BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori
1. Theory of Planned Behavior Dalam Theory of Planned Behavior (TPB) dijelaskan bahwa perilaku yang ditimbulkan oleh individu muncul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat untuk berperilaku ditentukan oleh tiga faktor (Mustikasari, 2007), yaitu: a. Behavioral Beliefs Behavioral beliefs merupakan keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut. b. Normative Beliefs Normative beliefs yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut. c. Control Beliefs Control beliefs merupakan keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power). Penelitian tentang kepatuhan pajak telah banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya yang menggunakan teori tersebut adalah penelitian Heny Wachidatul Yusro (2014). Dikaitkan dengan penelitian ini, Theory of Planned of Behavior
11
12
relevan
untuk
kewajiban
menjelaskan
perpajakannya.
perilaku
Sebelum
wajib
individu
pajak
dalam memenuhi
melakukan sesuatu, individu
tersebut akan memiliki keyakinan mengenai hasil yang akan diperoleh dari perilakunya tersebut. Kemudian yang bersangkutan akan memutuskan bahwa akan melakukannya atau tidak melakukannya. Hal tersebut berkaitan dengan kesadaran wajib pajak. Wajib pajak yang sadar pajak, akan memiliki keyakinan mengenai pentingnya membayar pajak untuk membantu menyelenggarakan pembangunan negara (behavioral beliefs). Ketika akan melakukan sesuatu, individu akan memiliki keyakinan tentang harapan normatif dari orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs). Hal tersebut dapat dikaitkan dengan perubahan tarif pajak, dimana dengan adanya perubahan tersebut maka wajib pajak akan membutuhkan penjelasan dan pelayanan yang baik dari petugas pajak, sistem perpajakan yang efisien dan efektif, serta penyuluhan- penyuluhan pajak yang memberikan motivasi kepada wajib pajak agar taat pajak, akan membuat wajib pajak memiliki keyakinan atau memilih perilaku taat pajak. Sanksi pajak terkait dengan control beliefs. Sanksi pajak dibuat adalah untuk mendukung
agar
wajib
pajak
mematuhi
peraturan perpajakan. Kepatuhan
wajib pajak akan ditentukan berdasarkan persepsi wajib pajak tentang seberapa kuat sanksi pajak mampu mendukung perilaku wajib pajak untuk taat pajak. Behavioral beliefs, normative beliefs, dan control beliefs sebagai tiga faktor yang menentukan seseorang untuk berperilaku. Setelah terdapat tiga faktor tersebut, maka seseorang akan memasuki tahap intention, kemudian tahap terakhir adalah
13
behavior. Tahap intention merupakan tahap dimana seseorang memiliki maksud atau niat untuk berperilaku, sedangkan
behavior
adalah
tahap
seseorang
berperilaku. Pemahaman akan self assessment system, perubahan tarif pajak, dan sanksi pajak dapat menjadi faktor yang menentukan perilaku patuh pajak. Setelah wajib pajak memiliki pemahaman system untuk membayar pajak, termotivasi oleh tarif yang sesuai dan sanksi pajak, maka wajib pajak akan memiliki niat untuk membayar pajak dan kemudian merealisasikan niat tersebut. 2. Social Learning Theory (Teori Pembelajaran Sosial) Teori pembelajaran sosial mengatakan bahwa seseorang dapat belajar lewat pengamatan dan pengalaman langsung (Jatmiko,2006). Menurut Bandura (1977) dalam Jatmiko (2006), proses dalam pembelajaran sosial meliputi: a. Proses perhatian (attentional) b. Proses penahanan (retention) c. Proses reproduksi motorik d. Proses penguatan (reinforcement)
Proses perhatian yaitu orang hanya akan belajar dari seseorang atau model, jika mereka telah mengenal dan menaruh perhatian pada orang atau model tersebut. Proses penahanan adalah proses mengingat tindakan suatu model setelah model tidak lagi mudah tersedia. Proses reproduksi motorik adalah proses mengubah pengamatan menjadi perbuatan. Sedangkan proses penguatan adalah proses yang mana individu-individu disediakan rangsangan positif atau ganjaran supaya berperilaku sesuai dengan model (Bandura, 1977 dalam Jatmiko, 2006).
14
Jatmiko (2006) menjelaskan bahwa teori pembelajaran sosial ini relevan untuk menjelaskan perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak. Seseorang akan taat membayar pajak tepat pada waktunya, jika lewat pengamatan dan pengalaman langsungnya, hasil pungutan pajak itu telah memberikan kontribusi nyata pada pembangunan di wilayahnya. Seseorang juga akan taat pajak apabila telah menaruh perhatian terhadap pelayanan pajak, baik fiskus maupun sistem pelayanan pajaknya. Terkait dengan proses penguatan, dimana individu-individu disediakan rangsangan positif atau ganjaran supaya berperilaku sesuai dengan model, tampaknya cukup relevan apabila dihubungkan dengan pengaruh sanksi pajak terhadap kepatuhan pajak. 3. Compulsory Compliance ( Teori Paksaan) Menurut teori paksaan, orang akan mematuhi hukum karena adanya unsur paksaan dari kekuasaan yang bersifat legal dari penguasa. Teori ini didasarkan asumsi bahwa paksaan fisik sebagai monopoli penguasa adalah dasar terciptanya suatu ketertiban untuk hukum. Jadi, unsur sanksi merupakan Faktor yang menyebabkan orang mematuhi hukum. B. Kepatuhan Pajak Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Sedangkan menurut Gibson (1991) dalam Agus Budiatmanto (1999) sebagaimana yang dikutip oleh Jatmiko (2006), kepatuhan adalah motivasi seseorang, kelompok atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Dalam pajak, aturan yang berlaku adalah Undang-undang Perpajakan. Jadi, kepatuhan pajak merupakan kepatuhan seseorang, dalam hal ini adalah wajib
15
pajak, terhadap peraturan atau Undang-undang Perpajakan. Menurut Simon James et al (n.d.) yang dikutip oleh Gunadi (2005), pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) adalah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman, dalam penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Nurmantu, 2003 (dalam Santoso, 2008) mendefinisikan kepatuhan perpajakan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Variabel kepatuhan wajib pajak mengacu pada kriteria Wajib Pajak Patuh dalam Surat Edaran Nomor SE-02/PJ/2008 Tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu. Indikator yang digunakan untuk mengukur kepatuhan wajib pajak antara lain : a. Tepat waktu menyampaikan SPT dalam 3 tahun terakhir b. Mengisi SPT dengan benar, lengkap, jelas dan ditandatangani c. Menghitung pajak terutang dengan benar d. Tepat waktu membayar pajak e. Tidak memiliki tunggakan pajak f. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan sesuai dengan ketentuan perpajakan g. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana di bidang perpajakan dalam 5 tahun terakhir
Kepatuhan yang dikatakan oleh Norman D. Nowak merupakan “suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang situasi (Devano, 2006 dalam Supadmi, 2010) sebagai berikut.
