BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Motivasi (Motivation Theory) Motivasi merupakan faktor psikologis yang menunjukkan minat, rasa puas, dan ikut bertanggungjawab seorang pekerja terhadap pekerjaan. Robbins dan Coulter (2010) mengatakan motivasi adalah proses dimana usaha seseorang diberi energi, diarahkan, dan berkelanjutan menuju tercapainya suatu tujuan . Seluruh tujuan
yang dilakukan seseorang pada dasarnya disebabkan adanya faktor kebutuhan yang harus dipenuhi, baik kebutuhan yang disadari (conscious needs) maupun kebutuhan yang tidak disadari (unconscious needs), berbentuk materi atau nonmateri, dan kebutuhan fisik maupun rohaninya (Putranti, dkk., 2014) Menurut Abraham Maslow (1943-1970), teori motivasi berasal dari hierarki kebutuhan yang terdapat pada seseorang. Adapun 5 (lima) tingkatan kebutuhan yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Aktualisasi Diri Pada tahap ini manusia sudah merasa puas dengan kemampuan dalam dirinya, merasa hidup sudah berjalan dengan sinergis, dan mengenali potensi yang ada dalam dirinya. 2. Keamanan Pada tahap ini, individu membutuhkan rasa aman dan mencari tempat yang dapat menyediakan rasa aman dari bahaya yang megancam
11 http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
nyawanya. (orang dalam kondisi perang, berarti kebutuhan safety-nya tidak tercapai). 3. Sosial Pada tahap ini, inidividu membutuhkan kasih sayang dari orang lain, berhubungan dengan orang lain dan merasa diterima oleh lingkungan. 4. Penghargaan Pada tahap ini, individu merasa butuh meraih sesuatu, membuat suatu prestasi, menjadi unsur yang kompeten di lingkungannya, mendapatkan pengakuan dan mengenal lingkungan dengan baik. 5. Fisiologis Tahap ini merupakan kebutuhan paling mendasar dari individu dan menjadi bagian terbesar karena jika kebutuhan ini tidak tercapai, maka kebutuhan yang diatasnya tidak akan pernah tercapai. Douglas McGregor (1960) menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) perbedaan pandangan manusia dalam kaitannya dengan motivasi seseorang, yaitu Motivasi Positif dan Negatif (Teori X dan Y). Motivasi positif adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain agar menjalankan sesuatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan untuk mendapatkan hadiah (Teori X). Sedangkan motivasi negatif adalah proses untuk mempengaruhi seseorang agar mau melakukan sesuatu yang kita inginkan tetapi teknik dasar yang digunakan adalah lewat kekuatan ketakutan (Teori Y). Dalam kaitannya dengan kecurangan manajemen (fraudulent), teori motivasi berperan sebagai dasar dilakukannya tindakan tersebut sebagai motivasi negatif. Hal
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
ini menjadi sangat penting bagi pihak manajemen atau instansi BLU sebagai agent, khususnya dalam mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan kecurangan di lingkungan pegawai negeri sipil (fraud).
2.1.2 Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behaviour) Teori minat atau TPB (theory of planned behaviour) merupakan sebuah model yang dirumuskan sebelumnya dari TRA (theory of reasonable action), yang diperkenalkan oleh Fishbein dan Ajzen pada tahun 1988. TPB atau Teori Perilaku Terancana dapat membantu untuk memahami bagaimana mengubah tingkat laku seseorang yang dapat dibentuk atau direncanakan. Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku melalui intensinya mencakup 3 (hal) yaitu: 1. Behavioral Beliefs Keyakinan tentang kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku, dimana menghasilkan sikap suka atau tidak suka berdasarkan perilaku individu tersebut. 2. Normative Beliefs Keyakinan tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut, dimana menghasilkan kesadaran akan tekanan dari lingkungan sosial atau norma subyektif. 3. Control Beliefs Keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
Ketiga faktor tersebut menghasilkan intensi perilaku (behavior intention), yang pada akhinya akan secara sadar dapat menentuka perilaku (behaviour) seseorang yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini: Gambar 2.1 Model TPB (Theory of Planned Behaviour) Attitude to Behaviour
Subjective Norms
Knowledge
Behavioral Intention
Behaviour
Perceived Behavioural Control
(Sumber: Ajzen, 1988)
2.1.3 Definisi, Klasifikasi Dan Gejala Terjadinya Fraud Pada dasarnya fraud adalah merupakan serangkaian ketidakberesan (irregularities) mengenai perbuatan-perbuatan melawan hukum (illegal act) yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (misalnya menipu memberikan gambaran yang keliru (mislead) terhadap pihak lain), yang dilakukan oleh orangorang dari dalam maupun luar organisasi, untuk mendapatkan keuntungan baik pribadi maupun kelompok dan secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain (Sinaga, 2008). Menurut Hall (2011), fraud menunjuk pada representasi fakta yang bersifat material secara salah yang dibuat oleh satu pihak ke pihak lain dengan maksud untuk menipu dan mempengaruhi pihak lain untuk bergantung pada fakta tersebut/fakta yang akan merugikannya dan berdasarkan hukum yang berlaku,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
