya yang dapat dikurangkan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, dihitung berdasarkan penghasilan bruto dikurangi : a) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan. b) Penyusutan atas harta berwujud dan amortisasi atas hak dan biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun c) Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan d) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. e) Kerugian dari selisih kurs mata uang asing. f) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. g) Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan. h) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : - Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial; dan - Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) atau adanya
17
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang / pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; dan - Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan 2) Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan Dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, tidak boleh dikurangkan : a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, seperti : dividen, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. b) Biaya atau pengeluaran untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggotas. c) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan. e) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
18
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. g) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan yang bukan merupakan Objek Pajak, kecuali zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. h) Pajak Penghasilan. i) Biaya atau pengeluaran pribadi Wajib Pajak yang bersangkutan atau orang yang menjadi tanggungannya. j) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
2.1.10 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Dalam ketentuan pajak penghasilan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, merupakan kebijkan pemerintah yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
19
wajib pajak yang dimili peredaran Bruto tertentu. Pajak yang terhutang dan harus dibayar adalah 1% dari jumlah peredaran bruto (omzet) Kebijakan Pemerintah dengan pemberlakuan PP ini didasari dengan maksud: 1) Untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan, 2) Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi, 3) Mengedukasi masyarakat untuk transparansi, 4) Memberikan
kesempatan
masyarakat
untuk
berkontribusi
dalam
penyelenggaraan negara. Tujuan diberlakukannya PP 46 Thaun 2013 : 1) Kemudahan bagi masyrakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, 2) Meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat, 3) Terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Objek pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,- dalam 1 tahun pajak. Peredaran bruto (omzet) merupakan jumlah peredaran bruto semua gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik pusat maupun cabangnya. Objek pajak yang tidak dikenai pajak penghasilan sesuai ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut 1) Pekerjaan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, seperti misalnya: dokter, advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek, pemain musik, pembawa acara, dan sebagaimana diuraikan dalam penjelasan PP tersebut,
20
2) Penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat (2)), seperti misalnya sewa kamar kos, sewa rumah, jasa kontruksi (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan), PPh usaha migas dan lain sebagainya yang diatur berdasarkan Peraturan Pmerintah tersendiri. 3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai PP No. 46 Tahun 2013 adalah: 1) Orang Pribadi, 2) Badan, tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) Yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- dalam 1 tahun pajak. Yang tidak dikenai Pajak Penghasilan sesuai PP No. 46 Tahun 2013 adalah: 1) Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang
menggunakan
sarana
yang
dapat
dibongkar
pasang
dan
menggunakan sebagaian atau seluruh tempat kepentingan umum. Misalnya pedagang keliling, pedagang asongan, warung tenda di area kaki lima dan sejenisnya. 2) Badan yang belum beroperasi secara komersial atau yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto (omzet) melebihi Rp.4.800.000.000,Pajak Penghasilan yang diatur oleh PP No. 46 Tahun 2013 termasuk dalam PPh Pasal 4 Ayat (2), bersifat final. Setoran bulanan dimaksud merupakan PPh Pasal 4 ayat (2), bukan PPh pasal 25. Jika penghasilan semata-mata dikenai PPh final, tidak wajib PPh Pasal 25.
21
Penyetoran dan Pelaporan PPh sesuai ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 adalah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Jika SSP sudah validasi NTPN, wajib pajak tidak perlu melaporkan SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) karena dianggap telah menyampaikan SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) sesuai tanggal validasi NTPN. Penyetoran dimaksud dengan mencantumkan kode pada SSP sebagai berikut: Kode akun Pajak
: 411128
Kode Jenis Setoran : 420 Penghasilan yang dibayar berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013 dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada kelompok penghasilan yang dikenai pajak final dan/atau bersifat final.
2.1.11 Pajak Penghasilan Pasal 25 Pajak penghasilan pasal 25 mengatur tentang besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 23, Pasal 22, serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Hasil dari pengurangan tersebut lalu dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
22
Apabila terdapat kesalahan dalam menentukan besarnya angsuran PPh Pasal 25 maka Wajib Pajak diwajibkan melakukan pembetulan SPT Tahunan pada Tahun Pajak yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut maka : 1) Pajak
Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan, Pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. 2) Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat
Pemberitahuan Tahunan lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum
dilakukan
pembetulan,
atas
kekurangan
setoran
Pajak
Penghasilan Pasal 25 terutang bunga sesuai ketentuan PasaI 19 ayat (1) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran. 3) Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat
Pemberitahuan Tahunan Iebih kecil dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum pembetulan, atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pembetulan.
23