BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Landasan Teori a. Theory Physical Evidence (teori bukti fisik) Menurut Fandy Tjiptono (2011;185) secara garis besar, physical evidence meliputi fasilitas fisik organisasi (servicescape) dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Lingkungan kerja merupakan salah satu hal yang penting untuk mendukung jalannya proses pencapaian tujuan perusahaan. Jika keadaan lingkungan disekitar karyawan kurang baik maka hal tersebut akan membuat karyawan tidak dapat melaksanakan segala pekerjaan secara optimal. (Zeithaml & Bitner (2003)) Lingkungan fisik merupakan bagian dari lingkungan kerja, namun lingkungan fisik hanya mencakup setiap hal dari fasilitas baik diluar maupun di dalam perusahaan. Setiap badan usaha berusaha untuk menciptakan tampilan fisik yang baik di mata konsumen karena kesan konsumen terhadap suatu perusahaan akan mempunyai pengaruh yang penting bagi perusahaan tersebut. Dengan adanya penampillan fisik yang baik maka perusahaan tersebut akan mampu menarik lebih banyak konsumen.
9
10
Hal tersebut sesuai dengan pengertian Physical Evidence yang akan dijabarkan lebih lanjut. Physical evidence atau kita kenal dengan kata lain “bukti fisik” ini yaitu merupakan suatu hal yang mempengaruhi kepuasan konsumen untuk membeli dan menggunakan barang atau jasa yang ditawarkan. Bukti fisik adalah lingkungan fisik perusahaan tempat jasa diciptakan dan tempat penyediaan jasa serta konsumen berinteraksi, ditambah elemen tangible yang digunakan untuk mengkomunikasikan atau mendukung peranan jasa itu. Berdasarkan penjabaran tersebut dapat di simpulkan bahwa Bukti fisik adalah struktur fisik dari sebuah perusahaan yang merupakan komponen utama dalam membentuk kesan sebuah perusahaan. Bukti fisik memiliki peranan penting untuk menarik minat konsumen agar datang ke suatu perusahaan dan melakukan pembelian. b. Teori Pengambilan Keputusan Menurut Stoner (2003), keputusan adalah pemilihan di antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: 1) Ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan. 2) Ada beberapa alternatif yang harus dipilih salah satu yang terbaik. 3) Ada tujuan yang ingin dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut.
11
Terry (2006)
mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai
pemilihan yang didasarkan kriteria tertentu atas dua atau lebih alternatif yang mungkin. Koontz dan O’Donnel (1997 dalam Siregar, 2013) mendefinisikan pengambilan keputusan adalah pemilihan di antara alternatif mengenai suatu cara bertindak yang merupakan inti dari perencanaan. Menurut Haiman (1970 dalam Siregar, 2013), inti dari semua perencanaan adalah pengambilan keputusan, suatu pemilihan cara bertindak. Sedangkan Stoner (2003) menyatakan pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan sebagai cara pemecahan masalah. c. Needs for Achievement Theory
Teori kebutuhan McClelland
(McClelland’s Theory of needs)
dikembangkan oleh David McClelland dan rekan-rekannya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan yaitu kebutuhan pencapaian (need for achievement), kebutuhan kekuasaan (need for power), dan kebutuhan hubungan (need foraffiliation). Konsep Teori Kebutuhan McClelland Teori kebutuhan McClelland menyatakan bahwa pencapaian, kekuasaan atau kekuatan dan hubungan merupakan tiga kebutuhan penting yang dapat membantu menjelaskan motivasi.
12
Kebutuhan pencapaian merupakan dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, dan berjuang untuk berhasil. Kebutuhan kekuatan dapat membuat orang lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya, dan kebutuhan hubungan merupakan keinginan antar personal yang ramah dan akrab dalam lingkungan organisasi.
McClelland menjelaskan bahwa setiap individu memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil. Dorongan ini mengarahkan individu untuk berjuang lebih keras untuk memperoleh pencapaian pribadi ketimbang memperoleh penghargaan. Hal ini kemudian menyebabkan ia melakukan sesuatu yang lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Dorongan pertama ini dapat disebut sebagai n-Acc yaitu kebutuhan akan pencapaian.
Motivasi pencapaian (n-Acc) adalah Orang yang memiliki kebutuhan yang tinggi untuk pencapaian tidak selalu membuat seseorang menjadi manager yang baik, terutama pada organisasi-organisasi besar. Hal ini dikarenakan orang yang memiliki n-Acc yang tinggi cenderung tertarik dengan bagaimana mereka bekerja secara pribadi, dan tidak akan mempengaruhi pekerja lain untuk bekerja dengan baik. Dengan kata lain, nAcc yang tinggi lebih cocok bekerja sebagai wirausaha, atau mengatur unit bebas dalam sebuah organisasi yang besar.
Individu- individu dengan kebutuhan prestasi yang tinggi sangat termotivasi dengan bersaing dan menantang pekerjaan.Mereka mencari peluang promosi dalam pekerjaan. Mereka memiliki keinginan yang kuat
13
untuk umpan balik pada prestasi mereka. Orang-orang seperti mencoba untuk mendapatkan kepuasan dalam melakukan hal-hal yang lebih baik. Prestasi yang tinggi secara langsung berkaitan dengan kinerja tinggi.
2. Risiko Audit
Menurut SA seksi 312 (PSA No. 25), risiko audit adalah risiko yang timbul karena auditor, tanpa disadari tidak memodifikasikan pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.
Menurut Arens, Elder, Beasley (2012;278) auditor yang efektif akan mengakui bahwa memang ada risiko dan akan menangani risiko tersebut dengan cara yang tepat.
a. Jenis-jenis Risiko Audit Menurut model risiko audit terdapat empat jenis risiko audit, diantaranya yaitu :
1) Risiko Deteksi yang Direncanakan Risiko deteksi yang direncanakan
(planned detection risk)
merupakan ukuran risiko bahwa bukti audit untuk suatu segmen tertentu akan gagal mendeteksi keberadaan salah saji yang melebihi suatu nilai salah saji yang masih dapat ditoleransi. Terdapat dua hal utama yang harus diketahui tentang risiko deteksi terencana ini yaitu sebagai berikut :
14
a) Risiko
ini tergantung pada ketiga faktor lainnya yang terdapat
dalam model risiko audit. Risiko deteksi terencana hanya akan berubah jika auditor melakukan perubahan pada salah satu dari ketiga faktor model risiko. b) Risiko ini menentukan nilai substantif yang direncanakan oleh auditor untuk dikumpulkan, yang merupakan kebalikan dari ukuran risiko deteksi terencana itu sendiri. Jika nilai risiko deteksi terencana berkurang, maka auditor harus mengumpulkan lebih banyak bukti audit untuk mencapai rencana pengurangan risiko itu. 2) Risiko inheren Risiko inheren (inheren risiko) atau risiko bawaan merupakan suatu ukuran yang dipergunakan oleh auditor dalam menilai adanya kemungkinan bahwa terdapat sejumlah salah saji yang material (kekeliruan atau kecurangan)
dalam suatu
segmen sebelum
ia
mempertimbangkan keefektifan dan pengendalian intern yang ada. Dengan mengasumsikan tiadanya pengendalian intern, maka risiko inheren ini dapat dinyatakan sebagai kerentanan laporan keuangan terhadap timbulnya salah saji yang material. Jika auditor menyimpulkan bahwa terdapat suatu kecenderungan yang tinggi atas keberadaan sejumlah salah saji, dengan mengabaikan pengendalian internal maka auditor akan menyimpulkan bahwa tingkat
15
risiko inherennya tinggi.
