BAB II LANDASAN TEORI
II.1 Gambaran Umum Pajak II.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Soemitro. R
yang
dikutip oleh Mardiasmo
(2006), ”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapatkan imbalan jasa (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h.1) Dari penjelasan yang diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki ciri-ciri: 1.
Merupakan iuran rakyat kepada negara
2.
Pajak dipungut harus berdasarkan undang-undang
3.
Tanpa ada kontra prestasi langsung dari negara kepada pembayar pajak yang dapat dirasakan
4.
Pajak digunakan untuk membayar pengeluaran umum yang bermanfaat bagi masyarakat luas
5.
Pajak dapat dipaksakan
II.1.2 Fungsi Pajak Dalam literatur sering disebutkan bahwa fungsi pajak ada 2 macam yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend, adapun penjelasan masing-masing fungsinya : 7
Fungsi Budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan apabila ada sisa akan digunakan sebagai tabungan investasi pemerintah Fungsi Regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya dibidang ekonomi, sosial, budaya, contohnya menyalurkan private saving ke arah sektor-sektor yang produktif
II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2004) sistem pemungutan pajak dapat dibagi atas empat macam yaitu official assessment system, semi-self assessment system, self-assessment system, dan witholding system, berikut akan diberikan penjelasan mengenai masing-masing system pemungutan Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang, dalam sistem ini masyarakat (Wajib Pajak) bersifat pasif dan hanya menunggu dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak baru akan diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak. Semi-self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya
8
pajak yang harus disetor sendiri. Baru kemudian pada akhir tahun pajak fiskus menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya berdasarkan data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak. Self-assessment system adalah suatu sistem yang memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistem ini Wajib Pajak aktif dalam menghitung pajaknya sendiri, dan fiskus tidak ikut campur dalam perhitungan kecuali apabila Wajib Pajak melanggar ketentuan Witholding system
adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang pada pihak ketiga untuk memotong/ memungut besarnya pajak yang terutang. Pihak ketiga yang telah ditentukan tersebut selanjutnya menyetorda melaporkan kepada fiskus. Pada sistem ini fiskus dan Wajib Pajak tidak aktif, tugas fiskus hanyalah mengawasi pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga Di indonesia pada tahun 1968 sampai dengan 1983 menggunakan sistem pemungutan semi-self assessment dan witholding, barulah pada tahun 1984 sampai sekarang sistem self assessment ditetapkan secara penuh pada sistem pemungutan di Indonesia (UU No. 6 Tahun 1983 KUP yang mulai berjalan pada 1 januari 1984)
II.2 Pengertian Pajak Penghasilan Dalam pasal 1 undang-undang pajak penghasilan meyebutkan bahwa pajak penghasilan adalah pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima dan diperolehnya dalam tahun
9
pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan Pajak penghasilan di Indonesia diatur pertama kali dengan UU No. 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh: 1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Adapun maksud dari amandemen ini adalah untuk menyerdehanakan struktur pajak, jenis pajak, tarif pajak, dan cara pemenuhan kewajiban perpajakan.
II.2.1 Subjek Pajak Penghasilan Yang dimaksud dengan wajib pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) undang-undang pajak penghasilan adalah : 1) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang ada dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. 2) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia 3) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak 4) Badan Usaha Tetap (BUT) yang dapat berupa :
10
a.
Tempat kedudukan manajemen
b.
Cabang perusahaan
c.
Kantor perwakilan
d.
Gedung kantor
e.
Pabrik
f.
Bengkel
g.
Pertambangan dan penggalian sumber alam
h.
Perikanan, peternakan, perkebunan atau kehutanan
i.
Proyek konstruksi, instalasi atau proyek perakitan
j.
Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
Pasal 2 ayat (4) undang-undang pajak penghasilan menjelaskan tentang yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri, yaitu: 1) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 2) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dan tidak menerima atau
11
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Yang tidak termasuk subjek pajak menurut Pasal 2 ayat (3) UU No. 17 tahun 2000, yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah :
1. Badan Perwakilan Asing 2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia 3. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat: • Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut • Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
II.2.2 Objek Pajak Penghasilan Peraturan yang mengatur objek pajak penghasilan dapat ditemukan pada Pasal 4 ayat (1), yang menyebutkan objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu
12
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak , baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji , upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan c. Laba usaha d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1) Keuntungan pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal 2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota 3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha 4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha :
13
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang g. Deviden, dengan nama dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian hasil usaha koperasi h. Royalti i. Sewa dan penghasilan usaha lain sehubungan dengan pengunaan harta j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah l. Keuntungan karena selisih mata uang asing m. Selisih karena penilaian kembali aktiva n. Premi asuransi o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang teridiri dari Wajib Pajak p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah
14
II.2.3 Bukan Objek Pajak Penghasilan Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak terutang pajak penghasilan diatur dalam Pasal 4 ayat (3) undang-undang pajak penghasilan, yaitu: a)
1.) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak 2.) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan
b) Warisan c) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal d) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah
15
e) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa f)
Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, korperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : i.
Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan
ii.
Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima deviden, kepemilikan saham yang memberikan deviden paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah usaha disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut
g) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai h) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan i)
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, atau pemberian ijin usaha
16
j)
Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha
k) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: i.
Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor yang ditentukan oleh Menteri Keuangan
ii.
Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
II.2.4 Tarif Pajak Penghasilan Tarif pajak penghasilan adalah merupakan tarif progresif, yaitu ada perbedaan tarif yang dikenakan sesuai dengan jumlah penghasilan yang didapatkan, berikut ini adalah tabel mengenai tarif-tarif yang dikenakan pada penghasilan tingkat tertentu sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 2000: Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
10%
Rp 50.000.000 s/d Rp 100.000.000
15%
>Rp 100.000.000
30%
Dalam penghitungan jumlah pajak yang terutang, maka penghasilan kena pajak akan dibulatkan hingga ribuan rupiah penuh sebelum dikalikan dengan tarif, sesuai dengan Pasal 17 ayat (4) Undang-undang No.17 Tahun 2000.
17
II.2.5 Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final Dalam Undang-Undang pajak penghasilan, pasal-pasal yang mengatur mengenai jenis penghasilan yang pengenaannya bersifat final terdapat dalam Pasal 4 ayat (2), pasal 15, pasal 19 ayat (1), pasal 21, pasal 22, pasal 23 ayat (4) beserta peraturan pelaksanaannya Perlakuan perpajakannya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: •
Penghasilan yang pengenaannya bersifat final tidak digabungkan dengan penghasilan yang dikenakan pajak dengan tarif progresif pada akhir tahun
•
Pajak penghasilan yang terutang atau telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain atau yang telah dibayar sendiri atas penghasilan yang
pengenaannya
pajaknya
bersifat
final
tidak
dapat
diperhitungkan atau dikreditkan dengan pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan kena pajak yang dikenakan pajak dengan tarif progresif pada akhir tahun •
Biaya atau pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final tidak dapat dikurangkan dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak
•
Tarif pajak yang dikenakan terhadap penghasulan yang pengenaan pajaknya bersifat final adalah tarif sepadan kecuali terhadap uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayarkan oleh dana pensiun
18
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau Tunjangan hari tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Jaminan Sosial Tenaga Kerja •
Pemenuhan kewajiban pajak atas penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final dilakukan melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain dan ada juga yang dibayar sendiri
Tarif-tarif pada pajak penghasilan final cukup bervariasi sesuai dengan jenis-jenisnya, Pajak penghasilan final yang dimiliki oleh PT. KIA adalah bunga depositoyang berdasarkan pada Pasal 4 ayat (2) dan PP no. 31/2000 dikenakan tarif sebesar 20%
II.3 Biaya Dalam menentukan besarnya penghasilan bersih, penghasilan bruto dikurangi terlebih dahulu dengan pengurangan penghasilan bruto. Pengurangan penghasilan bruto ini diatur dalam pasal 6 ayat (1), pasal 9 ayat(1) huruf c, d, e, termasuk peraturan pelaksanaannya II.3.1 Biaya yang Boleh Dikurangkan Tidak semua biaya boleh menjadi pengurang penghasilan dalam peraturan fiskal, biaya-biaya yang diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan antara lain: Biaya yang boleh dikurangkan bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT diatur dan dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu sebagai berikut :
19
A. Biaya pengeluaran yang lazim disebut biaya sehari-hari, yaitu i.
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, contohnya: biaya pembelian bahan, upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, tunjangan, dan lain lain
ii.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, dan bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan
iii.
Biaya yang dikeluarkan benar-benar untuk promosi:
B. Penyusutan dan amortisasi Berdasarkan penjelasan pada pasal 11 ayat (1) dan (2) UU PPh; pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan Metode penyusutan yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah: i.
Dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight line method); atau
20
ii.
Dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance method)
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut: Kelompok Harta Berwujud
Tarif Penyusutan
Masa Manfaat
Garis Lurus i. Bukan Bangunan
4 Tahun
Kelompok I
8 Tahun
Kelompok II
16 Tahun
Kelompok III
20 Tahun
25%
C.
