BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Teori Agensi Teori agensi merupakan teori yang digunakan perusahaan dalam mendasari praktik bisnisnya. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa teori keagenan disebut juga sebagai teori kontraktual yang memandang suatu perusahaan sebagai suatu perikatan kontrak antara anggota-anggota perusahaan. Mereka juga menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebagai suatu kontrak antara satu atau lebih pihak yang mempekerjakan pihak lain untuk melakukan suatu jasa untuk kepentingan mereka yang meliputi pendelegasian beberapa kekuasaan pengambilan keputusan kepada pihak lain tersebut. Dengan demikian, teori ini mengindikasikan adanya kepentingan pada setiap pihak yang ada di perusahaan untuk mencapai tujuan. Pihak yang berkepentingan tersebut adalah pemegang saham sebagai prinsipal dan manajer perusahaan sebagai agen. Agen harus melakukan tugas yang diberikan oleh prinsipalnya sebagai tanggung jawab jasanya. Prinsipal diasumsikan hanya tertarik pada pengembalian uang yang diperoleh dari investasi mereka pada perusahaan. Sedangkan agen diasumsikan akan menerima kepuasan
9
10
tidak hanya dari kompensasi keuangan tetapi juga dari tambahan lain yang terlibat dalam hubungan keagenan (Anthony dan Govindarajan, 2005). Kedua pihak dalam teori agensi tersebut menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka juga berusaha menghindari risiko yang mungkin terjadi. Adanya perbedaaan kepentingan antara kedua belah pihak dapat menyebabkan terjadinya konflik keagenan. Manajer akan mengambil keputusan dan kebijakan yang dapat menguntungkan dirinya sendiri sebelum memberikan manfaat kepada pemegang saham. Padahal hal itu tidak sesuai dengan tujuan utama manajer yaitu memaksimumkan kekayaan pemegang saham yang akan diwujudkan melalui pemaksimuman harga saham biasa (Weston dan Brigham, 1990). Konflik keagenan lainnya yang mungkin terjadi yaitu mengenai informasi asimetri (assymetries information). Informasi asimetri timbul karena kurang lengkapnya informasi yang diperoleh atau salah satu pihak tidak memiliki informasi yang diketahui oleh pihak lainnya. Misalnya, manajer mungkin memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan pemegang saham karena manajer adalah pihak yang lebih sering berhadapan dengan kegiatan operasional di perusahaannya. Dengan demikian, pemegang saham yang hanya memiliki sedikit informasi akan kesulitan dalam mengontrol perusahaan yang dijalankan oleh manajer. Terdapat dua macam assymetries information menurut Qomariyah, et al. (2007), yaitu:
11
1. Adverse Selection Adverse selection adalah jenis asimetri informasi di mana satu pihak atau lebih melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam (insider) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan daripada para pemegang saham. Para pemegang saham atau prinsipal mungkin tidak mengakses semua informasi yang disediakan agen sehingga tidak dapat mengawasi tindakan manajer apakah mereka sudah melakukan kewajibannya sesuai dengan kontrak atau tidak. Kemungkinan lainnya adalah manajer dengan sengaja menyembunyikan atau memanipulasi informasi-informasi penting yang akan diberikan oleh prinsipal, sehingga prinsipal sulit untuk melakukan keputusan investasi. 2. Moral Hazard Moral hazard adalah jenis asimetri informasi di mana suatu pihak atau lebih yang melangsungkan suatu transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi tersebut, sedangkan pihak lainnya tidak. Hal ini dapat mengakibatkan pemegang saham sebagai prinsipal tidak mengetahui tindakan manajer sebagai agen yang mungkin melakukan tindakan di luar kontrak kerja yang tidak sesuai dengan etika dan norma yang berlaku atau tindakan manajer yang mungkin bekerja kurang optimal bagi tercapainya tujuan perusahaan.