tercermin
dalam
16
1. Wajib
pajak
paham
atau
berusaha
untuk
memahami
semua
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. 3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. 4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Muliari dan Setiawan (2010) menjelaskan bahwa kriteria wajib pajak patuh menurut Keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000 wajib pajak patuh adalah sebagai berikut. 1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir. 2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. 3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir. 4. Dalam dua tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang terutang paling banyak lima persen. 5. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak memengaruhi laba rugi fiskal.
17
Dalam hal pajak, aturan yang berlaku adalah aturan perpajakan. Jadi dalam hubungannya dengan wajib pajak yang patuh, maka pengertian kepatuhan wajib pajak merupakan suatu ketaatan untuk melakukan ketentuan-ketentuan atau aturanaturan perpajakan yang diwajibkan atau diharuskan untuk dilaksanakan. (Kiryanto, 2000). Sejak reformasi perpajakan tahun 1983 dan yang terakhir tahun 2000 dengan diubahnya Undang-Undang Perpajakan tersebut menjadi UU No. 16 Tahun 2000, UU No. 17 Tahun 2000 dan UU No. 18 Tahun 2000, maka sistem pemungutan
pajak di Indonesia
adalah Self Assessment
System.
Menurut
Mardiasmo (2002), Self Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dalam sistem ini mengandung pengertian bahwa wajib pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar dan
melaporkan surat pemberitahuan (SPT) secara benar, lengkap dan tepat waktu. Dalam kaitannya dengan akuntansi maka kepatuhan wajib pajak mengandung pengertian tersebut di atas. E. Eliyani (1989) menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak didefinisikan sebagai
memasukkan
dan melaporkan
kepada waktunya
informasi
yang
diperlukan, mengisi secara benar jumlah pajak yang terutang, dan membayar pajak pada waktunya tanpa tindakan pemaksaan. Ketidak patuhan timbul kalau salah satu syarat definisi tidak terpenuhi. Pendapat lain tentang kepatuhan wajib pajak juga dikemukakan oleh Novak (1989) seperti dikutip oleh Kiryanto (2000), yang menyatakan suatu iklim kepatuhan wajib pajak adalah :
18
1. wajib pajak paham dan berusaha memahami UU Perpajakan 2. mengisi formulir pajak dengan benar 3. menghitung pajak dengan jumlah yang benar 4. membayar pajak tepat pada waktunya Jadi semakin tinggi tingkat kebenaran menghitung dan memperhitungkan, ketepatan menyetor, serta mengisi dan memasukkan surat pemberitahuan (SPT) wajib pajak, maka diharapkan semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan dan memenuhi kewajiban pajaknya. C. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Usaha Mikro, Kecil dan Menengah atau yang lebih dikenal dengan UMKM merupakan jenis usaha yang mendominasi perekonomian Indonesia. Dengan banyaknya pelaku UMKM dan cukup besarnya tenaga kerja yang terserap di sektor ini, keberadaan UMKM telah menjadi penopang kehidupan ekonomi rakyat. Pemerintah mengatur secara khusus Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ini melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008. Berikut ini adalah ketentuan mengenai UMKM berdasarkan Undang-Undang No. 8 Th. 2008, khususnya pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta pasal 6 ayat (1), (2) dan (3). 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria: a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
19
ratus juta rupiah). 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). 3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif milik yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh perorangan dan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil maupun usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan yang memenuhi kriteria berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
20
b.
memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua miliar
lima
ratus
juta
rupiah)
sampai
dengan
paling
banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). D. Pajak Penghasilan Final Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 1. Definisi PPh Final No.46 tahun 2013 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto tertentu atas penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.Besarnya
tarif
Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud adalah 1% (satu persen). Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (Empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan. 2. Wajib pajak menurut Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 yang menjadi Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
21
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan Wajib pajak yang dimaksud harus memenuhi dua kriteria berikut: a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000 dalam satu tahun pajak. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang dimaksud meliputi: 1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris. 2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari; 3. Olahragawan; 4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh dan moderator; 5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah 6. Agen iklan; 7. Pengawas atau pengelola proyek; 8. Perantara; 9. Petugas penjaja barang dagangan; 10. Agen asuransi; dan 11. Distributor
perusahaan
pemasaran
berjenjang
(Multilevel
22
marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya. 3. Akuntansi Untuk Pajak Penghasilan Orang Pribadi Sumber penghasilan orang pribadi (source of income) pada umumnya memperoleh penghasilan dari usaha atau kegiartan seperti: usaha industri, usaha jasa, usaha perdagangan, usaha lain-lain seperti perikanan, perkebunan, peternakan, pertambangan, dan lain-lain, dimana: a.
