BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A.
Kajian Pustaka Pada setiap penelitian tentunya terdapat teori-teori yang dapat menunjang
penelitian tersebut. Pada penelitian ini akan dibahas teori mengenai Laporan Keuangan, yang berkaitan dengan variable yang akan diteliti yaitu teori keagenan, laporan keuangan, prediksi kebangkrutan dengan menggunakan model Altman, Springate dan Zmijewski. Berikut penjelasan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu : 1.
Teori Keagenan Perusahaan merupakan pusat perjanjian kontrak yang memiliki kepentingan
berbeda antara berbagai pihak, yaitu pemegang saham, manajemen yang diwakili oleh manajer, supplier dan pihak-pihak lainnya termasuk calon investor dan karyawan. Teori yang menjelaskan hubungan antara pihak-pihak tersebut (pihak principal dan agent) disebut teori keagenan (agency theory). Konflik kepentingan antara pemilik dan manajer dalam perusahaan menjadi masalah yang mendasari teori keagenan. Manajer yang disebut agen dan pemilik yang disebut principal merupakan dua pihak yang masing-masing memiliki tujuan berbeda dalam mengendalikan perusahaan terutama menyangkut bagaimana memaksimumkan kepuasan dan kepentingan dari hasil yang dicapai melalui aktivitas usaha (Tjager, 2003).
10
11
Teori keagenan ini berlaku terhadap kegiatan manajemen dalam pembuatan keputusan akan investasi dimana manajer berperan sebagai agent tersebut melakukan kebijakan untuk mengelola investasi perusahaan pada tahun berjalan sebagai perwakilan dari para pemegang saham sebagai principal. Manajer dituntut untuk melaporkan laporan keuangan perusahaan dengan wajar dan dapat diandalkan kepada pihak-pihak yang menggunakan laporan keuangan tersebut. Adanya tindakan manajemen laba,baik manajemen laba riil maupun akrual yang dilakukan saat manajer mengusulkan untuk diadakannya suatu proyek investasi baru bagi perusahaan, menunjukkan adanya agency problem yang timbul yang dapat merugikan para stakeholder perusahaan di masa depan (Wolk et al, 2004).
2.
Teori Signaling Menurut (Jama’an, 2008) Signaling Theory mengemukakan tentang
bagaimana seharusnya sebuah perusahaan mnganemberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal tersebut dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik dari pada perusahaan lain. Teori sinyal menjelaskan bahwa pemberian sinyal dilakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri informasi. Manajer memberikan informasi melalui laporan keuangan bahwa mereka menerapkan kebijakan akuntansi konservatisme yang menghasilkkan laba yang lebih berkualitas karena prinsip ini mencegah
12
perusahaan melakukan tindakan membesar-besarkan laba dan membantu pengguna laporan keuangan dengan menyajikan laba dan aktiva yang tidak overstate (Jama’an, 2008). Teori signaling menyatakan bahwa perusahaan yang berkualitas baik dengan sengaja akan memberikan sinyal pada pasar, dengan demikian pasar diharapkan dapat membedakan perusahaan yang berkualitas baik dan buruk. Agar sinyal tersebut baik maka harus ditangkap pasar dan dipersepsikan baik serta tidak mudah ditiru oleh perusahaan yang memiliki kualitas buruk (Hartono, 2005).
3.
Laporan Keuangan
3.1
Pengertian Laporan keuangan Menurut PSAK No.1 (2012), Laporan keuangan merupakan bagian dari
proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan, (yang dapat disajikan dalam berbagai cara seperti, misalnya sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain, serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Sedangkan menurut Kamaludin dan Indriani (2011) laporan keuangan adalah suatu ringkasan dari transaksi keuangan dan hasil akhir dari suatu proses pencatatan yang terjadi selama tahun buku yang bersangkutan. Yang berfungsi memberikan informasi kuantitatif, umumnya dalam ukuran uang dari suatu badan ekonomi untuk pengambilan suatu keputusan dari beberapa alternative kegiatan ekonomi.
13
Pada umumnya laporan keuangan itu terdiri dari neraca dan perhitungan labarugi serta laporan perubahan ekuitas. Neraca menunjukkan/menggambarkan jumlah aset, kewajiban dan ekuitas dari suatu perusahaan pada tanggal tertentu. Sedangkan perhitungan (laporan) laba-rugi memperlihatkan hasil-hasil yang telah dicapai oleh perusahaan serta beban yang terjadi selama periode tertentu, dan laporan perubahan ekuitas menunjukkan sumber dan penggunaan atau alasan-alasan yang menyebabkan perubahan ekuitas perusahaan (Munawir, 2010). Laporan keuangan dalam setiap perusahaan merupakan hasil akhir
dari
kegiatan akuntansi (siklus akuntansi) yang memberikan gambaran tentang kondisi keuangan dan hasil operasi perusahaan. Informasi mengenai kondisi keuangan dan hasil operasi perusahaan sangat penting bagi berbagai pihak, karena berguna bagi pihak-pihak yang ada di dalam (internal) perusahaan maupun pihak-pihak yang berada di luar (eksternal) perusahaan. Oleh karena itu, laporan keuangan dipakai sebagai alat untuk berkomunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan data keuangan perusahaan (Arief, Yanuar dan Synthia, 2010).
3.2
Komponen-Komponen Laporan Keuangan Laporan Keuangan dalam PSAK No. 1 (2013) terkait Penyajian Laporan
Keuangan terdiri dari komponen-komponen berikut ini (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2013) :
14
Laporan Posisi Keuangan
1.