Tidak Permanen
10 Tahun
25%
6.25%
12.5%
5%
ii. Bangunan 20 Tahun
50%
12.5%
Kelompok IV
Permanen
Saldo Menurun
10%
5%
-
10%
-
Iuran dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya
D.
Kerugian penjualan atau pengalihan harta i. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih,
dan
memelihara
penghasilan
dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto 21
ii. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto E.
Kerugian dari selisih kurs mata uang asing Perlakuan PPh terhadap kerugian selisih mata uang asing telah diberikan penegasan dalam surat edaran Dirjen Pajak nomor SE-03/PJ.31/1997 dimana kerugian selisih kurs mata uang asing akibat fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan pembukuan yang dianut oleh wajib pajak dan dilakukan pembukuan yang dilakukan oleh wajib pajak dan dilakukan secara taat azas, apabila wajib pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan: i. Kurs tetap, pembebanannya dilakukan pada saat terjadinya realisasi perkiraan mata uang asing tersebut ii. Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun
F.
Biaya penelitian dan pengembangan Perlakuan perpajakan atas biaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan
oleh
pembebanannya
perusahaan berdasarkan
dapat
dibebankan
pada
Keputusan
kepada Menteri
penghasilan, Keuangan
No.769/KMK.04/90 dibedakan menjadi 3 kelompok:
22
i. Harus
disusutkan
atau
diamortisasikan,
pembebannya
melalui
penyusutan atau amortasasi ii. Jika merupakan biaya sehari-hari dapat dibebankan sebagai biaya tahunan yang bersangkutan iii. Biaya diluar butir i dan ii, antara lain misalnya biaya konsultan, perlakuan perpajakan sesuai dengan undang-undang akuntansi yang berlaku G.
Bea siswa, magang, dan pelatihan Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan bea siswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya alam manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan
H.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat: i.
Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan keuangan komersial
ii.
Telah diserahkan perkara penagihanny kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan
iii.
Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus
iv.
Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktur Jendral Pajak
I.
Biaya Entertainment, asal dapat menunjukan daftar nominatifnya Daftar nominatif harus berisikan:
23
i. Nomor urut ii. Tanggal “entertainment” iii. Nama dan Tempat “entertainment” iv. Alamat “entertainment” v. Jenis “entertainment” vi. Jumlah (Rp) “entertainment” vii. Relasi usaha yang diberikan “entertainment” yang berisikan nama, posisi, nama perusahaan, jenis usaha
II.3.2 Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan Biaya yang tidak boleh dikurangkan diatur dan dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Yang terdiri dari; a.
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti, deviden, termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian hasil usaha koperasi
b.
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota
c.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali piutang tak tertagih, untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan
d.
Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
24
kecuali jika dibayarkan oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak (pegawai atau karyawan) yang bersangkutan e.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
f.
Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
g.
Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan yang bukan merupakan obyek pajak bagi penerimanya, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
h.
Pajak penghasilan
i.
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak dan yang menjadi tanggungannya
j.
Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham
25
k.
Sanksi administrasi berupa denda, bunga, dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda
II.4 Kompensasi Kerugian Kompensasi Kerugian diatur dalam pasal 6 ayat (2) Undang-undang pajak penghasilan. Apabila penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang boleh dikurangkan didapat kerugian maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak yang berikutnya berturut-turut sampai dengan (5) lima tahun. Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan apabila wajib pajak menggunakan pembukuan.
II.5 Rekonsiliasi Fiskal Ketentuan perpajakan mempunyai kriteria tertentu tentang pengukuran dan pengakuan terhadap unsur-unsur yang umumnya terdapat dalam laporan keuangan. Ukuran itu bisa saja sejalan dengan prinsip akutansi (komersial) bisa saja berbeda dengan prinsip akutansi Perbedaan itu bisa saja terjadi karena laporan keuangan perpajakan mempunyai motivasi untuk mempersempit erosi pengenaan pajak dan pemberian dorongan (realokasi atau pengendalian) investasi Proses rekonsiliasi adalah dengan melakukan koreksi-koreksi terhadap pos-pos penghasilan dan biaya, secara singkat proses rekonsiliasi mencakup:
26
1.
Koreksi terhadap penghasilan yang telah dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) UU No.17 Tahun 2000), karena penghasilan yang telah dikenakan PPh final berarti bahwa kewajiban perpajakan atas penghasilan tersebut telah usai, tidak perlu diperhitungkan lagi, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang telah dikenakan PPh Final atau penghasilan yang bukan merupakan objek pajak harus dikoreksi.
2.
Koreksi terhadap penghasilan yang bukan merupakan objek Pajak (Pasal 4 ayat (3) UU No.17 Tahun 2000, karena wajib pajak tidak perlu membayar PPh atas penghasilan tersebut maka perlu dikoreksi
3.
Koreksi terhadap biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan ke penghasilan (Pasal 9 ayat (1) UU No.17 Tahun 2000), karena biaya-biaya tersebut telah diatur untuk tidak mengurangi penghasilan, maka perlu dilakukan koreksi
4.
Koreksi terhadap biaya-biaya yang terjadi karena perbedaan metode dan waktu pengakuan, koreksi ini dilakukan pada akun-akun yang memiliki perbedaan antara metode penghitungan dan masa pengakuannya, seperti misalnya penyusutan atau amortisasi
5.
Pemberian relif atau keringanan pajak yang lainnya misalnya penghasilan tidak kena pajak, penyusutan dipercepat, dll
6.
Perbedaan pengakuan kerugian misalnya kerugian mancanegara, kerugian anak perusahaan, harta yang tidak digunakan dalam usaha
27
Tujuan akutansi komersial antara lain untuk menyediakan laporan dan informasi keuangan serta informasi yang lain kepada, misalnya pimpinan perusahaan sedangkan akuntansi perpajakan menurut Niswonger dan Fees dalam buku Accounting Principle dirumuskan sebagai bagian dari akuntansi yang menekankan kepada penyusunan surat pemberitahuan pajak dan pertimbangan konsekuensi perpajakan terhadap transaksi atau kegiatan perusahaan. Akuntansi perpajakan secara khusus menyajikan laporan keuangan dan informasi lain kepada administrasi pajak, penyajian tersebut sebagai pemenuhan kewajiban perpajakan
II.6 Kredit Pajak Untuk mengetahui jumlah pajak yang kurang bayar atau lebih bayar maka perlu untuk mengurangkan pajak terutang dengan kredit-kredit pajak yang dimiliki oleh wajib pajak pada periode pajak tersebut Kredit-kredit pajak tersebut antara lain: Kredit Pajak yang Dipotong atau Dipungut oleh Pihak Lain 1.
PPh Pasal 22 Objek-objek penghasilan dari PPh Pasal 22 adalah: i.
PPh Pasal 22 dari bendaharawan Setiap transaksi yang melibatkan bendaharawan pemerintah yang menggunakan dana berasal dari APBN dan APBD, oleh bendaharawan pemerintah akan dipotong sebesar 1,5% dari total transaksi, angka tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai kredit pajak
28
ii.
PPh Pasal 22 dari kegiatan impor Dikenakan apabila wajib pajak melakukan kegiatan impor dengan tarif sebesar 7,5% untuk wajib pajak yang tidak memiliki API (Angka Pengenal Impor) sedangkan apabila memiliki API maka tarif yang dikenakan adalah sebesar 2,5%
iii.
PPh Pasal 22 yang bearasal dari industri tertentu Industri tertentu yang dimaksud adalah industri kertas, baja, dan otomotif, setiap distributor kertas yang membeli kertas pada industri kertas sebagai pabrikan
2.
PPh Pasal 23 Merupakan pajak yang dipotong atas penggunaan modal dan jasa yang bersifat tidak final i. Dikenakan tarif 15% dari penghasilan bruto terhadap deviden, bunga, royalti, dan hadiah ii. Dikenakan tarif 15% dari penghasilan neto terhadap jasa sewa selain tanah dan bangunan, jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa katering, dll
3.
PPh Pasal 24 Merupakan pajak yang telah dipotong oleh negara lain tempat dimana wajib pajak memperoleh penghasilan, cara dan syarat pengkreditan dijelaskan dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 640/KMK.04/1994
29
Kredit Pajak yang Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak 1.
PPh Pasal 25 Berdasarkan ayat (1) besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu dikurangi dengan: •
Pajak penghasilan yang telah dipotong atau yang telah dipungut (Pasal 21, 22, 23)
•
Pajak penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri (Pasal 24)
Kemudian dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak 2.
Fiskal Luar Negeri Fiskal luar negeri dikenakan bagi wajib pajak yang akan bepergian ke luar negeri diwajibkan membayar Rp 1.000.000 untuk setiap wajib pajak yang akan pergi ke luar negeri dengan menggunakan pesawat terbang dan Rp 500.000 untuk wajib pajak yang menggunakan kapal laut, fiskal luar negeri ini dapat dijadikan sebagai kredit pajak
30