BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Budaya Organisasi Seiring dengan berkembanganya suatu zaman dari masa ke masa maka
akan ada banyak perubahan yang terjadi. Selama perubahan inilah banyak nilainilai, kepercayaan yang sampai saat ini masih bertahan dan masih menjadi tradisi. Dari nilai-nilai yang bertahan hingga kini bisa menjadi suatu pedoman dalam suatu organisasi dalam menjalankan misi organisasinya. Suatu organisasi memiliki budaya organisasi yang baik maka organisasi tersebut dapat mewujudkan segala tujuan organisasi dengan sempurna. Organisasi yang memiliki keunggulan dalam budaya organisasinya ditambah dengan peran serta para anggotanya dalam memegang prinsip-prinsip yang ada dalam budaya tersebut akan membantu memudahkan organisasi mencapai tujuannya. Budaya organisasi yang terbentuk secara mendasar dan kokoh akan membantu mengarahkan setiap anggota organisasi tersebut dalam menjalankan tugas-tugasnya yang telah menjadi tanggung jawabnya. Budaya organisasi yang kuat membawa pengaruh yang positif bagi karyawan dan organisasi, dimana anggota organisasi memegang komitmen yang lebih besar pada nilai-nilai yang ditetapkan oleh organisasi. Budaya yang kuat dicirikan oleh nilai inti dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama secara luas.
10
11
2.1.1
Pengertian Budaya Organisasi Dalam terminologi akademis, budaya organisasi merupakan konstruk yang
merupakan abstraksi dari fenomena yang dapat diamati dari banyak dimensi. Sehingga banyak para ahli mengungkapkan definisi mengenai budaya organisasi. Menurut Schein (Safaria, 2004) mendifinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut. Sedangkan menurut Luthans (Safaria, 2004) menjelaskan definisi budaya organisasi sebagai seperangkat nilai-nilai pokok, asumsi, pemahaman dan cara berpikir yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota dan diajarkan kepada anggota organisasi. Budaya orgnisasi pada konsep yang paling dasar adalah polapola asumsi yang dimiliki bersama tentang bagaimana pekerjaan diselesaikan dalam sebuah organisasi. Kotter dan Hesekett (Safaria, 2004) menjelaskan bahwa budaya organisasi mempunyai tiga tingkat, yaitu : pertama, budaya organisasi yang tampak (visible) seperti cara berpakaian dan simbol-simbol fisik yang dapat terlihat ditempat kerja, perayaan atau acara seremonial yang diadakan oleh perusahaan dan tata ruang kantor. Kedua, budaya organisasi yang tidak tampak (invisible) yaitu nilai-nilai yang diekspresikan oleh rekan-rekan kerja, atasan sebagaimana definisi dari
12
disiplin, apa makna prestasi itu. Ketiga, keyakinan yang paling dalam atau asumsi-asumsi yang tersembunyi seperti adanya keyakinan bahwa atasan tidak pernah salah, anak buahlah yang salah, atau konsumen adalah raja yang mungkin dapat dipahami keberdaannya. Budaya organisasi digunakan umumnya digunakan untuk pengembangan organisasi secara keseluruhan atau peningkatan kinerja karyawan dalam suatu organisasi. Budaya organisasi sebagai bagian dari studi teori organisasi dilihat dari aspek perilaku organisasi, sekelompok individu yang bekerjasama dalam mencapai tujuan. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang diyakini dan dijiwai oleh seluruh anggotanya dalam melakukan pekerjaan sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait, sehingga akan menjadi sebuah nilai atau aturan di dalam organisasi tersebut. Budaya organisasi mempunyai sejumlah karakteristik pokok yang telah disepakati oleh para ahli (Safaria, 2004), yaitu : 1. Perilaku yang diobservasi. Perilaku ini bisa dilihat dari proses interaksi yang terjadi diantara para anggota organisasi, seperti menggunakan bahasa yang sama, cara bersikap yang sama atau ritual-ritual yang berhubungan dengan kegiatan organisasi. 2. Norma. Norma merupakan sejumlah standar perilaku yang menjadi batasan dan harus dipatuhi oleh para anggotanya. Norma mengatur tentang tindakan
13
apa yang dilarang untuk berlaku curang, membocorkan rahasia perusahaan kepada pihak lain. 3. Nilai-nilai dominan. Nilai-nilai ini merupakan ciri dari anggota organisasi yang membedakan dengan organisasi lainnya melembagakan
nilai-nilai
ini
dan
dan organisasi
mengharapkan
anggotanya
yang untuk
menjiwainya. Misalnya, nilai-nilai pokok karyawan untuk kualitas produk yang tinggi, memberikan pelayanan prima bagi pelanggan atau mencapai kinerja tertinggi. 4. Filosofi. Merupakan seperangkat keyakinan dasar dan kepercayaan yang dipegang kuat oleh organisasi. Keyakinan dasar ini turut mempengaruhi kebijakan dan aturan di dalam organisasi. Seperti keyakinan organisasi untuk tidak melakukan PHK dan berusaha menghindarinya, atau keyakinan dasar organisasi untuk bisa memenuhi tanggung jawab sosialnya bagi masyarakat dan negaranya. 5. Peraturan. Merupakan pedoman yang ketat yang tercantum secara terrtulis di dalam kebijakan organisasi. Seperti tentang disiplin dalam bekerja. 6. Iklim organisasi. Iklim orgnisasi merupakan suasana umum yang dirasakan oleh anggota organisasinya, melalui bangunan fisik, setting ruangan kerja, cara anggota berinteraksi satu sama lainnya, proses komunikasi yang terjadi.