suatu tindakan yang curang (fraudulentact) harus memenuhi lima kondisi ini yaitu: (1) Penyajian yang salah. Harus terdapat laporan yang salah atau tidak diungkapkan, (2) Fakta yang sifatnya material. Suatu fakta harus merupakan faktor yang substansial yang mendorong seseorang untuk bertindak, (3) Tujuan. Harus terdapat tujuan untuk menipu atau pengetahuan untuk menyatakan bahwa laporan tersebut salah, (4). Ketergantungan yang dapat dijustifikasi. Penyajian yang salah harus merupakan faktor yang substansial yang menyebabkan pihak lain merugi karena ketergantungannya, (5) Perbuatan tidak adil atau kerugian. Kebohongan tersebut telah menyebabkan ketidakadilanatau kerugian bagi korban fraud. The ACFE atau Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, yang merupakan organisasi profesional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan, mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah The Fraud Tree yaitu Sistem Klasifikasi Mengenai
hal-hal
yang
ditimbulkan
sama
oleh
Kecurangan
(Uniform
Occupational Fraud Classification System). Menurut teori Fraud Triangle Donald R. Cressey (dalam Tuannakota, 2012), kecurangan (fraud) disebabkan oleh 3 faktor, yaitu (1) Tekanan (Pressure) adalah motivasi dari individu karyawan untuk bertindak fraud dikarenakan adanya tekanan baik keuangan dan non keuangan dari pribadi maupun tekanan dari organisasi, (2) Peluang (Perceived Opportunity) adalah peluang terjadinya fraud akibat lemah atau tidaknya efektivitas kontrol sehingga membuka peluang terjadinya fraud. Faktor penyebab fraud yang disebabkan adanya kelemahan di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
dalam sistem dimana seorang karyawan mempunyai kuasa atau kemampuan untuk memanfaatkan sehingga perbuatan curang dapat dilakukan, (3) Rasionalisasi (Rationalization) adalah fraud terjadi karena kondisi nilai-nilai etika lokal yang mendorong (membolehkan) terjadinya fraud. Gambar 2.2 The Fraud Triangle
(Sumber: Cressey, dalam Tuannakota, 2012) Pemicu perbuatan fraud pada umumnya merupakan gabungan dari motivasi dan kesempatan. Motivasi dan kesempatan saling berhubungan. Semakin besar kebutuhan ekonomi seseorang yang bekerja di suatu organisasi yang pengendaliannya internnya lemah, maka semakin kuat motivasinya untuk melakukan fraud. Penyebab fraud menurut Bologna (1995) juga dapat dijelaskan dengan GONE Theory, terdiri dari 4 (empat) faktor yang mendorong seseorang berperilaku menyimpang dalam hal ini berperilaku fraud. Keempat faktor tersebut adalah: 1. Greed atau keserakahan, berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
2. Opportunity atau kesempatan, berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan terhadapnya. 3. Needs atau kebutuhan, berkaitan dengan faktor‐faktor yang dibutuhkan oleh individu‐individu untuk menunjang hidupnya yang menurutnya wajar . 4. Exposure
atau
pengungkapan,
berkaitan
dengan
tindakan
atau
konsekuensi yang akan dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan. The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah Fraud Tree yaitu: 1. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud) Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial. 2. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation) Penyalahgunaan aset dapat digolongkan ke dalam Kecurangan Kas dan Kecurangan
atas
Persediaan
dan
Aset
Lainnya,
serta
pengeluaran‐pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
3. Korupsi (Corruption) Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE, bukannya pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion). Menurut Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Negara, fraud yang dilakukan oleh manajemen jauh lebih sulit ditemukan daripada jika dilakukan oleh karyawan. Untuk itulah perlu diketahui apa saja gejala-gejala terjadinya fraud. Bologna (1995) mendefinisikan gejalagejala ini sebagai red flag. Gejala-gejala itu antara lain adalah: 1. Gejala kecurangan pada manajemen a) Ketidakcocokan di manajemen puncak perusahaan/instansi tersebut. b) Rendahnya motivasi dan moral karyawan. c) Kurangnya staf departemen akuntansi di perusahaan/instansi. d) Tingkat complain yang tinggi terhadap pelayanan publik di perusahaan/instansi dari pihak konsumen, pemasok atau badan otoritas. e) Kekurangan kas yang tidak teratur dan tidak terantisipasi. 2. Gejala kecurangan pada karyawan a) Pengeluaran tanpa dokumen pendukung. b) Pencatatan yang salah/tidak akurat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
c) Penghancuran, penghilangan, pengrusakan dokumen pendukung pembayaran. d) Kekurangan barang yang diterima. e) Harga barang yang dibeli terlalu mahal. f) Adanya faktur ganda. g) Penggantian mutu barang Menurut Sawyer dalam The Practice Of Modern Internal Audit yang dialih bahasakan oleh Amin Widjaja, terdapat 40 (empat puluh) contoh kecurangan yang dapat dilakukan oleh karyawan diantaranya pemalsuan stempel, mencuri peralatan, persediaan dan barang-barang perlengkapan, mengambil sejumlah uang kas kecil, tidak mencatat transaksi dan mengantongi uangnya, menciptakan kelebihan dana kas dengan melakukan kurang pencatatan, pembebanan berlebih pada akun-akun pengeluaran dan memutar penagihan atas rekening pelanggan. 2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Kecurangan (Fraud) Dari perspektif kriminal, kecurangan akuntansi dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white-collar crime). Menurut Sutherland (dalam Geis dan Meier, 1977), menjelaskan bahwa kejahatan kerah putih dalam dunia usaha di antaranya berbentuk salah saji atas laporan keuangan, manipulasi di pasar modal, penyuapan komersial, penyuapan dan penerimaan suap oleh pejabat publik secara langsung atau tidak langsung, kecurangan atas pajak, serta kebangkrutan. IAI (2013) menjelaskan kecurangan akuntansi sebagai: (1) Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan yaitu salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan, (2) Salah saji yang timbul dari perlakuan