Pengendalian internal diabaikan dalam
menetapkan nilai risiko inheren karena pengendalian internal ini dipertimbangkan secara terpisah dalam model risiko audit sebagai risiko pengendalian. Penilaian seperti ini biasanya didasarkan atas sejumlah diskusi yang telah dilakukan dengan pihak manajemen, pengetahuan tentang perusahaan, serta hasil- hasil audit yang diperoleh dari tahun-tahun sebelumnya. Hubungan antara risiko dengan risiko deteksi terencana serta dengan bukti audit yang direncanakan adalah sebagai berikut : risiko inheren saling berlawanan dengan risiko deteksi terencana serta memiliki hubungan yang searah dengan bukti audit. Selain semakin meningkatnya bukti audit yang diperlukan untuk suatu tingkat risiko inheren yang lebih tinggi dalam suatu area audit tertentu, merupakan hal yang umum dilakukan pula untuk menugaskan staf yang telah memiliki lebih banyak pengalaman untuk melakukan audit pada area tersebut serta melakukan review yang lebih mendalam pada kertas kerja yang telah selesai dibuat. Sebagai contoh : jika risiko inheren atas keusangan persediaan sangat tinggi, maka sangatlah masuk akal bila kantor akuntan publik memilih staf yang berpengalaman untuk melakukan sejumlah tes yang lebih mendalam atas keusangan persediaan ini dan melakukan review yang lebih cermat atas hasil- hasil yang diperoleh dari audit ini.
16
3) Risiko pengendalian Risiko pengendalian (control risk) merupakan ukuran yang digunakan oleh auditor untuk menilai adanya kemungkinan bahwa terdapat sejumlah salah saji material yang melebihi nilai salah saji atau yang yang masih dapat ditoleransi dalam suatu segmen tertentu akan dicegah atau tidak terdeteksi secara tepat waktu oleh pengendalian internal yang dimiliki klien. Risiko pengendalian ini memperhatikan 2 hal berikut: a) penilaian tentang apakah pengendalian internal yang dimiliki klien efektif untuk mencegah atau mendeteksi terjadinya salah saji. b) kehendak auditor membuat penilaian tersebut senantiasa berada di bawah nilai maksimum (100 persen) sebagai bagian dari rencana audit yang dibuatnya. Model risiko audit menunjukan hubungan yang erat antara risiko inheren dan risiko pengendalian.SAS 107 (AU 312) menyebut kombinasi risiko inheren dan risiko pengendalian ini Risiko salah saji yang material (risk of material misstatement). Sama dengan yang terjadi pada risiko inheren, hubungan antara risiko pengendalian dan risiko deteksi terencana adalah saling berbanding terbalik, sementara hubungan antara risiko pengendalian dan bukti substantif merupakan hubungan yang searah. Contohnya, jika auditor menyimpulkan bahwa pengendalian internal bersifat efektif, maka nilai risiko deteksi terencana dapat meningkat sehingga jumlah bukti audit yang
17
direncanakan
akan dikumpulkan
dapat dikurangi. Auditor dapat
meningkatkan risiko deteksi terencana pada saat pengendalian internal bersifat efektif karena pengendalian internal yang efektif akan mengurangi kemungkinan terjadinya salah saji dalam laporan keuangan. Sebelum auditor
dapat menetapkan nilai risiko pengendalian
kurang dari 100 persen, auditor harus memahami pengendalian internal yang ada, dan berdasarkan pemahaman itu, auditor melakukan evaluasi tentang bagaimana seharusnya fungsi pengendalian internal tersebut, serta melakukan uji atas efektifitas pengendalian intern tersebut. Hal pertama dari semua ini adalah keharusan untuk memahami semua jenis audit. Dua hal terakhir adalah langkah- langkah penilaian resiko pengendalian yang diperlukan jika auditor memilih untuk memberikan nilai atas resiko pengendalian supaya berada di bawah nilai maksimum. 4) Risiko Audit yang Dapat Diterima Risiko audit yang dapat diterima (acceptable audit risk) merupakan ukuran atas tingkat kesediaan auditor untuk menerima kenyataan bahwa laporan keuangan mungkin masih mengandung salah saji yang material setelah audit selesai dilaksanakan serta suatu laporan audit wajar tanpa syarat telah diterbitkan. Ketika auditor memutuskan untuk menetapkan suatu tingkat risiko akseptibilitas audit yang lebih rendah, hal tersbut berarti bahwa auditor ingin memperoleh tingkat keyakinan yang lebih tinggi bahwa laporan keuangan tidak mengandung salah saji yang
18
material. Risiko nol berarti yakin sekali, dan suatu tingkat risiko sebesar 100 persen berarti benar-benar tidak yakin. Dalam audit terdapat istilah audit assurance atau tingkat keyakinan, merupakan pelengkap dari risiko akseptibilitas audit. Audit assurance dihitung dengan perhitungan satu dikurangi risiko akseptibilitas audit. Sebagai contoh, tingkat risiko akseptibilitas audit sebesar 2 persen sama dengan tingkat audit assurance sebesar 98 persen. Dengan mempergunakan model audit, akan terlihat adanya hubungan yang searah antara resiko akseptibilitas audit dan resiko deteksi terencana, serta hubungan yang saling berlawanan antara risiko akseptibilitas audit dan bukti audit yang direncanakan. Sebagai contoh, jika auditor memutuskan akan mengurangi nilai risiko akseptibilitas audit, maka akan mengurangi pula risiko deteksi terencana serta bukti audit yang direncanakan akan dikumpulkan harus ditingkatkan. Auditor pun seringkali harus menugaskan staf yang lebih berpengalaman atau mereview kertas kerja dengan lebih cermat bagi klien dengan tingkat risiko akseptibilitas audit yang lebih rendah. b. Model Risiko Audit Cara utama yang digunakan oleh auditor untuk mempertimbangkan risiko yang ada dalam merencanakan bukti audit yang akan dikumpulkan adalah melalui penerapan model risiko audit (audit risk model). Model risiko audit ini diambil dari sumber literatur profesional dalam SAS 110 (AU 350) tentang sampling audit serta dalam SAS 107 (AU 312) tentang materialitas
19
dan risiko. Model risiko audit pada umumnya digunakan untuk berbagai tujuan perencanaan untuk memutuskan berapa banyak dan jenis bukti audit apa yang akan dikumpulkan pada setiap siklusnya. Formula atas model resiko audit menurut Arens, Elder, Beasley (2008;331) adalah sebagai berikut: =
Keterangan : PDR : planned detection risk (rentan bukti yang harus dikumpulkan auditor) AAR :acceptable audit risk (tingkatan risiko yang masih bisa diterima auditor) IR
:inheren risk (keyakinan atas tidak adanya salah saji
diluar SPI) CR
: control risk (keyakinan atas efektifitas SPI)
c. Pencapaian Risiko Audit Penilaian risiko audit adalah proses rekursif (recursive) penelurusuran bukti (evidence-drive) untuk menentukan keyakinan dan menilai akan keaslian dan kebenaran bukti audit guna mendukung penerbitan opini audit (Bell et.al., 2005). Pencapaian risiko audit merupakan ukuran risiko yang sudah diambil auditor bahwa suatu akun dalam laporan disalah sajikan secara material setelah auditor mengumpulkan bukti audit. Dan memastikan bahwa manajemen risiko sudah dilakukan sesuai dengan risk appetite yang dimiliki
20
organisasi. Pendekatan audit ini berfokus dalam mengevaluasi risiko-risiko baik strategis, finansial, operasional, regulasi dan lainnya yang dihadapi oleh organisasi. Dalam pencapaian risiko audit, risiko-risiko yang tinggi diaudit, sehingga kemudian manajemen bisa mengetahui area baru mana yang berisiko dan area mana yang kontrolnya harus diperbaiki. Setelah auditor merencanakan penugasan dan mengumpulkan bukti audit, hasil- hasilnya dapat diyatakan dalam versi evaluasi model resiko audit. SAS107 menyatakan model resiko audit untuk mengevaluasi hasil- hasil audit sebagai berikut :
AcAR = IR X CR X AcDR
AcAR
:
Achieved Audit Risk (risiko audit yang dicapai).