Kalau omzet usaha orang pribadi kurang dari atau sama dengan Rp.4.800.000.000,- per tahun maka orang pribadi tersebut menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), kecuali ia memilih untuk menyelenggarakan pembukuan.
b.
Kalau omzet di atas Rp.4.800.000.000,- per tahun maka orang pribadi tersebut wajib pembukuan. Wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan harus memiliki
catatan-catatan berikut: a. Peredaran dan/atau penerimaan bruto yang diterima dari kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas yang penghasilannnya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final. b. Penghasilan bruto yang diterima dari luar kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final, termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapat, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut. c. Penghasilan yang bukan pajak dan atau penghasilan yang dikenakan
23
pajak final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas maupun dari luar usaha dan atau pekerjaan bebas. 4. Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Pajak Terutang Pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak pada setiap bulannya adalah membayar pajak terutang final PP 46, sehingga pada akhir tahun pajak wajib pajak tidak diwajibkan untuk melaporkan kembali pajaknya ke KPP yang telah ditentukan, hal ini dikarenakan sifat PP 46 Tahun 2013 yang final maka setelah melaporkan pajak terutang setiap bulannya maka kewajiban wajib pajak telah selesai.
Berikut adalah cara-cara pembayaran oleh wajib pajak baik yang menerapkan PP 46 Tahun 2013: a. Cara pembayaran melalui Teller Bank: 1. Wajib pajak mendatangi teller bank dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi secara lengkap dan benar. 2. Wajib pajak menjawab kebenaran identitas wajib pajak tentang nama wajib pajak dan alamat wajib pajak. 3. Wajib pajak menerima kembali SSP yang telah disahkan dengan tanda tangan teller dan cap bank serta diberi Nomor Transaksi Pembayaran Pajak (NTPP) dan atau Nomor Transaksi Bank (NTB), dan atau SSP yang dicetak oleh bank yang telah diberi NTPP dan atau NTB dari teller. 4. Wajib pajak memeriksa kebenaran SSP yang diterima dari teller. 5. Wajib pajak melaporkan SSP ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
24
b. Cara pembayaran pajak menggunakan fasilitas Alat Transaksi Bank (ATM): 1.
Wajib pajak mendatangi alat transaksi bank dengan membawa data lengkap dan benar.
2.
Wajib pajak membuka menu pembayaran pajak.
3.
Wajib pajak mengisi elemen dalam tampilan dengan data sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dengan lengkap dan benar.
4.
Wajib pajak meneliti identitas wajib pajak yang terdiri dari nama dan alamat wajib pajak yang muncul pada tampilan. Apabila identitas wajib pajak tidak sesuai maka proses selanjutnya harus dibatalkan kemudian kembali pada menu sebelumnya untuk mengulang pemasukan data yang diperlukan.
5.
Wajib pajak mengisi elemen data lainnya yang diperlukan secara tepat.
6.
Wajib pajak mengambil SSP hasil keluaran dari fasilitas alat transaksi bank.
7.
Wajib pajak memeriksa kebenaran SSP yang diperoleh.
8.
Wajib pajak melaporkan SSP ke KPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
25
E. Self Assesment System 1. Pengertian Self Assessment System Self Assessment System merupakan metode yang memberikan tanggung-jawab yang besar kepada wajib pajak karena semua proses dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Definisi Self assessment System menurut Waluyo (2011:17) adalah sebagai berikut: “Self Assessment System adalah pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar”. 2. Ciri-ciri Self Assessment System Sedangkan definisi dan ciri-ciri self assessment system menurut Mardiasmo (2011:7) adalah sebagai berikut: “Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Wewenang untuk menentukkan besarnya pajak ada pada wajib pajak sendiri. b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi”. Dari definisi di atas terlihat bahwa perhitungan pajak dengan Self Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang menekankan kepada wajib pajak untuk
26
bersikap aktif dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, karena sistem pemungutan ini
memberi
kebebasan
kepada
wajib
pajak
untuk
memenuhi
kewajiban
perpajakannya sendiri tanpa adanya campur tangan fiskus atau pemungut pajak. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan Self Assessment System Sebagaimana dinyatakan oleh Soemitro (1991:44) bahwa keberhasilan self assessment system ditentukan oleh: a.
Kesadaran pajak dari wajib pajak Tingkat
kesadaran
akan
membayar
pajak
didasarkan
oleh
tingkat
kepatuhan wajib pajak yang berpijak pada tingginya kesadaran hukum dalam membayar pajak. Dalam hal ini peran fiskus amatlah berarti karena pada dasarnya tingkat kepatuhan wajib pajak berdasarkan tingkat pemahaman yang baik seputar pajak. b.
Kejujuran wajib pajak Faktor kejujuran dalam membayar pajak sangatlah penting, karena dengan
self
assessment
system
pemerintah
memberikan
sepenuhnya
kepercayaan masyarakat untuk menetapkan berapa jumlah pajak yang harus dibayar
sesuai
dengan
ketentuan.
Masyarakat
diharapkan melaporkan
jumlah kewajiban pajaknya sebenar-benarnya tanpa adanya manipulasi. c.
Hasrat untuk membayar pajak (tax mindedness) Hasrat untuk membayar pajak pada dasarnya kepatuhan sukarela dalam membayar pajak haruslah diikuti oleh hasrat yang tinggi untuk membayar
27
pajak. d.
