13
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pajak 1. Definisi Pajak Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut berdasarkan norma-norma hukum yang hasilnya digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan nasional demi mencapai kesejahteraan umum.
Beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli diantaranya adalah : 1. Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Soemitro, S.H. "Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintahan) dengantidak mendapat jasa timbal (tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Pengertian lainnya pajak adalah peralihan kekayaan dari rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk membiayai public investment." 2. Menurut Dr. Soeparman Soemohamijaya "Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum."
14
3. Menurut R.R.A. Seligman "Pajak itu merupakan suatu pungutan yang bersifat paksaan dari orang kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang bertalian dengan masyarakat umum tanpa dapat ditunjuk adanya keuntungan-keuntungan khusus sebagai imbalannya ( A tax is compulsory contribution from the person to the government to defray the expenses inccurred in the common interest of all without reference to special benefits conferred )"
2. Fungsi Pajak Pajak pada dasarnya memiliki 2 fungsi utama (Sadono Sukirno : 2000) yaitu : 1. Pajak sebagai budgetary Funtion artinya pajak merupakan alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan Pemerintah, baik rutin maupun pembangunan 2. Pajak sebagai regulatory function artinya pajak merupakan alat untuk mengatur perekonomian yang direncanakan oleh Pemerintah seperti Pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, stabilisasi ekonomi dan mengatur kegiatan konsumen/produsen.
Sementara itu, pemerintah memiliki tiga fungsi pokok pajak (Musgrave & Musgrave, 1989) yaitu : 1. Fungsi alokasi, yaitu merupakan usaha pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada warga negaranya. Dalam penggunaan dana pada fungsi ini harus dilakukan secara seimbang dan digunakan untuk pengadaan barang dan jasa publik. 2. Fungsi distribusi, yaitu dengan dikenakan sistem pajak yang progesif, ini diharapkan agar distribusi pendapatan dalam masyarakat merata.
15
3. Fungsi stabilisasi, yaitu pajak merupakan salah satu dari kebijakan fiskal bila digunakan efeknya dapat mengurangi pengangguran, menstabilkan harga, mengatasi kelangkaan produksi, mengurangi tingkat inflasi dan sebagainya.
3. Prinsip Pemungutan Pajak Menurut Adam Smith (dalam Suparmoko 1987 : 97), pengenaan pajak harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Keadilan (Equity) Beban pajak harus sesuai dengan kemampuan relatif dari wajib pajak. b. Kepastian (Certainly) Pajak harus tegas, jelas, dan pasti setiap wajib pajak sehingga mudah dimengerti dan juga akan memudahkan administrasi bagi pemerintah. c. Kecocokan (Convenience) pajak jangan sampai menekan wajib pajak sehingga mereka akan dengan sukarela dan senang hati melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah. d. Ekonomi (Economy) Pajak jangan sampai menimbulkan kerugian dalam arti biaya pungutan jangan sampai lebih besar daripada penerimaan pajaknya. e. Ketepatan (Adequate) pajak dapat dipungut tepat waktu dan jangan sampai mempersulit posisi anggaraan Pemerintah.
16
4. Asas Pengenaan Pajak Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1. Asas domisili (Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnaya baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri).
2. Asas sumber (Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak).
3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas adalah Pemungutan pajak yang dilakukan berdasarkan kebangsaan atau kewarganegaraan dari wajib pajak, untuk menghindari pajak berganda (yaitu seorang wajib pajak dikenakan pajak dari berbagai negara yang menggunakan salah satu dari ketiga negara asas diatas) maka diadakan suatu perjanjian perpajakan (tax treaty).
5. Sistem Pemungutan Pajak Mardiasmo (2009:7) sistem pemungutan pajak dibagi atas 3 : 1. Official Assessment System sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah (petugas pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak. Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi perpajakan pada tahun 1984. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung oleh petugas pajak, (ii) wajib pajak bersifat pasif, dan (iii) hutang pajak
17
timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang terhutang dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak. 2. Self Assessment System sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar sendiri pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung sendiri oleh wajib pajak, (ii) wajib pajak bersifat aktif dengan melaporkan dan membayar sendiri pajak terhutang yang seharusnya dibayar, dan (iii) pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak terlambat melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar. 3. Withholding System sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pihak lain atau pihak ketiga untuk memotong dan memungut besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak. Pihak ketiga disini adalah pihak lain selain pemerintah dan wajib pajak. Sistem pemungutan pajak di Indonesia sesuai dengan asas pemungutan pajakmenganut sistem pemungutan pajak self assesment system dan witholding system.