IR
:
Inherent Risk (risiko inheren).
CR
:
Control Risk (risiko pengendalian).
AcDR
:
Achieved Detection Risk (risiko deteksi yang dicapai).
Ukuran risiko bahawa bukti audit untuk suatu segmen tidak mendeteksi salah saji yang melampaui salah saji yang dapat ditoleransi, jika salah saji semacam itu memang ada. Auditor dapat mengurangi risiko deteksi yang dicapai ini hanya dengan mengumpulkan bukti.
21
Berdasarkan riset, tidak tepat menggunakan rumus evaluasi ini untuk benar-benar menghitung risiko audit yang dicapai sebagai mana yang dinyatakan rumus di atas. Riset menunjukkan bahwa penggunaan rumus ini dapat mengakibatkan risiko audit yang dicapai kurang saji. Namun, hubungan yang ada dalam rumus itu valid dan harus digunakan dalam praktik. Rumus tersebut menunjukkan tiga cara untuk mengurangi risiko audit yang dicapai ke tingkat yang dapat diterima: 1) Mengurangi risiko inheren 2) Mengurangi risiko pengendalian 3) Mengurangi risiko deteksi yang dapat dicapai dengan meningkatkan pengujian audit substantive Penggabungan ketiga faktor tersebut secara subjektif untuk mencapai tingkat risiko audit yang cukup rendah membutuhkan pertimbangan profesional yang matang. Model risiko audit merupakan model perencanaan, sehingga penggunaannya terbatas pada mengevaluasi hasil audit saja.
d. Manfaat pencapaian risiko Audit Dalam modul auditing yang diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP (2007) audit berbasis risiko mempunyai manfaat yang banyak bagi organisasi, antara lain adalah sebagai berikut: 1) Menjadi sistem check and balance terhadap kontrol organisasi. 2) Meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi kesalahan dalam laporan keuangan.
22
3) Meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi dan mengukur risiko. 4) Meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi adanya fraud atau masalah lainnya. 5) Mengungkap temuan mengenai kelemahan yang dimiliki manajemen.
Aspek-aspek
yang perlu dipahami auditor dalam melakukan
pencapaian risiko audit menurut Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP (2007) adalah sebagai berikut :
1) Dalam
menerapkan
pencapaian
risiko
audit,
auditor
perlu
mengidentifikasi wilayah atau area yang memiliki risiko yang menghambat pencapaian tujuan manajemen. Misalnya dalam audit keuangan, risiko salah saji yang besar atau tinggi pada penyajian laporan keuangan. Wilayah atau area yang memiliki tingkat risiko yang tinggi tersebut akan memerlukan pengujian yang lebih mendalam. 2) Auditor dapat mengalokasikan sumber daya auditnya berdasarkan hasil identifikasi atas kemungkinan dan dampak terjadinya risiko. Wilayah berisiko rendah menjadi prioritas akhir alokasi sumber daya audit. Oleh karena itu, dalam pencapaian risiko audit, auditor harus melakukan analisis dan penaksiran risiko yang dihadapi auditing. Dalam melakukan analisis dan penaksiran risiko (risk assessment), auditor perlu memperhatikan hal- hal sebagai berikut :
23
a) Risiko kegiatan dari audit (the auditee business risk), yaitu risiko terjadinya suatu kejadian yang dapat memengaruhi pencapaian tujuan dan sasaran manajemen. Risiko yang dimaksud bukan hanya risiko atas salah saji laporan keuangan namun juga risiko tidak tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. b) Cara manajemen mengurangi atau meminimalisasi risiko. c) Wilayah atau area yang mengandung risiko dan belum diidentifikasi oleh manajemen secara memadai atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh manajemen.
3. Bukti Audit
Menurut PSA No. 07 paragraf 01 (SA 326) tentang standar pekerjaan lapangan yang ketiga yang berbunyi :
“Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan”.
Bukti audit “sebagai setiap informasi yang digunakan oleh auditor untuk menentukan apakah informasi yang diaudit telah dinyatakan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan” (Menurut Arens, Elder dan Beasley, (2010 ;174)
24
Informasi ini sangat bervariasi sesuai kemampuannya dalam meyakinkan auditor bahwa laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Bukti audit mencakup informasi yang sangat persuasif, misalnya perhitungan auditor atas sekuritas yang diperjual-belikan dan informasi yang kurang persuasif, misalnya respon atas pertanyaan-pertanyaan dari para karyawan klien. Penggunaan bukti bukan hal yang aneh bagi auditor. Bukti juga digunakan secara ekstentif oleh para ilmuwan, pengacara dan ahli sejarah.
Bukti audit dapat dibedakan menjadi 3 kategori keterkaitannya menurut Kumaat (2011 : 86) yaitu :
1) Physical Evidence
Bukti yang terlihat, dijumpai saat dilakukan observasi atau inspeksi langsung dilokasi audit. Misalnya : selisih stok, barang rusak, barang hilang (yang tidak tersaji di dalam laporan stock), dana operasional yang dipakai untuk kepentingan pribadi, karyawan yang sering mangkir, konflik dalam tim, dan sebagainya.
2) Data Evidence
Bukti tertulis, yang dapat dikumpulkan secara on desk maupun on site, bukti ini dapat berupa bon transaksi, catatan rutin, kertas kerja, notulen meeting, laporan periodik atau data yang diprint atau di copy dan didownload (dari di –backend) system computer.