12
Pemilihan metode konservatisme tidak terlepas dari kepentingan manajer untuk mengoptimalkan kepentingannya dengan mengorbankan kepentingan pemegang saham, sehingga dukungan manajemen terhadap konservatisme berkaitan dengan teori ini. Teori akuntansi positif menurut Chariri dan Ghozali (2007) dalam widayati (2011:29) menyatakan bahwa ada tiga hubungan keagenan: 1. Antara manajemen dengan pemilik (pemegang saham) Apabila manajemen memiliki jumlah saham yang lebih sedikit dibandingkan dengan investor lain, maka manajer akan cenderung melaporkan laba tinggi atau kurang konservatif. Hal ini dikarenakan principal (pemegang saham) menginginkan dividen maupun capital gain dari saham yang dimilikinya.Sedangkan karena agen (manajer) ingin dinilai kinerjanya bagus dan mendapatkan bonus, maka manajer melaporkan laba yang lebih tinggi. Namun jika kepemilikan manajer lebih banyak disbanding para investor lain, maka manajemen cenderung melaporkan laba lebih konservatif. Karena rasa memiliki manajer terhadap perusahaan itu cukup besar, maka manajer lebih berkeinginan untuk memperbesar perusahaan. Dengan metode konservatif, maka akan terdapat cadangan tersembunyi yang cukup besar untuk meningkatkan jumlah investasi perusahaan. 2. Antara manajemen dan kreditor Manajemen cenderung melaporkan labanya lebih tinggi karena pada umumnya kreditor beranggapan bahwa perusahaan dengan laba yang tinggi akan melunasi utang dan bunganya pada tanggal jatuh tempo. Dengan kata lain kreditor
13
beranggapan akan mengurangi tingkat risiko utang tidak dibayar. Kreditor dengan melihat laba yang tinggi cenderung akan mudah dalam memberikan pinjaman. 3. Antara manajemen dan pemerintah Manajer cenderung melaporka labanya secara konservatif.Hal ini dikarenakan untuk menghindari pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah, para analais sekuritas dan pihak yang berkepentingan lainya.Pada umumnya perusahaan yang besar dibebani oleh beberapa konsekuensi.Misalnya harus menyediakan pelayanan public yang lebih baik dan harus membayar pajak yang lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka inti dari hubungan keagenan bahwa di dalam hubungan keagenan terdapat pemisahan hubungan kepemilikan yaitu antara pemegang saham dengan pihak pengendalian yaitu manajeman atau yang mengelola perusahaan. 2. Konservatisme Akuntansi Basu (1997) mendefinisikan konservatisme sebagai praktik mengurangi laba (dan mengecilkan aktiva bersih) dalam merespons berita buruk (bad news), tetapi tidak meningkatkan laba (meninggikan aktiva bersih) dalam merespons berita baik (good news). Watts (2003) mendefinisikan konservatisme sebagai perbedaan verifiabilitas yang diminta untuk pengakuan laba dibandingkan rugi.Watts juga menyatakan bahwa konservatisme akuntansi muncul dari insentif yang berkaitan dengan biaya kontrak, litigasi, pajak, dan politik yang bermanfaat bagi perusahaan untuk mengurangi biaya keagenan dan mengurangi pembayaran yang berlebihan
14
kepada pihak-pihak seperti manajer, pemegang saham, pengadilan dan pemerintah. Selain itu, konservatisme juga menyebabkan understatement terhadap laba dalam periode kini yang dapat mengarahkan pada overstatement terhadap laba pada periode-periode berikutnya, sebagai akibat understatement terhadap biaya pada
periode
tersebut.Sedangkan,
Suwardjono
(2010)
mendefinisikan
konservatisme sebagai sikap atau aliran (mazhab) dalam menghadapi ketidak pastian untuk mengambil tindakan atau keputusan atas dasar munculan (outcome) yang terjelek dari ketidak pastian tersebut. Konservatisme biasanya juga didefinisikan sebagai reaksi kehati-hatian (prudent) terhadap ketidakpastian, yang ditujukan untuk melindungi hak-hak dan kepentingan pemegang saham (shareholders) dan pemberi pinjaman (debtholders) yang menentukan sebuah verifikasi standar yang lebih tinggi untuk mengakui goodnews daripada badnews (Lara, et al., 2005). Dengan adanya prinsip kehatihatian tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat bagi setiap pengguna laporan keuangan. Selain itu, pengguna laporan keuangan dapat mengambil keputusan investasi atau pemberian kredit dengan tepat atas prediksi yang mereka lakukan dari laporan keuangan yang memuat ketidakpastian dan risiko perusahaan. Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Wolk et al, (2001) dalam Jamaan (2008) yang menyebutkan bahwa konservatisme sebagai preferensi terhadap metode-metode akuntansi yang menghasilkan nilai paling rendah untuk aset dan pendapatan, sementara nilai paling tinggi untuk utang dan biaya, atau