6. Struktur Tarif Pajak Dalam pengenaan pajak dikenal struktur tarif pajak yakni 1. Tarif Tunggal yaitu pajak yang menggunakan satu macam tarif, terdiri dari :
18
a. Tarif tetap (Regresif) adalah tarif yang besarnya tetap dan tidak
tergantung
kepada nilai obyek yang dikenakan pajak. Contohnya aturan bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan nominal berapa pun adalah Rp. 3000.000. b. Tarif sebanding (Proporsional) adalah tarif dengan menggunakan prosentase tetap. Sehingga jumlah pajak akan berubah sesuai dengan besarnya nilai obyek yang dikenakan pajak. Contohnya tarif Pajak Bumi dan Bangunan. 2. Tarif Tidak Tunggal yaitu pajak a. Tarif Progesif adalah tarif yang menggunakan prosentase semakin besar untuk nilai obyek yang jumlahnya semakin besar. Contohnya penetapan NJKP dalam perhitungan PBB. b. Tarif Degresif adalah tarif yang besar prosentasinya semakin menurun bila besar obyek yang dikenakan pajak semakin besar jumlahnya. Di Indonesia tidak menggunakan tarif degresif.
7. Teori Pajak Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis perbelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun, dan memperbaiki infrastruktur , menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan membiayai anggota polisi dan tentara untuk menjaga keamanan merupakan pengeluaran yang tidak boleh dielakkan pemerintah. Untuk dapat membiayai pengeluaran tersebut pemerintah perlu mencari dana. Dana tersebut terutama diperoleh dari pungutan pajak atas rumah tangga dan perusahaan (Sukirno, 2004).
19
Secara garis besar berbagai jenis pajak yang dipungut pemerintah dapat dibedakan kepada dua golongan, yaitu pajak langsung dan pajak tak langsung. 1. Pajak Langsung Pajak langsung berarti jenis pungutan pemerintah yang secara langsung dikumpulkan dari pihak yang wajib membayar pajak. Setiap individu yang bekerja dan perusahaan yang menjalankan kegiatan dan memperoleh keuntungan wajib membayar pajak. Pajak yang dipungut dan dikenakan keatas pendapatan mereka dinamakan pajak langsung, yaitu pajak yang secara langsung dipungut dari orang yang berkewajiban untuk membayar pajak. 2. Pajak tak Langsung Pajak tak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dipindah-pindahkan kepada pihak lain. Salah satu jenis pajak tak langsung yang peting adalah pajak impor. Biasanya, pada akhirnya yang akan menanggung beban pajak tersebut adalah para konsumen. Yang mula-mula membayar pajak adalah perusahaan-perusahaan yang mengimpor barang. Akan tetapi, pada waktu menjual barng impor tersebut, pengimpor akan menambahkan pajak impor yang dibayarnya dalam menentukan harga penjualannya. Dengan demikian keuntungannya tidak berkurang. Pada akhirnya, para pembeli yang akan membayar pajak, yaitu dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Contoh lain dari pajak tak langsung adalah pajak penjualan. Pajak ini biasanya ditambahkan keharga penjualan yang ditentukan oleh pedagang-pedagang. Oleh sebab itu pajak penjualan berkecenderungan akan mengakibatkan kenaikan harga.