Disiplin dalam membayar pajak (tax discipline) Tax Discipline berdasar pada tingkat pemahaman yang sesuai terhadap hukum dianut
suatu
negara
serta
saksi-saksi
yang menyertainya,
dengan
harapan masyarakat tidak menunda-nunda membayar pajak”.
F. Tarif Pajak Tarif merupakan suatu pedoman dasar dalam menetapkan berapa besarnya utang pajak orang pribadi maupun badan, selain sebagai sarana keadilan dalam penetapan utang pajak Untuk menentukan besarnya persentase tarif tersebut kebijaksanaan pemerintah memegang peranan penting. Bagi pemerintah, tarif pajak yang besar akan
memudahkan
dalam memperoleh penerimaan Negara. Sebaliknya, bagi
masyarakat selaku subjek pajak hal ini akan dirasakan
mengurangi
kemampuan
anggarannya dalam memenuhi kebutuhannya. Indikator tarif pajak menurut Pris (2010) adalah 1. Penerimaan penghasilan tinggi membayar pajak penghasilan lebih besar. Penerima penghasilan tinggi memiliki suatu kemampuan untuk membayar pajak
penghasilan lebih besar,
membayar
pajak
kepada penerima
penghasilan penghasilan
sehingga
wajar
apabila
mereka
lebih besar dari pada yang dikenakan rendah.
Tarif yang dibebankan sudah
ditetapkan dalam Undang-undang perpajakan 2. Tarif pajak
proposional adil.
Tarif dengan persentase tetap terhadap
jumlah berapapun yang menjadi dasar penggenaan pajak akan ditetapkan
28
secara adil dan benar sesuai dengan peraturan perpajakan. 3. Tarif pajak yang adil harus sama untuk setiap wajib pajak. Tarif yang dikenakan disamaratakan dan tidak tergantung
pajak
pada tingkat
penghasilan seseorang. 4. Penggenaan tarif pajak penghasilan orang pribadi adalah adil. Tarif pajak yang dikenakan disesuaikan dengan tingkat penghasilan yang diterima oleh wajib pajak. Dimana semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka semakin tinggi pula beban pajak yang akan dibebankan. Laffer (dalam Simanjuntak dan Mukhlis, 2012:31) menjelaskan bahwa terdapat suatu hubungan antara tarif pajak (tax rates) dengan penerimaan
Negara
(tax
revenue) yang kemudian dituangkan dalam sebuah kurva yang lebih dikenal dengan laffer curve. Secara lebih rinci, kurva laffer dapat dilihat pada Gambar 2.1.
0
Berdasarkan
Gambar 2.1,
100%
sangat
jelas bahwa pada tingkat tarif pajak 0%
pemerintah tidak mendapatkan penerimaan pajak, tidak peduli berapa pun jumlah tax base-nya. Begitu pula pada tingkat tarif 100%, pemerintah tidak mendapatkan penerimaan yang berasal dari pajak karena willingness to pay dari masyarakat akan berkurang hingga muncul perilaku penghindaran pajak (tax avoidance).
29
Rosdiana menjelaskan bahwa Tariff/Custom Duties adalah pajak atas lalu lintas barang. Dalam International Tax Glossasry disebutkan bahwa custom duties are levied on goods into a country. Dalam literatur seringkali disebut juga dengan tarif. Tarif pajak didefinisikan sebagai tarif yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar dan biasanya merupakan presentase untuk diterapkan atas penghasilan neto. 1. Jenis Tarif Pajak Nurmantu menjelaskan bahwa dalam beberapa literatur, dikenal empat macam tarif pajak yakni tarif tetap, tarif proporsional, tarif progresif, dan tarif regresif. a. Tarif pajak tetap (fixed rate) Yang dimaksud dengan tarif pajak tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah (atau Dolar) bersifat tetap walaupun objek pajak jumlahnya berbeda-beda. Nurmantu memberikan contoh penerapan tarif pajak tetap adalah pada Bea Materai, di atur bahwa jumlah Bea Materai terhutang atas kuitansi atau tanda terima uang di atas Rp. 1.000.000,00 adalah sejumlah Rp. 6.000,00. Walaupun uang yang diterima jumlahnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 jumlah Bea Materai yang terutang tetap Rp.6.000,00. b. Tarif pajak proporsional (proporsional rate) Yang dimaksud dengan tarif pajak proporsional adalah tarif yang persentasenya tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Nurmantu memberikan contoh pada penerapan tarif pajak pertambahan nilai sebesar 10%. Walaupun objek pajaknya naik ataupun turun, maka tarif yang dikenakan adalah tetap sebesar 10%.
30
c. Tarif pajak progresif Yang dimaksud dengan tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya, makin tinggi pula presentase tarif Misalnya
seseorang
dengan
penghasilan
pajaknya.
Rp.1.000.000,00 akan
dikenakan tarif sebesar 10%, penghasilan sebesar
Rp.
5.000.000,00
akan dikenakan tarif 15%, dan penghasilan yang lebih besar lagi akan dikenakan tarif 30%. d. Tarif pajak regresif (regressive rate) Yang dimaksud dengan tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang apabila objek pajaknya makin tinggi, maka makin rendah pula tarifnya. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan
yang akan
diterima ahli waris, maka tarif pajak atas warisan makin kecil. Tarif ini sudah tidak berlaku lagi di Indonesia. Dalam hubungannya dengan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam UU PPh maka tarif yang diterapkan adalah tarif progresif sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (1) UU PPh. Tarif progresif yang dimaksud adalah sebagai berikut : Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah : Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta 10% (sepuluh persen) rupiah) Di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) 15% (lima s.d Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) persen)
belas
Di atas Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
puluh
30% (tiga persen)
31
2.