15
menghasilkan nilai buku ekuitas yang paling rendah. Hal ini berakibat pada penundaan pengakuan aset dan pendapatan hingga aset atau pendapatan tersebut benar-benar
telah
diterima
perusahaan
walaupun
kemungkinan
adanya
penerimaan aset sangat besar. Sebaliknya, pengakuan terhadap rugi atau biaya yang terjadi segera dilakukan. Karena adanya penundaan pengakuan untuk pendapatan dan aset tetapi pengakuan untuk rugi dan biaya segera dilakukan, konservatisme dapat menyebabkan understatement pada laba periode sekarang tetapi overstatement pada laba periode berikutnya. Adanya overstatement pada laba periode yang akan datang disebabkan oleh understatement pada periode sekarang (Sari dan Adhariani, 2009). Watts (2003a) menyatakan bahwa understatement aset bersih yang sistematik atau relatif permanen merupakan hallmark konservatisme akuntansi,
sehingga
dapat
dikatakan
bahwa
konservatisme
akuntansi
menghasilkan laba yang berkualitas karena prinsip ini mencegah perusahaan melakukan tindakan membesar-besarkan laba dan membantu pengguna laporan keuangan dengan menyajikan laba dan aset yang tidak overstate. Konservatisme akuntansi menyatakan apabila ada beberapa alternatif akuntansi maka alternatif yang seharusnya dipilih adalah alternatif yang paling kecil kemungkinannya untuk melaporkan aset atau pendapatan yang lebih besar dari yang seharusnya (Almilia, 2005). Chariri dan Ghozali (2007) juga menyatakan demikian, bahwa apabila perusahaan memilih suatu di antara dua teknik akuntansi yang ada, maka harus dipilih alternatif yang kurang menguntungkan bagi ekuitas pemegang saham. Apabila terdapat kondisi yang
16
kemungkinan menimbulkan kerugian, maka harus segera diakui. Lebih lanjut, prinsip konservatisme sering dianggap sebagai prinsip yang pesimisme. Senada dengan beberapa penelitian yang telah dipaparkan, pesimisme mengharuskan beban harus segera diakui, tetapi pendapatan diakui setelah ada kepastian realisasi (recognition), sedangkan aset bersih cenderung dinilai di bawah harga pertukaran atau harga pasar sekarang dari harga perolehan. (Hendriksen dan Van Breda, 2000). Penman dan Zhang (2002) menjelaskan konservatisme akuntansi merupakan suatu pemilihan metode dan estimasi akuntansi yang menjaga nilai buku dari net assets relatif rendah.Mereka mencontohkan definisi tersebut dalam penggunaan metode pencatatan persediaan. Richardson dan Tinaikar (2003) dalam Kiryanto dan Edy (2006), menunjukkan bahwa ada dua jenis laba konservatisme, yaitu : (1) ex-ante conservatism atau news-independent conservatism. dan (2) ex-post conservatism atau news dependent conservatism. Ex-ante conservatism atau newsindependentconservatism berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang mengurangi laba secara independen dari kejadian-kejadian ekonomi saat ini, bahkan apabila pengeluaran-pengeluaran tersebut berkaitan secara positif dengan harapan aliran kas di masa yang akan datang. Ex-post conservatism atau news dependent conservatism menggambarkan lebih tepat waktu untuk pengakuan laba terhadap bad news dari pada good news.Secara umum, prinsip akuntansi ini menghendaki penghapusan dengan segera untuk mengakui bad news terhadap persediaan, goodwill, ketidakpastian kerugian dan sebaliknya. Menurut Kiryanto dan Edy (2006), penggunaan dari ex-
17
post conservatism atau news dependent conservatism ini menghasilkan slope koefisien regresi laba terhadap returns yang lebih tinggi untuk perusahaanperusahaan dengan negatif returns (bad news) dari pada positif returns (good news). Namun di tinjau lagi bahwa laporan keuangan tersebut disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan (SAK) yang telah ditetapkan oleh badan yang berwenang menetapkan standar. Dalam SAK terdapat beberapa pilihan prosedur akuntansi