tidak
semestinya
terhadap
aset
(seringkali
disebut
dengan
penyalahgunaan atau penggelapan) berkaitan dengan pencurian aset entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Perlakuan tidak semestinya terhadap aset entitas dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penggelapan tanda terima barang/uang, pencurian aset, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar barang atau jasa yang tidak diterima oleh entitas. Perlakuan tidak semestinya terhadap aset dapat disertai dengan catatan atau dokumen palsu atau yang menyesatkan dan dapat menyangkut satu atau lebih individu di antara manajemen, karyawan, atau pihak ketiga. Dari definisi-definisi di atas tampak perbedaan pengertian dari kecurangan akuntansi. IAI tidak secara eksplisit menyatakan bahwa kecurangan akuntansi merupakan kejahatan. Sebaliknya Sutherland (1940, dalam Wilopo, 2006) sebagai pakar hukum menganggap kecurangan akuntansi sebagai kejahatan. Hasil-hasil penelitian tentang kecurangan akuntansi, menunjukkan bahwa kecurangan akuntansi dipengaruhi oleh tingkat korupsi di suatu negara (Sheifer and Vishny (1993), Gaviria (2001). Terdapat bukti empiris kecurangan akuntansi, baik di luar negeri, maupun di Indonesia (Dechow et al.,1995, Khera, 2001, Ribstein, 2002, Wilopo, 2001, Sekar Mayangsari dan Wilopo, 2002, Gramllch and Wheeler, 2003). Berikut ini dijelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecenderungan kecurangan akuntansi:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
2.1.4.1 Keadilan Distributif Keadilan distributif merupakan keadilan yang menyangkut tentang perbedaan antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang diperoleh orang lain (Schuler dan Jackson, 1997) sedangkan Colquitt (dalam Foster, 2007) menyatakan keadilan distributif mengacu pada keseimbangan distribusi hasil organisasi berupa gaji, tunjangan dan bonus. Keadilan distributif bertujuan dalam mendistribusikan
suatu keadaan kondisi untuk mencapai kesejahteraan individu yang biasanya berupa sumber daya, ganjaran atau keuntungan. Distribusi berdasarkan kebutuhan memiliki konsep bahwa bagian penerimaan seorang pekerja dipengaruhi oleh kebutuhannya berkaitan dengan pekerjaan. Semakin banyak kebutuhan untuk para pegawai, maka pengeluaran dari bekerja menjadi semakin tinggi, hal ini menyebabkan seorang pegawai akan mengevaluasi hasil yang diterima dan menilai adanya perlakuan secara tidak adil dengan memperbandingkan input dan output dengan sesama rekan kerja. Keadilan distributif diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) nilai, (2) perumusan nilai-nilai menjadi peraturan, dan (3) implementasi peraturan. Ketidakadilan dapat dipahami sebagai salah satu sumber ketidakpuasan kerja, hal ini disebabkan adanya ketidakpuasan karena kompensasi yang tidak memadai atau pekerjaan yang menjemukan juga dapat mendukung insiden-insiden pencurian oleh para pekerja (Wexley dan Yuki, 2003). Dalam kaitannya dengan fraud, adanya pemberian kompensasi berupa kompensasi keuangan dan promosi tidak menurunkan kecenderungan untuk melakukan manipulasi, pemalsuan, atau perubahan akuntansi dan dokumen pendukungnya, hal ini disebabkan karena
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
manajemen perusahaan takut kehilangan kedudukannya bila mereka menunjukkan gambaran perusahaan yang tidak baik (Wilopo, 2006). Al Zu’bi (2010) menambahkan bahwa keadilan distribusi akan dapat diperoleh ketika imbalan kerja yang relatif akan memotivasi seseorang untuk kerja. Menurut Colquitt (dalam Sieger et al. 2011), keadilan distributif mencakup 4 (empat) aspek, yaitu: (1) kompensasi menggambarkan usaha yang dilakukan; (2) kompensasi menggambarkan apa yang diberikan kepada organisasi; (3) kompensasi menggambarkan kontribusi yang dilakukan kepada organisasi; dan (4) kompensasi sesuai dengan kinerja. Keadilan distributif dapat dipahami sebagai suatu kondisi yang diterima pekerja berupa kompensasi dalam konteks sistem penggajian di suatu organisasi, hal ini menjadi sangat penting dalam membantu organisasi dalam mengidentifikasi potensi adanya praktik-praktik kecurangan (fraud). 2.1.4.2 Keadilan Prosedural Keadilan prosedural merupakan pertimbangan yang dibuat oleh karyawan mengenai keadilan yang dipersepsikan mengenai proses yang dan prosedur organisasi yang digunakan untuk membuat keputusan alokasi dan sumber daya (Ivancevich, 2006), sedangkan Simpson dan Kaminski (2007) menambahkan bahwa keadilan prosedural menunjuk pada tingkat formal proses pengambilan keputusan yang dihubungkan dengan hasil, termasuk di dalamnya ketetapan dari beberapa sistem keluhan karyawan atau permohonan yang berkenaan dengan konsekuensi-konsekuensi pada tahap awal pengambilan keputusan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
Menurut Wilopo (2006), kesesuaian kompensasi tidak menjadi hal yang mendeskripsikan secara jelas hak dan kewajiban, ukuran prestasi dan kegagalan dalam organisasi serta ganjaran dan pinalti yang dapat menghindarkan organisasi dari kecenderungan kecurangan (fraud) akuntansi. Meskipun demikian, ada komponen dalam aturan yang universal pada prosedur, demikian juga halnya keadilan
prosedural.