Tarif Tunggal Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tanggal 23 September 2008 yang mulai berlaku efektif sejak 1 januari 2009 maka telah terjadi perubahan tarif pajak penghasilan. Dan tarif tersebut adalah sebagai berikut Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap tarif yang berlaku adalah tarif tunggal yaitu sebesar 28% (dua puluh delapan persen). Menurut pasal 17 ayat (2a) tarif PPh untuk wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sejak tahun 2010 tarif tunggalnya berubah menjadi 25% (dua puluh lima persen). Dilihat dari karakterisriknya, Flat rate (di Indonesia dipergunakan istilah tarif tunggal) dapat digolongkan dalam jenis tarif proporsional. Flat rate
untuk
selanjutnya disebut tarif tunggal, adalah bentuk tarif yang presentase tarifnya tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Tarif jenis ini memiliki keutamaan dalam hal kesederhanaan dan mudah di aplikasikan. Banyak pendapat ahli yang berpendapat mengenai kelebihan dan kekurangan tarif yang bersifat flat ini. Kelebihan dari tarif proporsional ini yang menyebabkan menjadi efisien untuk digunakan adalah: a. Sederhana (simplicity) dan mudah diaplikasikan b. Menghilangkan pengecualian kecuali pengecualian pribadi (personal exemption)
dan
celah-celah
meminimalkan pajak. c. Menghilangkan anti saving-bias
yang
dapat
dipergunakan
untuk
32
d. Pajak tunggal akan lebih adil, mempercepat pertumbuhan ekonomi, global kompetitif, dapat meningkatkan efisiensi penagihan pajak, memudahkan dan menghemat waktu atas keberadaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, dan akan menghentikan korupsi oleh pihak-pihak terkait. Penerapan tarif tunggal dikenakan atas penghasilan neto, artinya penghasilan yang diperoleh setelah dikurangkan dengan harga pokok, biaya-biaya yang timbul dari kompensasi kerugian. Tarif tunggal tersebut berlaku untuk seluruh wajib pajak, artinya tidak ada perbedaan antara wajib pajak yang termasuk dalam kategori besar maupun wajib pajak skala kecil atau Usaha Kecil Menengah (UKM).
G. Sanksi Pajak Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar peraturan. Peraturan atau undang-undang merupakan rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan sesuatu mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Dalam Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa ada dua macam sanksi, yaitu: 1. sanksi administrasi Sanksi administrasi antara lain terdiri dari : a. sanksi administrasi berupa denda Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan
33
dalam Undang-Undang perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu. Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana
Tabel 2.1 Sanksi Administrasi Berupa Denda No
Perilaku
Undang-
Sanksi
Undang 1
Pasal 7 ayat (1) UU KUP
a. Rp500.000,SPT Masa PPN b. Rp100.000,SPT Masa Lainnya c. Rp1.000.000,- SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan d. Rp100.000,SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi
Pasal 8 ayat (3) UU KUP
150% dari jumlah pajak yang kurang bayar
SPT tidak disampaikan sesuai atas waktu penyampaian atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT
2
3
Meskipun telah dilakukan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran tentang data yang dilaporkan dalam SPT dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu
Pasal 14 2% dari ayat (4) pengenaan pajak UU KUP
dasar
34
4
PKP tidak mengisi faktur pajak Pasal 14 2% dari secara lengkap sesuai dengan ayat (4) pengenaan pajak ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU UU KUP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas UU nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), selain: a. identitas pembeli, dalam hak penyerahan dilakukan oleh PKP pada umumnya, dan b. identitas pembeli serta nama dan tanda tangan, dalam hal penyerahan dilakukan oleh PKP
dasar
5
Pasal 4 2% dari ayat (4) pengenaan pajak PKP melaporkan faktur pajak tidak UU KUP sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak
dasar
6
Keberatan Wajib Pajak ditolak atau Pasal 25 50% dari jumlah pajak dikabulkan sebagian ayat (9) berdasarkan keputusan UU KUP keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Sanksi administrasi berupa denda 50% tersebut tidak dikenakan dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding
7
Permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian
Pasal 21ayat (5d) UU KUP
100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan
35
8
Setiap orang yang karena Pasal 33 kealpaan: UU KUP a. tidak menyampaikan SPT, b. menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal13A UU KUP
Didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bualan atau paling lama 1 (satu) tahun
36
9
Setiap orang yang dengan sengaja: a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan PKP b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak MPWP atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak c. tidak manyampaikan SPT d. menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokuman lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau meminjam buku, catatan atau dokumen lain h. tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia, atau i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara
Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP
Didenda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, dan dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun. pidana diatas ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan
37
10
11
12
13
14
Setiap Orang yang: a. melakukan Percobaan menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau pengukuhan PKP atau b. menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melkukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak
Didenda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah rstitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan, paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan, dan dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling Pasal 39 lama 2 (dua) tahunDidenda ayat (3) paling sedikit 2 (dua) kali UU KUP jumlah rstitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi atau pengkreditan Setiap orang yang dengan sengaja: Pasal 39A Didenda paling sedikit yang 2 dilakukan, paling banyak a. menerbitkan dan atau UU KUP (dua) kali jumlah pajak 4 (empat) menggunakan faktur pajak, bukti dalam faktur kali pajak,jumlah bukti restitusi yang dimohonkan pemungutan pajak, bukti pemungutan pajak, bukti dan atau kompensasi pemotongan pajak dan atau bukti pemotongan pajak, atau dan pengkreditan setiran pajak yang tidak atau bukti setoran pajakyang dan dilakukan, dan dipidana berdasarkan transaksi yang paling banyak 6 (enam) kali penjara pajak palingdalam singkat 6 sebenarnya, atau jumlah faktur (enam) bulan dan paling b. menerbitkan faktur pajak belum pajak, bukti pemungutan dikukuhkan sebagai PKP lama 2 (dua) tahun pajak, Bank, akuntan publik, notaris, Didendabukti palingpemotongan banyak pajak, dan atau dan bukti konsultan pajak, kantor administrasi, Rp25.000.000,setoran pajak, serta pidana dan atau pihak ketiga dipidana dengan pidana dengan paling pidana lama penjara lainnya, yang mempunyai hubungan kurungan 1 palingtahun singkat 2 (dua) dengan Wajib Pajak (satu) yang sedang diperiksa, ditagih pajaknya Pasal 41A dan paling lama 6 tahun. dan disidik karena adanya tindak UU KUP pidanan perpajakan dengan sengaja tidak memberi keterangan tau bukti, atau memberikan keterangan atau Setiap orang yang dengan sengaja bukti Pasal 41B Paling Banyak yang tidak benar atau menghalangi mempersulit UU KUP Rp75.000.000,- dan pidana penyidikan tindak pidana dibidang penjara paling lama 3 (tiga) perpajakan tahun Setiap orang dalam instansi Pasal 41C Didenda paling banyak pemerintah, lembaga, asosiasi, dan ayat (1) Rp1.000.000,dan pihak lain, yang dengan sengaja UU KUP dipidana dengan pidana tidak memberikan data dan kurungan paling lama 1 informasi yang berkaitan dengan (satu) tahun perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak
38
15
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain di instransi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan lainnya
Pasal 41C ayat (2) UU KUP
Didenda paling banyak Rp800.000,dan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan
16
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menerikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak
Pasal 41C ayat (3) UU KUP
Didenda paling banyak Rp800.000,dan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan
17
Setiap orang yang dengan sengaja menyalahguinakan data dan informasi perpajakan, sehingga menimbulkan kerugian pada Negara
Didenda paling banyak dan Pasal 41C Rp500.000,dipidana dengan pidana ayat (4) UU kurungan paling lama 1 KUP (satu) tahun
18
Wajib Pajak yang sedang dilakukan tindakan penyidikan pajak namun kemudian memilih untuk melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan
Pasal 448 UU KUP
Didenda 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan
Sumber: Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
b. sanksi administrasi berupa bunga Sanksi ini biasa dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan
39
Tabel 2.2 Sanksi Administrasi Berupa Bunga No 1
Perilaku
UndangSanksi Undang Wajib Pajak membetulkan sendiri Pasal 8 2%perbulan atas jumlah SPT Pasal 8 ayat (2) UU KUP ayat (2) pajak yang kurang Tahunan yang mengakibatkan UU KUP dibayar, dihitung sejak utang pajak menjadi lebih besar saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan
2
Wajib Pajak membetulkan sendiri Pasal 8 SPT Masa yang mengakibatkan ayat (2a) utang pajak menjadi lebih besar UU KUP
3
Pembayaran atau penyetoran Pasal 9 Pasal 9 ayat (2a) UU KUP pajak ayat (2a) berdasarkan SPT Masa yang UU KUP dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak
4
2%perbulan atas jumlah yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung. Penuh 1 (satu) bulan.
2%perbulan dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan Pembayaran atau penyetoran Pasal 9 2% perbulan dihitung pajak berdasarkan SPT Tahunan ayat (2b) mulai dari berakhirnya yang dilakukan setelah tanggal UU KUP batas waktu jatuh tempo penyampaian SPT penyampaian SPT Tahunan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1(satu) bulan
40
5
6
7
8
Dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar
Pasal 13 2%perbulan dari jumlah ayat (2) pajak yang tidak atau UU KUP kurang bayar, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB Apabila Wajib Pajak diterbitkan Pasal 13 2%perbulan dari jumlah NPWP dan atau dikukuhkan PKP ayat (2) pajak yang tidak atau UU KUP kurang bayar, paling secara jabatan lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB SKPKB yang diterbitkan setelah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun, yang diterima oleh Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap Dari penelitian rutin: a. PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar b. SPT salah tulis/salah hitung sehingga terdapat kekurangan pembayaran pajak
Pasal 13 48% dari jumlah pajak ayat (5) yang tidak atau kurang UU KUP dibayar
Pasal 14 2%perbulan untuk ayat (3) selama-lamanya 24 (dua UU KUP puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai diterbitkannya STP
41
9
Bagi PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pembelian Pajak Masukan
Pasal 14 2%perbulan dari jumlah ayat (5) yang ditagih kembali, UU KUP dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan STP, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1(satu) bulan.
Sumber: Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) c.