25
3) Witness Evidence
Bukti ini berupa keterangan lisan dari saksi terkait, yang selanjutnya dituangkan dalam konfirmasi tertulis. Saksi bisa berupa saksi Pelaku atau maupun saksi yang memberatkan atau meringankan. Kesaksian tertulis merupakan syarat mutlak dalam investigatif audit.
Kompetensi atau reliabilitas bahan bukti yang berupa catatan akuntansi berkaitan erat dengan efektivitas pengendalian internal entitas. Semakin efektif pengendalian internal entitas, semakin kompeten catatan akuntansi yang dihasilkan.
Kompetensi bukti audit yang berupa informasi penguat tergantung pada faktor berikut:
1) Relevansi Bukti. Bukti audit yang relevan adalah bukti audit harus berkaitan atau relevan dengan tujuan audit yang akan diuji oleh auditor sebelum bukti tersebut dianggap tepat. Relevansi hanya dapat dipertimbangkan untuk tujuan audit khusus, karena bukti audit mungkin relevan untuk satu tujuan audit, tetapi tidak relevan untuk tujuan audit lainnya. 2) Sumber Informasi Bukti. Sumber informasi sangat berpengaruh terhadap kompetensi bukti audit. Bukti yang diperoleh auditor secara langsung dari pihak luar entitas yang independen merupakan bukti yang paling tepat dipercaya.
26
Bukti semacam ini memberikan tingkat keyakinan atas keandalan yang lebih besar daripada bukti yang diperoleh dari internal entitas. 3) Ketepatan Bukti (Appropriateness of evidence). Ketepatan bukti merupakan ukuran mutu suatu bukti, yang berarti relevansi dan realibilitasnya memenuhi tujuan audit untuk kelas transaksi, saldo akun, dan pengungkapan yang berkaitan. Jika suatu bukti dianggap sangat tepat, hal itu akan sangat membantu dalam meyakinkan auditor bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar. Kriteria ketepatan waktu sangat berhubungan dengan tanggal pemakaian bukti audit atau mempengaruhi ketepatan suatu bukti audit. Ketepatan waktu sangat penting, terutama dalam melakukan verifikasi atas aktiva lancar, utang lancar, dan akun surplus-defisit terkait karena berkaitan dengan apakah cut off atau pisah batas telah dilakukan secara tepat. Bukti yang diperoleh mendekati tanggal neraca lebih kompeten dibanding bukti yang diperoleh jauh dari tanggal neraca. 4) Objektivitas atau Reabilitas Bukti (reability of evidence). Bukti audit yang bersifat objektif lebih dapat dipercaya atau reliabel dan kompeten dari pada bukti audit yang bersifat subjektif. Karena bukti ini mengacu pada tingkat dimana bukti tersebut di anggap dapat dipercaya atau layak di percaya.
27
Reabilitas dan dengan demikian ketepatan tergantung pada enam karakteristik bukti yang dapat diandalkan berikut (Arens et al. 2008): a) Independensi penyedia bukti. b) Efektivitas pengendalian internal klien c) Pengetahuan langsung auditor d) Kualifikasi individu yang menyediakan informasi e) Tingkat objektivitas f) Ketepatan waktu.
a. Sifat Bukti Audit
Auditor menerima informasi yang sangat bervariasi bergantung dengan kemampuan dan keyakinan bahwa laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Bukti audit yang dikumpulkan oleh auditor mencakup informasi yang sangat persuasif (Arens et al. 2008 ; 224). Auditor dalam melakukan penugasan menentukan jenis dan jumlah bukti audit yang diperlukan, dan ketepatan bukti untuk memenuhi keyakinan bahwa komponen laporan keuangan klien dan keseluruhan laporan telah disajikan secara wajar, dan bahwa klien menyelenggarakan pengendalian internal yang efektif atas pelaporan keuangan (Arens et al. 2008).
Bukti audit yang mendukung laporan keuangan terdiri dari data akuntansi dan semua informasi penguat yang tersedia bagi auditor (PSA No. 07 (SA 326) paragraf 15).
28
Dalam PSA No. 07 paragraf 16 (SA 326) dinyatakan bahwa jurnal, buku besar, dan buku pembantu, serta catatan seperti lembaran kerja (work sheet) dan spreed sheet yang mendukung alokasi biaya, perhitungan dan rekonsiliasi keseluruhannya merupakan bukti yang mendukung laporan keuangan. Data akuntasi ini sering kali dalam bentuk elektronik. Data akuntansi saja tidak dapat dianggap sebagai pendukung yang cukup bagi suatu laporan keuangan, di pihak lain, tanpa cukup perhatian atas kewajaran dan kecermatan data akuntansi yang melandasinya, pendapat auditor atas laporan keuangan tidak terjamin.
Menurut Siti dan Ely (2010) didalam bukunya selain data akuntansi yang merupakan bukti yang mendukung laporan keuangan ada juga bukti penguat (Corroborating Evidence) yang terdiri dari dokumen-dokumen (seperti ; cek, faktur, kontrak, risalah rapat, konfirmasi dan pernyataan lainnya, informasi- informasi yang diperoleh dari (pengajuan pertanyaan, pengamatan, inspeksi, dan pemeriksaan fisik)), dan informasi lain yang dikembangkan oleh auditor.
Terdapat empat keputusan
mengenai bukti apa
yang harus
dikumpulkan dan berapa banyak (Arens et al. 2008;225):
1) Prosedur audit yang akan digunakan, prosedur audit adalah rincian instruksi yang menjelaskan bukti audit yang harus diperoleh selama audit.
29
2) Berapa ukuran sampel yang akan dipilih untuk prosedur tersebut, setelah memilih prosedur audit, auditor dapat mengubah ukuran sampel dari hanya satu hingga semua item dalam populasi yang sedang diuji. 3) Item- item mana yang akan dipilih dari populasi, setelah menentukan ukuran sampel untuk suatu prosedur audit, auditor harus memutuskan item- item mana dalam populasi yang akan diuji. 4) Kapan melaksanakan prosedur tersebut, keputusan penetapan waktu audit, sebagian, dipengaruhi oleh kapan klien menginginkan audit itu diselesaikan. Dalam audit atas laporan keuangan, umumnya klien menginginkan agar audit diselesaikan antara 1 hingga 3 bulan setelah akhir tahun.