2.1.2
Model Budaya Organisasi Model budaya organisasi yang dikemukakan oleh Denison (Sutrisno,
2010), menyatakan bahwa ada empat prinsip integratif mengenai hubungan timbal
14
balik antara budaya organisasi dan efektifitas kerja perusahaan. Keempat prinsip ini diberi nama empat sifat utama (main cultural traits) yang menyangkut keterlibatan (involvement), konsistensi (concistency), adaptabilitas (adaptibility), dan misi (mission). Keempat sifat utama tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Keterlibatan (involvement). Keterlibatan
merupakan
faktor
kunci
dalam
budaya
organisasi.
Keterlibatan yang tinggi dari anggota organisasi berpengaruh terhadap kinerja perusahaan khususnya menyangkut manajemen, strategi perusahaan, struktur organisasi, biaya-biaya transaksi, dan sebagainya. Nilai-nilai, norma-norma, dan tradisi organisasi bisa merupakan konsensus bagi anggota organisasi untuk melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan organisasi. Memberdayakan orangorang yang ada didalamnya, membangun organisasi dalam tim, dan mengembangkan kemampuan SDM pada semua level. Indikator keterlibatan adalah pemberdayaan, orientasi tim, dan pengembangan kemampuan. Konsep ini mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan dan partisipasi yang tinggi menciptakan kesadaran akan kepemilikan (sense of ownership) dan tanggung jawab. Dari kesadaran ini timbul komitmen yang lebih besar pada organisasi dan kebutuhan yang lebih sedikit akan sistem kontrol yang ketat. 2) Konsistensi (concistency). Konsistensi peraturanperaturan
menyangkut mempunyai
keyakinan, pengaruh
nilai-nilai, terhadap
simbul
kinerja
dan
perusahaan
khususnya menyangkut, metode melakukan bisnis, perilaku karyawan dan
15
tindakan-tindakan bisnis lainnya. Organisasi dengan sifat-sifat seperti ini mempunyai
budaya
yang khusus
dan kuat
yang secara signifikan
mempengaruhi sikap perilaku anggota pada kemampuan mereka dalam mencapai kesepakatan dan melakukan tindakan-tindakan terkoordinasi. Indikator konsistensi adalah nilai-nilai inti, kesepakatan, koordinasi, dan integrasi. Dalam konteks organisasi koordinasi dan integrasi antar unit / divisi sering merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan. Masing-masing unit sering merasa tidak peduli dengan yang lain dalam arti lebih mementingkan kebutuhan
unitnya
masing-masing
tanpa
memperhatikan
kepentingan
organisasi secara keseluruhan. 3) Adaptabilitas (adaptibility) Ada tiga aspek adaptabilitas yang mempunyai dampak pada efektifitas organisasi, yaitu sebagai berikut. (1) Kemampuan untuk menyadari dan bereaksi pada lingkungan ekternal. (2) Kemampuan untuk bereaksi pada lingkungan internal. (3) Kemampuan untuk bereaksi pada pelanggan internal maupun ekternal. Ketiga aspek di atas merupakan hasil perkembangan dari asumsi-asumsi, nilainilai, dan norma-norma dasar yang memberikan struktur dan arah bagi organisasi. Organisasi yang dapat beradaptasi digerakkan oleh pelangganya, mengambil resiko dan belajar dari kesalahanya, dan mempunyai kemampuan serta pengalaman untuk menciptakan perubahan. Mereka terus-menerus meningkatkan kemampuan organisasi untuk memberikan nilai yang berharga bagi pelangganya. Organisasi yang memiliki ciri tersebut dikatakan sebagai
16
organisasi yang memiliki adaptabilitas karena indikator adaptabilitas adalah kemampuan menciptakan perubahan, fokus pada pelanggan, kemampuan organisasi untuk belajar. 4) Misi (Mission) Penghayatan misi memberikan dua pengaruh besar pada fungsi perusahaan: a) Menentukan manfaat dan makna dengan cara mendefinisikan peran sosial dan sasaran eksternal bagi institusi serta mendefinisikan peran individu berkenaan dengan peran institusi, b) Memberikan kejelasan dan arah/aturan. Kesadaran akan misi memberikan arah dan sasaran yang jelas yang berfungsi untuk mendefinisikan serangkaian tindakan yang tepat bagi organisasi dan para anggotanya. Kedua faktor tersebut memiliki efek positif pada kinerja organisasi. Organisasi yang berhasil mempunyai arah dan tujuan yang jelas didefinisikan dalam tujuan organisasi dan sasaran strategis dan tercermin dalam visi tentang akan bagaimana organisasi dimasa depan. Jika visi menggambarkan aspirasi organisasi dan akan menjadi seperti apa, maka misi menggambarkan organisasi dalam melakukan usaha, melayani pelanggan dan keahlian yang perlu dikembangkan untuk mencapai visi organisasi. Indikator misi adalah arah dan intensi strategis, tujuan dan sasaran, visi.
