BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka Teori ekonomi menyarankan bahwa pengukuran kinerja perbankan seperti ukuran bank, spreads tingkat suku bunga dan profitabilitas tidak cukup untuk mengukur kinerja perbankan. Pengukuran harus melihat faktor lainnya seperti kinerja dan stabilitas makro ekonomi suatu negara, tingkat pajak untuk perbankan, kualitas sistem informasi dan peradilan suatu negara serta risiko dari preferensi (Hauner dan Peiris 2005). Untuk itu, peneliti akan melihat tinjauan pustaka dari berbagai aspek, baik teori yang terkait dengan pengukuran kinerja perusahaan maupun teori yang terkait dengan kondisi makro ekonomi yang mempengarui kinerja perbankan. 1. Teori Produksi Produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengkombinasi berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output. Hubungan teknis antara input dan output tersebut dalam bentuk persamaan, tabel atau grafik merupakan fungsi produksi (Salvatore,1994:147 dalam Joesron dan Fathorrazi, 2012), Jadi fungsi produksi adalah suatu persamaan yang menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dengan kombinasi input tertentu untuk menghasilkan output.
8
9
Fungsi produksi menetapkan bahwa suatu perusahaan tidak bisa mencapai suatu output yang lebih tinggi tanpa menggunakan input yang lebih banyak, dan suatu perusahaan tidak bisa menggunakan lebih sedikit input tanpa mengurangi tingkat outputnya. Pada umumnya terdapat dua batasan yang umum, yaitu harus cukup singkat sehingga pengusaha tidak sanggup mengubah tingkatan input tetapnya, dan cukup singkat sehingga bentuk fungsi produksi tidak diubah melalui perbaikan teknologi. Berdasarkan definisi tersebut di atas maka fungsi produksi adalah hubungan teknis antara input dengan output. Pada jaman klasik, biaya produksi hanya dihitung berdasarkan pengeluaran tenaga kerja saja karena mereka belum percaya pada mesinisasi, sehingga dapat dimaklumi apabila teori Karl Marx memprediksi bahwa pada suatu saat nanti akan terjadi eksploitasi antar manusia yang akan menyebabkan hancurnya kapitalisme. Namun, rupanya Karl Marx keliru mengasumsikan bahwa ternyata produksi dapat meningkat tidak hanya dengan penambahan jumlah tenaga kerja tetapi bisa melalui mesinisasi. Dengan demikian, input produksi tidak hanya human resources melainkan bisa capital resources (modal), natural resources (tanah) dan managerial skill. Hubungan antara jumlah output (Q) dengan sejumlah input yang digunakan dalam proses produksi (X1, X2, X3,.....Xn) secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: Q = f (X1, X2, X3.......,Xn) dimana: Q = output X = input
10
Berdasarkan fungsi produksi di atas maka akan dapat diketahui hubungan antara input dengan output, dan juga akan dapat diketahui hubungan antar input itu sendiri. Apabila input yang dipergunakan dalam proses produksi hanya terdiri atas modal (K) dan tenaga kerja (L) maka fungsi produksi yang dimaksud dapat diformulasikan menjadi: Q = f (K,L) Dimana: Q = output K = input modal L = input tenaga kerja Fungsi produksi di atas menunjukkan maksimum output yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif dari modal (K) dan tenaga kerja (L) (Nicholson, 1995: 312 dalam Joesron dan Fathorrazi, 2012). Fungsi produksi dengan dua input dapat ditunjukkan melalui grafik dua dimensi. Oleh karena itu untuk penyederhanaan dapat diasumsikan bahwa salah satu input adalah konstan dalam jangka pendek. Dengan menganggap salah satu input adalah konstan dalam jangka pendek maka dapat dijelaskan hubungan input output secara lebih luas. Apabila input K dianggap konstan dalam jangka pendek maka fungsi produksinya menjadi: Q = F (L) Dari fungsi produksi dengan satu input variabel di atas, dapat diturunkan Average Physical Product of Labour (APL) dan Marginal Physical Product of Labour (MPL). APL didefinisikan sebagai total produk (TP) dibagi jumlah unit tenaga kerja yang digunakan, sedang MPL ditentukan oleh perubahan
11
total produk (TP) per unit perubahan jumlah tenaga kerja yang digunakan. Secara matematis APL dapat ditulis sebagi berikut: APL = Q/L Sedangkan MPL = δQ/δL Karena APL = Q/L maka pada saat APL mencapai maksimum, besarnya APL = MPL. keadaan ini dapat dibuktikan secara matematis sebagai berikut APL maksimum mempunyai syarat bahwa turunan pertamanya sama dengan nol. Karena APL = Q/L maka: δ (Q/L) = 0 atau δL Q. δL – L δQ = 0 δL δL dengan menyederhanakan persamaan di atas maka akan diperoleh: Q=L
δQ δL
maka Q L
= δQ δL
Atau APL = MPL Hubungan antara APL dan MPL dapat pula dikaitkan dengan elastisitas produksi. Elastisitas produksi (Ep) itu sendiri menunjukkan persentase perubahan output sebagai akibat dari persentase perubahan input (Soekarwati, 1990:38 dalam Joesron dan Fathorrazi, 2012), secara sederhana dapat ditulis: % perubahan output Ep = % perubahan input
Secara matematis dapat diformulasikan menjadi:
12
δQ/Q Ep = δL/L