20
Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
1. Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
2. Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
Efek Pajak Atas Konsumsi dan Tabungan Dalam perekonomian dua sektor, pendapatan nasional adalah sama dengan pendapatan disposebel. Sebagai akibat adanya pajak, dalam perekonomian tiga sektor pendapatan disposebel telah menjadi lebih kecil dari pendapatan nasional. Dalam perekonomian yang telah mengenakan pajak, hubungan diantara
21
pendapatan disposebel dan pendapatan nasional dapat dinyatakan secara persamaan berikut: Yd=Y-T Yaitu, pendapatan disposebel (Yd) adalah sama dengan pendapatan nasional(Y) dikurangi oleh pajak (T). Penurunan pendapatan disposebel akan mengurangi konsumsi dan tabungan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena pajak yang dibayarkannya mengurangi kemampuannya untuk melakukan pengeluaran konsumsi dan tabungan, secara umum dapat dirumuskan: 1. Pajak yang dipungut akan mengurangi pendapatan disposebel sebanyak pajak yang dipungut tersebut. Dalam persamaan: Yd=Y-T. 2. Penurunan pendapatan disposebel menyebabkan pengeluaran konsumsi dan tabungan rumah tangga akan berkurang pada berbagai tingkat pendapatan.
Ketika pemerintah merubah pengeluaran atau tingkat pajaknya, perubahan ini mempengaruhi permintaan terhadap output barang dan jasa perekonomian serta mengubah tabungan nasional, investasi dan tingkat bunga ekulibirium.
Peningkatan Pembelian Pemerintah berdampak langsung meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa sebesar G, tetapi karena output total tetap, maka kenaikan tersebut harus dipenuhi melalui penurunan beberapa kategori permintaan lain. Karena disposable income Y-T tidak berubah, konsumsi C tidak berubah, kenaikan pembelian pemerintah harus dipenuhi melaui penurunan investasi dalam jumlah yang sama. Dan pembelian pemerintah tidak dikaitkan dengan peningkatan pajak, maka pemerintah mendanai pengeluaranya dengan meminjam yaitu dengan mengurangi tabungan publik. Karena tabungan publik ini
22
tidak berubah maka akan mengurangi tabungan nasional. Agar investasi turun, tingkat bunga harus naik. Jadi, kenaikan pembelian pemerintah menyebabkan tingkat bunga meningkat dan investasi turun. Pembelian pemerintah dikatakan crowd out (membatasi) investasi.
Dampak langsung dari pemotongan atau penurunan pajak itu adalah peningkatan disposable income dan dengan demikian peningkatan konsumsi. Disposable income naik sebesar T dan konsumsi meningkat sebesar jumlah yang sama dengan T dikali dengan kecendrungan mengkonsumsi (MPC). Semakin tinggi MPC semakin besar dampak pemotongan pajak terhadap konsumsi.
Karena output perekonomian ditetapkan oleh faktor-faktor produksi dan tingkat pembelian pemerintah ditetapkan oleh pembelian pemerintah, kenaikan konsumsi harus diimbangi dengan penurunan investasi. Karena investasi turun, tingkat bunga akan naik. Jadi, penurunan pajak, seperti kenaikan pemerintah, mengcrowd out investasi dan meningkatkan tingkat bunga.
Kita juga bisa menganalisis dampak dari pemotongan pajak dengan menelaah tabungan dan investasi. Karena pemotongan pajak meningkatkan disposibel income sebesar T, konsumsi meningkat sampai MPC x T. Tabungan nasional S, yang sama dengan Y – C – G, turun sejumlah kenaikan konsumsi. Penurunan tabungan menggeser penawaran dan pinjaman ke kiri, yang meningkatkan tingkat bunga ekuilibirium dan meng-crow out investasi.
23
B. Pajak Bumi dan Banguan (PBB) 1. Definisi PBB PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi dan atau bangunan. Keadaan subjek tidak ikut menentukan besarnya pajak. PBB pada awalnya merupakan pajak pusat yang alokasi penerimaannya dialokasikan ke daerah-daerah dengan proporsi tertentu, namun demikian dalam perkembangannya berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD pajak ini khususnya sektor perkotaan dan pedesaan menjadi sepenuhnya pajak daerah.
PBB dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang didasarkan pada azas kenikmatan dan manfaat, dan dibayar setiap tahun. PBB pengenaannya didasarkan pada Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994. Namun demikian dalam perkembangannya PBB sektor pedesaan dan perkotaan menjadi pajak daerah yang diatur dalam UndangUndang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 mulai tahun 2010.
