10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1
Landasan Teori a. Theory of Planned Behavior Setiap orang mempunyai perilaku unik masing-masing, menurut Ajzen (2002) Theory Of Planned Behavior adalah Theory Of Reasoned Action yang disempurnakan dengan penambahan Perceived Behavior Control. Theory of Planned Behavior adalah teori yang meramalkan pertimbangan perilaku karena perilaku dapat dipertimbangkan dan direncanakan. Gambar 2.1 Model Theory of Planned Behavior (Sumber: Ajzen 2002) Behavior Attitude Behavior Subjective Norm
Perceived Behavior Control
Intention
11
Model Theory of Planned Behavior (TPB) terdiri dari tiga faktor utama yaitu keyakinan perilaku (behavioral beliefs), keyakinan normatif (normative beliefs), dan keyakinan bahwa perilaku dapat dilaksanakan (control beliefs). Kemudian ketiga faktor tersebut menimbulkan adanya minat (intention) yang selanjutnya akan menentukan apakah individu akan menggunakan sistem tersebut atau tidak (Behavior). Teori ini berusaha untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku manusia dalam konteks tertentu. Dalam teori perilaku terencana (Theory Of Planned Behavior), faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan individu adalah intensi untuk menampilkan perilaku tertentu (Ajzen, 1991: 5). Intensi
diasumsikan
sebagai
faktor
motivasional
yang
mempengaruhi perilaku. Intensi merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku. Sebagai aturan umum, semakin keras intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku, semakin besar kecenderungan ia untuk benar-benar melakukan perilaku tersebut. Intensi untuk berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya hanya jika perilaku tersebut ada di bawah kontrol individu yang bersangkutan. Teori ini mendukung Hipotesis satu, dua, tiga dan empat yaitu Diskriminasi, Kecenderungan Personal, Moral Wajib Pajak dan Persepsi
12
Wajib Pajak atas Pelaksanaan Self Assesment System, karena ke-empat variabel ini merupakan prilaku yang dapat dipertimbangan dan
direncanakan. Dan juga Individu tersebut memiliki pilihan untuk memutuskan perilaku tertentu atau tidak sama sekali (Ajzen, 1991:6).
b. Konsep Dasar Perpajakan 1) Definisi Pajak Banyak para ahli dalam bidang perpajakan yang memberikan pengertian atau definisi pajak yang berbeda-beda, namun demikian berbagai definisi tersebut mempunyai tujuan yang sama sehingga mudah dipahami. Perbedaannya terletak pada sudut pandang masing-masing pihak. Menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2011:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada negara (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Menurut Undang – undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.16 Tahun 2009 pasal 1 yaitu Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang – undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
13
2) Wajib Pajak Definisi Wajib Pajak sesuai dengan Pasal 1 Angka 2 UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
c. Perencanaan Pajak (Tax Planning) Menurut Chairil Anwar Pohan (2013:13-14) Tujuan utama Tax Planning adalah mencari berbagai celah yang dapat di tempuh dalam koridor peraturan perpajakan (loopholes), agar perusahaan atau orang pribadi dapat membayar pajak dalam jumlah minimal. Dalam tax planning ada 3 macam cara yang dapat dilakukan wajib pajak untuk menekan jumlah beban pajaknya, yakni Tax Avoidance, Tax Evasion dan Tax Saving. Tax Avoidance adalah strategi dan teklnik penghindaran pajak dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak karena tidak bertentangan dengan ketentuan perpajakan. Metode dan teknik yang digunakan adalah dengan memanfaatkan kelemahan (grey area) yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan perpajakan itu sendiri. Tax Evasion adalah kebalikan dari Tax Avoidance, strategi dan teknik penghindaran pajak dilakukan secara ilegal dan tidak aman bagi
14
wajib pajak, dan penyeludupan pajak ini bertentangan dengan ketentuan perpajakan, karena metode dan teknik yang digunakan tidak ada dalam koridor undang-undang dan peraturan perpajakan. Cara yang ditempuh beresiko tinggi dan berpotensi dikenai sanksi pelanggaran hukum atau tindak pidana fiskal atau kriminil. Oleh sebab itu, seorang tax planner yang baik tidak direkomendasikan tax evasion. Lain halnya dengan Tax Saving yang tidak lain merupakan sesuatu tindakan penghematan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak karena tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan. Sebagai contoh, bila kita belanja teh botol di warung, tentu tidak akan ada pengenaan pajak restoran atas konsumsi tersebut, namun bila kita memesan teh botol di restoran besar, kita akan terbebani pajak restoran (yang sebenernya bisa dihindari) sebagai implikasi perpajakannya. Berikut adalah Manfaat dan Tujuan dari Perencanan Pajak: 1) Manfaat Perencanaan Pajak Menurut Chairil Anwar Pohan (2013:20) Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari perencanaan pajak yang dilakukan secara cermat: a) Penghematan kas keluar, karena beban pajak yang merupakan unsur biaya dapat dikurangi. b) Mengatur aliran kas masuk dan keluar (cash flow), karena dengan perencanaan pajak yang matang dapat diperkirakan
15
kebutuhan kas untuk pajak, dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat. 2) Tujuan Perencanaan Pajak Menurut Chairil Anwar Pohan (2013:21) Secara umum tujuan pokok yang ingin di capai dari manajemen pajak/perencaraan pajak yang baik adalah: a) Meminimalisasi beban pajak yang terhutang Tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak tersebut berupa usaha-usaha mengefisiensikankan beban pajak yang masih dalam ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar peraturan perpajakan. b) Memaksimalkan laba setelah pajak c) Meminimalkan terjadinya kejutan pajak (tax surprise) jika terjadi pemeriksaan pajak oleh fiskus d) Memenuhi kewajiban pajak secara benar, efisien dan efektif, sesuai dengan ketentuan perpajakan yang antara lain meliputi : i.