Karena APL = Q/L dan MPL maka elastisitas produksi dapat ditulis kembali menjadi MPL Ep = APL Dengan keadaan di atas, terdapat tiga keadaan yang dapat dijelaskan, yakni: 1) APL > MPL maka elastisitas produksi (Ep) mempunyai nilai < 1 (inelastis) 2) APL < MPL maka elastisitas produksi (Ep) mempunyai nilai > 1 (elastis) 3) APL = MPL maka elastisitas produksi (Ep) mempunyai nilai = 1 (unitary) Adapun analisis yang dapat dibangun dari hubungan antara input dengan output antara lain sebagai berikut: 1) Analisis Marginal Physical Product (MPP) Marginal Physical Product (MPP) menunjukkan tambahan output sebagai akibat bertambahnya satu input. Dalam analisis ini akan dijelaskan pula berlakunya hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang (The Law of Deminishing Return), yakni apabila MPP suatu input semakin berkurang sebagai akibat bertambahnya input yang digunakan. Analisis ini akan menjelaskan tahapan yang ekonomis untuk berproduksi, dan tahapan yang seharusnya dihindari oleh produsen. 2) Elastisitas produksi Elastisitas produksi menggambarkan persentase perubahan output sebagai akibat persentase perubahan input. Perbandingan elastisitas produksi antar input akan
13
menjelaskan input mana yang lebih elastis dibandingkan dengan input lainnya. Fungsi produksi Cobb Douglas mempunyai keunggulan untuk mengungkap masalah elastisitas produksi ini daripada bentuk fungsi produksi lainnya. 3) Hasil atas scala (return to scale) Dalam jangka panjang, semua input menjadi variabel sehingga apabila input berubah maka output akan ikut berubah pula. Sejauh mana output merespon perubahan input dijelaskan dalam hasil atas skala. Hasil atas skala ini berhubungan dengan economies of scale, yakni pada increasing return to scale akan diperoleh economies of scale positif, sedangkan pada constan return to scale maka economies of scale nol, dan pada decreasing return to scale, perusahaan tidak akan memperoleh economies of scale negatif karena pertambahan output justru akan meningkatkan biaya rata-rata dalam jangka panjang. 4) Kombinasi input yang menghasilkan output optimal Kombinasi input yang harus digunakan dalam proses produksi agar dihasilkan output optimal biasanya telah tertentu, sehingga kombinasi yang menyimpang dari kombinasi ideal akan menyebabkan biaya lebih tinggi. Pada kombinasi input yang menghasilkan output optimal berarti biaya variabel menunjukkan angka terendah. Analisis ini penting untuk diketahui agar perusahaan senantiasa dapat mempertahankan proses produksi pada posisi efisien.
14
2. Teori Intermediasi Bank merupakan bisnis yang menawarkan simpanan, yang dapat melaksanakan permintaan penarikan (dengan menggunakan cek atau membuat transfer dana elektronik) dan menyalurkannya dalam bentuk kredit yang bersifat komersial. Apostolik et.al (2009) membagi kegiatan inti bank atas 3 kegiatan inti yaitu (1) deposit collection, yaitu proses penghimpunan dana dari masyarakat berupa giro, tabungan dan deposito berjangka (2) payment services, memberikan jasa keuangan yaitu lalu lintas pembayaran, proses transfer uang (3) loan underwriting, menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit. Fungsi utama dari perbankan adalah intermediasi keuangan, yakni proses pembelian surplus dana dari sektor usaha, pemerintah maupun rumah tangga, untuk disalurkan kepada unit ekonomi yang defisit. Fungsi intermediasi keuangan muncul sebagai akibat dari mahalnya biaya monitoring, biaya likuiditas dan risiko harga (price risk) karena adanya informasi asymetric antara pemilik dana
(household/net
savers)
dengan
perusahaan
pengguna
dana
(corporations/netborrowers) sehingga dibutuhkan pihak perantara (intermediary) yang mampu mengakomodir kebutuhan kedua belah pihak (Saunders, 2008). Lebih lanjut, Saunders (2008) mengemukakan bahwa fungsi dan peranan intermediasi keuangan yaitu: (1) function as broker, (2) function as asset transformers, (3) role as delegated monitor, (4) role as information producer. Fungsi intermediasi perbankan telah mengalami perubahan akibat adanya perubahan lingkungan ekonomi dan perkembangan pasar keuangan
15
terutama terjadi di negara-negara maju (industrialized countries) seperti negaranegara di Uni Eropa (Bikker & Wesseling, 2003). Perkembangan teknologi informasi, deregulasi, liberalisasi, internasionalisasi menjadi faktor penyebab teori intermediasi keuangan menjadi tidak relevan dengan praktik bisnis yang terjadi sekarang (Scholtens & Wensveen, 2003). Faktor-faktor tersebut cenderung untuk mengurangi biaya transaksi (transaction-cost) dan informasi asimetris antara penabung (savers) dengan investor dan hal ini bertentangan dengan fungsi intermediasi keuangan klasik. Bikker & Wesseling (2003) juga menyatakan bahwa liberalisasi dan perkembangan teknologi informasi dipasar modal telah menyebabkan fungsi intermediasi beralih dari bank ke pasar modal dan lembaga keuangan non-intermediary seperti asuransi. Liberalisasi lembaga keuangan nonbank yaitu terlihat dalam proses memfasilitasi masyarakat untuk menyimpan asset dan melakukan investasi. Dan liberalisasi masyarakat melalui kebebasan dalam memilih sarana untuk menyimpan asset. Selain itu perkembangan teknologi telah membantu masyarakat dalam memonitor perkembangan asset mereka dan memberi peluang untuk melakukan diversifikasi atas asset yang dimiliki, sehingga mengurangi
monitoring-cost.