b. Kecukupan Bukti Audit Menurut Arens, Elder, dan Beasley (2008 : 156-157) kuantitas bahan bukti yang didapatkan mencerminkan kecukupan. Kecukupan bahan bukti audit umumnya diukur berdasarkan ukuran sampel yang dipilih oleh auditor. Untuk suatu prosedur audit yang dipilih, bahan bukti audit yang didapatkan dari sampel yang berjumlah 100 lebih memadai daripada sampel yang berjumlah 50. Pada PSA No. 07 (SA 326) paragraph 23 auditor bekerja dalam batasbatas pertimbangan ekonomi ; agar secara ekonomis bermanfaat, pendapatnya harus dirumuskan dalam jangka waktu yang pantas dan dengan biaya yang masuk akal. Auditor harus memutuskan, sekali lagi dengan menggunakan
30
pertimbangan profesionalnya, apakah bukti audit yang tersedia baginya dengan batasan waktu dan biaya, cukup memadai untuk membenarkan pernyataan pendapatnya. Menurut Siti dan Ely (2010) didalam bukunya dijelaskan bahwa audit yang dilakukan auditor independen bertujuan untuk memperoleh bukti audit kompeten yang cukup untuk digunakan sebagai dasar memadai dalam merumuskan pendapatannya. Bukti audit yang diperoleh harus cukup bagi auditor untuk merumuskan kesimpulan tentang validitas asersi individual yang terkandung dalam komponen laporan keuangan. c. Jenis-jenis Bukti Audit Dalam memutuskan prosedur audit mana yang akan digunakan, auditor dapat memilihnya dari delapan kategori bukti yang luas, yang disebut sebagai jenis-jenis bukti. Menurut Arens, Elder, Beasley (2012;199) Setiap prosedur audit mendapat satu atau lebih jenis-jenis bukti berikut : 1) Pemeriksaan fisik (physical Examination) 2) Konfirmasi (confirmation) 3) Dokumentasi (documentation) 4) Prosedur Analitis (analytical procedures) 5) Wawancara dengan klien (inquiries of the client) 6) Rekalkulasi (recalculation) 7) Pelaksanaan ulang (reperformance) 8) Observasi (observation)
31
Ingatlah bahwa setiap standar-standar tersebut bersifat umum, sementara prosedur audit bersifat khusus. Secara komparatif, jenis-jenis bukti audit memiliki rentang yang lebih luas ketimbang prosedur audit tetapi lebih sempit ketimbang standar audit.
4. Materialitas Menurut Siti dan Ely (2010:185) mendefinisikan materialitas yaitu : Besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, mungkin dapat merubah atau mempengaruhi pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut.
Konsep materialitas mengakui bahwa beberapa hal, baik secara individu maupun keseluruhan adalah penting bagi kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Karena bertanggung jawab menentukan apakah laporan keuangan salah saji secara material, auditor harus, berdasarkan temuan salah saji yang material, menyampaikan hal itu kepada klien sehingga bisa dilakukan tindakan koreksi. Jika klien menolak untuk mengoreksi laporan keuangan itu, auditor harus mengeluarkan pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar, tergantung ada seberapa material salah saji tersebut.
32
Berdasarkan
pertimbangan
biaya-manfaat,
auditor
melakukan
pemeriksaan atas semua transaksi yang dicerminkan dalam laporan keuangan. Auditor harus menggunakan konsep materialitas dan konsep risiko audit dalam menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan. Konsep materialitas berkaitan dengan seberapa besar salah saji yang terdapat dalam asersi dapat diterima oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh besarnya salah saji tersebut. Konsep risiko audit berkaitan dengan risiko kegagalan auditor dalam mengubah pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.
a. Menentukan Pertimbangan Awal Tingkat Materialitas. SAS 107 (AU 312) auditor diharuskan memutuskan jumlah salah saji gabungan dalam laporan keuangan, yang akan mereka anggap material pada awal audit ketika sedang mengembangkan strategi audit secara keseluruhan. Idealnya, auditor menentukan pada awal audit jumlah gabungan dari salah saji. Dalam laporan keuangan yang akan dipandang material. Hal ini disebut pertimbangan awal tingkat materialitas karena menggunakan unsur pertimbangan profesional, dan masih dapat berubah jika sepanjang audit yang akan dilakukan ditemukan perkembangan yang baru. Pertimbangan awal tingkat materialitas adalah jumlah maksimum salah saji dalam laporan keuangan yang menurut pendapat auditor, tidak mempengaruhi pengambilan keputusan dari pemakai. Penentuan jumlah ini adalah salah satu keputusan terpenting yang diambil oleh auditor, yang memerlukan pertimbangan profesional yang memadai.
33
Tujuan penetapan materialitas ini adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang cukup. Jika auditor menetapkan jumlah yang rendah maka lebih banyak bahan bukti yang harus dikumpulkan dari pada jumlah yang tinggi. Begitu juga sebaliknya. Seringkali mengubah jumlah materialitas dalam pertimbangan awal ini selama audit. Jika ini dilakukan, jumlah yang baru tadi disebut pertimbangan yang direvisi mengenai materilitas. Sebab-sebabnya antara lain perubahan faktor- faktor yang digunakan untuk menetapkannya, atau auditor berpendapat jumlah dalam penetapan awal tersebut terlalu kecil atau besar. Menurut Mulyadi (2002) Dalam perencanaan audit, auditor harus menetapkan materialitas menjadi dua golongan, yaitu :
1) Materialitas pada tingkat laporan keuangan
Merupakan salah saji minimun yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dikacaukan dengan istilah saldo akun material. Saldo akun material yaitu besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat mempengarhi keputusan pemakai informasi keuangan.
34
2) Materialitas pada tingkat saldo akun
Apabila
dalam
pertimbangan awal auditor
tentang
materialitas laporan keuangan dikuantifikasikan, penaksiran awal untuk setiap akun dapat diperoleh dengan mengalokasikan materialitas
laporan keuangan ke akun secara
individual.
Pengalokaisan dapat dilakukan baik untuk akun neraca atau akun L/R, karena salah saji laba-rugi mempengaruhi neraca dan akun neraca lebih sedikit, banyak auditor yang melakukan alokasi atas dasar akun neraca.
b. Ambang Batas Materialitas
Dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan keuangan (KDPPLK) paragraf 30 materialitas dianggap sebagai ambang batas atau titik pemisah daripada suatu karakteristik kualitatif pokok yang dimiliki informasi agar dianggap berguna. Informasi dianggap material apabila kelalaian untuk mencantumkan atau mencatat informasi tersebut dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pemakai laporan keuangan. FASB (The Financial Accounting Standard Board) menjelaskan konsep materialitas sebagai penghilangan atau salah saji suatu item dalam laporan keuangan adalah material jika, dalam keadaan yang tertentu, besarnya item tersebut mungkin menyebabkan pertimbangan orang yang reasonable berdasarkan laporan keuangan tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh adanya pencantuman atau peniadaan informasi akuntansi tersebut.
35
Ambang materialitas merupakan garis pemisah antara informasi material dan immaterial. Pengakuan ambang batas materialitas adalah garis pemisah antara apa yang dicatat dan apa yang tidak dicatat di dalam akun. Pengungkapan batas materialitas adalah garis pemisah antara apa yang diungkapkan secara terpisah dalam laporan keuangan dan apa yang tidak diungkapkan secara terpisah. Auditor ambang batas materialitas sangat penting karena mereka memiliki pengaruh yang signifikan pada informasi apa yang dicatat dalam akun dan diungkapkan dalam laporan keuangan dan informasi tersedia untuk pengambilan keputusan oleh pihak eksternal. Namun, ada temuan mengenai penelitian tentang batas pengakuan dalam kaitannya dengan batasan pengungkapan dimana terdapat kurangnya suatu konsensus. Ambang batas materialitas merupakan faktor kuantitatif dari akuntan dan auditor dimana mereka harus mempertimbangkanya ketika membuat penilaian materialitas. Namun secara luas diakui bahwa faktor- faktor kualitatif juga harus dipertimbangkan. Ambang batas materialitas biasanya dinyatakan sebagai persentase dari suatu dasar penilaian. Literatur penelitian (lihat Iskandar & Iselin, 1999) telah menemukan bahwa sejauh ini variabel terkuat merupakan persentase batas materialitas yang berpengaruh terhadap laba bersih (setelah pajak dan sebelum pos luar biasa).