Menurut
Colquitt
(dalam
Pristiyanti,
2012)
mengidentifikasikan 6 (enam) aturan pokok dalam keadilan prosedural. Bila setiap aturan ini dapat dipenuhi, suatu prosedur dapat dikatakan adil, yaitu: (1) prosedur kompensasi mengekspresikan pandangan dan perasaan; (2) penetapan prosedur kompensasi melibatkan karyawan/prosedur kompensasi diaplikasikan secara konsisten; (3) prosedur kompensasi tidak mengandung kepentingan tertentu; (4) prosedur kompensasi didasarkan pada informasi yang akurat; (5) prosedur kompensasi memungkinkan pemberian masukan dan koreksi; dan (6) prosedur kompensasi sesuai dengan etika dan moral. Keadilan prosedural dapat dipahami sebagai suatu kondisi yang diterima pekerja dalam keputusan alokasi penggajian di suatu organisasi, hal ini juga menjadi sangat penting dalam membantu organisasi dalam mengidentifikasi potensi adanya praktik-praktik kecurangan (fraud). 2.1.4.3 Asimetri Informasi Laporan keuangan dibuat dengan tujuan untuk digunakan oleh berbagai pihak, termasuk pihak internal perusahaan itu sendiri. Pihak-pihak yang sebenarnya paling berkepentingan dengan laporan keuangan adalah para pengguna eksternal (pemegang saham, kreditor, pemerintah, masyarakat). Para
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
pengguna internal mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada perusahaan, sedangkan pihak eksternal yang tidak berada di perusahaan secara langsung, tidak mengetahui informasi tersebut sehingga tingkat ketergantungan manajemen terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal. Salah satu kendala yang akan muncul antara agen dan prinsipal adalah adanya asimetri informasi (Rahmawati, 2012). Dalam penyajian informasi akuntansi, agent juga memiliki informasi yang asimetri sehingga dapat lebih fleksibel mempengaruhi pelaporan keuangan untuk memaksimalkan kepentingannya. Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai laporan keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi (IAPI, 2013). Schift dan Lewin (dalam Falikhatun, 2007) menyatakan bahwa agent berada pada posisi yang memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan principal.
Dengan
asumsi
bahwa
individu-individu
bertindak
untuk
memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui oleh principal. Asimetri informasi adalah situasi dimana terjadi ketidakselarasan informasi antara pihak yang memiliki atau menyediakan informasi dengan pihak yang membutuhkan informasi (Scott, 2012). Kondisi ini memberikan
kesempatan
kepada
agent
menggunakan
informasi
yang
diketahuinya untuk memanipulasi pelaporan keuangan sebagai usaha untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
memaksimalkan
kemakmurannya.
Asimetri
informasi
ini
mengakibatkan
terjadinya moral hazard berupa usaha manajemen untuk melakukan kecurangan akuntansi. Menurut Scott (2012), terdapat 2 (dua) macam asimetri informasi yaitu: 1. Adverse selection, yaitu dimana para manajer dan orang dalam lainnya yang mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan dengan investor. Adanya fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham, tetapi terkadang tidak disampaikan kepada pemegang saham. 2. Moral hazard, yaitu dimana kegiatan yang dilakukan oleh manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham dan pihak luar lainnya, sehingga manajer dapat melakukan tindakan tanpa sepengatahuan mereka. Tindakan-tindakannya dapat berupa pelanggaran kontrak dan secara etika atau norma tidak baik untuk dilakukan. Penyajian informasi akuntansi khususnya penyusunan laporan keuangan, seorang agent memiliki ketidaksesuaian informasi sehingga dapat lebih fleksibel mempengaruhi pelaporan keuangan untuk memaksimalkan kepentingannya. Dengan adanya kondisi yang asimetri, maka agent dapat mempengaruhi angkaangka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan. Menurut Dunk (dalam Wilopo, 2006), asimetri informasi mencakup 6 (enam) kondisi dimana pihak manajemen: (1) memiliki informasi yang lebih baik atas aktivitas yang menjadi tanggungjawabnya dibanding pihak luar perusahaan, (2) lebih mengenal hubungan input-output dalam bagian yang menjadi tanggung jawabnya dibanding pihak luar perusahaan, (3) lebih mengetahui potensi kinerja yang menjadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
tanggungjawabnya dibanding pihak luar perusahaan, (4) lebih mengenal teknis pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dibanding pihak luar perusahaan, (5) lebih mengetahui pengaruh faktor eksternal dalam bidang yang menjadi tanggung jawabnya dibanding pihak luar perusahaan, dan (6) lebih mengerti apa yang dapat dicapai dalam bidang yang menjadi tanggungjawabnya dibanding pihak luar perusahaan. 2.1.4.4 Ketaatan Kebijakan Akuntansi Penyajian laporan akuntansi oleh organisasi merupakan kewajiban sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab yang telah didelegasikan kepada pimpinan. Untuk itu maka ada dua kebutuhan yang perlu dipenuhi, yaitu kebutuhan pemakai (sebagai pihak ekstern) dan pimpinan selaku pihak pengelola aset dan penyaji laporan keuangan. Dari pihak ekstern, pemakai laporan keuangan terdiri atas banyak pihak seperti investor, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok, kreditor, pelanggan, pemerintah, dan masyarakat. Mereka memiliki kebutuhan informasi berbeda-beda yang harus dipenuhi. Laporan keuangan disajikan secara umum harus memenuhi kualitas tertentu dalam mewujudkan kualitas audit, standar pemeriksaan akuntan publik (SPAP) menyatakan bahwa laporan keuangan yang disajikan harus bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan ataupun karena kecurangan (IAPI, 2013). Melalui suatu prosedur kerja dan pelaporan keuangan yang sesuai aturan akuntansi, pimpinan dapat menunjukkan bukti kepada pihak penilai kinerja tentang mutu dan efisiensi aktivitas mereka, dan dapat memberikan jaminan dan mutu kontrol kepada dan dari masyarakat (Lane dan O'Connell, 2009).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
Secara teoritis, ketaatan akuntansi juga merupakan kewajiban, kondisi ini mengharuskan suatu laporan keuangan dibuat ketika tanpa mengikuti aturan akuntansi yang berlaku, keadaan tersebut dinyatakan sebagai suatu bentuk kegagalan dan akan menimbulkan kecenderungan kecurangan atau perilaku tidak etis yang tidak dapat atau sulit ditelusuri auditor. Persyaratan pengungkapan menjelaskan bahwa setiap entitas akuntansi di lingkungan pemerintah diharapkan menyajikan laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan dan laporan kinerja. Laporan keuangan terdiri atas laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, sedangkan laporan kinerja berisi ringkasan tentang keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang dicapai dari