Laporan
posisi
keuangan minimal mencakup
penyajian
jumlah
aset
tetap, properti investasi, aset tidak berwujud, aset keuangan, investasi dengan menggunakan metode ekuitas, persediaan, piutang dagang dan piutang lainnya, kas dan setara kas, total aset yang diklasifikasikan sebagai aset yang dimiliki untuk dijual dan aset yang termasuk dalam kelompok lepasan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual sesuai dengan PSAK 58. 2.
Laporan Laba Rugi dan penghasilan Komprehensif lain Perusahaan dapat menyajikan suatu laporan laba rugi dan penghasilan
komprehensif lain, dengan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain disajikan dalam dua bagian. Laporan Perubahan Ekuitas
3.
Perusahaan menyajikan laporan perubahan ekuitas yang menunjukan: a) Total laba rugi komprehensif selama suatu periode b) Untuk setiap komponen ekuitas, pengaruh penerapan retrospektif atau penyajian kembali secara retrospektif yang diakui sesuai dengan PSAK 25, c) Untuk setiap komponen ekuitas, rekonsiliasi antara jumlah tercatat pada awal dan akhir periode. 4.
Laporan Arus kas Informasi arus kas memberikan dasar bagi pengguna laporan keuangan untuk
menilai kemampuan entitas dalam menghasilkan kas dan setara kas dan kebutuhan entitas dalam menggunakan arus kas tersebut.
15
5.
Catatan Atas Laporan Keuangan Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan
kebijakan akuntansi tertentu yang digunakan.Mengungkapkan informasi yang disyaratkan oleh SAK yang tidak disajikan dibagian manapun dalam laporan keuangan, dan memberikan informasi yang tidak disajikan dibagian manapun dalam laporan keuangan. 6.
Informasi Komparatif Informasi kuantitatif diungkapkan secara komparatif dengan periode
sebelumnya untuk seluruh jumlah yang dilaporkan dalam laporan keuangan periode berjalan, kecuali dinyatakan lain oleh PSAK/ISAK. 7.
Laporan Posisi Keuangan pada Awal Periode Laporan posisi keuangan pada awal periode sebelumnya yang disajikan ketika
entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.
3.3
Tujuan Laporan Keuangan Berikut ini tujuan-tujuan laporan keuangan yang semuanya bersifat umum,
berkaitan
dengan
pemakai
eksternal
yang
bermacam-macam
jenisnya.
Menggambarkan tujuan laporan keuangan dimulai dari yang paling umum, kemudian bergerak kebagian yang lebih spesifik (Mamduh dan Abdul, 2009 : 31).
16
TUJUAN PELAPORAN KEUANGAN Tujuan Umum Memberi informasi yang bermanfaat bagi investor, kreditur, dan pemakai lainnya, sekarang atau masa yang akan datang (potensial) untuk membat keputusan investasi, pemberian kredit, dan keputusan lainnya yang serupa rasional Diturunkan Tujuan Pemakai Eksternal Memberi informasi yang bermanfaat untuk investor, kreditur, dan pemakai lainnya saat ini atau masa yang akan datang (potensial), untuk memperkirakan jumlah, waktu (timing), dan ketidakpastian dari penerimaan kas dari dividen atau bunga, dan dari penjualan, pelunasan surat-surat berharga atau hutang pinjaman Diturunkan Tujuan Perusahaan (lembaga)
Memberi informasi untuk menolong investor, kreditur, dan pemakai lainnua untuk memperkirakan jumlah, waktu (timing ), dan ketidakpastian aliran kas masuk bersih ke perusahaan (lembaga)
Tujuan Spesifik Memberi informasi sumber daya ekonomi kewajiban, dan modal saham
Memberi informasi pendapatan yang Komprehensif
Memberi informasi aliran Kas
Sumber : Mamduh dan Abdul, 2009 : 31 Gambar 2.1. Tujuan Pelaporan Keuangan
4.
Kesulitan Keuangan (Financial Distressi) dan Kebangkrutan Sering kali pengertian kesulitan keuangan (financial distress) disamakan
dengan pengertian kebangkrutan, padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Berikut uraian pengertian financial distress dan kebangkrutan.
17
4.1
Pengertian Kesulitan Keuangan (Financial Distress) Financial distress adalah kondisi dimana perusahaan terancam bangkrut
karena memiliki kesulitan keuangan. Akan timbul biaya-biaya kebangkrutan jika perusahaan mengalami kebangkrutan, diantaranya: keterpaksaan menjual aktiva dibawah harga pasar, biaya likuidasi perusahaan, rusaknya aktiva tetap dimakan waktu sebelum terjual dan lain sebagainya (Muslim, 2011).
4.2
Pengertian Kebangkrutan Kebangkrutan merupakan klimaks dari suatu proses financial distress yang
dialami perusahaan. Kebangkrutan sebagai suatu keadaan dimana perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajiban kepada kreditur karena perusahaan mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya sehingga tujuan ekonomi yang ingin dicapai oleh perusahaan, yaitu profit, tidak tercapai (Endri, 2009). Kebangkrutan adalah suatu kondisi disaat perusaan mengalami kekurangan dana untuk menjalankan usahanya. Menurut Undang-Undang kepailitan No. 4 tahun 1998, yaitu :“ Debitur atau kreditur yang memiliki dua atau lebih kreditur tidak membayar sedikitnya suatu utang yang telah jatuh tempo dan dapat dinyatakan pailit dengan keputusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang krediturnya.” Sedangkan menurut (Mamduh dan Abdul, 2009) Beberapa indikator yang bisa menjadi prediksi kebangkrutan diantaranya adalah bersumber dari analisis aliran kas baik untuk saat ini maupun untuk masa mendatang. Sumber lainnya adalah analisis strategi perusahaan yang memfokuskan pada persaingan yang dihadapi oleh
18
perusahaan, struktur biaya relative terhadap pesaingnya, kualitas manajemen, kemampuan manajemen mengendalikan biaya, dan lainnya. Analisis semacam ini bisa digunakan sebagai pendukung analisis aliran kas, karena kondisi perusahaan semacam diatas akan mempengaruhi aliran kas perusahaan. Kesulitan keuangan jangka pendek dapat berkembang menjadi semakin parah walaupun biasanya bersifat sementara. Manfaat informasi kebangkrutan bagi beberapa pihak, antara lain (Harahaf, 2010) : 1) Pemegang Saham Pemegang saham tentunya ingin mengetahui kondisi keuangan perusahaan, asset, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Pastinya mereka juga ingin melihat prestasi manajemen dalam mengelola perusahaannya, dan ingin mengetahui jumlah dividen yang akan diterima, jumlah pendapatan persaham, jumlah laba yang ditahan. Serta mengetahui perkembangan perusahaan dari waktu kewaktu, perbandingan dengan usaha sejenis, dan perusahaan lainnya. 2) Investor Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau tidaknya perusahaan yang menjual surat berharga tersebut. Investor yang menganut strategi aktif akan mengembangkan model prediksi kebangkrutan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan seawal mungkin dan kemudian mengantisipasi kemungkinan tersebut. 3) Analisis Pasar Modal Analisis pasar modal selalu melakukan analisis yang tajam dan lengkap terhadap laporan keuangan perusahaan go public maupun yang berpotensi masuk kepasar modal untuk mengetahui nilai perusahaan, kekuatan dan posisi keuangan perusahaan. Apakah layak disarankan untuk dibeli sahamnya, dijual atau dipertahankan. Informasi ini akan disampaikan kepada langganannya berupa investor baik individu maupun lembaga. 4) Manajer Manajer dapat mengetahui situasi ekonomis perusahaan yang dipimpinnya. Seorang manager selalu memerlukan keputusan yang tepat dan cepat apabila dihadapkan dengan seribu satu masalah setiap saat.
19
5) Karyawan dan Serikat Pekerja Karyawan perlu mengetahui kondisi keuangan perusahaan untuk menetapkan apakah ia masih terus bekerja di situ atau pindah dan mengetahui hasil usaha perusahaan agar dapat menilai apakah penghasilan yang diterimanya selama ini pantas atau tidak. 6) Instansi Pajak Semua kewajiban pajak tergambar dalam laporan keuangan, dengan demikian diperlukannya laporan keuangan bagi instansi pajak sebagai dasar menentukan kebenaran perhitungan pajak, pembayaran pajak, pemotongan pajak, restitusi, dan juga untuk dasar penindakan. 7) Pemberi Dana (kreditur) Perusahaan calon debitur laporan keuangan dapat menjadi sumber informasi untuk menilai kelayakan perusahaan untuk menerima kredit yang akan diluncurkan 8) Supplier Laporan keuangan menjadi informasi untuk mengetahui apakah perusahaan layak diberikan fasilitas kredit, seberapa lama akan diberikan, dan sejauh mana potensi resiko yang dimiliki perusahaan. 9) Pihak pemerintah Pada beberapa sektor usaha, lembaga pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi jalannya usaha tersebut (missal sektor perbankan). Juga pemerintah mempunyai badan-badan usaha (BUMN) yang harus selalu diawasi. Lembaga pemerintah berkepentingan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan lebih awal agar dapat mencegah hal yang tidak diharapkan.
4.3
Faktor – Faktor Penyebab Kebangkrutan Secara garis besar penyebab kebangkrutan dapat dibagi menjadi dua faktor
internal dan faktor eksternal. Dimana faktor internal adalah faktor yang berasal dari bagian internal manajemen perusahaan. Sedangkan faktor eksternal bisa berasal dari faktor luar yang berhubungan langsung dengan operasi perusahaan atau faktor perekonomian secara makro.(Darsono dan Ashari, 2005)
20
Faktor internal yang bisa menyebabkan kebangkrutan perusahaan meliputi : (Darsono dan Ashari, 2005) 1. Manajemen yang tidak efisien akan menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar kewajibannya dikarenakan mengalami kerugian secara terus menerus. Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan dan keahlian manajemen. Sebagai contoh dari manajer yang tidak efisien adalah manajer yang tidak mampu menyusun rencana dengan memperhitungkan rencana dan biaya, serta tidak dapat memaksimumkan keluaran (output) dengan menggunakan masukan (input) yang minimum. 2. Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah piutanghutang yang dimiliki, dimana hutang yang terlalu besar akan mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga tidak menghasilkan pendapatan. Salah satu contohnya, apabila perusahaan memiliki hutang yang mengharuskan membayar bunga seperti utang bank dan obligasi karena bunga tersebut dapat menggerogoti laba perusahaan. Dan piutang yang telah jatuh tempo yang terus berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka modal perusahaan akan semakin kecil karena aktiva tidak dapat berputar dengan baik. 3. Moral hazard oleh manajemen. Kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan bisa mengakibatkan kebangkrutan. Karena membuat kerugian
21
bagi
perusahaan
yang
pada
akhirnya
membangkrutkan
perusahaan.
Kecurangan ini bisa membentuk manajemen korup ataupun memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau investor. Sedangkan faktor ekstrnal yang bisa megakibatkan kebangkrutan berasal dari faktor yang berhubungan langsung dengan perusahaan meliputi pelanggan, supplier, debitor, kreditor, pesaing ataupun dari pemerintah.Sedangkan faktor eksternal yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan meliputi kondisi perekonomian secara makro ataupun faktor persaingan global. Faktor-faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan, yaitu : (Darsono dan Ashari, 2005) 1. Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusaaan yang mengakibatkan pelanggan lari sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan.
Untuk
menjaga
hal
tersebut
perusahaan
harus
selalu
mengantisipasi kebutuhan pelanggan dengan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. 2. Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang di gunakan untuk produksi. Untuk mengantisipasi hal tersebut perusahaan harus selalu menjalin hubungan baik dengan supplier dan tidak menggantungkan kebutuhan bahan baku pada satu pemasok sehingga risiko kekurangan bahan baku dapat di atasi. 3. Faktor debitor juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitor tidak melakukan kecurangan dengan mengemplang hutang. Terlalu banyak piutang
22
yang diberikan pada debitor dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang tidak memberikan penghasilan sehingga mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus selalu memonitor piutang yang dimiliki dini terhadap aktiva perusaan. 4. Hubungan yang tidak dapat harmonis dengan kreditur juga bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Apalagi dalam undang-undang no 4 tahun 1998, kreditor bisa memalitkan perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebur, perusahaan harus bisa mengelola hutangnya dengan baik dan juga membina hubungan baik dengan kreditor. 5. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan dan memberikan nilai tambah yang lebih baik bagi pelanggan. 6. Dengan semakin terpadunya perekonomian dengan Negara-negara lain, perkembangan perekonomian global juga harus diantisipasi perusahaan. Kasus perkembangan pesat ekonomi Cina yang mengakibatkan tersedotnya kebutuhan bahan baku ke Cina dan kemampuan Cina memproduksi barang dengan harga yang murah adalah contoh kasus perekonomian global yang harus diantisiasi oleh perusahaan. Tingginya kebutuhan baja di Cina yang mengakibatkan harga baja naik tajam, mengakibatkan banyak industri pengecoran logam di daerah Klaten bangkrut karena biaya yang mengalami kenaikan sehingga produknya menjadi tidak kompetitif.
23
4.4
Alternatif Perbaikan Kesulitan Keuangan Menurut (Mamduh & Abdul, 2009) Analisis kebangkrutan dilakukan untuk
memperoleh tanda-tanda awal kebangkrutan agar pihak manajemen dapat melakukan perbaikan-perbaikan. Pihak kreditur dan juga pihak pemegang saham bisa melakukan persiapan-persiapan untuk mengatasi berbagai kemungkinan yang buruk dengan menggunakan data-data akuntansi. Berikut
beberapa
alternative
perbaikan
berdasarkan
besar
kecilnya
permasalahan keuangan yang dihadapi oleh perusahaan. Pemecahan secara informal Dilakukan apabila masalah belum begitu parah, masalah perusahaan hanya bersifat sementara dengan prospek masa depan yang masih bagus. 1. Perusahaan yang sedang mengalami kesulitan bisa meminta perpanjangan (extension) waktu pembayaran kewajiban (hutang, pinjaman, tagihan pemasok dan lain sebagainya). 2. Komposisi (Composition) dilakukan dengan mengurangi besarnya tagihan secara sukarela. Meskipun kreditor dapat merugi sementara, tetapi rehabilitasi perusahaan yang bersangkutan akan lebih menguntungkan dari pada menempuh prosedur formal. Pemecahan secara formal Dilakukan apabila masalah sudah parah :
24
a. Perusahaan dimerjerkan kedalam perusahaan lain dimana identitas perusahaan bisa dilanjutkan sebagai bagian dari perusahaan baru hasil merjer atau identitasnya hilang sama sekali karena diserap seluruhnya kedalam merger. b. Perusahaan dilikuidasi yaitu perusahaan sama sekali dihapus melalui likuidasi atau diserahkan kepihak trustee.
4.5
Model-Model Prediksi Financial Distress Pada bagian ini akan diuaraikan lebih rinci mengenai 3 (tiga) model prediksi
financial distress yang cukup popular. Antara lain model-model tersebut adalah Altman (1968), Springate (1978), dan Zmijewski (1983) 1.
Altman (1968) Altman (1968) menggunakan metode step-wise multivariate discriminant
analysis (MDA) dalam penelitiannya. Seperti regesi logistik, teknik statistika ini juga biasa digunakan untuk membuat model dimana variable dependennya merupakan variable kualitatif. Penelitian Altman (1968) pada awalnya mengumpulkan 22 rasio perusahaan yang berguna dalam memprediksi financial distress. Dari 22 rasio tersebut, dilakukan pengujian-pengujian untuk memilih rasio-rasio mana yang akan digunakan dalam membuat model. Pengujian dilakukan dengan melihat signifikansi statistik rasio, korelasi antar rasio, kemampuan prediksi rasio, dan judgment dari peneliti sendiri (Rismawaty, 2012).
25
Z = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5 Di mana : Z
= Nilai Z-Score(Altman)
X1
= (Aktiva lancar – Hutang lancar)/Total Aktiva
X2
= Laba yang ditahan/Total Aset
X3
= Laba sebelum Bunga dan Pajak/Total Aset
X4
= Nilai pasar saham biasa dan preferen/Nilai buku total hutang
X5
= Penjualan/Total Aset
Penelitian yang dilakukan oleh Altman untuk perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut menunjukkan nilai-nilai kelima variable tersebut sebagai berikut ini.
X1 X2 X3 X4 X5
Perusahaan Bangkrut -,061 -,626 -,318 0,401 1.500
Perusahaan Tidak Bangkrut 0,414 0,355 0,154 2.477 1.900
Table 2.1 nilai-nilai kelima variable Altman
Nilai Z adalah -,258 untuk perusahaan yang bangkrut dan 4,885 untuk perusahaan yang tidak bangkrut. Nilai Z kritis adalah 1,8. Perusahaan dengan nilai Z di bawah 1,8 mempunyai probabilitas kebangkrutan yang tinggi.
Tidak Bangkrut Jika Z > Bangkrut Jika Z < Daerah Rawan
Dengan Nilai Pasar
Dengan Nilai Buku
2,675
2,90
1,81 1,81-2,675
1,20 1,20-2,90
Table 2.2 Titik Cutoff yang dilaporkan Altman
26
Daerah rawan merupakan kemungkinan munculnya klasifikasi yang salah. Tabel berikut ini menyajikan perbandingan internasional rasio-rasio keuangan untuk perusahaan yang bangkrut dan yang tidak bangkrut. Nilai Z adalah indeks keseluruhan fungsi multiple discriminant analysis. Menurut Altman, terdapat angka-angka cut off nilai Z yang dapat menjelaskan apakah perusahaan akan mengalami kegagalan atau tidak pada masa mendatang dan ia membaginya ke dalam tiga kategori (Supardi, 2003) dalam (Gustina, 2014), yaitu: a.
Jika nilai Z < 1,81 maka termasuk perusahaan bangkrut.
b.
Jika nilai 1,81< Z < 2,675 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan).
c.
Jika nilai Z > 2,675 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut Uraian masing-masing variable tersebut adalah sebagai berikut (Supardi,
2003) dalam (Gustina, 2014), yaitu : a.
Working capital to total assets (X1) atau modal kerja / total aktiva. Modal kerja yang dimaksud dalam X1 adalah selisih antara aktiva lancar dengan hutang lancar. Rasio X1 pada dasarnya merupakan salah satu rasio likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Hasil rasio tersebut dapat negatif apabila aktiva lancar lebih kecil dari kewajiban lancar. Jika dikaitkan dengan indikator-indikator kebangkrutan seperti yang disebut diatas, maka indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya masalah pada tingkat likuidasi perusahaan adalah indikator internal seperti
27
ketidakcukupan kas, utang dagang membengkak, utilisasi modal (harta kekayaan menurun), penambahan utang yang tak terkendali, dan beberapa indikator lain. b.
Retained earning / total assets (X2) atau laba ditahan / total aktiva. Rasio ini mengukur akumulasi laba semua perubahan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh pada rasio ini semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk mempelancar akumulasi laba ditahan. Hal tersebut menyebabkan perusahaan yang masih relative muda pada umumnya akan menunjukan hasil rasio tersebut rendah, kecuali yang labanya sangat besar pada awal masa berdirinya.
c.
Earning before interest and tax / total assets (X3) atau laba sebelum bunga dan pajak / total asset. Rasio tersebut mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. Rasio ini merupakan kontributor terbesar dari model tersebut. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mendeteksi adanya masalah pada kemampuan profitabilitas perusahaan diantaranya adalah piutang dagang meningkat, penjualan menurun, terlambatnya hasil penagihan piutang, kredibilitas perusahaan berkurang serta kesediaan member kredit pada konsumen yang tidak membayar pada waktu yang ditetapkan.
d.
Market value equity / book value of debt (X4) atau nilai pasar dari modal / nilai buku hutang. Modal yang dimaksud adalah gabungan nilai pasar dari modal biasa dan saham preferen, sedangkan hutang mencakup hutang lancar dan hutang
28
jangka panjang, rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memberikan jaminan kepada setiap hutangnya melalui modalnya sendiri. e.
Sales / total assets (X5) atau penjualan / total aktiva. Rasio ini merupakan rasio yang mendeteksi kemampuan dana perusahaan yang tertanam dalam keseluruhan aktiva berputar dalam satu periode tertentu. Rasio ini dapat pula dikatakan sebagai rasio yang mengukur kemampuan modal yang diinvestasikan oleh perusahaan untuk menghasilkan revenue. Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah banyak perusahaan yang
tidak go public , dan dengan demikian tidak mempunyai nilai pasar. Untuk beberapa Negara seperti Indonesia, perusahaan semacam itu merupakan bagian terbesar yang ada. Altman kemudian mengembangkan model alternative dengan menggantikan variable X4 (Nilai pasar saham preferen dan biasa/nilai buku total hutang). Dengan cara demikian model tersebut bisa dipakai baik untuk perusahaan yang go public maupun yang tidak go public. Persamaan yang diperoleh dengan cara semacam itu adalah sebagai berikut. Z = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4 + 0,998 X5 Di mana : X1
= (Aktiva lancar – Hutang lancar)/Total Aktiva
X2
= Laba yang ditahan/Total Aset
X3
= Laba sebelum Bunga dan Pajak/Total Aset
X4
= Nilai pasar saham biasa dan preferen/Nilai buku total hutang
X5
= Penjualan/Total Aset
29
Model baru tersebut mempunyai kemampuan prediksi yang cukup baik juga (94% benar atau 62 benar dari total sampel 66), sedangkan yang asli (95% benar atau 63 benar dari 66 total sampel). Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada nilai Z-Score model Altman (1983), yaitu : a.
Jika nilai Z < 1,23 maka termasuk perusahaan yang bangkrut
b.
Jika nilai 1,23< Z < 2,9 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan).
c. 2.
Jika nila Z > 2,9 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut. Springate (1978) Model ini dikembangkan pada tahun 1978 oleh Gorgon L.V. Springate.
Dengan mengikuti prosedur yang dikembangkan Altman, Springate menggunakan step-wise multiple discriminate analysis untuk memilih empat dari 19 rasio keuangan yang popular sehingga dapat membedakan perusahaan yang berada dalam zona bangkrut atau zona aman. Model Springate merumuskan sebagai berikut : S = 1,03X1 + 3,07X2 + 0,66X3 + 0,4X4 Keterangan : S = Nilai S-Score (Springate) X1 = Working Capital / Total Assets X2 = Net Profit Before Interest and Taxed / Total Assets X3 = Net Profit Before Taxes / Current Liabilities X4 = Sales / Total Assets
30
Springate (1978) mengemukakan nilai cut-off yang berlaku untuk model ini adalah 0,862. Nilai S yang lebih kecil dari 0,862 menunjukkan bahwa perusahaan tersebut diprediksi akan mengalami kebangkrutan. Model ini memiliki akurasi 92,5% dalam tes yang dilakukan Springate Variable Potensi Kebangkrutan dibagi menjadi 3 (Yoseph, 2012) dalam (Gustina, 2014), yaitu : Cut Off
Keterangan Menunjukkan indikasi perusahaan menghadapi ancaman kebangkrutan
S<0,862
yang serius, hal ini perlu ditindak lanjuti oleh manajemen perusahaan
0,862<S<1,062
agar tidak terjadi kebangkrutan Menunjukkan bahwa perusahaan berada dalam kondisi rawan. Dalam kondisi ini manajemen harus berhati-hati dalam mengelola asset-asset
S>1,062
perusahaan agar tidak terjadi kebangkrutan Menunjukkan perusahaan dalam kondisi keuangan yang sehat dan tidak mempunyai permasalahan dengan keuangan (non-bangcurpty company).
Tabel 2.3 Titik Cut-Off Perusahaan M anufaktur yang Telah Go Publik dalam Springate
3.
Zmijewski (1984) Zmijewski (1984) mengkritik metode pengambilan sampel yang digunakan
pendahulu-pendahulunya. Menurutnya, teknik matched-pair sampling cenderung memunculkan bias dalam hasil penelitian pendahulunya. Oleh karena itu, Zmijewski menggunakan teknik random sampling dalam penelitiannya (Rismawaty, 2012). Dalam penelitiannya, Zmijewski (1984) mensyaratkan suatu hal yang krusial. Proposi dari sampel dan populasi harus ditentukan di awal, sehingga didapat besaran frekuensi financial distress. Frekuensi ini diperoleh dengan membagi jumlah sampel yang mengalami financial distress dengan jumlah sampel keseluruhan.
31
Sampel yang digunakan Zmijewski (1984) berjumlah 840 perusahaan, terdiri dari 40 perusahaan yang mengalami financial distress dan 800 yang tidak mengalami financial distress. Data diperoleh dari compustat Annual industrial File. Data dikumpulkan dari tahun 1972-1978. Metode statistik yang digunakan Zmijewski (1984) yaitu regresi logit. Dengan menggunakan metode tersebut, maka Zmijewski (1984) menghasilkan model sebagai berikut : X = -4,803 – 3,599X1 + 5,406X2 – 1,000X3 Dimana : X
= Nilai X-Score (Zmijewski)
X1
= ROA (Net income / total assets)
X2
= Leverage (Total debt / total assets)
X3
= Liquidity (Current assets / current liabilities) Zmijewski (1984) menyatakan bahwa perusahaan dianggap distress jika
probabilitasnya lebih besar dari 0,5, dengan kata lain, nilai X-nya adalah 0. Maka dari itu, nilai cutoff yang berlaku dalam model ini adalah 0. Hal ini berarti perusahaan yang nilai X-nya lebih besar dari atau sama dengan 0 diprediksi akan mengalami financial distress di masa depan. Sebaliknya, perusahaan yang memiliki nilai X lebih kecil dari 0 diprediksi tidak akan mengalami distress. Zmijewski (1984) telah mengukur akurasi modelnya sendiri, dan mendapatkan nilai akurasi 94,9%.
32
4.6
Penelitian Terdahulu Sampai saat ini sudah ada beberapa penelitian yang membandingkan
ketepatan antar model prediksi financial distress. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya adalah sebagai berikut : Hasanah (2010) membandingkan rasio keuangan model Altman dan model Springate. Sampel penelitian ini terdiri dari 5 bank sehat dan 2 bank yang mengalami kondisi kesulitan keuangan. Metode statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah analisis diskriminan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rasio keuangan model Altman dan model Springate memiliki daya klasifikasi atau daya prediksi untuk kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan. Dalam penelitian ini juga memberikan bukti bahwa rasio WCTA, RETA dan MVEBVD pada model Altman serta rasio WCTA pada model Springate secara statistik berbeda untuk kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan dengan bank yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Penelitian ini juga memberikan bukti empiris bahwa hanya rasio keuangan WCTA dan MVEBVD pada model Altman serta rasio keuangan WCTA pada model Springate yang secara statistik signifikan untuk memprediksi kondisi kesulitan keuangan pada sektor perbankan. Rismawaty (2012) menggunakan empat model prediksi financial distress yaitu model Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski. Kemudian peneliti memilih sampel secara matched-paired seluruh sampel berjumlah 48 perusahaan, terdiri dari 24 perusahaan yang mengalami financial distress dan 24 yang tidak mengalami financial distress pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
33
indonesia. Peneliti lalu menguji akurasi keempat model diatas. Setelah itu melakukan prediksi atas 18 perusahaan di luar sampel dengan menggunakan model yang terbaik. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa model Zmijewski adalah model yang paling sesuai diterapkan untuk perusahaan manufaktur di Indonesia, karena tingkat keakuratannya paling tinggi dibandingkan model prediksi lainnya. Setelah dilakukan prediksi terhadap 18 perusahaan diluar sampel menggunakan model Zmijewski, diketahui bahwa ada 5 perusahaan yang diprediksi akan mengalami financial distress di masa depan. Juliana (2012) memilih tiga model Springate, Zmijewski, dsn Altman dalam Prediksi kebangkrutan. Sampel yang digunakan adalah 10 perusahaan perkebunan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2011. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tahun 2009-2011 terdapat 7 perusahaan diprediksi bangkrut pada model Springate sedangkan model Zmijewski tidak ada perusahaan yang diprediksi bangkrut dan pada model Altman Z-Score sebanyak 15 perusahaan diprediksi bangkrut sehingga menjadikan Altman Z-Score sebagai model yang lebih baik dengan memberikan prediksi kebangkrutan. Robin (2013) mengambil metode purposive sampling dan diperoleh sebanyak 11 perusahaan yang akan menjadi objek penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah laporan keuangan dari masing-masing sampel perusahaan manufaktur makanan dan minuman yang dipublikasikan melalui situs www.idx.co.id. Adapun yang menjadi variable bebas adalah rasio-rasio keuangan yang terdapat pada model Altman dan Springate. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
34
perbedaan yang signifikan antara hasil analisis kebangkrutan Model Altman Z-Score dan Model Springate, dimana model Altman Z-Score lebih akurat daripada model Springate dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan, khususnya perusahaan manufaktur makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Rustiana (2014) memilih lima model prediksi kebangkrutan yang digunakan terdiri dari Model Altman Z-Score Modifikasi, Ohlson Y-Score, Zmijewski X-Score, Grover G-Score, dan Springate S-Score. Sampel penelitian ini terdiri dari 432 perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 20082011. Dari penelitian tersebut tidak terdapat perbedaan tingkat akurasi antara model prediksi kebangkrutan Altman Z-Score modifikasi, Ohlson Y-Score, Zmijewski XScore, Grover G-Score, dan Springate S-Score untuk memprediksi keputusan perusahaan melakukan
voluntary auditor switching. Karena penelitian ini
menunjukkan tidak terdapat perbedaan tingkat akurasi antara kelima model prediksi kebangkrutan, maka tidak dapat disimpulkan model yang paling akurat untuk memprediksi keputusan perusahaan melakukan voluntary auditor switching. Meskipun demikian, perhitungan peringkat ketepatan prediksi menunjukkan bahwa model Grouver G-Score merupakan model prediksi kebangkrutan dengan peringkat ketepatan tertinggi (81,71%) dibandingkan dengan model-model lainnya, peringkat kedua ditempati oleh model Altman Z-Score modifikasi (70,37%), diikuti oleh model Springate S-Score (68,06%) pada peringkat ke-tiga, dan model Zmijewski X-Score (50,46%) pada peringkat ke-empat, sementara Ohlson Y-Score merupakan model prediksi kebangkrutan dengan peringkat ketepatan terendah (25,23%).
35
Lili dan Trisnadi (2014) memprediksi kebangkrutan dengan menggunakan model Altman Z-Score, Springate, Zmijewski, Foster dan Grover pada PT. Indofood Sukses Makmur Tbk periode 2009-2013. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling yaitu laporan keuangan tahunan 2009-2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil analisis antara kelima model analisis kebangkrutan yang digunakan pada penelitian ini. Tingkat akurasi untuk model Altman Z-Score adalah 0% sedangkan model Springate sebesar 80%. Namun tingkat akurasi untuk model Zmijewski, Foster dan Grover adalah sebesar 100%. Diantara kelima model analisis kebangkrutan tersebut memiliki tingkat akurasi paling tinggi adalah Zmijewski, Foster dan Grover. Penelitian Galuh (2014) menggunakan variable boneka atau dummy variable. Populasi diperoleh 30 perusahaan sampel dengan rincian, 15 perusahaan kategori financial distress dan 15 perusahaan kategori non-financial distress pada perusahaan yang terdaftar dalam Efek Syariah tahun 2009-2012. Alat analisis yang digunakan adalah Regresi Binary Logistic atau Regresi Logistik Biner dapat disimpulkan bahwa Model Zmijewski merupakan model prediksi financial distress terbaik karena memiliki tingkat signifikansi paling kuat diantara model yang lain. Maka secara otomatis variable-variabel yang ada di dalam model Zmijewski merupakan faktor yang menentukan financial distress perusahaan di masa yang akan datang. Variablevariabel tersebut adalah rasio profitabilitas (earning after tax / total assets), rasio solvabilitas (total debt / total assets), dan rasio likuiditas (current assets / current liabilities).
36
Penelitian Haseley (2012) membandingkan kemampuan prediksi model Altman dan model Springate dengan menggunakan 30 sampel perusahaan yang mengalami kebangkrutan dan 30 sampel perusahaan yang tidak mengalami kebangkrutan yang terdaftar di Bursa Efek Thailand yang berkisar dari tahun 20062012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model Altman memiliki nilai prediksi lebih tinggi sebesar 70,56% jika diabndingkan dengan model Springate yang hanya 65,56%
37
Ikhisiar Penelitian Terdahulu No
Nama Peneliti
Variabel Penelitian
Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan rasio keuangan model Altman dan model Springate memiliki daya klasifikasi atau daya prediksi untuk kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan.
1
Hasanah, 2010
Rasio Keuangan, model Altman dan model Springate, Early Warning System.
2
Rismawaty, 2012
Financial Distres,model Altman, model Springate, model Ohlson, dan model Zmijewski
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Model Zmijewski adalah model yang paling sesuai diterapkan untuk perusahaan manufaktur di Indonesia.
3
Juliana, 2012
Financial Distress, model Springate, model Zmijewski dan model Altman.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa model Altman Z-Score adalah model yang lebih baik dalam memprediksi kebangkrutan.
4
Robin, 2013
5
Rustiana 2014
6
Lili& Trisnadi, 2014
7
Galuh, 2014
8
Haseley, 2012
Kebangkrutan perusahaan, model Altman dan model Springate Kebangkrutan perusahaan,Voluntary Auditor Switching, Altman Z-Score modifikasi, Ohlson Y-Score, Zmijewski XScore, Grover G-Score, dan Springate S-Score Kebangkrutan perusahaan, model Altman, model Springate, model Zmijewski, model Foster dan Grover. Kebangkrutan perusahaan model Altman, model Springate, dan model Zmijewski Kebangkrutan perusahaan model Altman dan model Springate pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Thailand
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwamodel Altman Z-Score lebih akurat dalam memprediksi kebangkrutan. perhitungan peringkat ketepatan prediksi menunjukkan bahwa model Grouver GScore merupakan model prediksi kebangkrutan dengan peringkat ketepatan tertinggi.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat akurasi paling tinggi Zmijewski, Foster dan Grover.
bahwa adalah
disimpulkan bahwa Model Zmijewski merupakan model prediksi financial distress terbaik. Hasil penelitian menunjukan bahwa model Altman diprediksi memiliki tingkat akurasi lebih tinggi dibandingkan dengan model Springate.
Sumber : Diolah dari berbagai jurnal dan hasil penelitian Tabel 2.4 Ikhisiar Penelitian Terdahulu
38
B.
Rerangka Pemikiran Penelitian yang digunakan oleh penelitian ini adalah pendekatan penelitian
komparatif yang akan membandingkan antara tiga model kebangkrutan yaitu model Altman, Springate atau Zmijewski yang lebih tepat untuk memprediksi kebangkrutan pada Perusahaan Manufaktur yang terdapat di Bursa Efek Indonesia. Untuk dapat mengetahui terjadinya kondisi bermasalah pada perusahaan Manufaktur tersebut diantaranya menggunakan model Altman, yang terdiri atas lima variable yakni Working Capital to Total Assets, Retained Earnings to Total Assets, Earnings Before Interest Tax to Total Assets, Market Value of Equity to Book Value of Debt, dan Sales to Total Assets.Kemudian analisa model Altman dilakukan dengan menggunakan data kelima variable tersebut, hasil analisa dari model Altman dapat dibagi dalam beberapa kategori yakni perusahaan yang dikategorikan distress dan Perusahaan yang non distress. Sehingga dengan menggunakan analisis tersebut dapat diketahui apakah Perusahaan tersebut bermasalah atau tidak. Model Springate yang terdiri atas empat variable yakni, Working Capital to Total Assets, net Profit Before Interest and Taxes to Total Assets, Net Profit Before Taxes to Current Liability dan
Sales to Total Assets.Kemudian analisa metode
Springate dapat dilakukan dengan menggunakan keempat variable tersebut, hasil analisa dari model Springate dapat dibagi dalam beberapa kategori yakni perusahaan yang dikategorikan distress dan Perusahaan yang non distress. Sehingga dengan menggunakan analisis tersebut dapat diketahui apakah Perusahaan tersebut bermasalah atau tidak.
39
Selanjutnya menggunakan model Zmijewski yang terdiri atas tiga variable yakni, ROA (Net income), Leverage (Total debt) dan Liquidity (Current assets). Kemudian analisa metode Zmijewski dapat dilakukan dengan menggunakan ketiga variable tersebut, hasil analisa dari model Zmijewski dapat dibagi dalam beberapa kategori yakni perusahaan yang dikategorikan distress dan Perusahaan yang non distress. Sehingga dengan menggunakan analisis tersebut dapat diketahui apakah Perusahaan tersebut bermasalah atau tidak. Langkah selanjutnya adalah menguji hasil model Altman, Springate dan Zmijewski dan mencari tahu manakah yang lebih tepat dalam memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan. Dari ketiga model penelitian diatas, setelah dilakukan penelitian pada perusahaan yang bangkrut maupun tidak bangkrut. Dapat terlihat manakah model yang benar-benar akurat dalam memprediksi tingkat kebangkrutan. Salah satu contoh, apabila mengambil beberapa sample perusahaan yang sudah bangkrut namun setelah diteliti oleh salah satu model kebangkrutan tersebut ternyata tidak mengalami kebangkrutan, maka dapat disimpulkan bahwa model financial distress tersebut kurang akurat dalam memprediksi kebangkrutan. Begitupun sebaliknya, apabila mengambil sample perusahaan yang seharusnya tidak bangkrut namun ternyata setelah diteliti mengalami kebangkrutan, maka model tersebut terbilang kurang akurat dalam memprediksi tingkat kebangkrutan.
40
Kerangka Pemikiran Perbandingan Model Prediksi Kebangkrutan Altman, Springate dan Zmijewski
LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN MANUFAKTUR KINERJA PERUSAHAAN MODEL ALTMAN
MODEL SPRINGATE
X1 = Rasio Likuiditas X2, X3 = Rasio Profitabilitas X4, X5 = Rasio Aktivitas
X1 = Rasio Likuiditas X2 = Rasio Profitabilitas X3, X4= Rasio Aktivitas
MODEL ZMIJEWSKI X1 = ROA / ROI X2 = Debt Ratio X3 = Current Ratio
FINANCIAL DISTRESS PREDIKSI
Distress
RIIL
Non Distress
Non Distress
dibandingkan
Hasil (Model paling baik)
Gambar 2.2. Rerangka Pemikiran
Distress