Hal
ini
yang
menyebabkan
terjadinya
disintermediation dalam industri perbankan. Globalisasi dan tingkat persaingan yang terjadi antara lembaga perbankan dan pasar modal juga mempengaruhi aktivitas intermediasi perbankan (banking business activity). Hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan konsolidasi perbankan melalui merger dan akuisisi, dengan tujuan untuk meningkatkan skala kapasitas melalui peningkatan asset (Bikker& Wesseling,
16
2003).
Konsolidasi
bank
tersebut
menyebabkan
terjadinya
peningkatan
kepemilikan bank oleh asing (foreign-owned bank), hal ini ini bukan saja terjadi pada negara-negara maju (industrialized countries) tetapi juga pada negara-negara berkembang (emerging countries) (Bikker & Wesseling, 2003). Fungsi intermediasi dapat dilaksanakan dengan optimal jika didukung permodalan yang memadai. Karena meskipun dana pihak ketiga yang dihimpun sangat besar namun apabila tidak diimbangi oleh tambahan modal maka bank akan terbatas dalam menyalurkan kreditnya. Senada dengan hasil penelitian Kishan dan Opiela (2000) menemukan bahwa pertumbuhan penyaluran kredit dipengaruhi oleh ukuran bank (asset) dan modal bank (leverage ratio) yaitu dengan penambahan ekuitas (modal sendiri). Berbeda dengan Inderst & Mueller (2008), hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan asumsi tanpa adanya regulasi, leverage memiliki korelasi yang positif terhadap tingkat pemberian kredit yang berisiko. Atau dengan kata lain, penambahan modal melalui utang akan berpengaruh terhadap peningkatan penyaluran kredit. Dalam penelitian ini fungsi intermediasi bank diwakili oleh variabel input price of labour, unit cost of fixed assets, unit cost of fund dan Pendapatan. Dimana untuk mendapatkan pendapatan bunga dari penyaluran kredit dan pendapatan non bunga dari penyediaan jasa yang menghasilkan fee dan komisi, bank harus memperoleh pendanaan baik melalui penghimpunan dana dari masyarakat yang surplus maupun dengan menggunakan modal yang dimiliki.
17
3. Teori Struktur Modal Struktur modal merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam proses pengambilan keputusan keuangan, karena memiliki hubungan timbal balik terhadap keputusan variabel-variabel keuangan lainnya. Perusahaan umumnya menggunakan baik pendanaan hutang maupun ekuitas. Struktur modal menggambarkan proporsi antara modal yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang berasal dari hutang dan modal sendiri (ekuitas) (DER). Semakin tinggi DER menunjukkan komposisi total hutang semakin besar dibanding dengan total modal sendiri (ekuitas) dan sebaliknya, (Subramanyam, 2010). Landasan berpikir yang digunakan untuk mengetahui struktur modal optimal yaitu melalui teori struktur modal yang terdiri dari: (a) Modigliani-Miller (MM) Theory yaitu apabila pajak tidak diperhitungkan, MM berpendapat bahwa nilai perusahaan tidak terpengaruh oleh struktur modal, (b) Trade-Off Theory, menjelaskan bahwa perusahaan akan memiliki struktur modal yang optimal berdasarkan adanya keseimbangan (trade-off) antara manfaat (benefit) dan biaya (costs) yang diperoleh dari penggunaan utang (c) Pecking Order Theory, menjelaskan
bahwa perusahaan akan
menentukan hirarki dari sumber
pendanaannya dimana pendanaan dari dalam perusahaan (internal financing) lebih didahulukan dari pada sumber pendanaan dari luar perusahaan (external financing) (Atmaja, 2008). Teori ini bukan saja berlaku pada perusahaan nonkeuangan tetapi juga berlaku terhadap industri perbankan (Marques & Santos, 2003). Marques & Santos (2003) mengatakan bahwa dalam proses pengambilan keputusan struktur modal yang terutama diperhatikan adalah trade-off antara
18
insentif dengan tata kelola (governance), serta struktur kepemilikan bank sebagai kontrol terhadap pengalokasian ekuitas dan utang (equity/debt). Dari sudut pandang pemegang saham, utang adalah sumber pendanaan eksternal yang lebih disukai karena dua alasan: 1) Bunga atas sebagian besar utang jumlahnya tetap, dan jika bunga lebih kecil dari pengembalian atas aset bersih operasi, selisih pengembalian tersebut akan menjadi keuntungan bagi investor ekuitas; 2) Bunga merupakan beban yang dapat mengurangi pajak, sedangkan dividen tidak. Jika dihubungkan dengan pelaksanaan fungsi intermediasi bank, maka bank seharusnya meningkatkan sumber dana dari modal sendiri (ekuitas) karena memiliki tingkat volatilitas yang rendah dan biayanya yang murah dibandingkan dengan utang. Selain itu dalam kondisi perbankan Indonesia dibawah regulasi yang ketat, bank disarankan untuk tidak mengambil risiko yang tinggi dengan menambah utang untuk kredit berisiko tinggi, mengingat risiko kredit dan risiko kebangkrutan yang akan dihadapi dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank. Sehingga diperkirakan bahwa modal bank berpengaruh positif terhadap fungsi intermediasi bank, terutama dalam penyaluran kredit. Namun demikian penggunaan hutang harus dianalisa biaya dan manfaatnya. Jika penggunaan hutang akan meningkatkan pendapatan serta manfaatnya lebih besar dari biayanya maka disarankan menggunakan hutang. Struktur modal dapat diukur dengan rasio-rasio sebagai berikut: (Subramanyam, 2010: 270-272)
19
1) Total utang terhadap total modal Total utang Total modal (total asset)
2) Total utang terhadap modal ekuitas Total utang Ekuitas Pemegang saham 3) Utang jangka panjang terhadap modal ekuitas Utang jangka panjang Ekuitas pemegang saham 4) Utang jangka pendek terhadap total utang
Dalam penelitian ini variabel struktur modal diukur sebagai rasio total utang terhadap total asset dan dimasukkan sebagai vaiabel spesifik bank untuk mengetahui seberapa besar pengaruh struktur modal perbankan terhadap pendapatan.