masing-masing
program
sebagaimana
ditetapkan
dalam
dokumen
pelaksanaan APBN/APBD (PP RI Nomor 24, 2005 tentang SAP). Laporanlaporan tersebut dibuat dalam bentuk dan dengan isi sesuai SAP supaya kinerja organisasi antar periode dapat dibandingkan. Laporan keuangan dan kinerja suatu entitas akuntansi menyajikan laporan keuangan yang bermanfaat bagi publik. Dengan demikian, pimpinan dapat menunjukkan pertanggungjawaban atas tugas-tugasnya dan dalam menempatkan kepentingan pemakai pada skala prioritas, sedangkan konsep konsisten penyajian menjelaskan bahwa penyajian dan klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan dan laporan kinerja antar periode konsisten sesuai, yaitu sesuai Lampiran 3 dan 4 SAP (PP RI Nomor 24, 2005). Menurut IAPI (2013), ketaatan kebijakan akuntansi mencakup prinsip-prinsip: (1) kepentingan publik, (2) objektivitas, (3) kehatihatian, (4) kerahasiaan, (5) konsistensi, dan (6) standar teknis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
2.1.4.5 Budaya Etis Organisasi Menurut Ivancevich et al. (2006), budaya organisasi merupakan sebuah konsep yang penting, sebagai perspektif untuk memahami perilaku individu dan kelompok dalam suatu organisasi. Menurut Schein (dalam Ivancevich et al., 2006), definisi budaya organisasi adalah: “Suatu pola dari asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat belajar menghadapi masalah adaptasi eksternal dan integritas internal yang telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid dan oleh karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir, dan berperasaan sehubungan dengan msalah yang dihadapinya.” Menurut Robbin (dalam Ikhsan dan Ishak, 2005), budaya organisasi adalah: “Suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, sehingga persepsi tersebut menjadi suatu sistem dan makna bersama di antara para anggotanya. Perilaku etis harus menjadi budaya dalam organisasi yang berarti harus merupakan perilaku sehari-hari semua anggota organisasi baik dalam sikap, tingkah laku anggota maupun dalam keputusan manajemen / organisasi.” Menurut Schein (dalam Zulkarnain, 2013) budaya organisasi adalah: “Pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi.” Berdasarkan definisi mengenai budaya organisasi, dapat diambil kesimpulan bahwa budaya organisasi adalah suatu pola yang dianut bersama dalam suatu organisasi yang tidak tertulis agar dapat dipatuhi oleh semua orang yang terlibat dalam organisasi tersebut. Robert Kreitner dan Angelo Kinichi (dalam Riyanto, 2009) menyarankan tindakan-tindakan berikut ini untuk mengembangkan iklim etika dalam organisasi mencakup (1) bertingkah laku etis, (2) penyaringan karyawan yang potensial, (3) menyediakan pelatihan etika, (4) meningkatkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
perilaku etis, (5) Membentuk posisi, unit, dan mekanisme struktural lain yang menggunakan etika. Sebagian besar dari nilai-nilai dan praktik yang dianut bersama (shared) telah berkembang pesat dan benar-benar sangat mempengaruhi bagaimana sebuah organisasi dijalankan. Menurut Budaya etis organisasi merupakan sehimpunan nilai, prinsip, tradisi dan cara bekerja yang dianut bersama oleh dan mempengaruhi perilaku serta tindakan para anggota organisasi yang mencakup: (1) model peran yang visible; (2) komunikasi harapan-harapan etis; (3) pelatihan etis; (4) hukuman bagi tindakan etis, dan (5) mekanisme perlindungan etika (Robbins dan Coulter, 2010). 2.1.4.6 Komitmen Organisasi Komitmen organisasi (organizational commitment) menurut Steers (1977) mengacu pada suatu tingkatan individu yang terlibat dan mampu mengenali keadaan suatu organisasi tertentu. Komitmen organisasi menurut Porters et al. (1974) diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu: (1) strong belief in, and acceptance of, organizational goals and values, atau kekuatan atas keyakinan penerimaan, tujuan organisasi dan nilai-nilainya; (2) willingness to exert considerable effort on behalf of the organization, atau kemauan untuk berusaha secara maksimal atas nama organisasi; dan (3) a definite desire to maintain organizational membership, atau adanya keinginan yang pasti untuk menjaga keanggotaan organisasi. Menurut Mathis (2001) komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
Menurut Scholarios dan Marks (2004), komitmen organisasi adalah respon positif terhadap kondisi pekerjaan dan memiliki kepercayaan yang kuat terhadap tujuan perusahaan serta memiliki keinginan untuk memperoleh hubungan efektif dengan perusahaan. Berdasarkan penjelasan di atas, komitmen organisasi merupakan sikap mental individu berkaitan dengan tingkat loyalitas terhadap organisasi tempat individu tersebut berkerja. Meyer dan Allen (dalam Ikhsan dan Ishak, 2005) mengemukakan 3 (tiga) komponen mengenai komitmen organisasi, antara lain: (1) komitmen efektif (affectiive commitment) terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional (emotional attchment) atau psikologis terhadap organisasi, dan (2) komitmen kontinu (continuance commitment) muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Komitmen normatif (normative commitment) timbul dari nilai-nilai diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota suatu organisasi karena memiliki kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang memang seharusnya dilakukan. Individu yang memiliki keinginan untuk berbuat etis terhadap organisasinya dan memiliki tujuan agar terciptanya tujuan yang diinginkan tidak lain semata-mata untuk kepentingan organisasi (Oktaviani, 2012). Menurut Mowday, Porter, dan Steers (dalam Luthans, 2006), komitmen organisasi merupakan pendekatan sikap seseorang terhadap organisasi yang mencakup: (1) target; (2) membanggakan organisasi kepada orang lain; (3) menerima semua tugas; (4) kesamaan nilai; (5)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
bangga menjadi bagian dari organisasi, (6) organisasi merupakan inspirasi, (7) gembira memilih bekerja pada organisasi, dan (8) peduli pada nasib organisasi.