2.1.3
Karakteristik Budaya Organisasi Menurut Robbins (Tika, 2006) terdapat beberapa karakteristik yang
apabila dicampur dan dicocokkan maka akan menjadi budaya internal yaitu :
17
1. Inisiatif individu yaitu sejauh mana organisasi memberikan kebebasan kepada setiap karyawan dalam mengemukakan pendapatnya yang di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi. 2. Toleransi terhadap tindakan beresiko yaitu sejauh mana karyawan dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif dan mengambil resiko dalam mengambil kesempatan yang dapat memajukan dan mengembangkan organisasi. Tindakan yang beresiko yang dimaksudkan adalah segala akibat yang timbul dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh pegawai. 3. Pengarahan yaitu sejauh mana pimpinan suatu organisasi dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan, sehingga para karyawan dapat memahaminya dan segala kegiatan yang dilakukan para karyawan mengarah pada pencapaian tujuan organisasi. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi dan misi. 4. Integrasi yaitu sejauh mana suatu organisasi dapat mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Menurut Handoko (2005) koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada unit-unit yang terpisah (departemen atau bidangbidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan. 5. Dukungan manajemen yaitu sejauhmana para pimpinan organisasi dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas
18
terhadap karyawan. Dukungan tersebut dapat berupa adanya upaya pengembangan kemampuan para karyawan seperti mengadakan pelatihan. 6. Kontrol yaitu adanya pengawasan dari para pimpinan terhadap para karyawan dengan menggunakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan demi kelancaran
organisasi.
Pengawasan
menurut
Handoko
(2005)
dapat
didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi tercapai. 7. Sistem imbalan yaitu sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja karyawan, bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. 8. Toleransi terhadap konflik yaitu sejauh mana para karyawan didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka guna memajukan organisasi, dan bagaimana pula tanggapan organisasi terhadap konflik tersebut. 9. Pola komunikasi yaitu sejauh mana komunikasi dalam organisasi yang dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal dapat berjalan baik. Menurut Handoko (2005) komunikasi itu sendiri merupakan proses pemindahan pengertian atau informasi dari seseorang ke orang lain. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat memenuhi kebutuhan sasarannya, sehingga akhirnya dapat memberikan hasil yang lebih efektif. Dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, Komatsu Undercarriage Indonesia selalu berpedoman terhadap nilai-nilai yang berlaku global di seluruh perusahaan Komatsu diseluruh dunia.
19
2.2
Kepemimpinan Suatu organisasi yang berhasil dalam mencapai tujuannya serta mampu
memenuhi tanggung jawab sosialnya akan sangat tergantung pada para pimpinannya. Apabila pemimpin yang mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, sangat mungkin organisasi tersebut akan dapat mencapai sasarannya. Sebab itu organisasi membutuhkan pemimpin yang efektif, yang mempunyai kemampuan
mempengaruhi perilaku anggotanya atau anak buahnya. Jadi,
seorang pemimpin atau kepala suatu organisasi akan diakui sebagai seorang pemimpin apabila ia dapat mempunyai pengaruh dan mampu mengarahkan bawahannya ke arah pencapaian tujuan organisasi. Menurut Daft, kepemimpinan merupakan salah satu fenomena yang paling mudah diobservasi, tetapi menjadi salah satu hal yang paling sulit untuk dipahami (Safaria 2004).