2. Obyek Pajak Bumi dan Bangunan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Pengertian ini berarti bukan hanya tanah permukaan bumi saja tetapi betul-betul tubuh bumi dari permukaan sampai dengan magma, hasil tambang, gas material yang lainnya. Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan
24
tempat yang diusahakan, yang termasuk dalam pengertian bangunan antara lain seperti dalam pasal 77 ayat (2) Undang-Undang PDRD, disebutkan bahwa termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
a.
jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut,
b.
jalan TOL,
c.
kolam renang,
d.
pagar mewah,
e.
tempat olah raga,
f.
galangan kapal, dermaga,
g.
taman mewah,
h.
tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Tidak semua objek bumi dan bangunan akan dikenakan PBB, ada juga objek yang di kecualikan dari pengenaan PBB adalah apabila sebagai berikut :
a.
digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksud-kan untuk memperoleh keuntungan,
b.
digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu,
25
c.
merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum di bebani suatu hak,
d.
digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik,
e.
digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
3. Subyek PBB Subyek PBB sekaligus sebagai wajib pajak adalah orang atau badan yang mempunyai atau memperoleh manfaat dari obyek pajak, namun apabila dalam hal suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, maka Direktur Jendral Pajak menentukan wajib pajaknya.
4. Dasar Pengenaan PBB Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Penentuan NJOP ini dilakukan dengan melakukan penilai terhadap objek pajak baik yang dilakukan secara masal atau individual.
Secara tegas Undang-Undang No 12 tahun 1994 menjelaskan yang dimaksud dengan NJOP mempunyai pengertian sebagai berikut :
“Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
26
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti”.
5. Penentuan NJOP Penentuan besarnya NJOP adalah proses penting mengingat NJOP ini yang akan menentukan besarnya pajak yang di bayar oleh masyarakat. Dalam Keputusan Direktur Jenderal No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 dijelaskan bagaimana menentukan besarnya NJOP untuk setiap sektor PBB. Dalam Keputusan tersebut diatur sebagai berikut :
1. NJOP atas Sektor Pedesaan/Perkotaan (Obyek PBB yang meliputi kawasan pertanian, perumahan, perkantoran, pertokoan, industri serta obyek khusus perkotaan). 2. NJOP atas Sektor Perkebunan (Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan benih, penanaman baru, perluasan, perubahan jenis tanaman, keragaman jenis tanaman termasuk sarana penunjangnya). 3. NJOP atas Sektor Kehutanan (Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan hutan dan budidaya hutan). 4. NJOP atas Sektor Pertambangan (Obyek PBB yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya). 5. NJOP atas Sektor Perikanan (Semua usaha perorangan atau badan yang memiliki ijin usaha untuk menangkap atau membudidayakan sumber daya ikan, termasuk semua jenis ikan dan biota perairan lainnya serta kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial).
27
6. NJOP atas Objek Pajak yang Bersifat Khusus (Obyek pajak yang memiliki jenis konstruksi khusus baik ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk maupun keberadaanya memiliki arti khusus seperti: lapangan golf, pelabuhan laut, pelabuhan udara, jalan tol, pompa bensin, dan lain-lain).
6. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pelaksanaan perhitungan pengenaan pajak PBB ditentukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setelah dikurangi dengan NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan R I. Nomor : 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan PBB. Setiap wajib pajak diberikan 1 kali Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai lebih dari 1 objek pajak, maka sesuai penjelasan UU PBB, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 untuk setiap wajib pajak. Batasan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 mengandung maksud bahwa apabila ada Daerah Tingkat II atau Kabupaten / Kota yang ingin menetapkan NJOP TKPnya disesuaikan dengan kondisi, lingkungan ekonominya, kurang dari Rp 12.000.000,00.
Penetapan besarnya NJOP TKP sebagaimana dimaksud dalam Peraturan tersebut di atas untuk setiap daerah Kabupaten / Kota, ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah setempat. Sedangkan
28
berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (4) besarnya NJOPTKP ditentukan paling rendah adalah Rp. 10.000.000,00 dan penetapannya dilakukan oleh masing-masing Kepala Daerah.