2.1.5 Penelitian Terdahulu Hasil beberapa review penelitian terdahulu dirangkum ke dalam Tabel 2.1 berikut ini: Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu No. 1.
2.
Peneliti dan Judul Penelitian
Variabel dan Metode Penelitian
Nama Peneliti: Wilopo (2006) Judul Penelitian: Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi: Studi Pada Perusahaan Publik Dan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia).
Variabel Penelitian: Keefektifan pengendalian internal Kesesuaian kompensasi Ketaatan aturan akuntansi Asimetri informasi Moralitas manajemen Perilaku tidak etis Kecenderungan kecurangan akuntansi (Y)
Nama Peneliti: Ika Ruly Pristiyanti (2012)
Variabel Penelitian: Keadilan distributif Keadilan prosedural Sistem pengendalian internal Kepatuhan pengendalian internal Budaya etis organisasi Komitmen organisasi Fraud di Sektor Pemerintahan (Y)
Metode Penelitian: Structural Equation Modelling (SEM) dengan menggunakan teknik pengujian analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis – CFA) dengan Program AMOS 4.
Judul Penelitian: Persepsi Pegawai Instansi Pemerintah mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metode Penelitian: Fraud di Sektor Pemerintahan. Analisis Structural Equation
Modelling (SEM) berbasis component atau variance dengan Program PLS.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Hasil Penelitian Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi dapat diturunkan dengan meningkatkan keefektifan pengendalian internal, ketaatan aturan akuntansi, moralitas manajemen, serta menghilangkan asimetri informasi. Namun, kompensasi yang sesuai yang diberikan perusahaan ternyata tidak menurunkan perilaku tidak etis dan kecenderungan kecurangan akuntansi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif dan signifikan antara sistem pengendalian internal, kepatuhan pengendalian internal, budaya etis organisasi, dan komitmen organisasi terhadap fraud di Sektor Pemerintahan.
32
No. 4.
4.
5.
Peneliti dan Judul Penelitian
Variabel dan Metode Penelitian
Nama Peneliti: Novita Puspasari dan Eko Suwardi (2012) Judul Penelitian: Pengaruh Moralitas Individu dan Pengendalian Internal terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi.
Variabel Penelitian: Moralitas Individu Pengendalian Internal Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Y)
Nama Peneliti: Ratna Mappanyukki, Hari Setyawati dan Muti’ah (2012) Judul Penelitian: Pengaruh Penerapan Pengendalian Internal terhadap Pencegahan Fraud Pengadaan Barang dan Implikasinya pada Kinerja Keuangan (Studi pada Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta Jakarta).
Variabel Penelitian: Pengendalian Internal Kinerja Keuangan Pencegahan Fraud Barang dan Jasa (Y)
Nama Peneliti: Anik Fatun Najahningrum (2013) Judul Penelitian: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fraud: Persepsi Pegawai Dinas Propinsi DIY
Variabel Penelitian: Penegakan peraturan Keefektifan pengendalian internal Asimetri informasi Keadilan distributif Keadilan prosedural Budaya etis manajemen
Metode Penelitian: Analysis of Variance-between Groups dengan Program SPSS.
Metode Penelitian: Metode dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linerar dan berganda dengan Program SPSS.
Komitmen organisasi Kecenderungan Kecurangan (Fraud) (Y)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara moralitas individu dan pengendalian internal. Kondisi elemen pengendalian internal tidak mempengaruhi individu dengan level moral tinggi untuk cenderung tidak melakukan kecurangan akuntansi. Sedangkan individu dengan level moral rendah cenderung melakukan kecurangan akuntansi pada kondisi tidak terdapat elemen pengendalian internal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan pada penerapan lingkungan pengendalian, penilaian resiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi serta pemantauan pencegahan terhadap fraud pengadaan barang dan implikasinya terhadap kinerja keuangan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif antara penegakan peraturan, keefektifan pengendalian internal, keadilan distributif, keadilan prosedural dan komitmen organisasi terhadap fraud di sektor pemerintahan; terdapat pengaruh positif antara asimetri informasi terhadap fraud di sektor pemerintahan; dan tidak terdapat pengaruh antara
33
No.
6.
7.
Peneliti dan Judul Penelitian
Variabel dan Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Metode Penelitian: Metode dalam penelitian ini menggunakan analisis SEM variance dengan Program Smart PLS-2.
budaya etis organisasi terhadap fraud di sektor pemerintahan.
Nama Peneliti: Sulastri dan Binsar H. Simanjuntak (2014) Judul Penelitian: Fraud pada Sektor Pemerintah berdasarkan Faktor Keadilan, Kompensasi, Sistem Pengendalian Internal, dan Etika Organisasi Pemerintah (Studi Empiris Dinas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta).
Variabel Penelitian: Keadilan Kompensasi Sistem Pengendalian Internal Fraud padaSektor Pemerintah (Y)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keadilan kompensasi dan sistem pengendalian internal memiliki pengaruh negatif terhadap fraud pada sektor pemerintah. Sebaliknya, variabel etika organisasi pemerintah tidak memiliki pengaruh terhadap fraud pada sektor pemerintah. Di samping itu, strategi penanggulangan fraud dapat dilakukan melalui kombinasi strategi represif (penindakan) dan strategi preventif (pencegahan) kemudian menerapkan pelaksaaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Nama Peneliti: Tiara Delfi, Rita Anugerah, Al Azhar A. dan Desmiyawati (2014) Judul Penelitian: Pengaruh Efektifitas Pengendalian Internal dan Kesesuaian Kompensasi terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Survey pada Perusahaan BUMN Cabang Pekanbaru).