sanksi administrasi berupa kenaikan Sanksi ini bisa jadi sanksi yang paling ditakuti oleh Wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan dasarnya
dihitung
dengan
angka
pada
persentase tertentu dari jumlah
pajak yang tidak kurang dibayar. Tabel 2.3 Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan No 1
2
Perilaku Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran pengisisn SPT setelah jangka waktu pembetulan SPT berakhir dan belum pernah diterbitkan surat ketetapan pajak, SPT tidak disampaikan yang mengakibatkan pajaksesuai kurang jangka waktu penyampaian dan bayar setelah ditegur secara tertulis SPT tetap tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran
UndangUndang8 Pasal ayat (5) UU KUP Pasal 13 ayat (1) huruf b UU KUP
Sanksi 50% dari pajak kurang dibayar
yang
a. 50% dari PPh yang tidak atau kurang bayar dalam satu tahun pajak b. 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut tidak atau kurang disetor
42
3
4
5
6
7
Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan PPn BM, ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% Apabila Wajib Pajak tidak melakukan pembukuan atau ketika diperiksa wajib pajak tidak: a. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen yang Wajib Pajak yang lain karena berhubungan kealpaannya tidak dengan menyampaikan penghasilan yang SPT, diperoleh, SPT atau Menyampaikan tetapi kegiatan usaha, pekerjaan isinya tidakWajib benar Pajak, atau tidak lengkap, bebas atau objek atauyang melampirkan keterangan yang terutang pajak, isinyamemberikan tidak benar, sehingga untuk dapat b. kesempatan Diterbitkan SKPKBT, karena menimbulkan kerugian pada memasuki tempat atau ruang yang ditemukan data baru dan atau data pendapatan negara. Kealpaan yang dipandang perlu dan yang semula terungkap dilakukan memberi inibelum adalah bantuan kealpaan guna yang kelancaran pemeriksaan pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak
Pasal 13 ayat (1) huruf c UU KUP
100% dari PPN atas barang dan jasa dan Ph BM yang tidak atau kurang dibayar
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang telah mendapat pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, diterbitkan SKPKB
Pasal 100% dari jumlah 17C ayat kekurangan pajak (5) UU KUP
Pasal 13 ayat (3) UU KUP
a. 50% dari PPh yang tidak atau kurang bayar dalam satu tahun pajak b. 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau Pasal sanksi kenaikan sebesar kurang tidak 134 UU 200% dari dipungut jumlah pajak atau kurang disetor, KUP yang kurang dibayar dipotongmelalui atau yangdanditetapkan dipungut tetapi tidak penerbitan SKPKB atau kurang disetor Pasal 15 ayat (2) UU KUP
100% dari jumlah kekurangan pajak
Sumber: Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) 2. Sanksi Pidana sanksi pidana terdiri dari: a. Pidana kurungan Sanksi ini biasa terjadi karena adanya tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan. Batas maksimum hukuman kurungan ialah 1 (satu) tahun, pekerjaan yang harus dilakukan oleh para tahanan kurungan biasanya lebih sedikit dan lebih ringan, selain di penjara negara, dalam
43
kasus tertentu diizinkan menjalaninya di rumah sendiri dengan pengawasan yang berwajib, kebebasan tahanan kurungan lebih banyak, pada dasarnya tidak ada
pembagian
atas kelas-kelas, dan dapat
menjadi pengganti hukuman denda. b. Pidana penjara Sanksi ini biasa terjadi karena adanya tidak pidana yang dilakukan dengan sengaja. Batas maksimum penjara ialah seumur hidup, pekerjaan yang dilakukan oleh tahanan penjara biasnya lebih banyak dan lebih berat, terhukum menjalani di gedung atau di rumah penjara, kebebasan para tahanan penjara amat terbatas, dibagi atas kelas-kelas menurut kualitas dan kuantitas kejahatan dari yang tergolong
berat
sampai dengan yang teringan, dan tidak dapat menjadi pengganti hukuman denda.
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan seperti Jatmiko (2006), Muliari dan Setiawan
(2010),
dan
Santi
(2012)
mengenai
sanksi
perpajakan
menunjukkan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Sedangkan sanksi perpajakan mengacu pada indikator yang telah digunakan dalam kuesioner penelitian Muliari dan Setiawan (2010) sebagai berikut : a. Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat b. Sanksi adminstrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat ringan c. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana mendidik wajib pajak.
44
d. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi e. Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan Semakin tinggi atau beratnya sanksi, maka akan semakin merugikan wajib pajak. Oleh sebab itu, sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan formal wajib pajak. H. Penelitian terdahulu Dalam melakukan penelitian ini, peneliti juga berpedoman dari penelitianpenelitian yang telah dilakukan sebelumnya adapun penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.4. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Sudaryati, Gerlan Hehanusa (2013) dengan judul Pengaruh Penerapan Self assessment system dan kemauan membayar pajak terhadap kepatuhan wajib pajak usaha mikro kecil dan menengah di kabupaten sleman Yogyakarta memperoleh hasil kesimpulan yaitu bahwa penerapan self assessment system dan kemauan membayar pajak wajib pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajip pajak UMKM di kabupaten Sleman Yogyakarta. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Heny Wachidatul Yusro, Kiswanto (2014) dengan judul Pengaruh Tarif Pajak, Mekanisme Pembayaran pajak dan kesadaran membayar pajak terhadap kepatuhan wajib pajak umkm di kabupaten Jepara memperoleh hasil bahwa tariff pajak dan kesadaran membayar pajak tidak berpengaruh terhadap kepatuhan membayar pajak UMKM, sedangkan mekanisme pembayaran pajak berpengaruh terhadap kepatuhan membayar pajak UMKM. Dan penelitian yang dilakukan oleh Susmiatund dan Kusmuriyanto (2014) dengan judul Pengaruh pengetahuan perpajakan, ketegasan sanksi perpajakan, dan keadilan
45
perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM dikota Semarang, memperoleh hasil yaitu Secara parsial pengetahuan perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM sedangkan ketegasan sanksi perpajakan dan keadilan secara parsial tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM di kota semarang. Penelitian yang dilakukan oleh Navita Pravitasari (2012) dengan judul Pengaruh Kebijakan Pajak dan Pemahaman wajib pajak terhadap kepatuhan Formal wajib Pajak UMKM sepatu dan sandal di Mojokerto. Memperoleh hasil yaitu bahwa tingkat pemahaman dan kepatuhan formal wajib pajak UMKM sepatu dan sandal di
Kabupaten
Mojokerto termasuk dalam kategori rendah dan tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib Pajak UMKM sepatudan sandal di kabupaten Mojokerto. Penelitian yang dilakukan oleh Jeff Pope (2008) dengan judul Tax Compliance cost of small and medium enterprises in Malaysia : Policy Implications Memperoleh hasil bahwa bidang kebijakan yang paling penting yang harus dibenahi adalah untuk mengenali penuh beban kepatuhan UKM di tingkat nasional. Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu No
Peneliti
Judul
Hasil dan Kesimpulan
1.