yang
dapat
digunakan
perusahaan
untuk
menyusun
laporan
keuangan.Perusahaan memiliki sedikit kebebasan dalam memilih salah satu dari beberapa alternative yang ditawarkan dalam standar akuntansi keuangan yang dianggap sesuai dengan kondisi perusahaan. Beberapa alternative pilihan prosedur penyusutan yang ada dalam SAK tersebut memiliki tingkat konservatisme satu dengan yang lainnya. SAK menyebutkan ada berbagai metode yang menerapkan prinsip konservatisme, diantaranya: 1. PSAK No. 14 (Revisi 2008) yang mengatur perlakuan akuntansi untuk persediaan. Perhitungan biaya persediaan dengan menggunakan metode FIFO (First In First Out) adalah perhitungan yang dapat menghasilkan laba lebih besar daripada metode LIFO (Last In First Out) dan rata-rata tertimbang. Hal ini disebabkan biaya persediaan yang besar menyebabkan harga pokok penjualan yang kecil, sehingga laba yang dihasilkan besar. Oleh karena itu, metode FIFO merupakan metode yang optimis jika dibandingkan dengan metode LIFO yang menghasilkan angka laba lebih rendah (Dewi, 2004). Karena laporan laba rugi fiskal hanya
18
mengakui dua metode penyusutan yaitu metode FIFO dan rata-rata tertimbang maka metode rata-rata tertimbang merupakan metode yang paling konservatif. Hal itu dikarenakan biaya persediaan akhir lebih kecil yang mengakibatkan harga pokok penjualan menjadi besar sehingga laba yang dihasilkan menjadi kecil. 2. PSAK No.17 (1994) tentang akuntansi penyusutan yang diganti oleh PSAK No. 16 (Revisi 2007) mengenai aset tetap dan pilihan dalam menghitung biaya penyusutannya. Apabila metode penyusutan yang digunakan untuk menilai aset tetap perusahaan memiliki periode yang semakin pendek, maka prinsip akuntansi yang diterapkan akan semakin konservatif. Metode penyusutan saldo menurun berganda (double declining balance method) merupakan metode yang lebih konservatif jika dibandingkan dengan metode garis lurus (straight line method). Hal ini karena metode saldo menurun berganda memiliki kos yang lebih besar, sehingga angka laba yang tersaji menjadi rendah. 3. PSAK No.19 (Revisi 2009) untuk menentukan perlakuan akuntansi bagi aset tidak berwujud yang tidak diatur secara khusus pada standar lainnya. Pernyataan ini juga mengatur cara mengukur jumlah tercatat dari aset tidak berwujud dan menentukan pengungkapan yang harus dilakukan bagi aset tidak berwujud Metode amortisasi untuk mengalokasikan jumlah aset tidak berwujud yang serupa dengan penyusutan pada aset tetap meliputi: a. Metode garis lurus b. Metode Saldo menurun berganda
19
c. Metode jumlah unit produksi Jika periode amortisasi aset tidak berwujud semakin pendek maka akuntansi yang diterapkan juga semakin konservatif, sebaliknya bila periode amortisasi semakin panjang maka semakin tidak konservatif (Dewi, 2004). Periode amortisasi yang semakin pendek menyebabkan biaya amortisasi yang semakin besar pada tiap periodenya sehingga berakibat pula pada laba yang menjadi kecil. Dari ketiga metode amortisasi tersebut, metode saldo menurun berganda merupakan metode yang paling konservatif. Lebih lanjut, apabila amortisasi aset tidak berwujud diakui sebagai bagian dari harga pokok aset lainnya maka membuat laba yang dihasilkan menjadi besar yang berarti tidak konservatif. Namun apabila amortisasi tersebut diakui sebagai beban, maka laba yang dihasilkan menjadi lebih kecil atau dapat dikatakan konservatif. 4. PSAK No.20 tentang Biaya Riset dan Pengembangan Apabila biaya riset dan pengembangan diakui sebagai beban daripada sebagai aset maka akuntansi yang diterapkan cenderung konservatif. Karena jika biaya yang terjadi diakui sebagai beban, maka laba yang dihasilkan di dalam laporan keuangan menjadi kecil. Sebaliknya, bila biaya yang terjadi diakui sebagai aset, maka laba yang dihasilkan besar dan akuntansi menjadi tidak konservatif.