Mematuhi
segala
ketentuan
administratif,
sehingga
terhindar dari pengenaan sanksi, baik sanksi administratif maupun pidana, seperti bunga, kenaikan, denda, dan hukum kurungan atau penjara. ii.
Melaksanakan secara efektif segala ketentuan undangundang perpajakan yang terkait dengan pelaksanaan
16
pemasaran, pembelian dan fungsi keuangan, seperti pemotongan dan pemungutan pajak (Pph pasal 21, pasal 22, dan pasal 23)
d. Perlawanan Pajak Lepas dari kesadaran kewarganegaraan dan solidaritas nasional, lepas pula dari pengertian tentang kewajibannya terhadap Negara, pada sebagian besar di antara rakyat tidak akan pernah meresap kewajibannya membayar pajak sedemikian rupa sehingga memenuhi tanpa menggerutu. Bahkan, bila ada sedikit kemungkinan saja, maka pada umumnya mereka cenderung untuk meloloskan diri dari setiap pajak. Hal ini telah ternyata di segenap Negara dan sepanjang masa. Dalam usaha perlawanan inilah, terletak faktor utama dari perlawanan terhadap pajak, yang dapat dibedakan ke dalam yang dinamakan perlawanan pasif dan perlawanan aktif: 1) Perlawanan Pasif terhadap Pajak Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hambatan
yang
mempersukar pemungutan pajak dan yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu Negara, dengan perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri. Dengan demikian maka pajak atas pendapatan yang biasanya telah berintegrasi dalam suatu system ekonomi dengan sifatnya
17
yang industrial, pada hakikatnya kurang tepat bagi Negara agraris. Dalam praktek, pada hakikatnya tidak mungkin di adakan perkiraan pendapat secara teliti, antara lain karena para petani kebanyakan tidak mempunyai (bakat bagi) tata pembukuan. Oleh karena itu, di banyak Negara keuntungan-keuntungan para petani yang dapat dikenakan pajak ditentukan dengan perkiraan jumlah bulat atas dasar pendapatan kadastral atau nilai sewa, ataupun atas dasar luasnya tanah yang dikerjakan. Perlawan pasif juga terdapat apabila system control tidak dilakukan dengan efektif atau bahkan tidak dapat di adakan. Demikian halnya dengan pajak atas pemilikan permata atau ratna mutu menikam lainnya; demikian pula (antara lain di Belgia) pelaksanaan pajak atas pendapatan yang di peroleh dari sahamsaham dan obligasi unjuk mengalami hambatan. Cara hidup penduduk juga memegang peran penting. Kekurangan gairah kerja, tetapi juga keinginan menabung di masyarakat, misalnya; akan menambah mahalnya biaya suatu tagihan terhadap pajak langsung karena pada jatuh tempo untuk membayar, para wajib pajak tidak menguasai utang yang diperlukan sehingga harus diambil tindakan untuk menjamin berhasilnya pemungutannya (demikian itu bilamana ada bendabenda yang dapat disita).