Dwi Sudaryati, Gerlan Hehanusa (2013)
Pengaruh Penerapan Self assessment system dan kemauan membayar pajak terhadap kepatuhan wajib pajak usaha mikro kecil dan menengah di kabupaten sleman Yogyakarta
Secara Parsial bahwa penerapan self assessment system dan kemauan membayar pajak wajib pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajip pajak UMKM di kabupaten Sleman Yogyakarta.
2
Heny Wachidatul Yusro, Kiswanto (2014)
Pengaruh Tarif Pajak, Mekanisme Pembayaran pajak dan kesadaran membayar pajak terhadap kepatuhan wajib pajak umkm di kabupaten Jepara
Secara Parsial tarif pajak dan kesadaran membayar pajak tidak berpengaruh terhadap kepatuhan membayar pajak UMKM, sedangkan mekanisme pembayaran pajak berpengaruh terhadap kepatuhan membayar pajak UMKM.
46 3.
Susmiatund dan Kusmuriyanto (2014)
Pengaruh pengetahuan perpajakan, ketegasan sanksi perpajakan, dan keadilan perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM dikota Semarang
4.
Navita Pravitasari (2012)
Kebijakan Pajak dan Pemahaman wajib pajak terhadap kepatuhan Formal wajib Pajak UMKM sepatu dan sandal di Mojokerto
5.
Jeff (2008)
pengetahuan perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM sedangkan ketegasan sanksi perpajakan dan keadilan secara parsial tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM di kota semarang.
Secara Parsial pemahaman dan kepatuhan formal wajib pajak UMKM sepatu dan sandal di Kabupaten Mojokerto termasuk dalam kategori rendah dan tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib Pajak UMKM sepatudan sandal di kabupaten Mojokerto. Pope Tax Compliance cost of small and bahwa bidang kebijakan yang paling penting yang medium enterprises in Malaysia : harus dibenahi adalah untuk mengenali penuh Policy Implications beban kepatuhan UKM di tingkat nasional.
Sumber: data diolah Penulis
I. Rerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesiss Pada penelitian ini akan dibahas mengenai pengaruh antara penerapan Self assessment system, perubahan Tarif pajak dan Ketegasan sanksi perpajakan terhadap Kepatuhan wajib Pajak UMKM. 1. Pengaruh Penerapan Self assessment system terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tanggerang Timur Dwi Sudaryati dan Gerlan Hehanusa dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Dalam sistem Self Assessment System, administrasi perpajakan berperan aktif melaksanakan tugas-tugas pembinaan, pengawasan dan penerapan sanksi terhadap penundaan kewajiban perpajakan
berdasarkan
ketentuan
yang digariskan
dalam peraturan perpajakan. Fungsi pengawasan memegang peranan penting dalam sistem self assessment system, karena tanpa pengawasan dalam kondisi tingkat kepatuhan Wajib Pajak masih rendah, mengakibatkan sistem tersebut tidak akan berjalan dengan baik, sehingga Wajib Pajak pun akan melaksanakan kewajiban pajaknya dengan tidak baik dan pada akhirnya penerimaan dari
47
sektor pajak tidak akan tercapai. H1 :
Penerapan Self assessment system berpengaruh terhadap Kepatuhan wajib Pajak UMKM.
2. Pengaruh Perubahan Tarif Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tanggerang Timur Heny Wachidatul Yusro dan Kiswanto dalam penelitiannya menyatakan Tarif pajak UMKM yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 merupakan tarif pajak penyerdehanaan berupa tarif pajak final 1%, sedangkan tarif sebelumnya yang diatur dalam undang-undang No.36 Tahun 2008 (UU PPh) pasal 31 E yang menyatakan bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 milyar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (2) UU PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 milyar. Penyederhanaan tarif pajak 1% ada yang menganggap bahwa tarif pajak tersebut lebih tinggi dari pada tarif pajak sebelumnya, karena tarif pajak yang sekarang 1% dari omzet tanpa melihat apakah pemilik UMKM mengalami kerugian atau laba dan tidak dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak. Sehingga Perubahan tarif pajak berpangaruh terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM. H2 :
Perubahan Tarif pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM.
48
3. Pengaruh Ketegasan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tanggerang Timur Susmiatund dan Kusmuriyanto (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sanksi perpajakan merupakan salah satu alat pemerintah untuk mencegah atau meminimalisir agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. Berkaitan diberlakukannya PP No. 46 Tahun 2013 memungkinkan terjadinya penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak UMKM, sehingga diperlukan adanya ketegasan sanksi perpajakan demi menegakkan hukum guna mencapai kepatuhan Wajib Pajak UMKM. Wajib Pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya bila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Jatmiko, 2006). Berdasarkan uraian tersebut, diduga ketegasan sanksi perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak UMKM. H3:
Ketegasan
sanksi
perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib
pajak UMKM Untuk
memperjelas
pelaksanaan
penelitian
dan
sekaligus
untuk
mempermudah dalam pemahaman, maka diperlukan suatu kerangka pemikiran sebagai landasan dalam pemahaman. Kerangka Pemikiran ini menggambarkan hubungan dari variabel independen terhadap variable dependen.
49
Gambar 2.2 : Rerangka Pemikiran (Model Konseptual)
Penerapan Self Assesment system
H1
H2 Perubahan tarif pajak
Ketegasan Sanksi Perpajakan
H3 P.
Hipotesis
Kepatuhan Wajib Pajak UMKM