7. Dasar Perhitungan PBB dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 Tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak Untuk Penghitungan PBB, maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) untuk perhitungan PBB ditentukan sebagai berikut: 1. Sebesar 40% dari NJOP untuk:
Objek Pajak Perkebunan,
Objek Pajak Kehutanan,
Objek Pajak Pertambangan,
Objek PBB lainnya apabila NJOP ≥ 1 milyar rupiah,
2. Sebesar 20% dari NJOP untuk objek PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar rupiah.
Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 dalam perhitungan PBB tidak lagi mengenal besarnya NJKP.
8. Tarif PBB Tarif PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah tetap sebesar 0.5%, sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009
29
Pasal 80 ayat (1) dan (2) adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
9.Perhitungan PBB Perhitungan PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No.12 tahun 1994 adalah sebagai berikut: PBB = 0,5% X 20% X (NJOP – NJOP TKP) Atau 0,5% X 40% X (NJOP TKP)
Sedangkan perhitungan PBB menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 81 adalah sebagai berikut: PBB = max 0,3* X (NJOP – NJOP TKP**) Keterangan : * = Paling tinggi 0.3% ditetapkan sesuai peraturan daerah **=Paling rendah Rp. 10.000.000 sesuai peraturan daerah Sumber : Undang-Undang No. 28/2009 NJOP dikelompokkan kedalam klas-klas yang disebut dengan klasifikasi NJOP baik untuk bumi maupun bangunan. Klasifikasi NJOP bumi terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok A (50 klas) dengan klas tertinggi Rp. 3.100.000,- per m2 dan klas terendah Rp. 140,- per m2 dan kelompok B (50 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 68.545.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 3.375.000,- per m2. Klasifikasi NJOP bangunan terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok A (20 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 1.200.000,- per m2 dan klas terendah
30
sebesar Rp. 50.000,- per m2 dan kelompok B (20 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 15.250.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 1.516.000,- per m2.
Wilayah yang dekat dengan pusat-pusat pelayanan sosial dengan jumlah penduduk tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, nilai jual tanah setempat akan cenderung lebih tinggi. Sebagaimana dikatakan (Eckert 1990:178) tanah mempunyai kekuatan ekonomis yang mengikuti mekanisme pasar dimana nilai atau harga tanah sangat tergantung pada penawaran dan permintaan, dalam jangka pendek penawaran sangat elastis ini berarti harga tanah pada wilayah tertentu akan tergantung pada faktor permintaan, seperti : kepadatan penduduk dan tingkat pertumbuhannya,tingkat kesempatan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat serta kapasitas sistem transportasi dan tingkat suku bunga.
C. Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan PBB Kesadaran adalah keadaan mengetahui, sedangkan perpajakan adalah perihal pajak, sehingga kesadaran perpajakan adalah keadaan mengetahui atau mengerti perihal pajak. Kesadaran perpajakan adalah kerelaan memenuhi kewajiban dan memberikan kontribusi kepada negara yang menunjang pembangunan negara. Kesadaran wajib pajak berkonsekuensi logis untuk wajib pajak, yaitu kerelaan wajib pajak memberikan kontribusi dana untuk pelaksaan fungsi perpajakan dengan cara membayar pajak tepat waktu dan tepat jumlah (Yusnidar, 2014).
Indikator yang digunakan untuk mengukur kesadaran wajib pajak menurut Bakrin yaitu : 1) mengetahui fungsi pajak, wajib pajak sadar bahwa dengan membayar pajak akan digunakan pemerintah sebagai salah satu sumber dana pembiayaan pelaksanaan fungsi dan tugas pemerintah secara rutin 2) kesadaran membayar
31
pajak, dengan sadar membayar pajak akan dapat digunakan pemerintah sebagai dana umum pelaksanaan fungsi dan tugas pemerintah, wajib pajak sadar bahwa negara membutuhkan pembiayaan dan pajak merupakan salah satu tulang punggung negara (Jotopurnomo, 2013).