18
Akhirnya apabila masyarakat tidak mendapat penerangan yang mencukupi, maka jenis pajak yang memerlukan banyak formalitas dan surat-menyurat, seyogianya ditiadakan saja karena tentu tidak akan berhasil. Bagaimana pun juga telah menjadi suatu kenyataan dan pengalaman di beberapa Negara bahwa perlawanan pasif tidak begitu kuat terhadap pajak tak langsung (daripada terhadap pajak langsung). Itulah pula sebabnya mengapa pada umumnya kebanyakan Negara cenderung untuk mengadakan pajak tak langsung. Sebaliknya suatu kecerdasan, suatu pengertian yang jelas mengenai tugas kewajiban terhadap Negara dan keharusan membayar pajak, pula perasaan mendalam mengenai solidaritas nasional pada penduduk, akan mengurangi perlawanan pasif. Aliran-aliran di tengah masyarakat juga turut berbicara; apabila pendapat umum tidak begitu menyetujui suatu pajak tertentu, pasti tidak akan mudahlah pelaksanaan pemungutan pajak itu. 2) Perlawan Aktif terhadap pajak Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditunjukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak. Diantaranya dapat di bedakan cara-cara sebagai berikut:
19
a) Menghindarkan diri dari Pajak Pembayaran pajak dengan mudah dapat dihindari dengan tidak melakukan perbuatan yang memberi alasan untuk dikenakan pajak, yaitu dengan meniadakan atau tidak melakukan hal-hal yang dikenakan pajak. Menghindari pajak yang
merupakan
gejala
biasa
pada
pajak-pajak
atas
penggunaan, biasanya dilakukan dengan penahan diri atau dengan penggunaan surogat; orang yang mengurangi atau menekan konsumsinya dalam barang-barang yang dapat dikenakan pajak, ataupun orang-orang menggantikannya dengan surogat yang tidak atau kurang dikenakan pajak. Contoh: i.
Pajak kendaraan bermotor:
dihindari orang dengan
membiarkan mobilnya berada di garasi (penahanan) ii.
Cukai tembakau atas rokok putih (luar negeri) dihindarkan dengan memuaskan diri dengan rokok krobot/tingwe (surogat)
iii.
Kopi (coffi Arabica) diganti dengan surogat, dan gula pasir diganti dengan gula kelapa dan sebagainya.
Penghindaran
secara
demikian
tersebut
menimulkan
pengurangan permintaan akan barang yang dikenakan pajak (yang berakibat meningkatnya penabungan) atau bertambahnya
20
permintaan akan barang-barang lain dan sekaligus terjadilah penambahan dalam produksi barang terakhir dan berkurangnya produksi barang-barang yang dikenakan pajak berat. b) Mengelakkan Pajak Menurut
Chairul
Anwar
Tohan
(2013:23)
Penggelapan/Penyelundupan Pajak (Tax Evasion) adalah upaya wajib pajak menghindari pajak terutang secara ilegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Cara ini tidak aman bagi wajib pajak karna metode dan teknik yang digunakan tidak berada dalam koridor undang-undang dan peraturan perpajakan. Cara yang di tempuh beresiko tinggi dan berpotensi di kenai sanksi, pelanggaran hukum/tindak pidana fiskal, atau kriminal. Oleh sebab itu, tax planner yang baik, cara ini tidak di rekomendasi untuk di aplikasikan. Pengertian Penggelapan pajak tidak hanya kecurangan dan penggelapan dalam segala bentuknya tetapi juga memenuhi kelalaian dalam memenuhi kewajiban perpajakannya yang disebabkan oleh : i.
Ketidakpatuhan (ignorance), yakni wajib pajak tidak sadar atau tidak tau akan adanya peraturan perpajakan tersebut
ii.
Kesalahan (error), yakni wajib pajak paham akan undangundang perpajakan tetapi salah dalam menghitung datanya
21
iii.
Kesalahpahaman (misunderstanding), yakni wajib pajak salah menafsirkan undang-undnag perpajakan
iv.