20
3. Konservatisme terhadap Asset Growth Risiko adanya tuntunan hukum (litigasi) oleh kreditur dan pemegang saham kepada manajer dapat mendorong penyelenggaraan akuntansi konservatif. Bagi perusahaan, upaya untuk menghindari dari ancaman litigasi mendorong pada : (1) pengungkapan berita buruk dengan segera dalam laporan keuangan (2) menunda berita baik (3) memilih kebijakan akuntansi yang cenderung konservatif Scetharaman et al. 2002 (dalam Juanda, 2007). Watts (2003a) (dalam Lasdi, 2008) menyatakan bahwa pernyataan aset bersih yang berlebihan cenderung menghasilkan biaya litigasi yang lebih besar dibanding pernyataan aset bersih yang lebih rendah. Konservatisme akuntansi dengan menyatakan aset bersih yang lebih rendah dapat mengurangi risiko litigasi. Oleh karena itu, maka manajemen dan auditor mempunyai insentif untuk menyatakan lebih rendah laba dan aset bersih. Sehingga, penelitian Lasdi (2008) memprediksi bahwa manajer perusahaan dengan biaya litigasi ekspektasian ex ante yang tinggi mempunyai insentif yang lebih kuat untuk menggunakan akuntansi konservatif untuk mengurangi biaya litigasi ekspektasian. Biaya litigasi pada penelitian ini diproksikan dengan ukuran perusahaan yang dilihat dari assets growth yaitu variabel yang menggambarkan pertumbuhan aktiva atau kekayaan perusahaan. Ball et all, (1999) dan (2000) menyatakan bahwa lingkungan hukum yang berlaku pada suatu wilayah tertentu mempunyai dampak yang signifikan dalam kebijakan manajer dalam melaporkan kondisi keuangan perusahaannya (Juanda, 2007:6-7). Dalam hal ini, manajer akan menyeimbangkan biaya litigasi yang akan
21
timbul dengan manfaat yang diperoleh dari pelaporan keuangan dengan kebijakan akuntansi yang agresif. Sehingga, perusahaan yang beroperasi pada wilayah dengan lingkungan hukum yang ketat akan cenderung menerapkan kebijakan akuntansi yang konservatif.
4. Konservatisme terhadap Sales Growth Penerapan akuntansi konservatif dilakukan dalam upaya memperkecil pajak penghasilan perusahaan. Perusahaan dapat memilih metode-metode yang cenderung
konservatif
dalam
rangka
menekan
biaya
pajak
sepanjang
diperbolehkan oleh Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Di Indonesia peraturan perpajakan mewajibkan dilakukannya rekonsiliasi fiskal dengan tujuan mencocokkan antara laba akuntansi dan laba fiskal. Ada peraturan yang diperbolehkan dalam standar akuntansi namun yang tidak diperbolehkan dalam perpajakan, seperti biaya sumbangan yang tidak boleh dibebankan dan harus dikoreksi. Meskipun demikian aspek perpajakan tetap menjadi pertimbangan pilihan perusahaan untuk menerapkan akuntansi konservatif (watts, 2003).
5. Konservatisme terhadap Leverage Kontrak hutang menggunakan konservatisme dalam 2 cara. Pertama, bondholders dapat secara eksplisit menggunakan akuntansi konservatisme. Kedua, manajer dapat secara implisit menggunakan akuntansi konservatif secara konsisten dalam rangka membangun reputasi untuk pelaporan keuangan yang konservatif. Milgrom dan Robert, 1992 (dalam Lasdi, 2008) menyatakan bahwa
22
pertimbangan reputasional secara efektif memeriksa kesediaan manajer untuk mengingkari komitmennya dengan terikat dalam pilihan akuntansi opportunistik yang bersifat ex post. Terikat dengan negosiasi ulang kontrak utang, debt covenants cenderung untuk berpedoman pada angka-angka akuntansi. Hipotesis debt covenant memprediksi bahwa manajer cenderung untuk menyatakan secara berlebihan laba dan aset untuk mengurangi negosiasi ulang biaya kontrak hutang ketika perusahaan berusaha melanggar kontrak hutangnya. Bukti empiris menunjukan bahwa perusahaan yang melanggar mempunyai lebih banyak akrual abnormal yang agresif (Sweeney, 1994) (dalam Lasdi, 2008) dan berubah pada akuntansi yang lebih konservatif Defond dan Jiambalvo, 1994 (dalam Lasdi, 2008). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manajer perusahaan dengan risiko ex ante dari pelanggaran debt covenant cenderung kurang konservatif. Kontrak hutang dalam penelitian ini menggunakan proksi leverage yaitu variabel kontrol yang diukur dengan membagi total hutang dengan total aktiva. Menurut Kirana (2009:19) penjelesan pengontrakan sebagai pendorong timbulnya praktek konservatisme merupakan sumber yang paling dahulu muncul dan memiliki argumentasi yang telah berkembang secara sempurna. Penjelasan pengontrakan tersebut didasarkan pada praktek akuntansi dan pengawasan manajemen yang telah lama dijalankan, sementara penjelasan mengenai penentuan konservatisme lainnya didasarkan pada fenomena akuntansi yang baru berkembang beberapa tahun terakhir.