Variabel Penelitian: Efektivitas Pengendalian Internal Kesesuaian Kompensasi Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Y)
Metode Penelitian: Metode dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan Program SPSS.
Metode Penelitian: Metode dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan Program SPSS 17.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efektifitas pengendalian internal dan kesesuaian kompensasi memiliki pengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi.
34
2.2 Rerangka Pemikiran Rerangka pemikiran dalam penelitian ini mengacu pada kajian pustaka dan review hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan konsep kecurangan (fraud), dimana munculnya beberapa kasus fraud di sektor pemerintah yang cukup tinggi. Penelitian ini mereplikasi kembali model penelitian Wilopo (2006) dan beberapa penelitian lainnya untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kecurangan (fraud) pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mencakup kesesuaian kompensasi yang tertuang dalam keadilan organisasi (distributif dan prosedural), asimetri informasi dan ketaatan kebijakan akuntansi. Dalam mengisi kesenjangan dalam beberapa penelitian terdahulu (research-gap), penelitian ini menambahkan faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kecurangan (fraud) adalah budaya etis organisasi dan komitmen organisasi pada penelitian Pristiyanti (2012) dan Najahningrum (2013). Dengan demikian, rerangka model penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.3 Rerangka Model Penelitian Variabel Independen Keadilan Organisasi: Keadilan Distributif Keadilan Prosedural
Variabel Dependen
Asimetri Informasi Ketaatan Kebijakan Akuntansi
Fraud Pegawai Negeri Sipil
Budaya Etis Organisasi Komitmen Organisasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
2.3 Hipotesis Adapun hipotesis dalam penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut: 2.3.1 Hubungan Keadilan Organisasi terhadap Fraud Pegawai Negeri Sipil Berdasarkan pada teori ekuitas dan keadilan, keadilan organisasional lebih lanjut dapat dipahami pada 3 (tiga) dimensi yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural dan keadilan interaksional (Colquitt, 2001). Keadilan Organisasi secara umum merujuk pada sejauh mana karyawan memahami aturan main tempat kerja, interaksi, dan hasil kerjanya secara nyata. Keadilan distributif (distributive justice) melihat keadilan dari kacamata bahwa keadilan dipandang atas penilaian yang dibayarkan oleh perusahaan pada karyawan seimbang setelah usaha yang mereka berikan terhadap perusahaan. Sedangkan keadilan prosedural mengacu pada tingkat keadilan yang dirasakan terhadap suatu proses pengambilan keputusan (Rae dan Subramaniam, 2008). Keadilan dalam organisasi memiliki potensi untuk menciptakan manfaat yang kuat untuk organisasi maupun karyawan, seperti membangun kepercayaan dan komitmen yang lebih besar, meningkatkan prestasi kerja, membangun kepuasan dan loyalitas, dan mengurangi konflik seperti fraud akibat ketidakadilan yang diterima (Cropanzano et al., 2007). Wilopo (2006) menyatakan bahwa pemberian kompensasi berupa kompensasi keuangan dan promosi tidak menurunkan kecenderungan kecurangan akuntansi, yang terutama berbentuk kecenderungan untuk melakukan manipulasi, pemalsuan, atau perubahan akuntansi dan dokumen pendukungnya. Dalam kaitannya dengan keadilan distibutif dan prosedural, apabila terjadi ketidakadilan di dalam suatu organisasi, akan berdampak pada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
perilaku retaliasi (mendorong pada perilaku melawan atau membalas) (Tjahjono, 2007) atau dengan kata lain adanya perilaku yang menyimpang. Penelitian Ambrose dan Schminke (2009) membuktikan keadilan distributif, prosedural, dan interaksional dalam mempengaruhi sikap dan perilaku individu untuk tidak berperilaku menyimpang terhadap organisasi, dimana dengan meningkatkan keadilan maka sangat berguna terhadap dampak relatif (fraud) yang akan terjadi apabila faktor keadilan tidak dipertimbangkan. Sedangkan hasil Pristiyanti (2012) dan Najahningrum (2013) membuktikan bahwa bahwa keadilan distributif dan keadilan prosedural berpengaruh negatif terhadap fraud. Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban yang akan diterima pekerja, kompensasi akan dapat tercapai apabila organisasi mampu mengukur tingkat konpensasi keuangan terhadap prestasi kerja yang telah dicapai (Delfi, dkk., 2014). Dengan kata lain, semakin tinggi keadilan distributif dan keadilan prosedural yang diberikan oleh suatu instansi, maka akan semakin rendah kecenderungan kecurangan (fraud) yang akan mungkin terjadi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis ke-1 dam ke-2 akan kembali menguji: H1: Keadilan Distributif berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Fraud Pegawai Negeri Sipil H2: Keadilan Prosedural berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Fraud Pegawai Negeri Sipil 2.3.2 Hubungan Asimetri Informasi terhadap Fraud Pegawai Negeri Sipil Manajemen
perusahaan
akan
menyajikan
laporan
keuangan
yang
bermanfaat bagi pemegang, demi motivasi untuk memperoleh kompensasi bonus yang tinggi, mempertahankan jabatan dan lain-lain berkemungkinan memiliki
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
