BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Pajak Penghasilan
II.1.1 Pengertian Umum Pajak Definisi pajak menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro, SH. dalam Resmi (2007) adalah sebagai berikut, “iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h1). Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsurunsur berikut : iuran dari rakyat kepada negara, berdasarkan Undang- undang, tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk, digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, dan dapat dipaksakan.
II.1.2 Subjek dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan subjek pajak dikelompokkan sebagai berikut : 1. Orang Pribadi. 2. Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak. 3. Badan. 4. Bentuk Usaha Tetap. Menurut Undang-undang No.17 Tahun 2000 Pasal 4 ayat (1), objek pajak penghasilan adalah penghasilan. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan 7
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Penghasilan menurut Undang-undang Perpajakan terdiri dari : 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang PPh; 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; 3. Laba usaha; 4. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk : a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha; d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus saru derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihakpihak yang bersangkutan; 8
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. Royalti; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. Premi asuransi o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
II.1.3 DPP dan Cara Menghitung Pengahasilan Kena Pajak Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Wajib Pajak dalam negeri, dam Badan Usaha Tetap (BUT) adalah Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan untuk WP luar negeri, yang menjadi DPP adalah penghasilan bruto. Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk 9
Wajib Pajak Badan, dihitung sebesar penghasilan netto. Sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi, besarnya Penghasilan Kena Pajak dihitung sebesar penghasilan netto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Menurut Gunadi (2002), ada dua cara dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu : 1. Penghitungan dengan menggunakan pembukuan, yang diperkenankan bagi WP yang melakukan pembukuan. Penghitungannya dilakukan dengan mengurangkan dari penghasilan sebagai objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan biaya sebagaimana ditetapkan sebagai biaya fiskal sesuai Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan. 2. Penghitungan dengan cara norma penghitungan, dimana tidak lagi memperhitungkan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak, melainkan telah ditetapkan penghasilan nettonya dengan suatu persentase tertentu oleh pemerintah. Wajib Pajak yang boleh menggunakan norma penghitungan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Peredaran bruto kurang dari Rp 600.000.000,- per tahun. 2. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun buku. 3. Menyelengarakan pencatatan. Secara umum, penghitungan pajak yang terutang adalah sama untuk semua jenis pajak, demikian juga dengan Pajak Penghasilan. Adapun formula umum untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut : Pajak Penghasilan = Tarif x Penghasilan Kena Pajak
10
II.1.4 Penghasilan Tidak Kena Pajak Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 137/KMK.03/2005 tanggal 30 Desember 2005 terhitung sejak tahun pajak 2006 adalah sebagai berikut : 1) Rp 13.200.000,- untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi. 2) Rp 1.200.000,- untuk tambahan Wajib Pajak yang kawin. 3) Rp 13.200.000,- untuk tambahan seorang istri yang penghasilannya digabung dengan suami, dengan syarat : a. Penghasilan istri semata – mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasar ketentuan yang ada dalam UU PPh Pasal 21, dan b. Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lain. 4) Rp 1.200.000,- untuk tambahan setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis ketentuan lurus satu derajat serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang).
II.1.5 Tarif Pajak Penghasilan Tarif pajak adalah tarif untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar. Ketentuan tentang tarif pajak adalah ketentuan tentang cara menghitung besarnya pajak yang terutang. Tarif pajak penghasilan biasanya merupakan persentase untuk diterapkannya atas penghasilan neto untuk menghitung besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar oleh wajib pajak yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 17 UndangUndang Pajak Penghasilan tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan yaitu tarif pajak yang 11
ditetapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut : Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi: Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000,-
5%
Diatas Rp 25.000.000,- s.d Rp 50.000.000,-
10%
Diatas Rp 50.000.000,- s.d Rp 100.000.000,-
15%
Diatas Rp 100.000.000,- s.d Rp 200.000.000,-
25%
Diatas Rp 200.000.000,-
35%
Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap: Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,-
10%
Diatas Rp 50000.000,- s.d Rp 100.000.000,-
15%
Diatas Rp 100.000.000,-
30%
II.1.6 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25 Ketentuan pasal 25 Undang- undang Pajak Penghasilan dalam Mardiasmo (2002) mengatur tentang “menghitung besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan”. (h 201). Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan : 1. Wajib Pajak membayar sendiri (PPh Pasal 25) 2. Melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24)
12
Cara menghitung besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 menurut yaitu besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut SPT PPh tahun pajak yang lalu, dikurangi dengan: a. PPh yang dipotong sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23, serta PPh yang dipungut sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 22. b. PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24. Dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
II.2
Laporan Keuangan Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI ) dan Menurut
Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) II.2.1 Laporan Keuangan menurut IAI IAI (2007) menyatakan bahwa, “Laporan Keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan, laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan rugi / laba, laporan perubahan posisi keuangan, (misalnya laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan, dan laporan lain, serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan”(h.2). Menurut IAI, pemakai laporan keuangan meliputi investor, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok, dan kreditor usaha lainnya, pelanggan, pemerintah, serta lembaga lembaga dan masyarakat. Dan juga bertanggung jawab dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan perusahaan adalah pihak manajemen perusahaan. IAI (2007) menyatakan, “tujuan laporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan 13
suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi”(h.4). Terdapat empat karakteristik kualitatif pokok laporan keuangan, menurut IAI, yaitu : 1) Dapat dipahami, dimana kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pemakai. 2) Relevan, agar dapat bermanfaat informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan apabila dapat membantu keputusan ekonomi pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini / masa depan, menegaskan atau mengoreksi, hasil evaluasi mereka di masa lalu. 3) Keandalan, informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang tulus dan jujur dari seharusnya disajikan atau secara wajar dapat dapat diharapkan dapat disajikan. 4) Dapat diperbandingkan, peakai harus dapat membandingkan laporan keuangan perusahaan antar periode untuk mengidentifikasikan kecenderungan posisi dan kinerja keuangan. Juga harus dapat membandingkan laporan keuangan antar perusahaan untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan secara relatif.
II.2.2 Laporan Keuangan Menurut UU Pajak Penghasilan Menurut Suandy (2003) laporan keuangan fiskal, yaitu “laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak” (h.87). 14
Dalam menyusun laporan keuangan fiskal yang dilampirkan dalam SPT, Wajib Pajak harus mengacu pada peraturan perpajakan, dimana laporan keuangan harus disesuaikan atau dikoreksi fiskal dahulu sebelum menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Pajak merupakan alat untuk menyalurkan sumber daya dari masyarakat kepada negara. Laporan keuangan fiskal, biasanya kurang memberikan toleransi atau fleksibilitas pemilihan standar. Ciri kualitatif informasi pelaporan perpajakan umumnya sama dengan ciri kualitatif informasi keuangan, yaitu: Relevan, dapat dipahami, keandalan, dapat dipercaya. Pemakai laporan keuangan fiskal lebih sedikit dari pemakai laporan keuangan komersial. Pemakai laporan keuangan fiskal selain administrasi pajak (termasuk manajemen), juga konsultan pajak, dan pihak yang berminat terhadap perpajakan.
II.3
Rekonsiliasi Fiskal Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan
prinsip akuntansi dan digunakan untuk kepentingan berbagai pihak sedangkan laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan peraturan perpajakan khusus untuk kepentingan perpajakan. Laporan keuangan komersial dapat berbeda dengan laporan keuangan fiskal. Perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya, dan perbedaan perlakuan penghasilan dan biaya, perbedaan prinsip akuntansi, perbedaan metode dan prosedur akuntansi, perbedaan kepentingan antara akuntansi komersial yang mendasarkan laba pada konsep dasar akuntansi yaitu penandingan antara pendapatan dan biaya-biaya terkait (matching cost againts revenue) sedangkan dari segi fiskal tujuan utamanya adalah penerimaan
15
negara. Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Perbedaan
antara
laporan
keuangan
komersial
dengan
fiskal
dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu perbedaan tetap (permanent differences) dan perbedaan waktu (timing differences). Perbedaan tetap terjadi karena adanya transaksi penghasilan dan biaya yang diakui oleh akuntansi komersial tetapi tidak diakui oleh fiskal atau sebaliknya. Perbedaan waktu terjadi karena adanya perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban antara akuntansi komersial dan fiskal. Menurut Siti dalam Resmi (2007), “rekonsiliasi fiskal dilakukan agar tidak terjadi pemborosan waktu, uang, dan tenaga dengan membuat dua laporan keuangan, yaitu laporan keuangan komersial dan fiskal. Laporan keuangan komersial dapat diubah menjadi laporan keuangan fiskal dengan koreksi seperlunya atau dilakukan penyesuaian dengan peraturan perpajakan” (h 339)
II.4
Pengertian Beda Tetap dan Beda Waktu Karena terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi
dan fiskal, maka menimbulkan perbedaan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dalam menyusun laporan keuangan fiskal, Wajib Pajak mengacu kepada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang dibuat berdasarkan PSAK harus dikoreksi fiskal lebih dahulu sebelum menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu perbedaan tetap (permanent difference) dan perbedaan waktu (timing difference). 16
II.4.1 Perbedaan Tetap (Permanent Differences) Suandy (2003), mendefinisikan perbedaan tetap adalah “perbedaan yang terjadi karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan laba menurut PSAK tanpa ada koreksi dikemudian hari”.(h.89) Perbedaan permanent dapat positif (laba pembukuan lebih besar dari laba fiscal) dengan adanya laba akuntansi yang tidak diakui demikian oleh ketentuan perpajakan (misalnya Intercompany Dividend) dan relif pajak (misalnya Pengusaha Tidak Kena Pajak). Namun sebaliknya, apabila laba pembukuan lebih rendah dari laba fiscal akan terdapat perbedaan permanent negatif dengan adanya pengeluaran sebagai beban laba pembukuan yang tidak diakui demikian menurut ketentuan Fiskal (misalnya sumbangan dan kenikmatan). Perbedaan tetap adalah perbedaan pengakuan pendapatan suatu penghasilan atau biaya berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang – undangan Perpajakan dengan prinsip akuntansi yang sifatnya permanent, contoh : 1. Penghapusan piutang Perpajakan : hanya boleh melakukan penghapusan langsung, metode penyisihan tidak diperkenankan. Akuntansi : menggunakan metode penyisihan. 2. Persediaan Perpajakan : penilaian persediaan yang diperkenankan hanya metode FIFO atau metode rata-rata. Akuntansi : penilaian persedian yang diperkenankan metode FIFO 3. Penyusutan Harta Tetap Perbedaan terjadi disebabkan, antara lain : 17
-
Perbedaan metode / tarif penyusutan
-
Perbedaan saat dimulainya penyusutan
Perpajakan : penyusutan untuk perpajakan dimulai pada tahun pengeluarannya dapat dihitung setahun penuh tanpa memperhatikan tanggal / bulan pengeluarannya. Penundaan saat dimulainya penyusutan sampai saat digunakan hanya dapat dilakukan setelah disetejui oleh Ditjen Pajak. Akuntansi : penyusutan dimulai pada saat digunakan atau pada saat dimulainya kegiatan komersil. 4. Amortisasi Harta Tak Berwujud Perpajakan : metode amortisasi dan persentase harus sesuai dengan metode penyusutan harta tetap. Akuntansi : dapat menggunakan metode dan tarif amortisasi yang berbeda dengan harta tetap.
II.4.2 Perbedaan Waktu (Timing Difference) Suandy (2003), mendefinisikan perbedaan waktu adalah “perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban antara peraturan perpajakan dengan PSAK” (h.89) Pada dasarnya terdapat beberapa jenis perbedaan karena waktu pengeluaran, yaitu : 1. Biaya-biaya (expenses) dikurangkan lebih dulu dalam menentukan Penghasilan Kena Pajak dari pada pengurangan dalam menentukan laba sebelum pajak untuk maksud komersial.
18
2. Pendapatan (revenues) dimasukkan kemudian dalam Penghasilan Kena Pajak daripada pemasukannya dalam laba sebelum pajak untuk maksud komersial. Perbedaan waktu positif terjadi apabila pengakuan beban untuk tujuan pajak lebih cepat dari pengakuan beban untuk akuntansi (misalnya penyusutan mulai tahun pengeluaran) atau pengakuan penghasilan untuk tujuan pajak lebih lambat dari pengakuan penghasilan untuk untuk tujuan akuntansi. Sebaliknya perbedaan waktu negatif terjadi jika ketentuan perpajakan mengatur beban lebih lambat dari pengakuan beban menurut praktek akuntansi seperti penyisihan piutang atau persediaan dan akuntansi mengakui penghasilan lebih lambat dari pengakuan penghasilan menurut ketentuan perpajakan (misalnya penghasilan kumulatif beberapa tahun, seperti tebusan pensiun). Perbedaan waktu menyebabkan penghitungan (perbebanan) pajak atas jumlah laba yang berbeda dengan laba menurut pembukuan. Namun perbedaan itu akan terkoreksi secara otomatis di kemudian hari. Dengan demikian tidak ada perbedaan total laba fiscal dan laba pembukuan, yang terjadi adalah perbedaan alokasi beban dan penghasilan
antar
periode
untuk
tujuan
fiskal
dan
akuntansi.
II.5 Biaya Menurut Akuntansi dan Pajak II.5.1 Pengertian Biaya Menurut Standar Akuntansi Keuangan Menurut akuntansi pendapatan berkaitan dengan beban, karena beban merupakan pengorbanan yang harus dilakukan untuk memperoleh pendapatan. Berdasarkan kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan, definisi beban mencakup baik kerugian maupun beban yang timbul dalam pelaksanaan perusahaan biasa yang meliputi, misalnya : Beban Pokok Penjualan, gaji, dan 19
penyusutan. Beban tersebut biasanya berbentuk arus kas keluar atau berkurangnya aktiva seperti kas, persediaan, dan aktiva tetap. Dalam Standar Akuntansi Keuangan, pengertian beban dirumuskan sebagai biaya yang secara langsung telah dimanfaatkan di dalam usaha menghasilkan pendapatan dalam suatu periode atau yang sudah tidak memberikan manfaat ekonomis di masa berikutnya. Yang dimaksud dengan biaya adalah pengorbanan ekonomis yang diperlukan untuk memperoleh barang dan jasa, maka dapat disimpulkan beban terdiri dari : a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan usaha untuk menghasilkan pendapatan. b. Biaya yang sudah tidak dapat memberikan manfaat ekonomi.
II.5.2 Pengertian Biaya Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan ini biaya dibedakan menjadi biayabiaya yang boleh dikurangkan (deductible) dan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan (undeductible) dari penghasilan. Menurut Waluyo (2000) dalam Perubahan Perundang-undangan Perpajakan era reformasi Undang-Undang Pajak Penghasilan No.17 Tahun 2000 Pasal 6, mengatakan biaya sebagai pengorbanan ekonomis untuk mendapatkan, menagih, serta memelihara penghasilan. Dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak suatu badan usaha, maka biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari jumlah penghasilan antara lain : a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan dengan jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam 20
bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan; b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 dan pasal 11A; c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. Kerugian karena penjualan atau penagihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, serta memelihara penghasilan; e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing; f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat : 1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam pelaporan laba rugi komersial; 2. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang / pembebasan utang antara kreditur dengan debitur yang bersangkutan; 3. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, dan; 4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar yang tidak dapat ditagih kepada Direktur Jenderal Pajak. 21
Menurut Waluyo (2000) dalam Perubahan Perundang-undangan Perpajakan era Reformasi Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan No.17 Tahun 2000 mengatur tentang biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak, yang terdiri dari : a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank atau sewa guna usaha dengan hal opsi, cadangan untuk asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambanga, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak bersangkutan; e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan;
22
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; g. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan, kecuali zakat atas penhasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; h. Pajak Penghasilan; i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j. Gaji yang dibayarkan anggota persekutuan firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k. Sanksi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana, berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan; l. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang empunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.
II.6
Perbedaan Laba Menurut Akuntansi dan Perpajakan Laba yang diperoleh perusahaan merupakan objek pajak penghasilan. Ada
perbedaan antara laba yang selama ini dipelajari dengan laba untuk perhitungan pajak penghasilan. Istilah yang biasa digunakan untuk laba yang selama ini dipelajari adalah laba komersial (Commercial Income) atau Laba Akuntansi (Accounting Income). Laba untuk Penghitungan Pajak Penghasilan disebut Laba Fiskal (Taxable Income). 23
Laba adalah selisih lebih pendapatan atas biaya-biaya yang terjadi sehubungan dengan kegiatan usaha. Laba Akuntansi adalah laba yang dihitung dengan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi. Sedangkan laba fiskal adalah laba yang dihitung dengan menggunakan konsep, cara pengukuran dan pendapatan menurut Ketentuan Perpajakan yang lazim kadang-kadang terdapat perbedaan. Dalam SAK 2007, IAI menyatakan bahwa penghasilan (Income) adalah kenaikan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk pemasukkan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Penghasilan meliputi pendapatan (revenues) dan keuntungan (gains). Pendapatan terjadi karena pelaksanaaan aktivitas perusahaan yang biasa dikenal denga sebutan berbeda, seperti penjualan (barang), imbalan atas jasa, bunga, deviden, royalty, dan sewa. Keuntungan merupakan kenaikan ekonomis (selain pendapatan) yang timbul dari pelaksanaan aktivitas perusahaan. Pengertian penghasilan dapat menjangkau keuntungan yang belum direalisasi, misalnya aktiva tetap Penghasilan dapat menambah atau menimbulkan berbagai jenis aktiva, atau mengurangi dan menyelesaikan kewajiban. Sedangkan pengertian penghasilan menurut Ketentuan Perpajakan diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.17 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 17 Tahun 2000, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Jadi pengertian
24
penghasilan menurut ketentuan Perpajakan adalah sangat luas, yaitu meliputi setiap tambahan kemampuan ekonomis yang dapat dikelompokkan menjadi : 1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan lain-lain. 2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan. 3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta bergerak ataupun harta tak bergerak seperti bunga, deviden, royalti, sewa, keuntungan penjualan hak atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya. 4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan sebagainya.
II.7
Surat Pemberitahuan Tahunan PPh
II.7.1 Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) Pengertian dari Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
II.7.2 Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) Sebagai sarana bagi Wajib Pajak PPh untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak terutang yang sebenarnya termasuk perhitungan atas : •
Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 tahun pajak atau bagian tahun pajak;
25
•
Penghasilan yang merupakan obyek pajak dan atau bukan obyek pajak;
•
Harta dan kewajiban
II.7.3 Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) 1. SPT Tahunan PPh yaitu surat yang digunakan oleh WP untuk memberitahukan pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak. 2. SPT Masa PPh yaitu surat yang digunakan oleh WP untuk memberitahukan pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu saat. Selain itu juga SPT dapat dibedakan atas : •
SPT PPh Pasal 21
•
SPT PPh Pasal 23
•
SPT PPh Pasal 25
•
SPT PPh Pasal 26
26