23
6. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang konservatisme telah banyak dilakukan dengan berbagai faktor yang berbeda-beda diantaranya sebagai berikut: Penelitian yang dilakukan oleh Yossi Diantimala (2008) dengan judul Pengaruh Akuntansi Konservatif, Ukuran Perusahaan dan Defalut Risk Terhadap Koefisien Respon Laba (ERC). Variabel dependennya adalah Konservatisme Akuntansi dan Variabel independennya terdiri dari; Ukuran Perusahaan dan Defalut. Secara parsial menunjukkan bahwa akuntansi konservatif berpengaruh negatif signifikan terhadap koefisien respon laba (ERC). Ukuran perusahaan, diperoleh hasil bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap koefisien respon laba (ERC). Variabel default risk, menyatakan bahwa default risk mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap koefisien respon laba (ERC). Chynthia Sari dan Desi Adhariani (2009) meneliti tentang Konservatisme di Indonesia dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah konservatisme akuntansi sedangkan variabel independennya terdiri dari debt covenant, size perusahaan, risiko perusahaan, rasio konsentrasi, dan intensitas modal. Metode analisis data dengan menggunakan model regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa size perusahaan, rasio konsentrasi, intensitas modal memiliki pengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi, sedangkan risiko perusahaan dan kontrak hutang tidak memiliki pengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Shella Deslatu Yulius Kurnia Susanto (2009) meneliti tentang Pengaruh Kepemilikan Managerial, Debt Covenant, Litigation, Tax and Political Costs Dan
24
Kesempatan Bertumbuh Terhadap Konservatisma Akuntansi variabel kepemilikan managerial tidak berpengaruh terhadap variabel konservatisma akuntansi. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Lasdi (2008), namun hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Widya (2005), dan Wibowo (2002); Variabel debt covenant tidak berpengaruh terhadap variabel konservatisma akuntansi. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Widya (2005), namun hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Lasdi (2008); Variabel litigation berpengaruh terhadap variabel konservatisma akuntansi. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Lasdi (2008); Variabel tax and political costs tidak berpengaruh terhadap variabel konservatisma akuntansi. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Lasdi (2008), namun hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Widya (2005); (5) Variabel kesempatan bertumbuh tidak berpengaruh terhadap variabel konservatisma akuntansi. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Widya (2005). RESTI (2012) Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Konservatisme Akuntansi (Studi pada Perusahaan Manufacture yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2008-2010). Hasil penelitian menunjukkan dukungan terhadap hipotesa 1, yang menyatakan bahwa semakin besar biaya litigasi yang dikeluarkan oleh perusahaan maka perusahaan akan semakin konservatif. Besarnya pembayaran pajak yang dikeluarkan oleh perusahan juga akan mempengaruhi pilihan perusahaan terhadap akuntansi konservatif. Makin besar pajak yang
25
dikeluarkan oleh perusahan maka perusahaan makin memilih strategi akuntansi yang lebih konservatif. Hal ini menunjukkan dukungan terhadap hipotesa 2. Hasil penelitian menunjukan penolakan terhadap hipotesa 3, yang menyatakan kontrak hutang berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Penulis menduga penolakan ini diakibatkan oleh jangka waktu penelitian yang terlalu singkat. Hasil penelitian menunjukkan dukungan terhadap hipotesa 4, yang menyatakan bahwa makin besar konsentrasi struktur kepemilikan perusahaan terhadap modal, maka perusahaan tersebut cendrung untuk memilih strategi akuntansi konservatif. Dyahayu Artika Deviyanti (2012) Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Konservatisme Dalam Akuntansi (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Struktur kepemilikan manajerial, Ukuran perusahaan dan Leverage berpengaruh positif terhadap konservatisme, sedangkan Struktur Kepemilikan Institusional, Struktur kepemilikan Publik berpengaruh negatif terhadap konservatisme. Windra Septian Wicaksono (2012) Uji Empiris Pengaruh Faktor – Faktor Konservatisme Akuntansi Dalam Perpajakan. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah konservatisem Akuntansi, sedangkan variabel independennya terdiri dari Insentif pajak, Earning Pressure, Tingkat Utang, Earnings Bath, Ukuran Perusahaan, Kepemilikan Manajerial. Metode analisis data menggunakan pendekatan regresi Ordinary Least Square (OLS). Hasil penelitian menunjukan bahwa Insentif pajak, Earning Pressure, Tingkat Utang, Ukuran Perusahaan berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi, sedangkan Earnings Bath, Kepemilikan Manajerial berpengaruh negatif terhadap konservatisme akuntansi.