2.2.1
Pengertian Kepemimpinan Robbin (2006) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan
untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Kepemimpinan menurut Siagian adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam hal ini para bawahannya sedemikian rupa sehingga orang lain itu mau melakukan kehendak pemimpin meskipun secara pribadi hal itu mungkin tidak disenangi. Sedangkan Yukl (2006) mengatakan kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses
20
untuk memfasilitasi upaya individu dan kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Rivai (2004) gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, ketrampilan, sifat, dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya kepeimpinan menunjukkan secara langsung maupun tidak langsung, tentang keyakinan seorang pemimpin terhadap kemampuan bawahannya. Joseph C. Rost (Safaria, 2004) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi diantara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. Unsur-unsur pokok dalam kepemimpinan melibatkan hubungan pengaruh yang mendalam, ini terjadi diantara orang-orang yang menginginkan perubahan signifikan, dan perubahan tersebut mencerminkan tujuan yang dimiliki bersama pemimpin dan pengikutnya (bawahan). Pengaruh (influence) dalam hal ini berarti hubungan diantara pemimpin dan pengikut sehingga bukan sesuatu yang pasif, tetapi merupakan hubungan timbal balik dan tanpa paksaan. Dengan demikian maka kepemimpinan itu merupakan proses yang saling mempengaruhi.
21
Pengaruh
Keinginan / niat
Pengikut
Pemimpin
Tujuan bersama
Tanggungjawab pribadi
Perubahan
Gambar 2.1 Unsur-unsur Pokok dalam Kepemimpinan 2.2.2
Teori Kepemimpinan Untuk dapat mewujudkan tercapainya tujuan dari suatu organisasi maka
diperlukan seorang pemimpin yang piawai dalam menjalankan fungsi organisasi. Pemimpin tersebut mempunyai beberapa karakteristik untuk dapat mendukung tercapainya tujuan perusahaan. Terdapat beberapa teori kepimpinan, yaitu : 1. Teori Sifat Menurut teori sifat, hanya individu yang memiliki sifat-sifat tertentulah yang bisa menjadi seorang pemimpin. Teori ini menegaskan bahwa beberapa individu memiliki sifat-sifat tertentu secara alamiah untuk menjadi seorang pemimpin. Menurut Yukl, walaupun sifat-sifat tertentu penting untuk dimiliki oleh seorang pemimpin, namun sifat-sifat itu sendiri tidak bisa mendorong seorang pemimpin sukses dalam mengelola organisasi, sebab masih ada faktor-faktor lain yang turut mendorong kesuksesan seorang pemimpin. Ada tiga sifat penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu kepercayaan diri, kejujuran dan integritas, serta motivasi (Daft, 1999).
22
2. Teori Perilaku Dalam proses kepemimpinannya pemimpin itu sendiri dipengaruhi oleh persepsi dan asumsinya tentng organisasi, bawahan dan lingkungan eksternal. Asumsi dan persepsi ini akan menjadi dasar bagi pemimpin untuk memunculkan reaksi dan perilakunya dalam proses kepemimpinannya. Terdapat beberapa teori perilaku, yaitu : a) Teori X dan Teori Y Teori X ini cenderung menganggap bawahannya sebagai alat produksi semata, dimotivasi oleh hukuman dan hadiah, tidak memiliki keinginan untuk maju, dan menghindari tanggung jawab. Akibatnya, pemimpin harus mengawasi mereka dengan ketat, membuat dan menjalankan aturan organisasi dengan keras dan menggunakan ancaman hukuman untuk menakuti bawahan agar mau bekerja. Teori Y adalah kebalikan dari Teori X yang mana teori ini akan beranggapan bahwa bawahan merupakan individu yang bisa berkembang secara baik, mempunyai pengendalian diri dan bertanggung jawab atas pekerjaannya. Akibatnya, pemimpin akan lebih banyak memberikan dorongan, kesempatan untuk maju bagi bawahannya, serta tanggung jawab melalui pendelegasian tugas. b) Penelitian IOWA University. Penelitian ini dilakukan oleh Ronald Lippit, Talph K. White dibawah bimbingan Kurt Lewin pada tahun 1930-an dan menghasilkan tiga gaya kepemimpinan yaitu autokratis, laissez faire dan demokratis. Pemimpin autokratis digambarkan sebagai pimpinan pemegang kendali penuh,
23
kekuasaanya bersifat
sentralistik, menekankan kekuasaan jabatan,