4. Teori Inflasi 4.1. Teori-Teori Inflasi 4.1.1. Teori Kuantitas Teori ini adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi.
20
Inti dari teori ini adalah sebagai berikut : 1) Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral. 2) Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang. 4.1.2. Keynesian Model Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek. Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heterogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang
21
berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationary gap menghilang). 4.1.3. Mark-up Model Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut : Price = Cost + Profit Margin Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu prosentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi : Price = Cost + ( a% x Cost ) Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar. 4.1.4. Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade,
22
hutang luar negeri dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu: 1)
Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis.
Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya. 2)
Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor.
Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku, input antara maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan. 3)
Pengeluaran pemerintah terbatas.
Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri
23
ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money). Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negara negara yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada struktur sektor keuangan. Dasar pemikiran kaum neostructuralist ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi. Menurut pemikiran kaum neostructuralist, uang merupakan salah satu faktor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) akan murah, maka volume investasi akan meningkat. Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksi juga akan meningkat. Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada gilirannya akan menekan tingkat inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini, timbul pendapat bahwa deregulasi di sektor finansial dan peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi. Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh
24
harga barang barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor. Menurut kesimpulan dari penelitian M.N. Dalal dan G. Schachter (1988), bila kontribusi impor terhadap pembentukan output domestik sangat besar, yang artinya sifat barang impor tersebut sangat penting terhadap price behaviour di negara importir, maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi di dalam negeri yang cukup besar. Selain itu, semakin rendah derajat kompetisi yang dimiliki oleh barang impor (price inelastic) terhadap produk dalam negeri, akan semakin besar pula dampak perubahan harga barang impor tersebut terhadap inflasi domestik. 4.2. Jenis Inflasi Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokan tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat bergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Jenis inflasi : 1) Menurut Derajatnya Inflasi ringan di bawah 10% (single digit) Inflasi sedang 10% - 30%. Inflasi tinggi 30% - 100%. Hyperinflasion di atas 100%. Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan
25
golongan masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang menderita ) dari inflasi yang sedang terjadi. 2) Menurut Penyebabnya Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang. Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan agregat ke arah kanan atas, sehingga terjadi excess demand , yang merupakan inflationary gap. Dan dalam kasus inflasi jenis ini, kenaikan harga-harga barang biasanya akan selalu diikuti dengan peningkatan output (GNP riil) dengan asumsi bila perekonomian masih belum mencapai kondisi full-employment. Pengertian kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan berbeda oleh para ahli ekonomi. Golongan moneterist menganggap aggregate demand mengalami kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan aggregate demand dapat disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi, investasi, government expenditures atau net export, walaupun tidak terjadi ekspansi jumlah uang beredar. Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya aggregate supply curve ke arah kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan aggregate supply curve bergeser tersebut adalah meningkatnya harga faktor-faktor produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri) di pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di pasar
26
komoditi. Dalam kasus cost push inflation kenaikan harga seringkali diikuti oleh kelesuan usaha. 3) Menurut Asalnya Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di dalam negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat. Imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (open economy system). Dan, inflasi ini dapat ‘menular’ baik melalui harga barang-barang impor maupun harga barang-barang ekspor. Terlepas