asimetri informasi (Khang dan King, 2002). Ketidakselarasan informasi antara pihak yang memiliki atau menyediakan dengan pihak yang membutuhkan informasi pada suatu kondisi (Wilopo, 2006). Demikian pula, bila terjadi asimetri informasi, manajemen perusahaan membuat bias atau memanipulasi laporan keuangan sehingga dapat memperbaiki kompensasi dan reputasi manajemen, serta ratio-ratio keuangan perusahaan (Scott, 2012). Hasil penelitian Wilopo (2006) dan Najahnigrum (2013) membuktikan bahwa asimetri informasi berpengaruh positif terhadap fraud. Dengan demikian, setiap individu yang bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui oleh principal yang pada akhirnya berdampak pada bentuk kecurangan (fraud). Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis ke-3 akan kembali menguji: H3: Asimetri Informasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap Fraud Pegawai Negeri Sipil 2.3.3 Hubungan Ketaatan Kebijakan Akuntansi terhadap Fraud Pegawai Negeri Sipil Faktor-faktor yang mendorong perusahaan untuk menyediakan informasi laporan keuangan adalah kekuatan pasar serta kekuatan regulasi (Foster, 1986). Regulasi ini mensyaratkan perusahaan untuk menyampaikan laporan keuangan yang disusun sesuai aturan atau standar akuntansi kepada para pihak yang membutuhkan. Wolk and Tearney (1997) menjelaskan bahwa kegagalan penyusunan laporan keuangan yang disebabkan karena ketidaktaatan pada aturan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
akuntansi, akan menimbulkan kecurangan perusahaan yang tidak dapat dideteksi oleh para auditor. Hasil penelitian Wilopo (2006) menunjukkan bahwa ketaatan dari akuntan atau penanggung jawab penyusun laporan keuangan terhadap aturan akuntansi memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada perusahaan. Dengan demikian, jika suatu instansi telah menyediakan informasi keuangan yang disusun berdasarkan aturan atau standar akuntansi, maka akan semakin rendah kecenderungan kecurangan (fraud) yang akan mungkin terjadi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis ke-4 akan kembali menguji: H4: Ketaatan Kebijakan Akuntansi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Fraud Pegawai Negeri Sipil 2.3.4 Hubungan Budaya Etis Organisasi terhadap Fraud Pegawai Negeri Sipil Budaya merupakan nilai-nilai yang dianut dalam suatu kelompok atau organisasi. Iklim budaya yang baik akan mencipatakan perilaku yang baik pula kepada setiap orang yang berada dalam lingkungan organisasi tersebut. Kultur organisasi yang baik tidak akan membuka peluang sedikitpun bagi individu untuk melakukan korupsi, hal ini disebabkan membentuk para pelaku organisasi mempunyai sense of belonging (rasa ikut memiliki) dan sense of identity (rasa bangga sebagai bagian dari suatu organisasi) (Sulistyowati, 2007). Kecurangan (fraud) terkadang dianggap hal yang wajar dan biasa terjadi di suatu organisasi. Setiap orang tersebut akan cenderung melakukan kecurangan karena pegawai tersebut merasionalisasi tindakan tersebut. Dalam kondisi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
organisasi pemerintahan yang memiliki pegawai yang banyak, melakukan kecurangan menimbulkan pembenaran karena hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar terjadi dalam organisasi tersebut. Misalnya dalam konteks pengadaan barang atau jasa, pada umumnya pegawai memiliki kepentingan terhadap dirinya sendiri dengan cara mengkonversi kas atau aset lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi dan hal tersebut sudah dianggap biasa (Mappanyukki, 2012), hal ini menunjukkan keberadaan nilai-nilai/budaya etis yang terdapat di lingkungan organisasi tersebut. Hasil penelitian Pristiyanti (2012) menunjukkan bahwa budaya etis organisasi berpengaruh terhadap kecurangan di sektor pemerintahan. Dengan demikian, semakin baik iklim budaya etis yang dapat diciptakan dalam lingkungan perusahaan akan meminimalisir kecenderungan kecurangan (fraud) yang dilakukan pegawai. Akan tetapi, hasil penelitian Najahningrum (2013) tidak menunjukkan pengaruh budaya etis organisasi dengan kecenderungan kecurangan (fraud), hal ini disebabkan budaya organisasi yang etis dipengaruhi oleh lingkungan lain di luar organisasi (Zulkarnain, 2013). Dengan demikian, jika dalam suatu instansi telah ditanamkan nilai-nilai bahwa suatu kecurangan merupakan tindakan yang tidak baik dan merugikan banyak pihak, maka pagawai cenderung tidak akan melakukan kecurangan. Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis ke-5 akan menguji kembali: H5: Budaya Etis Organisasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap terhadap Fraud Pegawai Negeri Sipil
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
2.3.5 Hubungan Komitmen Organisasi terhadap Fraud Pegawai Negeri Sipil Komitmen organisasi adalah komitmen yang diciptakan oleh semua komponen-komponen individual dalam menjalankan operasional organisasi (Kurniawan, 2011). Komitmen tersebut dapat terwujud apabila individu dalam organisasi menjalankan hak dan kewajiban mereka sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing dalam organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi berarti telah memahami bahwa ketika bekerja, tujuannya adalah kepentingan organisasi bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Komitmen organisasi secara umum mengacu pada sikap-sikap dan perasaan karyawan dihubungkan dengan nilai-nilai dan cara perusahaan itu melakukan berbagai hal (Rae dan Subramaniam, 2008). Hasil penelitian Pristiyanti (2012), Najahningrum
(2013)
yang
menunjukkan
bahwa
komitmen
organisasi
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap fraud di sektor pemerintahan. Apabila pegawai di suatu organisasi mempunyai komitmen organisasi yang tinggi terhadap organisasinya tersebut hal ini dapat menurunkan tingkat terjadinya fraud pegawai negeri sipil. Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis ke-6 akan menguji kembali: H6: Komitmen Organisasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap terhadap Fraud Pegawai Negeri Sipil
http://digilib.mercubuana.ac.id/