Kealpaan (negliance), yakni wajib pajak alpa menyimpan buku beserta bukti-buktinya secara lengkap. Menghindari diri dari pajak tidak dapat selalu dilaksanakan, sebab tidak dapat menghindari semua unsur atau fakta yang dapat dikenakan pajak. Namun, apabila penghindaran diri dari pajak tidak dapat dilaksanakan, maka wajib pajak berusaha menggunakan caracara lain, diantaranya dengan cara yang disebut pengelakkan pajak, misalnya dengan cara penyelundupan (yang sudah dikenal terhadap bea masuk). Pengelakan
semacam
itu
benar-benar
merupakan
pelanggaran undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak atau mengurangi dasarnya. Pada hakikatnya, yang menjadi soal disini ialah suatu bentuk simulasi (perbuatan berpura-pura) keadaan yang sebenarnya disembunyikan dengan misalkan, mengajukan suatu pernyataan yang tidak benar atau memberikan data-data yang tidak benar (vide: keterangan palsu dalam dokumen) Pengelakan pajak ini terutama terdapat pada pajak-pajak yang untuk penentuan besarnya, para wajib pajak harus bekerja sendiri dengan menggunakan pemberitahuan dan dokumen-
22
dokumen lain. Para wajib pajak dapat mengabaikan sama sekali formalitas-formalitas
yang
harus
dilakukannya,
atau
memalsukan dokumen, atau mengisi kurang lengkap: dalam kedua hal tersebut pajak dihindari dengan secara tidak legal. Juga
pembukuan
member
banyak
kemungkinan
untuk
mengelakan pajak, misalnya dengan membukukan kurang dari pada inventaris sebenarnya, pengajuan rekening - rekening yang fiktif, tidak membukukan uang-uang tunai, memasukan biaya-biaya dan penyusutan yang berlebihan dan sebagainya. Akibat dari pengelakan pajak adalah sebagai berikut: Dalam bidang keuangan, Pengelakan pajak berarti pos kerugian bagi Negara, dapat menyebabkan ketidakseimbangan anggaran dan konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan dengan itu seperti penaikan tarif pajak, keadaan inflatoir, dan sebagainya. Untuk menjamin pemungutan pajak yang tepat sering dikemukan falsafah sebagai berikut: Wajib pajak yang mengelakan
pajak,
mungkin
mengira
bahwa
Negara
mengambil sejumlah yang ada di kantungnya. Pada hakikatnya dialah yang mengambil uang dari warga-warga lain yang oleh Negara harus diminta pengorbanan lain (untuk mengimbangi kekurangan yang ditimbulkan oleh wajib pajak yang tidak menunaikan kewajibannya)
23
Dalam bidang
ekonomi,
Pengelakan
pajak
sangat
mempengaruhi persaingan sehat diantara para pengusaha, sebab suatu perusahaan yang dengan mengelakan pajak menekan biayanya secara tidak legal, mempunyai posisi yang lebih menguntungkan daripada saingan-saingannya yang tidak berbuat demikian Pengelakan pajak tersebut merupakan penyebab stagnansi berputarnya
roda
ekonomi
apabila
perusahaan
yang
bersangkutan berusaha keras untuk mencapai tambahan dari keuntungannya dengan menggelapkan pajak, dan tidak mengusahakannya dengan jalan perluasan aktivitas atau peningkatan produktivitas. Pengelakan langkanya
pajak
modal
termaksud
karena
para
juga wajib
memnyebabkan pajak
yang
menyembunyikan keuntungannya terpaksa berusaha keras untuk menutup-nutupinya agar jangan sampai terlihat oleh fiskus. Dalam bidang psikologi, Akibat-akibat dari penggelapan pajak itu juga dirasakan dalam bidang psikologi sebab penggelakan membiasakan wajib pajak untuk selalu melanggar undang-undang. Apabila ia sampai hati melakukan penipuan dalam bidang fiscal, ia lambat-laun tidak akan segan-segan berbuat sama dalam bidang ini. Lagipula orang tidak boleh
24
memperkecil pengaruh psikologis yang pasti di timbulkan oleh pengelakan pajak itu dan karena bahaya-bahaya yang mengancamnya sehubungan dengan itu, seperti kemungkinan bahwa penipuan tersebut akhirnya toh ditemukan juga, dengan konsekuensi; pembayaran yang berlipat ganda karena meliputi utang pajak beberapa tahun, ditambah dengan denda dan kenaikan pajak yang harus dibayarkan, dan demikian itu kadang-kadang terjadi pada saat yang kurang tepat seperti dalam keadaan kekurangan uang, sakit dan sebagainya. c) Melalaikan Pajak Akhirnya, masih ada yang di namakan melalaikan pajak, yaitu
menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan
menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi olehnya. Yang paling banyak digunakan ialah usaha menggagalkan pemungutan pajak dengan menghalang-halangi penyitaan dengan cara melenyapkan barang-barang yang sekiranya akan di sita oleh fiskus (dengan jalan mengganti suatu perusahaan pribadi menjadi suatu perseroan atau menjual barang-barang yang akan disita ataupun memindahtangankan atas nama istri, atau nama anak yang bukan karena keharusan). Sering juga dengan mengajukan sanggahan kepada pengadilan negeri
25
terhadap perintah/ cara penyitaan atau dengan melancarkan surat-surat berisi protes atau keberatan-keberatan lainnya. Dengan penghindaran diri secara yuridis, seseorang tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Dengan cara licin, (secara ilmiah memang dapat dipertanggung jawabkan), dipergunakannyalah segala kemungkinan yang dapat membantunya untuk meloloskan dirinya darinya dari peraturan-praturan yang telah di tetapkan oleh pembuat undang-undang pajak. Terhadap perbuatan-perbuatan demikian sangatlah disangsikan dapatnya diambil suatu tindakan karena memang tidaklah dapat ditemukan suatu pasal dalam undangundang bahwa yang berbuat demikian (yaitu menghindarkan diri dari pajak) dapat dikenakan suatu hukuman. Jadi, lain halnya dengan yang dinamakan pelanggaran pajak yang dengan sengaja atau tidak mengakibatkan penyelundupan pajak dan yang sewajarnya di ancam dengan hukumanhukuman berat. Sebaliknya, justru perbuatan-perbuatan yang demikianlah memberikan dorongan kepada pembuat undangundang pajak untuk selalu memperhatikan seribu satu kemungkinan menghadapinya.
dan
untuk
senantiasa
bersiap
sedia
26
e. Diskriminasi Berdasarkan Undang - Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat (3), UU tersebut menyatakan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat pengangguran, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang lain. Menurut Danandjaja (2003:18), Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Diskriminasi adalah mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya.
27
f. Kecenderungan Personal Dalam bidang perpajakan, kecenderungan personal merupakan bagian dari suatu tindakan atau sikap di dalam tata kelola sistem perpajakan Indonesia yang dilakukan oleh wajib pajak dengan tujuan untuk melakukan berbagai macam perlawanan terhadap pembayaran pajak yang merupakan aspek personal dari pribadi wajib pajak baik secara pasif maupun aktif (Hastuti dan Stephana, 2009). Mengingat betapa pentingnya peran masyarakat untuk membayar pajak, maka dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajibanya dalam membayar pajak (Waluyo, 2006:12). Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, berbagai macam strategi dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan sosialisasi tentang peraturan perpajakan dan fungsi dari pemungutan pajak. Hal ini dikarenakan untuk menghindari adanya tindakan perlawanan terhadap pembayaran pajak yang timbul dari pribadi wajib pajak. Salah satu bentuk kecenderungan personal di dalam pajak adalah perlawanan pajak. Menurut Brotodihardjo (2003:13) perlawanan pajak adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh wajib pajak untuk meloloskan diri dari pembayaran pajak. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar wajib pajak belum merasakan manfaat dari pemungutan pajak bahkan menimbulkan dampak negative untuk memenuhi kewajiban membayar pajak. Oleh karena itu, aparat pajak harus lebih
28
giat melakukan sosialisasi perpajakan agar aturan perpajakan dapat dipahami secara benar. Peran aktif dan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak sangat diperlukan untuk tercapainya realisasi penerimaan negara. Namun demikian, tidak jarang terdapat berbagai macam perlawanan dari masyarakat selaku pembayar pajak terhadap pemungutan pajak. Hal ini dikarenakan pajak merupakan suatu beban yang dapat mengurangi penghasilan yang diperoleh wajib pajak. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kecenderungan personal merupakan suatu tindakan perlawanan hukum terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk meminimalkan beban pajak sekecil mungkin baik yang dilakukan sesuai dengan undang-undang perpajakan maupun yang bertentangan dengan undang-undang perpajakan.
g. Moral Wajib Pajak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013), moral merupakan ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Menurut Velasquez (2005), moralitas diartikan sebagai pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah atau baik dan jahat. Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai
29
jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral dan nilai- nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara moral buruk. Aspek moral dalam bidang perpajakan menyangkut dua hal, yaitu (1) kewajiban perpajakan merupakan kewajiban moral yang harus ditunaikan oleh setiap wajib pajak, dan (2) menyangkut kesadaran moral terkait dengan alokasi atau distribusi dari penerimaan pajak (Thurman et.al. 1984; Troutman,1993). Wajib pajak yang mempunyai kesadaran moral yang baik sebagai warga negara dalam melaksanakan kewajiban pajaknya berbeda dengan warga negara yang tidak mempunyai kesadaran moral. Dengan demikian diharapkan dengan aspek moralitas dari wajib pajak akan meningkatkan kecenderungan dari wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya.
h. Persepsi Wajib Pajak atas Pelaksanaan Self Assesment System Self Assessment System dikenal setelah terjadinya reformasi perpajakan pada tahun 1983 dimana sistem yang dipakai sebelumnya adalah official assessment system. Menurut Ilyas dan Burton (2012) self assessment system berarti kepada Wajib Pajak diberikan kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya dengan cara menghitung, memperhitungkan menyetor dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang harus dibayar ke negara.
30
Prinsip utama pemungutan pajak sebagai wujud dari kewajiban warga negara untuk ikut membantu pembiayaan negara dan pembangunan nasional adalah dengan diberikannya kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, melaporkan, mencatat dan membayarkan jumlah pajak terhutang. Akan tetapi banyak Wajib Pajak memanfaatkan kepercayaan yang diberikan dan berfikir untuk melarikan diri dari kewajiban atau mengurangi jumlah pajak terhutang mereka, bahkan cenderung tidak membayar pajak. Tindakan tersebut merupakan tindakan penyelundupan pajak (tax evasion) dimana tindakan ini merupakan tindakan illegal. Menurut Ilyas dan Burton (2012), Pemberian kepercayaan penuh melalui pelaksanaan sistem self assessment kepada wajib pajak seakan memberi ruang amat besar dan sangat memungkinkan kalau data dan pajak yang dilaporkan oleh wajib pajak ke kantor pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kalaupun itu terjadi harus diakui bahwa hal itu merupakan konsekuensi logis dari sistem yang diberlakukan. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa self assessment system masih mempunyai kelemahan dalam aturanaturan yang nantinya menimbulkan perbuatan penggelapan pajak.
31
2. Peneliti Terdahulu Penulis merujuk pada lima penelitian terdahulu dalam melakukan penelitian ini. Berikut adalah penelitian terhadap Tindakan Penggelapan Pajak (Tax Evasion): Menurut Audia Citra Permita, Resti Yulistia M, Popi Fauziati (2013) melakukan penelitian terhadap tindakan penggelapan pajak. Hasil dari penelitian ini adalah persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan self assessment system berpengaruh signifikan terhadap tindakan penggelapan pajak (tax evasion). Menurut
Wahyu
Suminarsasi
dan
Supriyadi
(2012)
tentang
penelitiannya mengenai Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan dan Diskriminasi Terhadap Pesepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion) menunjukan bahwa penggelapan pajak dipandang sebagai suatu hal yang etis dan juga tidak etis, hasil dalam penelitian ini hanya mendukung dua dimensi saja, yaitu sistem perpajakan dan diskriminasi, sehingga variable keadilan belum bisa dibuktikan. Menurut Ayu dan Hastuti (2009) pada penelitiannya yang berjudul Persepsi Wajib Pajak : Dampak Pertentangan Diametral Pada Tax Evasion Wajib Pajak Dalam Aspek Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan, Keadilan, Ketepatan Pengalokasian, Teknologi Sistem Perpajakan dan Kecenderungan Personal (Studi Wajib Pajak Orang Pribadi) penelitian ini menunjukan hasil yang berdasarkan pengujian dengan regresi liner ditemukan bahwa kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap tax
32
evasion mempunyai koefisien negatif (-0.501) yang signifikan (.00), Hasil pengujian juga menunjukan bahwa pengaruh ketepatan pemanfaatan hasil pajak berpengaruh secara negatif (0.286) dan signifikan (.003) terhadap tax evasion. Sedangkan persepsi terhadap keadilan, penggunaan teknologi dan kecenderungan tax evasion seseorang ternyata tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat tax evasion. Menurut McGee, Florida International University (2009) pada penelitiannya yang berjudul Presenting The Dimensionality of An Ethics Scale Pertaining to Tax Evasion yang terdiri dari variable independen : Fairness(X1) Tax System (X2) Discrimination (X3) menunjukan tingkat penilaian di masing-masing Negara berbeda-beda. UK memiliki nilai ratarata terendah sebesar 4.15 yang mengindikasikan rendahnya perlawanan terhadap tindak penggelapan pajak, USA memiliki skor rata-rata tertinggi sebesar 5.62 yang mengindikasikan tingginya keengganan terhadap penggelapan pajak. Menurut Steven E. Kaplan, Kaye J. Newberry, dan Philip M. J. Reckers pada penelitiannya yang berjudul The Effect of Moral Reasoning and Educational Communications on Tax Evasion Intention yang terdiri dari Variabel Independen: Moral Reasoning (X1) dan Educational Communications (X2) Variabel Dependen: Tax Evasion Intention (Y) menunjukkan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa niat penggelapan pajak secara signifikan lebih rendah bagi mereka wajib pajak yang memanfaatkan penalaran moral yang tinggi dalam pengambilan keputusan
33
mereka. Hasil penelitian juga mendukung bahwa niat penggelapan pajak berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi pendidikan pajak.
34
Tabel 2.1 Peneliti Terdahulu
Peneliti (Tahun)
Audia Citra Permita, Resti Yulistia M, Popi Fauziati (2013)
Wahyu Suminarsasi dan Supriyadi (2012)
Ayu dan Hastuti (2009)
Judul Penelitian
Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Pelaksanaan Self Assesment Sytem Terhadap Tindakan Tax Evasion
Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan dan Diskriminasi Terhadap Pesepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion) Persepsi Wajib Pajak : Dampak Pertentangan Diametral Pada Tax Evasion Wajib Pajak Dalam Aspek Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan, Keadilan, Ketepatan Pengalokasian, Teknologi Sistem Perpajakan dan Kecenderungan Personal (Studi Wajib Pajak Orang Pribadi)
Variabel
Variabel Independen: Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Pelaksanaan Self Assesment System (X) Variabel Dependen: Tax Evasion (Y) Variabel Independen: Keadilan (X1) Sistem Perpajakan (X2) Diskriminasi (X3) Variabel Dependen: Pesepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion) Variabel Independen: Pertentangan Diametral (X1) Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (X2) Keadilan (X3) Ketepatan Pengalokasian (X4) Teknologi Sistem Perpajakan (X5) Kecenderungan Personal (X6) Variabel Dependen: Persepsi Wajib Pajak Mengenai Tax Evasion (Y)
Persamaan dan Perbedaan Penelitian Variabel Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Pelaksanaan Self Assesment System ditambahkan dengan 3 (tiga) variabel lainnya yaitu Diskriminasi, Moral Wajib Pajak, dan Kecenderungan Personal
Hanya Mengambil variabel Diskriminasi
Hanya Mengambil variable Kecenderungan Personal
Hasil Penelitian
Persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan self assessment system berpengaruh signifikan terhadap tindakan tax evasion.