dari
pengelompokan-pengelompokan
tersebut,
pada
kenyataannya inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam/jenis inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh: imported inflation seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti dengan demand pull inflation. Boediono (1985) memaparkan bahwa inflasi ringan akan berdampak baik pada perekonomian, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bersemangat untuk bekerja, menabung dan berinvestasi, sehingga
27
menumbuhkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian menjadi stabil. Namun semakin berat atau semakin tinggi laju inflasi hingga tak terkendali maka keadaan perekonomian menjadi stabil. Akibatnya orang menjadi tidak bersemangat untuk bekerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Dengan demikian, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Dampak inflasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat terbagi menjadi dua yakni dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari inflasi menyebabkan peredaran dan perputaran barang lebih cepat di masyarakat sehingga produksi barang-barang bertambah, dan keuntungan pengusaha bertambah. Kesempatan kerja bertambah, karena terjadi tambahan investasi yang tercipta berarti membuka banyak lapangan kerja baru sehingga masalah pengangguran dapat berkurang. Ketika inflasinya terkendali dan diikuti dengan pendapatan nominal yang bertambah, maka pendapatan rill masyarakat meningkat. Inflasi pun memberikan dampak yang negatif terhadap perekonomian seperti kenaikan harga kebutuhan hidup, nilai dan kepercayaan terhadap uang akan berkurang. Menimbulkan tindakan spekulasi terhadap investasi portofolio terutama portofolio asing yang paling diminati sehingga berdampak terhadap melemahnya nilai tukar mata uang domestik. Banyak proyek pembangunan macet atau terlantar karena tidak sanggup membayar input dalam proyek yang harganya
28
mengalami peningkatan. Dengan terjadinya inflasi menjadikan minat menabung masyarakat berkurang sebagai akibat dari turunnya nilai mata uang jika hal ini akan berkurang. Menimbulkan tindakan spekulasi terhadap investasi portofolio terutama portofolio asing yang paling diminati sehingga berdampak terhadap melemahnya nilai tukar mata uang domestik. Banyak proyek pembangunan macet atau terlantar karena tidak sanggup membayar input dalam proyek yang harganya mengalami peningkatan. Dengan terjadinya inflasi menjadikan minat menabung masyarakat berkurang sebagai akibat dari turunnya nilai mata uang jika hal ini terjadi secara terus-menerus maka akan mematikan industri perbankan. Dalam penelitian ini variabel inflasi dijadikan indikator dalam menentukan periode krisis dan diisolasi dari variabel independen karena dalam satu tahun inflasi angkanya sama untuk setiap bank sehingga tidak memenuhi syarat sebagai variabel (angkanya tidak bervariasi). Namun demikian, inflasi, produk domestik bruto per kapita dan nilai tukar rupiah terhadap valas akan dijadikan indikator untuk kondisi makroekonomi dan digunakan sebagai dasar penentuan periode penelitian.
5. Teori Tingkat Persaingan Industri Perbankan Terdapat dua macam pendekatan yang sering dipakai guna menilai tingkat persaingan dalam sektor keuangan (juga sektor lainnya) secara empiris adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Bresnahan dan Lau dan pendekatan yang dikembangkan oleh Panzar dan Rosse (Claessens dan Leaven, 2003).
29
5.1. Pendekatan Bresnahan dan Lau Model yang dikembangkan oleh Bresnahan, yang menggunakan keseimbangan umum pasar (general market equilibrium), ini berangkat dari ide dasar bahwa keseimbangan perusahaan dalam memaksimumkan profit akan tercapai jika kondisi harga dan kuantitas output berada pada saat marginal cost sama dengan marginal revenue (MC=MR), kondisi ini, MC=MR, menyamai keadaan dimana harga permintaan yang berlaku pada pasar persaingan sempurna atau pendapatan marginal yang diterima suatu industri pada pasar persaingan yang collusive (perfect collusive). Secara khusus, dalam model ini akan didapat parameter yang akan dapat menunjukkan klasifikasi tingkat persaingan yang terjadi di pasar sehingga akan dapat diketahui apakah pasar tersebut merupakan pasar persaingan sempurna, persaingan tidak sempurna ataupun pasar monopoli. 5.2. Pendekatan Panzar dan Rosse Dalam hal kompetisi, Panzar dan Rosse (1987) mengembangkan model berdasarkan struktur biaya perusahaan. Metode ini mencoba membedakan tingkat kompetisi pasar dengan melihat hubungan antara pendapatan dengan perubahan harga input. Mereka memberikan implikasi terukur yang dapat diuji terkait dengan perilaku maksimisasi profit perusahaan. Studi ini menggunakan metode yang digunakan oleh Panzar dan Rosse (1987). Metode ini didasarkan pada bentuk reduksi dari persamaan penerimaan, dengan menggunakan data pendapatan perusahaan dan harga input. Metode ini menilai perilaku kompetitif bank untuk menentukan struktur pasar.
30
Metode ini menghitung penjumlahan elastisitas pendapatan terhadap harga input. Jumlah ini diberi symbol H (Vesala, 1995). Nilai elastisitas ini mengandung informasi tentang perilaku bank yang akan menentukan struktur pasar. Properti H memungkinkan secara empiris membedakan proses pembentukan harga dalam teori persaingan tidak sempurna untuk perbankan Indonesia, yakni apakah dari monopoli/kolusi sempurna, kompetisi monopolistik atau dari persaingan sempurna (Bikker dan Haaf,2002). Model empiris Panzar-Rosse ini mengasumsikan bahwa bank memiliki fungsi pendapatan dan biaya yang berbentuk log linear, m
p
Ln(MC) =α0+α1Ln(out)+∑βiLn(FIPi)+∑γiLn(EXcost,i)
(1)
j=1
i=1 q
Ln (MC) = δ0 + δ1 Ln (out) + ∑ μi Ln (Exrevenue,i) k=1
Dimana out adalah output, n adalah jumlah bank, FIP adalah harga input dan EXrevenue,i dan EXcost,i masing-masing menunjukkan variabel yang mempengaruhi penerimaan dan fungsi biaya bank. Pendekatan aplikasi empiris Panzar dan Rose mengasumsikan fungsi log-linear marginal cost untuk bank i (Bikker and Haaf, 2002). Selanjutnya, P-R Model mengasumsikan maksimisasi keuntungan masing-masing bank. Bank yang memaksimalkan keuntungan ini akan berproduksi pada level dimana marginal cost sama dengan marginal revenue, menghasilkan nilai ekuilibrium untuk output:
31
m
p
q
Ln(out)=(α0- δ0 + ∑βi Ln (FIPi) + ∑γi Ln (EXcost,i) -∑ μi Ln(Exrevenue,i)/( α1 – δ1) i=1
j=1
(3)
k=1
Dalam analisis empiris, bentuk reduksi dari persamaan pendapatan ini yang digunakan (Bikker dan Haaf, 2002: 2196): Ln(TIRit) = α i+ (βLn(AFRit) + γLn(PPEit) + δLn(PCEit) + σLn(OIit) + ∑ Ln(BSFjit) + eit
(4) j
dimana, TIR adalah rasio pendapatan bunga terhadap neraca total, AFR adalah harga pendanaan, PPE adalah biaya tenaga kerja (tingkat upah), PCE adalah harga dari pengeluaran modal, OI adalah rasio dari pendapatan lain terhadap neraca total, dan BSF adalah faktor-faktor spesifik bank yang bersifat eksogen, seperti komponen risiko, perbedaan deposit mix dan ukuran aset riil bank (Yeyati & Micco, 2007: 1637) . Dalam kondisi ini, H menunjukkan jumlah dari elastisitas pada persamaan reduksi penerimaan yang digambarkan oleh faktor harga. ə Ri H=∑ j
ə FIPji X
ə FIPji
ə Ri
Tingkat persaingan menentukan nilai dari H, apakah monopoli/kolusi sempurna, persaingan monopolistik atau persaingan sempurna. Di bawah ini adalah rumus untuk menghitung H, di mana H adalah jumlah elastisitas, yang terdiri dari elastisitas pendapatan terhadap perubahan biaya pendanaan (β), elastisitas pendapatan terhadap perubahan pengeluaran sumber daya manusia (γ) dan elastisitas pendapatan terhadap perubahan harga modal (δ). H=β+γ+δ
32
P-R Model membuktikan bahwa dengan monopoli, kenaikan harga input akan meningkatkan marginal cost, mengurangi output ekuilibrium dan kemudian mengurangi pendapatan, maka H akan menjadi nol atau negatif (Bikker dan Haaf, 2002). Dengan kata lain, pasar di mana terdapat kekuatan monopoli akan menghasilkan hubungan negatif antara kedua variabel, karena pendapatan kotor akan bergerak berlawanan arah dari perubahan unit cost (Vesala, 1995). Hasil yang sama juga ditemukan dalam persaingan monopolistik tanpa adanya ancaman entry, yaitu dengan jumlah bank yang tetap. Pasar terdiri dari beberapa bank, namun ada hambatan untuk memasuki pasar, sehingga jumlah bank tidak berubah. Vesala (1995) membuktikan bahwa di pasar seperti tersebut H adalah nol atau negatif, mirip dengan temuan Panzar dan Rosse di pasar monopoli. Dalam menganalisis persaingan monopolistik, pendekatan P-R Model didasarkan pada analisis statika komparatif dari model kesimbangan persaingan monopolistis Chamberlinian (Bikker dan Haaf, 2002). Dalam kasus model persaingan monopolistik, dimana produk bank dianggap sebagai substitusi yang sempurna satu sama lain, model Chamberlinian menghasilkan solusi kompetisi yang sempurna, karena elastisitas permintaan mendekati tak terhingga (Bikker & Haff: 2002: hal 2195). Dalam pasar kompetitif sempurna, peningkatan harga input akan meningkatkan rata-rata biaya secara proporsional. Keluarnya beberapa bank akan meningkatkan permintaan yang dihadapi oleh bank-bank yang tersisa, yang menyebabkan kenaikan harga dan pendapatan yang setara dengan kenaikan biaya (Bikker dan Haaf, 2002). Akhirnya, nilai H di pasar persaingan sempurna adalah sama dengan satu.
33
Dalam kasus model persaingan monopolistik dimana terdapat diferensiasi produk, maka nilai H akan positif tetapi kurang dari satu. Persaingan monopolistik merupakan kasus antara kondisi pasar monopoli dan persaingan sempurna. Diferensiasi produk sangat penting untuk menciptakan permintaan yang tidak begitu elastis. Jika produk kurang terdiferensiasi, maka kekuatan menentukan pasar akan kecil sehingga nilai H akan lebih tinggi. Tingginya biaya untuk beralih (switching) juga merupakan sumber kekuatan pasar. Pemegang rekening bank menanggung switching cost yang tinggi untuk berpindah dari satu bank ke bank yang lainnya. Jika pelanggan merencanakan untuk berpindah bank, maka mereka harus membuat nomor rekening baru. Ini mengisyaratkan banyak dokumen. Selain itu, pelanggan harus menginformasikan tentang perubahan hubungan bisnis mereka. Akhirnya, di pasar oligopoli, nilai H dapat juga bernilai positif, yakni ketika terdapat interaksi strategis antara sejumlah bank dengan jumlah yang tetap (Bikker dan Haaf, 2002). Namun, dalam kasus kolusi yang sempurna dalam oligopoli, P-R Model menghasilkan nilai negatif untuk H, mirip dengan model monopoli.
Nilai H H ≤ 0
0
Tabel 2.1 Ringkasan Kekuatan Diskriminasi Lingkungan yang kompetitif Keseimbangan Monopoli: masing-masing bank beroperasi secara independen dan maksimisasi keuntungan layaknya di bawah kondisi monopoli (H adalah fungsi menurun dari elastisitas permintaan) atau kartel sempurna. Keseimbangan persaingan monopolistik dengan kondisi free entry ( H merupakan fungsi menaik dari elastisitas permintaan ). Persaingan sempurna. Ekuilibrium free entry dengan utilisasi kapasitas penuh yang efisien.
Sumber: Bikker & Haaf (2002: 2195)
34
Ada lima asumsi yang perlu diterapkan dalam P-R Model. Pertama, bank diperlakukan sebagai perusahaan dengan produk tunggal yang bertindak sebagai perantara keuangan. Oleh karena itu bank menghasilkan pendapatan bunga dengan menggunakan dana, tenaga kerja dan modal sebagai input (De Bandt & Davis, 2000). Kedua, kita harus mengasumsikan bahwa harga input yang lebih tinggi tidak berhubungan dengan kualitas layanan yang lebih tinggi yang menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Gelos dan Roldós (2001) menjelaskan bahwa jikalaupun ada korelasi, mungkin ada bias dalam menafsirkan H. Asumsi ketiga adalah bahwa pasar berada dalam kondisi ekuilibrium dalam jangka panjang. Asumsi keempat dan kelima mempertimbangkanbank sebagai lembaga yang memaksimalkan laba dan mereka biasanya memiliki fungsi pendapatan dan biaya (Gelos & Roldos, 2002: 13-14). Salah satu asumsi berdasarkan P-R Model adalah pasar berada dalam kondisi keseimbangan (Claessens dan Laeven, 2003). Kita harus menguji apakah asumsi ini terpenuhi. Mengacu pada beberapa studi, pengujian keseimbangan pasar harus dapat memvalidasi bahwa statistik Panzar-Rose dapat memberikan hasil yang akurat (De Bandt dan Davis, 2000). Untuk menguji keseimbangan, beberapa studi mencoba sebuah pengujian apakah harga input berkaitan dengan pendapatan industri. Di sini, kita akan memodifikasi bentuk reduksi persamaan penerimaan dengan mengganti variabel dependen pendapatan dengan rasio laba bersih terhadap total aset (De Bandt dan Davis, 2000). Sehingga persamaan sebagai berikut:
35
Ln(ROAit) = αi + (βLn(AFRit) + γLn(PPEit) + δLn(PCEit) + σLn(OIit) + ∑ Ln(BSFjit) + eit Ekuilibrium didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana nilai ekuilibrium E-statistik adalah nol. E-statistik didefinisikan sebagai penjumlahan dari β, γ dan δ. Selanjutnya, kita dapat menggunakan F-test untuk memastikan signifikansi statistik uji apakah E = 0 (Claessens dan Laeven, 2003). B. Rerangka Pemikiran Adapun rerangka pemikiran yang akan digunakan untuk menguji hipotesis adalah sebagaimana gambar 2.1.
36
Gambar 2.1. Rerangka Pemikiran Faktor Intern
Faktor input utama ((beban tenaga kerja, modal finansial dan modal fisik), penyaluran kredit dan struktur modal))
Pendapatan
Faktor Ekstern
Inflasi, pertumbuhan produk domestik bruto per kapita dan nilai tukar rupiah terhadap valas
Penelitian Sebelumnya: • Antwi & Antwi (2013) • Bohin, Hasan dan Wachtel (2005) • Otchere (2005) • Claessens dan Laeven (2003)
Teori-Teori: • Teori Produksi • Teori Intermediasi • Teori Stuktur Modal • Teori Inflasi • Teori Persaingan Industri Perbankan
Sumber: penggambaran peneliti berdasarkan penelitian sebelumnya dan teori-teori yang terkait.
37
Berdasarkan gambar 2.1., terlihat bahwa faktor input utama yang terdiri dari beban tenaga kerja, modal finansial dan modal fisik, penyaluran kredit dan struktur modal merupakan variabel independen yang akan diuji berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, bagaimana pengaruhnya terhadap pendapatan, yang merupakan variabel dependen. Hasil uji akan digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang telah disebutkan pada sub bab C. di atas yaitu tujuan dan kontribusi penelitian.
C. Hipotesis Sebagai perekonomian terbuka yang kecil, Indonesia tidak bisa kebal dari dampak guncangan eksternal. Integrasi di sektor keuangan telah menempatkan banyak negara terutama untuk perekonomian terbuka, menghadapi risiko penularan. Sebuah studi empiris oleh Santoso et.al. (2009 ) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki hubungan penularan dengan beberapa negara di Asia, seperti Jepang, Taiwan, Korea, Hong Kong dan India. Pasar keuangan domestik bergerak erat dengan gerakan di pasar keuangan global. Penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh penularan langsung antara bursa saham Indonesia dan indeks Dow Jones dan indeks NASDAQ. Jadi, jika Indonesia terpengaruh oleh krisis global, bukan efek langsung dari pasar AS tetapi lebih kepada efek tidak langsung dari pasar modal di Asia yang memiliki hubungan langsung dengan pasar modal AS. Selanjutnya, penelitian menunjukkan bahwa Indonesia lebih merupakan shock absorber ketimbang transmitter, khususnya berkaitan dengan negara maju (Jepang, Australia, Jerman, Inggris dan AS).
38
Pada periode penelitian, bertepatan dengan adanya krisis keuangan global tahun 2008-2009 sehingga diduga akan berpengaruh terhadap kinerja bank karena adanya saling ketergantungan ekonomi dan keuangan antar negara. Hal ini bisa dilihat dari tiga indikator untuk mengukur kerentanan ekonomi terhadap resesi eksternal, yaitu adanya penurunan pertumbuhan GDP Indonesia dari 6,28% di tahun 2007 ke 4,5% di tahun 2009 dan inflasi yang diukur dari indeks harga konsumen (IHK) dari 6,59% di tahun 2007 menjadi 11,39% di tahun 2008 serta terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dari Rp9.020,- di tahun 2006 menjadi Rp10.950,- di tahun 2008 (Badan Pusat Statistik, 2010 Bank Indonesia, 2010). Untuk itu, periode penelitian dibagi menjadi tiga periode yaitu periode sebelum krisis tahun 2003-2007 dan periode krisis tahun 2008-2009 serta periode setelah krisis tahun 2010-2012 dan akan dilakukan uji beda dengan uji Chow Test. Sehingga terbentuk hipotesa pertama sebagai berikut: H1 = Terdapat perbedaan kinerja perbankan di Indonesia pada periode sebelum dan setelah krisis. Pengujian P-R Model telah banyak dilakukan di berbagai Negara, Antwi & Antwi (2013) dengan menggunakan sampel data semua bank yang beroperasi di Ghana dari tahun 1985-2011, menguji pengaruh reformasi sektor keuangan terhadap persaingan antar bank di Ghana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel 3 (tiga) input utama yaitu tenaga kerja, deposito dan modal fisik berpengaruh positif signifikan terhadap pendapatan, artinya reformasi sektor keuangan meningkatkan persaingan antar bank di Ghana .
39
Panzar-Rosse Model (1987) mendasarkan pada asumsi bahwa untuk menghasilkan pendapatan, bank menggunakan tiga faktor input dalam operasinya yaitu tenaga kerja, deposito dan modal fisik, dimana ketiga input tersebut adalah harga untuk input. Metode ini menilai perilaku kompetitif bank untuk menentukan struktur pasar. Metode Panzar-Rosse menghitung penjumlahan elastisitas pendapatan terhadap harga input. Hasil penjumlahan diberi lambang H. Nilai elastisitas ini mengandung informasi tentang perilaku bank yang akan menentukan struktur pasar. Properti H memungkinkan secara empiris membedakan proses pembentukan harga dalam teori persaingan tidak sempurna untuk perbankan di Indonesia, yakni apakah dari monopoli, kolusi sempurna, kompetisi monopolistik (Bikker & Haff, 2002). Ini diperkuat juga dengan kondisi perbankan yang diregulasi secara ketat oleh pemerintah, sehingga tidak mungkin pembentukan harga mengacu pada teori persaingan sempurna. Sehingga terbentuk hipotesa kedua sebagai berikut: H2 = Tingkat persaingan industri perbankan di Indonesia mengarah pada perilaku pasar persaingan tidak sempurna. Trade-Off Theory, menjelaskan bahwa perusahaan akan memiliki struktur modal yang optimal berdasarkan adanya keseimbangan (trade-off) antara manfaat (benefit) dan biaya (costs) yang diperoleh dari penggunaan utang. Proses pengambilan keputusan struktur modal yang terutama diperhatikan adalah tradeoff antara insentif dengan tata kelola (governance), serta struktur kepemilikan bank sebagai kontrol terhadap pengalokasian ekuitas dan hutang, Marques &
40
Santos (2003). Dari sudut pandang pemegang saham, utang adalah sumber pendanaan eksternal yang lebih disukai karena dua alasan: (Subramanyam, 2010) 1) Bunga atas sebagian besar utang jumlahnya tetap, dan jika bunga lebih kecil dari pengembalian atas aset bersih operasi, selisih pengembalian tersebut akan menjadi keuntungan bagi investor ekuitas; 2) Bunga merupakan beban yang dapat mengurangi pajak, sedangkan dividen tidak. Jika dihubungkan dengan pelaksanaan fungsi intermediasi bank, maka bank seharusnya meningkatkan sumber dana dari modal sendiri (ekuitas) karena memiliki tingkat volatilitas yang rendah dan biayanya yang murah dibandingkan dengan utang. Selain itu dalam kondisi perbankan Indonesia dibawah regulasi yang ketat, bank disarankan untuk tidak mengambil risiko yang tinggi dengan menambah utang untuk kredit berisiko tinggi, mengingat risiko kredit dan risiko kebangkrutan yang akan dihadapi dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank. Sehingga diperkirakan bahwa modal bank berpengaruh positif terhadap fungsi intermediasi bank, terutama dalam penyaluran kredit. Namun demikian penggunaan hutang harus dianalisa biaya dan manfaatnya. Jika penggunaan hutang akan meningkatkan pendapatan serta manfaatnya lebih besar dari biayanya maka disarankan menggunakan hutang, sehingga terbentuk hipotesa ketiga dan keempat sebagai berikut: H3 = Terdapat pengaruh positif antara penyaluran kredit terhadap pendapatan H4 = Terdapat pengaruh positif antara struktur modal terhadap pendapatan