dilaksanakan dengan paksaan. Pada kelompok laissez faire pemimpin memberikan kebebasan secara penuh kepada bawahannya untuk melakukan apa saja. Pemimpin ini sebenarnya tidak memberikan kepemimpinannya pada kelompoknya. Sedangkan pada kelompok pemimpin demokratis kinerja kelompok tinggi, suasana yang muncul lebih positif seperti kepuasan bawahan, walaupun tidak ada pemimpin kinerja kelompok tetap tinggi. c) Penelitian Ohio State University Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ohio State University menghasilkan dua kategori yang terdefinisi secara luas, yaitu berhubungan dengan tujuan tugas dan yang lainnya berhubungan dengan dengan hubungan antarpribadi. Kategori tersebut adalah pertama : pertimbangan, pemimpin bertindak dalam cara yang bersahabat dan mendukung, memperlihatkan perhatian terhadapa bawahan, dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Kedua, struktur memprakarsai (initiating structure). Pemimpin menentukan dan membuat struktur perannya sendiri dan peran para bawahannya ke arah pencapaian tujuan formal, pemimpin yang berorientasi pada penyelesaian tugas, mengarahkan aktivitas organisasi secara ketat untuk mencapai tujuan tertinggi. d) Penelitian University of Michigan Penelitian ini menemukan tiga jenis perilaku kepemimpinan dapat dibedakan antara para manajer yang efektif dengan manajer yang tidak
24
efektif. Perilaku yang berorientasi pada tugas, disini para manajer yang efektif tidak menggunakan waktu dan usahanya dengan melakukan pekerjaan yang sama dengan seperti bawahannya. Tetapi lebih berkonsentrasi pada fungsi-fungsi yang berorientasi pada tugas seperti merencanakan dan mengatur pekerjaan. Perilaku yang berorientasi pada hubungan. Pada kategori ini para manajer yang efektif, perilaku yang berorientasi pada tugas tidak terjadi dengan mengorbankan perhatian terhadapa hubungan manusia. Terakhir, kepemimpinan partisipatif, para manajer yang efektif menggunakan lebih banyak supervisi kelompok daripada mengendalikan tiap bawahan sendiri-sendiri. e) Teori Kepemimpinan Situasional Suatu pendekatan terhadap kepemimpinan yang menyatakan bahwa pemimpin memahami perilakunya, sifat-sifat bawahannya, dan situasi sebelum menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Pendekatan ini mensyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan diagnostik dalam perilaku manusia. Dalam teori situasional yang diterapkan dari Hersey dan Blanchard berfokus kepada karakteristik kematangan bawahan sebagai kunci pokok situasi yang menentukan keefektifan perilaku seorang pemimpin. Dalam teori jalur tujuan (Path Goal Theory) yang dikembangkan oleh Robert House, menurut Kreitner dan Kinicki (Yukl, 2006) menyatakan bahwa pemimpin mendorong kinerja yang lebih tinggi dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi bawahannya agar percaya bahwa hasil yang berharga bisa
25
dicapai dengan usaha yang serius. Kepemimpinan yang berlaku secara universal menghasilkan tingkat kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi. Dalam situasi yang berbeda mensyaratkan gaya kepemimpinan yaitu karakteristik personal dan kekuatan lingkungan. Teori ini juga menggambarkan bagaimana persepsi harapan dipengaruhi oleh hubungan kontijensi diantara empat gaya kepemimpinan dan berbagai sikap dan perilaku karyawan. Perilaku pemimpin memberikan motivasi sampai tingkat (1) mengurangi halangan jalan yang mengganggu pencapaian tujuan, (2) memberikan panduan dan dukungan yang dibutuhkan oleh para karyawan, dan (3) mengaitkan penghargaan yang berarti terhadap pencapaian tujuan. Selain itu House percaya bahwa pemimpin dapat menunjukkan lebih dari satu gaya kepemimpinan, dan mengidentifikasikan empat gaya kepemimpinan, yaitu: 1. Kepemimpinan yang mengarahkan/pengasuh (direktif). Memberikan panduan kepada para karyawan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, menjadwalkan pekerjaan, dan mempertahankan standar kerja. 2. Kepemimpinan yang mendukung (supportive). Menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan kebutuhan para karyawan, sikap ramah dan dapat didekati, serta meperlakukan para karyawan sebagai orang yang setara dengan dirinya. 3. Kepemimpinan partisipatif. Berkonsultasi dengan karyawan dan secara serius mempertimbangkan gagasan mereka pada saat mengambil keputusan.
26
4. Kepemimpinan yang berorientasi pada pencapaian (prestasi). Mendorong para karyawan untuk berprestasi pada tingkat tertinggi mereka dengan menetapkan tujuan yang menantang, menekankan pada kesempurnaan, dan memperlihatkan kepercayaan diri atas kemampuan karyawan. Dengan mempergunakan salah satu dari empat gaya di atas, pemimpin berusaha mempengaruhi persepsi bawahannya dan memotivasinya, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja, dan pelaksanaan kerja yang efektif.