Penggelapan pajak dipandang sebagai suatu hal yang etis dan juga tidak etis, hasil dalam penelitian ini hanya mendukung dua dimensi saja, yaitu sistem perpajakan dan diskriminasi, sehingga variable keadilan belum bisa dibuktikan.
Berdasarkan pengujian yang dilakukan dengan regresi liner ditemukan bahwa kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap tax evasion mempunyai koefisien negatif (-0.501) yang signifikan (.00), Hasil pengujian juga menunjukan bahwa pengaruh ketepatan pemanfaatan hasil pajak berpengaruh secara negatif (0.286) dan signifikan (.003) terhadap tax evasion.Sedangkan persepsi terhadap keadilan, penggunaan teknologi dan kecenderungan tax evasion seseorang ternyata tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat tax evasion.
35
McGee, Florida International University (2009)
Steven E. Kaplan, Kaye J. Newberry, dan Philip M. J Reckers (1997)
Presenting The Dimensionality of An Ethics Scale Pertaining to Tax Evasion
The Effect Of Moral Reasoning and Educational Communications on Tax Evasion Intention
Variabel Independen: Fairness(X1) Tax System (X2) Discrimination (X3) Variabel Dependen: Tax Evasion (Y)
Variabel Independen: Moral Reasoning(X1) Educational Communications (X2) Variabel Dependen: Tax Evasion Intention (Y)
Sumber data diolah Peniliti 2014
Hanya Mengambil variabel Diskriminasi
Hanya Mengambil variabel Moral
Hasil penelitian menunjukkan tingkat penilaian di masing-masing Negara berbeda-beda. UK memiliki nilai rata-rata terendah sebesar 4.15 yang mengindikasikan rendahnya perlawanan terhadap tindak penggelapan pajak, USA memiliki skor rata-rata tertinggi sebesar 5.62 yang mengindikasikan tingginya keengganan terhadap penggelapan pajak
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa niat penggelapan pajak secara signifikan lebih rendah bagi mereka wajib pajak yang memanfaatkan penalaran moral yang tinggi dalam pengambilan keputusan mereka. Hasil penelitian juga mendukung bahwa niat penggelapan pajak berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi pendidikan pajak.
36
B. Model Pemikiran 1. Pengaruh Diskriminasi terhadap Tindakan Penggelapan Pajak Menurut Danandjaja (2003) diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Perilaku diskriminasi dalam hal perpajakan ini merupakan tindakan yang menyebabkan keengganan masyarakat/WP (baik domistik dan asing) dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, seperti perlakuan diskriminasi pajak pada Investor asing (konstruksi dan manufaktur) yang menanamkan modalnya di Indonesia, dimana para investor dikenakan tarif pajak yang tinggi sebesar 30% dibandingkan Negara ASIA lainnya (malaysia, Thailand dll) yang menimbulkan para Investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia menjadi enggan (www.ortax, diakses pada Juni 2012). Sehingga dapat di tuliskan hipotesis sebagai berikut: Ha1: Diskriminasi berpengaruh positif terhadap tindakan penggelapan pajak Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Tigaraksa 2. Pengaruh Kecenderungan Personal terhadap Tindakan Penggelapan Pajak Mengingat pentingnya peran masyarakat untuk membayar pajak dalam menanggung pembiayaan negara, maka dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban kenegaraannya yaitu membayar pajak. Terlepas dari kesadaran tersebut, sebagian besar warga negara yang telah
37
terdaftar sebagai wajib pajak belum memenuhi kewajiban perpajakan secara benar. Hal ini menimbulkan suatu kecenderungan untuk melakukan perlawanan terhadap pembayaran pajak dengan tujuan melakukan penggelapan pajak. Timbulnya perlawanan terhadap pembayaran pajak dikarenakan adanya persepsi wajib pajak yang merasakan bahwa pajak merupakan suatu biaya yang dikeluarkan dari penghasilan yang diperoleh sehingga mengurangi penghasilan yang diterima. Selain itu, munculnya persepsi wajib pajak yang kurang memahami terhadap peraturan sistem perpajakan semakin menambah persepsi wajib pajak untuk tidak melakukan pembayaran pajak. Setiap wajib pajak mempunyai standar perlawanan dan standar moral yang berbeda. Tarik menarik antara kedua hal inilah yang kemudian menentukan apakah wajib pajak tersebut cenderung memandang untuk mengambil risiko melanggar hukum dalam melakukan penggelapan pajak atau tidak. Semakin tinggi kecenderungan personal wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak maka semakin tinggi pula penggelapan pajak diukur (Hastuti dan Stephana, 2009). Sehingga dapat di tuliskan hipotesis sebagai berikut : Ha2 : Kecenderungan Personal berpengaruh positif terhadap tindakan penggelapan pajak Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Tigaraksa