36
5. Ragam Salah Saji
PSA 25 (SA 312) mengharuskan auditor untuk memutuskan jumlah gabungan salah saji dalam laporan keuangan yang akan mereka anggap material
di
awal
pengauditan
bersamaan
dengan
ketika
mereka
mengembangkan strategi audit secara keseluruhan. Dinamakan pertimbangan materialitas awal, karena meskipun merupakan opini profesional, penilaian tersebut dapat berubah selama kontrak kerja.
Salah saji adalah suatu risiko bawaan (inherent) pada setiap transaksi yang terdapat dalam laporan keuangan. Auditor eksternal yang pastinya sudah dilengkapi dengan berbagai prosedur dan teknik diharapkan agar dapat menjalankan proses pemeriksaan sedemikian rupa, sehingga jika salah saji lolos dari penyaringan akuntan internal bisa terdeksi di proses audit, sehingga laporan keuangan teraudit (audited financial statement) benar-benar bisa memberikan keyakinan yang cukup mengenai deteksi salah-saji material, termasuk salah saji yang bersumber dari kesalahan semata (erroneous).
Dalam proses pemeriksaan, seorang auditor mengklasifikasikan salah saji menjadi 2 kelompok atau kategori yaitu:
a. Salah saji yang telah diketahui atau fraud (kecurangan) Salah saji yang telah diketahui atau disebut juga dengan kecurangan ini merupakan salah saji pada laporan keuangan yang dilakukan dengan sengaja.
37
Menurut SAS 99 (AU 316) salah saji yang telah diketahui terdapat 3 kondisi kecurangan yang berasal dari laporan keuangan yang curang penyalahgunaan aktiva atau disebut juga sebagai segitiga kecurangan (fraud triangle) sebagai berikut : 1) Insentif atau tekanan. Manajemen atau pegawai lain yang merasakan tekanan atau insentif untuk melakukan kecurangan. 2) Kesempatan. Situasi yang membuka kesempatan bagi manajemen ataau pegawai untuk melakukan kecurangan. 3) Sikap atau Rasionalisasi. Ada sikap, karakter, atau serangkaian nilai- nilai etis yang membolehkan manajemen atau pegawai untuk melakukan tindakan yang tidak jujur, atau mereka dalam lingkungan yang cukup
menekan yang membuat
mereka
merasionalisasikan tindakan yang tidak jujur.
Namun menurut Messier, Jr (2008 : 87) dalam buku “Auditing and Assurance Services a Systematic Approach” kecurangan (fraud) dapat diklasifikasikan dalam kategori :
1) Fraudulent financial reporting Tindakan
yang dilakukan dengan cara
manipulasi,
pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau suatu dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan, respresentasi yang salah atau penghilangan dari laporan keuangan, salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi yang
38
berkaitan dengan jumlah,
klasifikasi,
cara penyajian atau
pengungkapan. 2) Misstatement arising from missarotion of assets Tindakan yang biasa dilakukan yatu seperti penggelapan tanda terima barang atau uang, pencurian aktiva, dan catatan dokumen palsu.
Hal yang biasanya dilakukan oleh kecurangan manajemen sangat merugikan para pemakai laporan keuangan dalam pengambilan suatu keputusan karena manjemen menyediakan informasi laporan keuangan yang salah.
b. Kemungkinan salah saji. Kemungkinan salah saji adalah kesalahan yang dilakukan secara tidak disengaja, hal ini bisa terjadi karena eror atau hal- hal yang lain. Kemungkinan Salah saji dapat timbul karena hal- hal
lainnya
adalah sebagai berikut: 1) Adanya perbedaan, dalam hal penilian, antara manajemen dan auditor mengenai estimasi-estimasi akuntansi dimana angka yang tersaji dalam laporan keuangan melampaui rentang estimasi yang dapat diterima menurut auditor. 2) Angka yang telah diproyeksikan oleh auditor berdasarkkan hasilhasil dari prosedur sampling pada suatu populasi (data).
39
Auditor selanjutnya mengevaluasi item- item salah saji untuk kemudian dikelompokan ke masing- masing kelompok diatas. Seperti sudah disampaikan di atas, sesuai dengan standar audit, auditor bertanggung jawab untuk menemukan (dan mengelola) salah saji, baik yang diketahui maupun yang masih berupa kemungkinan salah-saji.
Dalam menilai salah saji auditor mempertimbangkan apakah salah-saji yang ditemukan secara individual maupun setelah digabung tergolong material atau tidak material.
6. Pengaruh Gabungan dari Ambang Batas Materialitas, Bukti Audit, dan Jenis Salah Saji Terhadap Risiko Audit Dicapai. Risiko laporan keuangan terdektesi salah saji karena kesalahan atau penipuan. yaitu : a. Bertentangan dengan kebijaksanaan konvensional pemeriksaan, peneliti
menunjukkan bahwa angka tingkat
penurunan
pengujian mencapai risiko audit hanya dalam kondisi tertentu dan dapat meningkatkannya dengan baik. b. Mengurangi materialitas (mencoba untuk melakukan yang lebih tepat Audit) dapat meningkatkan atau membahayakan efektivitas audit. c. Belajar tentang kualitas pengendalian internal atas pelaporan keuangan tidak
hanya dapat
membantu auditor
untuk
melakukan audit terpadu, tetapi juga membantu auditor untuk
40
mencapai keputusan yang lebih baik tentang sejauh mana dan bagaimana bukti dari manajemen organisasi audit dan sistem informasi dapat terdistorsi sebagai akibat dari salah saji, mengurangi risiko bahwa auditor akan disesatkan oleh buktibukti tersebut. d. Ketika laporan keuangan bisa sengaja karena penipuan, sangatlah penting bagi auditor eksternal untuk melengkapi tes pemeriksaan
yang
lebih
tradisional dengan
tes
yang
menghasilkan bukti yang kurang mungkin menjadi simpangan oleh manajemen . Auditor yang tidak mengerti menjalankan peningkatan risiko mengorbankan efektivitas audit. Berarti apabila risiko meningkat maka efektivitas atau dalam mencapai tujuan audit harus dikorbankan. Konsep-konsep materialitas dan resiko dalam auditing saling berkaitan erat dan tak terpisahkan. Risiko merupakan suatu pengukuran atas ketidak pastian, sementara materialitas merupakan suatu pengukuran atas ukuran atau besaran. Secara bersama-sama, kedua hal tersebut mengukur tingkat ketidak pastian suatu nilai pada suatu besaran tertentu.