2.2.3 Teori Kepemimpinan Karismatik Teori kepemimpinan karismatik ini berlandaskan keyakinan bahwa pemimpin yang karismatik mempunyai kekuatan supranatural, kekuatan yang tidak tampak, mengandung kekuatan magis melalui pancaran pribadi menyeluruh sang pemimpin yang mempengaruhi bawahannya dengan luar biasa. Ciri dan perilaku pemimpin merupakan penentu penting dari kepemimpinan karismatik. Menurut House (Safaria, 2004), pemimpin karismatik mempunyai karakteristik mencolok, seperti kepercayaannya pada bawahan yang besar, harapan yang tinggi bagi bawahannya, visi ideologi yang menimbulkan pengaruh kuat dan menggunakan contoh teladan pribadinya pada bawahannya.
2.2.4
Teori Kepemipinan Transformasional Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Burn (Yukl, 2006) yang
mengidentifikasikan dua tipe kepemimpinan politik, yaitu kepemimpinan transformasional
dan
kepemimpinan
transaksional.
Kepemimpinan
27
transformasional dicirikan sebagai pemimpin yang berfokus pada pencapaian perubahan nilai-nilai, kepercayaan, sikap, perilaku, emosional dan kebutuhan bawahan menuju perubahan yang lebih baik di masa depan. Pemimpin transformasional merupakan seorang yang membawa perubahan melakukan transformasi ulang organisasi secara menyeluruh sehingga organisasi bisa mencapai kinerja yang lebih maksimal di masa depan. Sedangkan kepemimpinan transaksional lebih berfokus pada hubungan pemimpin dan bawahan, tanpa adanya usaha menciptakan perubahan bagi bawahannya. Menurut Bass (Safaria, 2004), pemimpin transformasional ini mampu membawa organisasi menuju kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemimpin transaksional. Perbedaan antara karakteristik antara pemimpin transaksional dan pemimpin transformasional akan disajikan secara jelas pada tabel berikut : Tabel 2.1 Perbedaan Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan Transformasional
1. Pengaruh melalui penerapan hadiah 1. Menciptakan visi dan kekuatan dan hukuman.
misi,
menanamkan
kebanggaan
2. Pengawasan ketat dan pengendalian
pada diri bawahan, memperoleh dan
bagi pelanggaran aturan dan standar
memberikan penghormatan, serta
organisasi.
menumbuhkan
3. Melakukan intervensi jika standar kinerja tidak terpenuhi.
kepercayaan
diantara bawahan. 2. Menumbuhkan dan meningkatkan
28
4. Menimpakan tanggung jawab pada bawahan
dan
menghindari
pembuatan keputusan.
2.3
kecerdasan,
rasionalitas,
dan
pemecahan masalah secara hati-hati pada bawahan.
Kinerja Karyawan Kinerja merupakan perilaku organisasi yang secara langsung berhubungan
dengan produksi barang atau penyampaian jasa. Informasi tentang kinerja organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting digunakan untuk mengevaluasi apakah proses kinerja yang dilakukan organisasi selama ini sudah sejalan dengan tujuan yang diharapkan atau belum. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak organisasi yang justru kurang atau bahkan tidak jarang ada yang mempunyai informasi tentang kinerja dalam organisasinya. Kinerja sebagai hasil-hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu (Tika, 2006). Sedangkan menurut Rivai dan Basri (2005) kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawab dengan hasil seperti yang diharapkan. Menurut Guritno dan Waridin (2005) kinerja merupakan perbandingan hasil kerja yang dicapai oleh karyawan dengan standar yang telah ditentukan. Sedangkan menurut Hakim (2006) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja yang dicapai oleh individu yang disesuaikan dengan peran atau tugas individu tersebut dalam suatu perusahaan pada suatu periode waktu tertentu, yang
29
dihubungkan dengan suatu ukuran nilai atau standar tertentu dari perusahaan dimana individu tersebut bekerja. Kinerja merupakan perbandingan hasil kerja yang dicapai oleh pegawai dengan standar yang telah ditentukan. Berdasarkan pengertian kinerja dari beberapa pendapat diatas, kinerja merupakan perbandingan hasil kerja yang dicapai oleh karyawan dengan standar yang telah ditentukan. Kinerja juga berarti hasil yang dicapai oleh seseorang, baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi sesuai dengan tanggung jawab yang dberikan kepadanya. Tika (2006) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) unsur-unsur yang terdapat dalam kinerja yaitu: 1. Hasil-hasil fungsi pekerjaan 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan 3. Pencapaian tujuan organisasi 4. Periode waktu tertentu Menurut Rivai dan Basri (2005) kinerja pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yaitu: 1. Kemampuan 2. Keinginan 3. Lingkungan Rivai dan Basri (2005) juga menyebutkan empat aspek kinerja: 1. Kemampuan 2. Penerimaan tujuan perusahaan 3. Tingkat tujuan yang dicapai 4. Interaksi antara tujuan dan kemampuan para karyawan dalam perusahaan Kemudian Tujuan kinerja menurut Rivai dan Basri (2005):
30
1. Kemahiran dari kemampuan tugas baru diperuntukan untuk perbaikan hasil kinerja dan kegiatannya. 2. Kemahiran dari pengetahuan baru dimana akan membantu karyawan dengan pemecahan masalah yang kompleks atas aktivitas membuat keputusan pada tugas. 3. Kemahiran atau perbaikan pada sikap terhadap teman kerjanya dengan satu aktivitas kinerja. 4. Target aktivitas perbaikan kinerja 5.