Kesadaran wajib pajak berkonsekuensi logis untuk para wajib pajak agar mereka rela memberikan konstribusi dana untuk pelaksanaan fungsi perpajakan. Kesadaran perpajakan seringkali menjadi kendala dalam masalah pengumpulan pajak dari masyarakat. Wajib pajak yang memiliki kesadaran yang tinggi akan melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Sedangkan wajib pajak yang memiliki kesadaran yang rendah akan cenderung untuk tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya atau melanggar peraturan perpajakan yang berlaku. Sehingga semakin tinggi tingkat kesadaran wajib pajak maka seharusnya semakin tinggi pula tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak bumi dan bangunan dan pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan PBB.
D. Kemampuan Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan PBB Kemampuan wajib pajak merupakan kondisi dimana keuangan merupakan faktor ekonomi yang berpengaruh pada kepatuhan dalam membayar pajak. Kemampuan finansial masyarakat untuk dapat membayar pajak sangat ditentukan dengan pendapatan wajib pajak. Pendapatan didefinisikan sebagai jumlah penghasilan rupiah yang dihasilkan wajib pajak yang diperoleh dari pekerjaan utama maupun sampingan. Dengan kemampuan finansial wajib pajak akan dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak.
32
Penelitian ini menggunakan dua indikator pertanyaan yaitu pengenaan tarif pajak sudah sesuai dengan keadaan obyek pajak dan pengenaan tarif pajak tidak memberatkan wajib pajak.
Kontribusi masyarakat bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia salah satunya dengan memberikan kontribusi berupa pembayaran pajak kepada negara. Wajib pajak dapat melakukan pembayaran pajak tersebut pastinya dengan menyisihkan sebagian pendapatan yang diperolehnya. Apabila wajib pajak mempunyai pendapatan yang cukup, maka individu tersebut mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik yaitu dengan membayar pajak tepat pada waktunya. Dengan demikian, semakin baik tingkat ekonomi wajib pajak maka akan berpengaruh pada niat untuk berperilaku patuh membayar PBB (Hasannudin, 2014).
E. Pelayanan Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan PBB Pelayanan publik yang berkualitas adalah pelayanan yang berorientasi kepada aspirasi masyarakat, lebih efesien, efektif dan bertanggung jawab. Dapat disimpulkan kualitas pelayanan adalah ukuran citra yang diakui masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan, apakah masyarakat puas atau tidak puas. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Publik, mengharuskan setiap penyelenggaraan pelayanan publik memiliki standar pelayanan yang dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan termasuk pelayanan perpajakan.
33
Kualitas pelayanan perpajakan dalam Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan menjadi dua bagian (Yusnidar, 2014).
1. Metode Penyampaian SPPT Mekanisme penyerahan SPPT dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah yang disalurkan kepada kantor kelurahan sesuai domisili Wajib Pajak, dari kantor kelurahan SPPT diserahkan kepada ketua RW yang kemudian oleh ketua RW disampaikan kepada Ketua RT untuk disampaikan kepada wajib pajak.
2. Pelayanan pembayaran PBB-P2 Pelayanan pembayaran PBB-P2 disini adalah mekanisme pembayaran yang dibuat sesederhana mungkin, wajib pajak hanya perlu membawa sejumlah nominal pajak terutangnya beserta SPPT PBB-P2 jika membayar di kelurahan, jika membayar di bank wajib pajak akan dibantu oleh petugas bank. Selain itu fasilitas-fasilitas yang mendukung proses pembayaran yang meningkatkan kenyamanan Wajib Pajak dalam membayar PBB-P2 harus lebih ditingkatkan serta kemudahan bagi Wajib Pajak yang ingin membayar juga merupakan bagian dari pelayanan.
Berkaitan dengan hubungan antara kualitas layanan dengan kepuasan dan loyalitas pelanggan, membuktikan bahwa kualitas layanan secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan loyalitas melalui variabel antara kepuasan. Dalam konteks pembayaran pajak, istilah pelanggan lebih umum disebut sebagai wajib pajak (WP), sedangkan pengertian loyalitas pelanggan lebih umum disebut sebagai kepatuhan oleh wajib pajak (WP). Kualitas layanan
34
berpengaruh terhadap kepuasan dan kepuasan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak dan pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan PBB (Ronia, 2012).