41
7. Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian Anastasia Talita (2012) yang melakukan penelitian tentang Pengaruh Risiko Audit, Risiko Bisnis Klien, dan Risiko Bisnis Auditor terhadap Keputusan Penerimaan Klien pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di Surabaya. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa risiko audit, risiko bisnis klien, dan risiko bisnis auditor secara simultan berpengaruh terhadap keputusan penerimaan klien. Pengujian secara parsial menunjukkan risiko audit berpengaruh positif tehadap keputusan penerimaan klien, sedangkan risiko bisnis klien dan risiko bisnis auditor berpengaruh negatif terhadap keputusan penerimaan klien. Berdasarkan penelitian Ludovicus (2006) yang melakukan penelitian tentang Evaluasi Manajemen Risiko Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam Keputusan Penerimaan Klien (client acceptable decission) Berdasarkan Pertimbangan dari Risiko Klien (client risk), risiko audit (audit risk). Dan risiko Bisnis KAP (auditor’s bussines risk). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa manajemen risiko KAP merupakan satu hal yang sangat penting bagi profesi akuntan public. Secara empiris bahwa risiko klien, risiko audit dan risiko bisnis KAP mempunyai dampak yang signifikan terhadap proses penerimaan klien di KAP. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Taufik, Susfayetti, dan Andi (2012) tentang pengaruh time pressure, risiko audit, materialitas, prosedur review dan kontrol kualitas, locus of control serta komitmen professional terhadap penghentian premature prosedur audit (studi empiris
42
pada KAP di Palembang). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penghentian prematur proses audit secara simultan dapat dipengaruhi oleh time pressure, risiko audit, materialitas, prosedur review, dan kontrol kualitas, locus of control dan komitmen professional. Berdasarkan penlitian Nazula Taures (2010) tentang analisis hubungan antara karakteristik perusahaan dengan pengungkapan risiko. Hasil penelitian menunjukan bahwa ukuran perusahaan dan jenis perusahaan berhubungan secara signifikan dengan luas pengungkapan risiko. Diversifikasi produk dan geografis, tingkat leverage, dan tingkat profibilitas tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan luas pengungkapan risiko. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Windy Gessy Anisa (2012) menganilisis tentang Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Manajemen Risiko. Hasil penilitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat leverage dan ukuran perusahan memiliki pengaruh yang sigifikan terhadap pengungkapan risiko. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paul, Juliana, dan david (2004) tentang “The Effect of Risk Misstatement on the Propensity to Commite Reduced Audit Quality Acts under Time Budget Pressure”. Hasil pnenlitian tersebut menunjukkan bahwa tekanan angaran undertime, kemungkinan Reduced Audit Quality (RAQ) lebih rendah ketika risiko salah saji yang lebih tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Budescu, Peecher, dan Solomon (2012) yang menganalisis tentang“ The Joint Influence of the Extent
43
and Nature of Audit Evidence, Materiality Thresholds, and Misstatement Type on Achieved Audit Risk”. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa untuk semua kasus dimana besarnya bias bukti melebihi ambang batas materialitas, risiko audit akan meningkat dengan tingkat kenaikan bukti. Berikut ini pada tabel 2.1dapat dilihat ringkasan dari hasil penelitian terdahulu.
44
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
N o.
Nama Peneliti dan Tahun
Variabel
Judul
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukan bahwa ukuran perus ahaan dan jenis perusahaan berhubungan secara signifikan dengan luas pengungkapan risiko. Diversifikasi produk dan geografis, tingkat leverage, dan tingkat profibilitas tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan luas pengungkapan risiko. Hasil da ri penelit ian tersebut menunjukkan bahwa risiko audit, risiko bisnis klien, dan risiko bisnis auditor secara simu ltan berpengaruh terhadap keputusan penerimaan klien. Pengujian secara parsial menunjukkan risiko audit berpengaruh positif terhadap keputusan penerimaan klien, sedangkan risiko bisnis klien dan risiko bisnis auditor berpengaruh negative terhadap keputusan penerimaan klien. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa manajemen risiko KAP merupakan satu hal yang sangat penting bagi profesi akuntan public. Secara emp iris bahwa risiko klien, risiko audit dan risiko bisnis KAP mempunyai da mpak yang signifikan terhadap proses penerimaan klien di KAP.
1.
Nazu la Taures (2010)
Karakteristik perusahaan, risiko audit.
Analisis hubungan antara karakteristik perusahaan dengan pengungkapan risiko
2.
Anastasia Talita (2012)
Risiko Audit, Risiko Bisnis Klien, Risiko Bisnis Auditor
Pengaruh Risiko Audit, Risiko Bisnis Klien, dan Risiko Bisnis Auditor terhadap Keputusan Penerimaan Klien pada Kantor Akuntan Publik (KAP) d i Surabaya
3.
Ludovicus (2006)
Risiko Kantor Akuntan Publik, kePutusan Penerimaan klien, Risiko KLien, Risiko Audit, dan Risiko Bisnis KAP
4.
Taufik, Susfayetti, dan Andi (2012)
Time p ressure, risiko audit, prosedur review, kontrol kualitas, locus of control, komit men profesional
5.
Windy Gessy Anisa (2012) Budescu, Peecher, dan Solomon (2012)
Faktor-faktor pengungkapan man jemen risiko
Evaluasi Manajemen Risiko Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam Keputusan Penerimaan Klien (client acceptable decission) Berdasarkan Pertimbangan dari Risiko Klien (client risk), risiko audit (audit risk). Dan risiko Bisnis KAP (auditor’s bussines risk) Pengaruh time pres sure, risiko audit, materialitas , prosedur review dan kontrol kualitas, locus of control serta komit men professional terhadap penghentian premature prosedur audit (studi empiris pada KAP di Palembang). Faktor yang mempengaruhi pengungkapan manajemen risiko.
6.
7.
Paul, Juliana, dan david (2004)
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penghentian prematur proses audit secara simultan dapat dipengaruhi oleh time pressure, risiko audit, materialitas, prosedur review, dan kontrol kualitas, locus of control dan komit men professional.
Extent and nature of Audit Evidence, Materiality Thresholds, Misstatement type, and Achieved Audit Risk.
The Joint Influence of the Extent and Nature of Audit Evidence, Materiality Thresholds, and Misstatement Type on Achieved Audit Risk
Hasil penilitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat leverage dan ukuran perus ahan memiliki pengaruh yang sigifikan terhadap pengungkapan risiko. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa untuk semua kasus dimana besarnya bias bukti meleb ihi ambang batas materialitas, risiko audit akan men ingkat dengan tingkat kenaikan bukti.
Risk misstatement, commite reduced audit quality, under time budget pressure
The Effect of Risk Misstatement on the Propensity to Commite Reduced Audit Quality Acts under Time Budget Pressure
Hasil pnenlitian tersebut menunjukkan bahwa tekanan angaran undertime, kemungkinan Reduced Audit Quality (RA Q) lebih rendah ketika risiko salah saji yang lebih tinggi.
45
B. Rerangka Pe mikiran Penelitian yang saya lakukan ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Budescu, Peecher, dan Solomon tentang “ The Joint Influence of
The Extent and Nature of Audit Evidence, Materiality
Thresholds, and Misstatement Type on Achieved Audit Risk” yang dilakukan pada bulan Mei tahun 2012, di Amerika. Yang membedakan penelitian saya dan peneliti sebelumnya adalah tempat penelitian dan waktu penelitian. Kecukupan (luas) dan sifat bukti audit memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh bukti audit yang kompeten yang cukup untuk dipakai sebagai dasar yang memadai dalam menyampaikan pendapat seorang audit. Luas dan sifat bukti audit ini sangat mempengaruhi untuk pencapaian risiko audit. Dimana semakin tinggi luas dan sifat bukti audit yang ditemukan, maka akan meningkatkan suatu risiko audit yang menyebabkan menurunnya suatu pencapaian risiko audit yang telah direncanakan oleh auditor. Ambang batas materialitas merupakan garis pemisah antara apa yang dicatat di dalam akun dan apa yang diungkapkan dalam laporan keuangan. Hal ini dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pengguna laporan keuangan karena
materialitas akan mempengaruhi dalam penentuan
pencapaian risiko audit. Semakin tinggi tingkat ambang batas materialitas maka akan meningkatkan risiko audit yang menyebabkan menurunnya pencapaian risiko audit, karena apabila semakin mendekati atau semakin meningkat pencapaian risiko audit berarti risiko audit akan semakin rendah.
46
Salah saji dapat dibedakan menjadi dua yaitu ada salah saji yang disengaja dan tidak disengaja. Salah saji dapat mempengaruhi dalam menentukan risiko audit yang dicapai dalam suatu laporan keuangan, karena semakin salah saji yang ditemukan pada suatu perusahaan rendah maka risiko audit akan menurun, dan hal itu dapat membantu auditor dalam pencapaian risiko audit yang telah direncanakan akan meningkat. Luas dan sifat bukti audit, ambang batas materialitas, ragam salah saji merupakan variabel- variabel yang akan mempengaruhi bagaimana suatu risiko audit dapat dicapai. Dengan adanya variabel- variabel maka untuk mencapai suatu risiko audit sangat diperlukan untuk membantu atau untuk mendukung pencapaian risiko audit tersebut. Auditor
dituntut berkerja secara profesional dalam melaksanakan
tugasnya. Hal ini juga mempengaruhi dalam pencapaian risiko audit untuk memenuhi permintaan klien yang menginginkan kualitas audit yang tinggi. Namun kualitas audit dapat berkurang karena tindakan yang dilakukan oleh auditor.
47
Berikut ini adalah gambar 2.1 tentang model konseptual kerangka pemikiran :Gambar 2.1 RERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN
Luas dan Sifat Bukti Audit.
Ambang Batas Materialitas
X-1
Pencapaian Risiko Audit
X-2 X-3
Ragam Salah Saji
X-4 C. HIPOTESIS 1. Luas dan Sifat Bukti Audit Arens, Elder dan Beasley (2008 : 225) mendefinisikan bukti audit “sebagai setiap informasi yang digunakan oleh auditor untuk menentukan apakah informasi yang diaudit telah dinyatakan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan”. Informasi ini sesuai kemampuannya dalam meyakinkan auditor bahwa laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip – prinsip akuntansi yang berlaku umum. Bukti audit mencakup informasi yang sangat persuasif, misalnya perhitungan auditor atas sekuritas yang diperjual-belikan dan
48
informasi yang kurang persuasif, misalnya respon atas pertanyaan–pertanyaan dari para karyawan klien. Penggunaan bukti bukan bagi auditor saja. Bukti juga digunakan secara ekstentif oleh para ilmuwan, pengacara dan ahli sejarah. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Budescu, Peecher dan Solomon (2012) yang menyatakan bahwa Luas dan sifat bukti audit ini sangat mempengaruhi untuk pencapaian risiko audit. Dimana semakin tinggi luas dan sifat bukti audit yang ditemukan, maka akan meningkatkan suatu risiko audit yang menyebabkan menurunnya suatu pencapaian risiko audit yang telah direncanakan oleh auditor Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut : H1 : Luas dan Sifat bukti audit berpengaruh positif terhadap pencapaian risiko audit 2. Batas Ambang Materialitas Auditor yang mempunyai pengalaman yang berbeda, akan berbeda pula dalam memandang dan menanggapi informasi yang diperoleh selama melakukan pemeriksaan, dan juga dalam memberi kesimpulan audit terhadap obyek
yang
diperiksa
berupa
pemberian
pendapat.
saat
auditor
mempertimbangkan keputusan mengenai pendapat apa yang akan dinyatakan dalam laporan audit, material atau tidaknya informasi, akan mempengaruhi jenis pendapat yang akan diberikan oleh auditor.
49
Informasi yang melampaui batas materialitas (materiality), akan mempengaruhi pendapat auditor. Pertimbangan auditor tentang materialitas adalah suatu masalah kebijakan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor tentang kebutuhan yang beralasan dari laporan keuangan (Kusuma, 2012). Pernyataan diatas didukung oleh penelitian yang dilakukan Budescu, Peecher dan Solomon (2012) yang menyatakan bahwa Mereka menyatakan bahwa dengan mengurangi tingkat materialitas dapat meningkatkan atau membahayakan efektivitas audit. Dan hal itu juga dapat meningkatkan pencapaian risiko audit. Karena materialitas dan risiko audit sama-sama mengukur tentang suatu ketidakpastian dalam suatu besaran tertentu, maka diharapkan auditor dapat merencanakan ukuran risiko audit dan dengan dapat mendeteksi salah saji yang dapat diterima. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut : H2 : Tingkat materialitas
me miliki pengaruh positif terhadap
pencapaian risiko audit 3. Ragam Salah Saji Menurut Alison (2006) dalam artikel Fraud Auditing mendefinisikan salah saji yang disengaja atau disebut kecurangan (Fraud) sebagai bentuk penipuan yang disengaja dilakukan yang menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan tersebut dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan. Kecurangan umumnya terjadi karena adanya tekanan
50
untuk melakukan penyelewengan atau dorongan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dan adanya pembenaran (diterima secara umum) terhadap tindakan tersebut. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang didukung oleh Mereka menyatakan bahwa kualitas pengendalian internal atas laporan keuangan tidak hanya membantu auditor untuk melakukan audit terpadu, tetapi juga membantu auditor untuk untuk mencapai keputusan yang lebih baik tentang sejauh mana dan bagaimana bukti dari manajemen organisasi audit dan atau sistem informasi dapat disesatkan atau terdistorsi sebagai akibat hasil salah saji disengaja atau tidak disengaja dapat mengurangi risiko audit yang berarti bahwa kemungkinan auditor untuk disesatkan oleh bukti-bukti audit dalam merencakan pencapaian risiko audit. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut : H3
: Ragam salah saji me miliki pengaruh yang positif terhadap
pencapaian risiko audit.