38
3. Pengaruh Moral Wajib Pajak terhadap Tindakan Penggelapan Pajak Warga negara akan mematuhi norma sosial yang ada sepanjang mereka percaya bahwa warga negara yang lain juga patuh. Ketidak-patuhan seseorang juga akan mempengaruhi ketidakpatuhan individu lainnya karena persepsi mengenai ketidakpatuhan akan menimbulkan perilaku oportunistik. Tindakan penggelapan pajak (tax evasion) yang dilakukan individu akan merusak tax morale individu lainnya. Wajib Pajak yang semula telah taat pajak akan mempunyai pemikiran oportunistik, yaitu untuk melakukan penggelapan pajak. Perilaku Oportunistik ini bias timbul karena ada kemungkinan penggelapan pajak tidak terdeteksi oleh fiskus. Lagipula hal serupa jug dilakukan oleh wajib pajak lain. Torgler dan Scheider (2004) menemukan bahwa tax morale seorang wajib pajak sangat di pengaruhi oleh perilaku kepatuhan wajib pajak lainya. Jika wajib pajak meyakini bahwa tax evasion merupakan hal umum, maka tax morale akan semakin rendah, dan sebaliknya. Sehingga dapat di tuliskan hipotesis sebagai berikut : Ha3: Moral Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap tindakan penggelapan pajak Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Tigaraksa 4. Pengaruh Persepsi Wajib Pajak atas Pelaksanaan Self Assesment System terhadap Tindakan Penggelapan Pajak Prinsip utama pemungutan pajak sebagai wujud dari kewajiban warga negara untuk ikut membantu pembiayaan negara dan pembangunan
39
nasional adalah dengan diberikannya kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, melaporkan, mencatat dan membayarkan jumlah pajak terhutang. Akan tetapi banyak Wajib Pajak memanfaatkan kepercayaan yang diberikan dan berfikir untuk melarikan diri dari kewajiban atau mengurangi jumlah pajak terhutang mereka, bahkan cenderung tidak membayar pajak. Tindakan tersebut merupakan tindakan penyelundupan pajak (tax evasion) dimana tindakan ini merupakan tindakan ilegal. Menurut Ilyas dan Burton (2012), Pemberian kepercayaan penuh melalui pelaksanaan sistem self assessment kepada wajib pajak seakan memberi ruang amat besar dan sangat memungkinkan kalau data dan pajak yang dilaporkan oleh wajib pajak ke kantor pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kalaupun itu terjadi harus diakui bahwa hal itu merupakan konsekuensi logis dari sistem yang diberlakukan. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa self assessment system masih mempunyai kelemahan dalam aturan-aturan yang nantinya menimbulkan perbuatan penggelapan pajak. Sehingga dapat di tuliskan hipotesis sebagai berikut : Ha4: Persepsi Wajib Pajak atas Pelaksanaan Self Assesment System berpengaruh positif terhadap tindakan penggelapan pajak Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Tigaraksa
40
Gambar 2.2 Skema Model Pemikiran
Variabel Independen Diskriminasi
Kecenderungan Personal
Moral Wajib Pajak
Persepsi Wajib Pajak atas Pelaksanaan Self Assesment System
Ha1 (+) Ha2 (+)
Ha3 (-)
Ha4 (+)
Variabel Dependen Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
41
C. Perumusan Hipotesis Berdasarkan Kerangka Pemikiran maka Hipotesis pada penelitian ini dapat di simpulkan sebagai berikut: Ha1 : Diskriminasi berpengaruh positif terhadap tindakan penggelapan pajak Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Tigaraksa Ha2 : Kecenderungan Personal berpengaruh positif terhadap tindakan penggelapan pajak Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Tigaraksa Ha3 : Moral Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap tindakan penggelapan pajak Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Tigaraksa Ha4 : Persepsi Wajib Pajak atas Pelaksanaan Self Assesment System berpengaruh positif terhadap tindakan penggelapan pajak Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Tigaraksa