Perbaikan dalam kualitas atau produksi.
6. Perbaikan dalam waktu atau pengiriman. Yuwalliatin (2006) mengatakan bahwa kinerja diukur dengan instrumen yang dikembangkan dalam studi yang tergabung dalam ukuran kinerja secara umum kemudian diterjemahkan kedalam penilaian perilaku secara mendasar, meliputi: 1. Kuantitas kerja 2. Kualitas kerja 3. Pengetahuan tentang pekerjaan 4. Pendapat atau pernyataan yang disampaikan 5. Perencanaan kegiatan.
2.3.1
Faktor-Faktor Mempengaruhi Kinerja Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah faktor
kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Sesuai dengan pendapat Keith Davis (dalam Mangkunegara, 2009) yang merumuskan bahwa :
31
Human Performance
= Ability + Motivation
Motivation
= Attitude + Situation
Ability
= Knowledge + Skill
a) Faktor Kemampuan Dalam penilaian kinerja secara psikologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ tinggi (110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk
jabatannya dan terampil dalam mengerjakan
pekerjaannya sehari-hari, maka ia akan mudah mencapai kinerja yang diharapkan. b) Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang karyawan dalam menghadi situasi kerja. Dari motivasi inilah yang menggerakan diri seorang karyawan terarah kepada tujuan organisasi. Sikap mental seorang karyawan harus mempunyai sikap mental siap secara mental, fisik, tujuan dan situasi. Dengan sikap seperti ini artinya sikap karyawan sudah memahami tujuan utama dan target kerja yang akan dicapai, mampu memanfaatkan dan menciptakan situasi kerja. David C. McClelland mengemukakan bahwa ada hubungan antara positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kinerja. Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri seorang karyawan untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan predikat terpuji. McClelland juga mengungkapkan 6 karakteristik dari karyawan yang memiliki motif berprestasi tinggi, yaitu : pertama, memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi. Kedua, berani ambil
32
resiko. Ketiga, memiliki tujuan yang realistis. Keempat, memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk mereaslisasikan tujuannya. Kelima, memanfaatkan umpan balik (feed back) yang konkret dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukannya. Keenam, mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan.
2.3.2
Hambatan Dalam Evaluasi Kinerja Proses evaluasi karyawan pada dasarnya dilakukan dengan adil secara
keseluruhan, dengan tujuan agar dapat meningkatkan produktivitas karyawan. Karyawan yang tidak berprestasi baik akan memperoleh umpan balik dan diharapkan
akan meningkatkan prestasinya.
Tapi
tidak semudah
yang
dibayangkan, karyawan yang mendapatkan nilai tidak baik dimata pimpinan akan merasa tersinggung dan putus asa. Dan hal ini justru akan memperburuk keadaan. Dengan demikian maka manajer harus berhati-hati dalam menjelaskan evaluasi kinerja bawahannya. Berikut beberapa faktor yang dapat menjadi hambatan dalam proses penilaian kinerja karyawan : 1. Perubahan standar Standar
dalam
penilaian
karyawan
yang
berubah-ubah
akan
mempengaruhi pengukuran kinerja karyawan. Sebagai contoh, mungkin manajer cenderung memberikan penilaian yang baik terhadap karyawan yang kelihatannya penurut dibandingkan dengan karyawan yang suka membantah, meskipun karyawan tersebut mempunyai prestasi yang bagus.
33
2. Hallo Effect Hallo effect terjadi apabila penilaian manajer terhadap prestasi karyawan secara keseluruhan hanya bergantung pada satu atau beberapa aspek saja. Efek tersebut biasanya merupakan efek berantai dan ini biasa terjadi apabila seorang pimpinan melibatkan emosi dalam sebuah penilaian, menilai terlalu lunak atau keras, melibatkan prasangka pribadi, serta menilai berdasarkan data atau fakta waktu yang paling akhir saja. 3. Perbedaan sifat manajer Manajer mempunyai sifat dan karakter yang berbeda. Penilaian karyawan bisa menjadi berbeda karena sifat manajer. Oleh karena itu, disarankan untuk membuat standar/pedoman untuk menjadi patokan penilaian agar penilaian secara adil dapat diwujudkan dan karyawan terhindar dari bias yang disebabkan perbedaan karakter manajer. 4. Perbedaan stereotipe tertentu Manajer dapat menjadi bias karena faktor etnis, jenis kelamin, atau golongan tertentu. Untuk menghindari hal itu, manajer harus berpegang pada pedoman/standar tertulis dan hasil penilaian prestasi pun harus dilakukan secara tertulis sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
34
2.4
Kajian Riset Terdahulu Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu
No Peneliti
Judul
Kesimpulan
1
Susilo Toto Analisis Pengaruh Raharjo, Gaya Kepemimpinan Durrotun Terhadap Kepuasan Nafisiah Kerja, Komitmen 2006 Organisasi dan Kinerja Karyawan (Studi Empiris Pada Departemen Agama Kabupaten Kendal dan Departemen Agama Kota Semarang)
Hasil pengujian terbukti bahwa kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan
2
Tria Mondiani 2012
Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Kompensasi Terhadap Kinerja Karyawan PT. PLN (Persero) UPJ Semarang
Variabel kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Semakin baik kepemimpinan transformasional yang dijalankan, maka kinerja karyawan akan meningkat.
3
Nurjanah 2008
Pengaruh Gaya Kempemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Komitmen Organisasi dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan (Studi Pada Biro Lingkup Departemen Pertanian)
Budaya organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Pembuktian hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini memiliki kesamaan dan memperkuat justifikasi penelitian terdahulu.
35
4
Prima Nugrha Pengaruh Budaya S. Sinaga Organisasi terhadap 2010 Kinerja Pegawai Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh positif terhadap kinerja pegawai pada Sekretariat Daerah Kabupaten Dairi, Sumatera Utara
5
Riska Pratiwi
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa budaya organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, artinya perubahan budaya organisasi mempunyai pengaruh searah terhadap perubahan kinerja karyawan.
Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Makassar
Sumber : Berbagai literature dan jurnal
2.5
Kerangka Pemikiran Dalam industri manufaktur produk yang berkualitas menjadi syarat mutlak agar supaya mendapatkan pelanggan yang setia untuk terus menggunakan produk yang dihasilkan tersebut. Dalam menjaga kualitas produk yang dihasilkan perusahaan manufaktur, khususnya perusahaan PMA (Penanam Modal Asing) menerapkan etos kerja yang sama seperti negara asalnya dan berlaku global diseluruh cabang anak perusahaan tersebut. Etos kerja inilah yang menjadi bagian dalam budaya perusahaan dalam menjaga kualitas produk serta pelayanan kepada pelanggan. Sebagai salah perusahaan Penanam Modal Asing di Indonesia, Komatsu Undercarriage Indonesia menerapkan budaya perusahaan dari Komatsu pusat di Jepang. Budaya yang sampai saat
36
ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam menjalankan aktivitas didalam perusahaan. Dalam mengelola perusahaan tentunya dibutuhkan pemimpin yang dapat membawa perusahaan menjadi lebih maju lagi, Komatsu Undercarriage
Indonesia
yang
merupakan
merger
antara
Komatsu
Undercarriage Indonesia dan Komatsu Forging Indonesia menjadikan pemimpin menjadi hal yang penting dalam bagaimana mengelola seta memberikan sumbangsih pada perusahaan. Dalam kaitannya dengan budaya perusahaan para pemimpin ini diharapkan dapat memimpin bawahannya menjadi sumber daya yang mempunyai tingkat kompetensi yang baik dan dapat memenuhi segala tuntutan yang menjadi kewajiban mereka. Oleh karena maka perlu dikaji kembali apa sesungguhnya mempengaruhi kinerja karyawan melalui budaya perusahaan dan kepemimpinan yang ada. Maka dibuatlah kerangka pemikiran yaitu suatu diagram yang menjelaskan secara garis besar alur logika berjalannya sebuah penelitian. Kerangka pemikiran dibuat berdasarkan pertanyaan penelitian (research question), dan merepresentasikan suatu himpunan dari beberapa konsep serta hubungan diantara konsep-konsep tersebut. variabelnya yaitu budaya perusahaan dan kepemimpinan sebagai variabel bebas (independen) dan kinerja karyawan sebagai variabel terikat (dependen).
37
Budaya Organisasi
H1
H3
Kinerja Karyawan
H2
Kepemimpinan
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepemimpian Terhadap Kinerja Karyawan
2.6
Hipotesis Hipotesis atau hipotesa adalah suatu perumusan mengenai suatu hl yang dibuat untuk menjelaskan masalah yang masih bersifat sementara dan masih perlu dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan pada latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian serta uraian di atas, maka didapatkan suatu hipotesis antara lain : H1: Budaya perusahaan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT Komatsu Undercarriage Indonesia. H2: Kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT Komatsu Undercarriage Indonesia.
38
H3: Budaya perusahaan dan kepemipinan bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT Komatsu Undercarriage Indonesia.