F. Penelitian Terdahulu Tabel 1. Penelitian Terdahulu Judul
Metode Analisis
Hasil Empiris
1. Christian Danang
Metode statistik yang
Hasil analisis menunjukkan bahwa
Prihartanto (2014) “Analisis
digunakan analisis regresi
secara parsial variabel SPPT,
Faktor-Faktor Yang
berganda.
pengetahuan Pajak, pelayanan
Mempengaruhi Kepatuhan
Pajak dan kesadaran Wajib Pajak
Wajib Pajak dalam Melakukan
berpengaruh positif dan signifikan
Pembayaran Pajak Bumi dan
terhadap
Bangunan Perdesaan dan
kepatuhan wajib pajak dalam
Perkotaan (Studi kasus pada
membayar PBB-P2 baik secara
wajib pajak PBB P2
parsial dan simultan.
Kecamatan Pesantren Kota Kediri)” 2. Cindy Jotopurnomo (2013)
Metode statistik yang
Hasil penelitian menunjukkan
“Pengaruh Kesadaran Wajib
digunakan analisis regresi
bahwa kesadaran Wajib Pajak,
Pajak, Kualitas Pelayanan
berganda.
kualitas pelayanan fiskus, sanksi
Fiskus, Sanksi Perpajakan,
perpajakan, dan lingkungan Wajib
Lingkungan Wajib Pajak
Pajak berpengaruh signifikan
terhadap Kepatuhan Wajib
terhadap kepatuhan Wajib Pajak
Pajak Orang Pribadi di
Orang Pribadi di Surabaya.
Surabaya”
35
3. Kessi Ronia (2012) “Faktor-
Metode statistik yang
Hasil analisis regresi bilinear faktor
Faktor Yang Mempengaruhi
digunakan Regresi
yang paling mempengaruhi
Kepatuhan Wajib Pajak dalam
bilinear digunakan
kepatuhan wajib pajak adalah
Membayar Pajak Bumi dan
sebagai alat analisis yang
pelayanan yaitu dari nilai koefisien
Bangunan (Studi Kasus pada
memiliki uji kuesioner
regresi 0.351 berpengaruh positif
Kecamatan Pekalongan Utara
(validitas dan reliabilitas),
dan signifikan dengan 0.000 dari
Kabupaten Pekalongan)”
uji asumsi klasik
nilai probabilitas. Pendapatan,
(normalitas, multi-
Penyuluhan dan SPPT berpengaruh
collinear), uji regresi
terhadap wajib pajak yaitu 0337;
bilinear, uji hipotesis (uji
0125 dan 0115 dari nilai koefisien
dan f) dan uji determinasi.
regresi. Hal positif dipengaruhi secara signifikan 0000; 0030 dan 0027 dari nilai probabilitas. Secara bersamaan Pendapatan, SPPT, Penyuluhan dan Sanksi memiliki pengaruh yang signifikan dengan 0.000 dari nilai probabilitas. Dengan uji koefisien determinasi lima variabel di atas dapat menjelaskan persentase 96, 9% dari variabel Y.
4. Hasannudin (2014) “Faktor-
Metode statistik yang
Hasil penelitian menunjukkan
Faktor Yang Mempengaruhi
digunakan analisis regresi
bahwa kesadaran wajib pajak,
Kepatuhan Wajib Pajak dalam
berganda.
motivasi wajib pajak, dan tingkat
Membayar PBB (Studi
ekonomi masing-masing wajib
Empiris Pada Wajib Pajak
pajak secara parsial tidak
Orang Pribadi Dikota Tidore
berpengaruh pada kepatuhan wajib
Kepulauan)”
pajak dalam membayar PBB.
36
5. Johan Yusnidar (2014)
Metode analisis
Hasil penelitian ini menunjukkan
“Pengaruh Faktor-Faktor Yang
menggunakan analisis
bahwa SPPT, Pengetahuan Wajib
Mempengaruhi Kepatuhan
deskriptif dan analisis
Pajak, Kualitas Pelayanan,
Wajib Pajak dalam Melakukan
regresi linier berganda.
Kesadaran Wajib Pajak, dan Sanksi
Pembayaran Pajak Bumi dan
Pajak berpengaruh secara parsial
Bangunan Perdesaan dan
dan simultan terhadap variabel
Perkotaan”
Kepatuhan Wajib Pajak.