26
B. Rerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis Menurut Watts (2003) dalam Conservatism in Accounting Part I: Explanations and Implication, konservatisme didefinisikan sebagai perbedaan variabilitas yang diminta untuk pengakuan laba dibanding rugi. Konservatisme merupakan prinsip yang mengakui hutang dan biaya dengan segera, tetapi laba dan aset tidak segera diakui walaupun kemungkinan terjadinya besar. Dengan demikian, laba yang disajikan dalam laporan keuangan memuat prinsip kehatihatian untuk menghindari kemungkinan terjadinya risiko. Akan tetapi, prinsip ini dapat menyebabkan fluktuasi laba karena laba yang dilaporkan sekarang dapat menjadi understatement dan laba yang dilaporkan di masa mendatang menjadi overstatement.
1. Pengaruh Asset Growth Terhadap Konservatisme Akuntansi Biaya Litigasi yang semakin tinggi mengakibatkan perusahaan (Manajer) melaporkan laba atau aset lebih rendah. Pelaporan yang lebih rendah dikarenakan pelaporan aset atau laba yang lebih tinggi seringkali menyebabkan risiko dan tuntutan hukum. Konservatisme akuntansi dengan menyatakan aset yang lebih rendah akan dapat mengurangi risiko litigasi. Manajer cenderung lebih konservatif untuk mengurangi risiko dan biaya litigasi. Sehingga terdapat hubungan yang positif antara biaya litigasi terhadap konservatisma akuntansi. Risiko litigasi sebagai faktor eksternal dapat mendorong manajer untuk melaporkan keuangan perusahaan lebih konservatif. Dorongan manajer untuk
27
menerapkan konservatisme akuntansi akan semakin kuat bila risiko ancaman litigasi pada perusahaan relative tinggi. Berbagai peraturan dan penegakan hukum yang berlaku dalam lingkungan akuntansi, menuntut manajer untuk mencermati praktik-praktik akuntansi agar terhindar dari ancaman ketentuan hukum. Tuntutan penegakan hokum yang semakin ketat inilah akan berpotensi menimbulkan litigasi bila perusahaan melakukan pelanggaran sehingga akan mendorong manajer untuk bersifat berhatihati dalam menerapkan akuntansinya. Juanda (2007) menyatakan risiko litigasi merupakan risiko yang melekat pada perusahaan yang memungkinkan ancaman litigasi oleh stakeholder perusahaan yang dirugikan. Dalam penelitiannya, Juanda menggunakan rasio likuiditas dan solvabilitas. Rasio ini menunjukkan semakin kecil nilai rasio yang dimiliki sebuah perusahaan maka semakin rendah perusahaan untuk melunasi hutang-hutang lancarnya. Sehingga semakin besar kemungkinan perusahaan terkena tuntutan hukum. Berdasarkan gagasan tersebut, maka dapat ditarik hipotesis hubungan antara risiko litigasi terhadap konservatisme akuntansi sebagai berikut: H1 : Terdapat perngaruh Asset Growth terhadap Konservatisme Akuntansi 2. Pengaruh Sales Growth Terhadap Konservatisme Akuntansi Dalam situasi di mana pihak ketiga (pemerintah dan pajak) menggunakan informasi berbasis akuntansi, atau informasi yang berhubungan dengan angkaangka akuntansi, maka perusahaan mempunyai insentif untuk mengelola angkaangka tersebut karena pengaruh potensial dari kebijakan pengungkapannya
28
terhadap pihak ketiga. Biaya politis timbul dari konflik kepentingan antara perusahaan (manajer) dengan pemerintah sebagai kepanjangan tangan masyarakat yang memiliki wewenang untuk melakukan pengalihan kekayaan dari perusahaan kepada masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Proses pengalihan kekayaan tersebut biasanya menggunakan informasi akuntansi, seperti laba. Hal inilah yang mendorong perusahan untuk menerapkan konservatisma akuntansi. Manajer mempunyai kecenderungan untuk mengecilkan laba yang dilaporkan untuk mengurangi biaya politis yang potensial (Watts dan Zimmerman 1986 dalam Lasdi 2008). Political cost sering diproksikan dengan ukuran perusahaan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Contohnya menurut Anggraini dan Trisnawati (2008) semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya dengan mengenakan peraturan antitrust, menaikan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain (Saputra dan Setiawati 2003).Dalam hubungannya dengan pajak (taxation), adanya insentif untuk menunda pembayaran pajak juga mendorong penggunaan konservatisma. Dengan konservatisma, perusahaan dapat mengurangi present value pajak dengan jalan menunda pengakuan pendapatan (Sari 2004). Adanya informasi yang disampaikan dalam laporan keuangan dapat memberikan informasi kepada pemerintah atas kondisi perusahaan. Apabila kondisi keuangan yang dicerminkan dalam laba perusahaan menunjukkan nilai yang baik, maka ada kecenderungan
29
pemerintah berusaha untuk memperolehnya melalui penerapan dalam bentuk pajak yang sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000. Perusahaan dengan keuntungan besar tampaknya menarik perhatian pengatur sehingga pelaporan laba yang besar akan meningkatkan kemungkingan diatur atau dibebani secara monopoli (Cahan 1992 dalam Widya 2005). Oleh karena itu, manajer perusahaan berusaha memperkecil laba untuk memperkecil jumlah pajak yang dibayarkan ke pemerintah. Berdasarkan pemikiran tersebut, hiipotesis dirumuskan sebagai berikut: H2: Terdapat pengaruh Sales Growth terhadap Konservatisme Akuntansi. 3. Pengaruh Leverage Terhadap Konservatisme Akuntansi Dengan biaya renegosiasi kontrak utang, debt convenant hypothesis cenderung untuk berpedoman pada angka-angka akuntansi. Debt convenant hypothesis
memprediksi bahwa manajer cenderung untuk menyatakan secara
berlebihan laba dan aset untuk mengurangi negosiasi kontrak ulang biaya kontrak ketika perusahaan berusaha melanggar kontrak utangnya. Kontrak hutang menggunakan konservatisme dalam dua cara yaitu pertama bondholders yang dapat secara eksplisit menggunakan akuntansi konservatif. Kedua manajer dapat secara implisit menggunakan akuntansi konservatif secara konsisten dalam rangka membangun reputasi untuk pelaporan keuangan yang konservatif. Terkait dengan negosiasi ulang kontrak hutang, debt covenant cenderung untuk berpedoman pada angka-angka akuntansi. Lasdi (2009) menyatakan bahwa semakin besar tingkat leverage maka semakin berkurang
30
tingkat konservatisme perusahaan. Berdasarkan gagasan tersebut, maka dapat ditarik hipotesis hubungan debt covenant terhadap konservatisme akuntansi sebagai berikut: H3: Leverage Kurang Berpengaruh Terhadap Konservatime Akuntansi
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, maka dapat dibentuk kerangka pemikiran sebagai berikut:
Asset Growth (X1)
KONSERVATISME AKUNTANSI (Y)
Sales Growth (X2)
Leverage (X3)
Gambar 2.1 Model Penelitian
31
C. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konseptual yang telah diuraikan, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H1
: Terdapat perngaruh Asset Growth terhadap Konservatisme Akuntansi
H2
: Terdapat pengaruh Sales Growth terhadap Konservatisme Akuntansi.
H3
:
Leverage kurang berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi.