1 BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Agensi (Agency Theory) Konsep teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara prinsipal dan agen. Prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen (Anthony dan Govindarajan, 2005). Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham bertindak sebagai prinsipal dan CEO (Chief Executive Officer) sebagai agen mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk
bertindak
sesuai
dengan
kepentingan
prinsipal.
Teori
agensi
mengasumsikan bahwa CEO (agen) memiliki lebih banyak informasi daripada prinsipal. Hal ini dikarenakan prinsipal tidak dapat mengamati kegiatan yang dilakukan agen secara terus-menerus dan berkala. Karena prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kinerja agen, maka prinsipal tidak pernah dapat merasa pasti bagaimana usaha agen memberikan kontribusi pada hasil aktual perusahaan. Situasi inilah yang disebut asimetri informasi. Konflik inilah yang kemudian
dapat
memicu
biaya
agensi.
Jensen
dan
Meckling (1976)
mendefinisikan biaya agensi dalam tiga jenis: 1) Biaya monitoring (monitoring cost), pengeluaran biaya yang dirancang untuk mengawasi aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh agen. 2) Biaya bonding (bonding cost), untuk menjamin bahwa agen tidak akan bertindak yang dapat merugikan prinsipal, atau untuk meyakinkan bahwa 12
2 prinsipal akan memberikan kompensasi jika agen benar-benar melakukan tindakan yang tepat. 3) Kerugian residual (residual cost), merupakan nilai uang yang ekuivalen dengan pengurangan kemakmuran yang dialami oleh prinsipal sebagai akibat dari perbedaan kepentingan. Pengaplikasian teori agensi menjadi unik dalam sektor perbankan karena sektor ini berbeda dengan industri yang lain. Salah satunya adalah adanya regulasi yang sangat ketat, yang mengakibatkan penerapan teori agensi dalam akuntansi perbankan dapat berbeda dengan akuntansi untuk perusahaan non perbankan. Dengan adanya regulasi tersebut maka ada pihak lain yang terlibat dalam hubungan keagenan, yaitu regulator dalam hal ini pemerintah melalui lembaga Negara yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berperan untuk mengawasi kegiatan dan kinerja perbankan di Indonesia. Teori agensi menyatakan bahwa konflik antara prinsipal dan agen dapat dikurangi dengan mekanisme pengawasan yang dapat menyelaraskan (alignment) berbagai kepentingan yang ada dalam perusahaan. Menurut Midiastuty dan Machfoedz (2003), perlakuan manipulasi oleh manajer yang berawal dari konflik kepentingan dapat diminimumkan melalui mekanisme monitoring yang bertujuan menyelaraskan (alignment) berbagai kepentingan tersebut, yaitu dengan: 1) Memperbesar kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (managerial ownership), sehingga kepentingan pemilik atau pemegang saham dapat disejajarkan dengan kepentingan manajer.
3 2) Kepemilikan saham oleh investor institusi. Moh’d et al. (1998) dalam Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyatakan bahwa investor institusional merupakan pihak yang dapat memonitor agen dengan kepemilikannya yang besar. Selain itu, investor institusional dianggap sophisticated investor yang tidak mudah “dibodohi” oleh tindakan manajer. 3) Melalui monitoring dewan direksi (board of directors). Beberapa penelitian empiris telah menunjukkan hubungan yang signifikan antara peran dewan direksi dengan pelaporan keuangan. Mereka menemukan bahwa ukuran dan independensi dewan direksi mempengaruhi kemampuan mereka dalam memonitoring proses pelaporan keuangan. Corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori agensi, diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk memberi keyakinan kepada investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang mereka investasikan. Corporate governance sangat berkaitan dengan bagaimana membuat para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi investor, yakin
bahwa
manajer
tidak
akan
mencuri
atau
menggelapkan
dan
menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan bagaimana para investor mengendalikan para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997).
2.2 Manajemen Laba (Earnings Management) Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, dan menambah bias dalam laporan keuangan serta
4 mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000). Sedangkan menurut Sulistyanto (2008), manajemen laba merupakan upaya manajer perusahaan untuk mempengaruhi informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Manajemen laba (earnings management) dilakukan dengan mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab akrual merupakan komponen yang mudah untuk dipermainkan sesuai dengan keinginan orang yang melakukan pencatatan transaksi dan menyusun laporan keuangan. Alasannya, komponen akrual merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara fisik sehingga upaya mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan (Sulistyanto, 2008). Ada dua perspektif penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa manajemen laba dilakukan oleh manajer, yaitu perspektif informasi dan oportunis. Perspektif informasi merupakan pandangan yang menyarankan bahwa manajemen laba merupakan kebijakan manajerial untuk mengungkapkan harapan pribadi manajer tentang arus kas perusahaan dimasa depan. Upaya mempengaruhi informasi itu dilakukan dengan memanfaatkan kebebasan memilih, menggunakan, dan mengubah metode dan prosedur akuntansi. Perspektif oportunis merupakan pandangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan perilaku manajer untuk mengelabui investor dan memaksimalkan kesejahteraannya karena memiliki informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain (Sulistyanto, 2008).
5 Manajemen laba dilakukan oleh manajer dengan merekayasa laba perusahaannya menjadi lebih tinggi, rendah ataupun selalu sama selama beberapa periode. Secara umum ada beberapa motivasi yang mendorong manajer untuk berperilaku oportunis. Menurut Sanjaya (2008), motivasi tersebut adalah: 1) Motivasi bonus Bonus plan hypothesis menegaskan bahwa ceteris paribus, manajer perusahaan cenderung untuk memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser earnings yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang. Manajer melakukan manajemen laba untuk kepentingan bonusnya. 2) Motivasi kontraktual lainnya Hipotesis debt/equity yaitu ceteris paribus, suatu perusahaan yang rasio debt/equity besar cenderung manajer perusahaan memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser earnings yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang. Manajemen melakukan manajemen laba untuk memenuhi perjanjian utangnya agar meloloskan perusahaan dari kesulitan keuangan. 3) Motivasi politik Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba periodiknya dibanding perusahaan yang kecil. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah. 4) Motivasi pajak Manajer termotivasi melakukan manajemen laba karena income taxation. Karena semakin tinggi labanya maka semakin besar pajak yang dikenakannya.
6 Sehingga manajer melakukan manajemen laba untuk mengurangi pajak tersebut. 5) Pergantian CEO Motivasi manajemen laba ada di sekitar pergantian CEO. Hipotesis rencana bonus menjelaskan bahwa CEO yang akan diganti melakukan pendekatan strategi untuk memaksimalisasi laba agar menaikkan bonusnya. 6) Motivasi pasar modal Motivasi ini muncul karena informasi akuntansi digunakan secara luas oleh investor dan para analis keuangan untuk menilai saham. Dengan begitu, kondisi ini menciptakan kesempatan bagi manajer untuk memanipulasi earnings dengan cara mempengaruhi performa harga saham jangka pendek. Watts dan Zimmerman (1986) dalam Sulistyanto (2008), pengelompokan ini sejalan dengan tiga hipotesis utama dalam teori akuntansi positif (positive accounting theory) yang menjadi dasar pengembangan pengujian hipotesis untuk mendeteksi manajemen laba, yaitu: 1) Bonus plan hypothesis Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan. Dalam suatu perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, maka seorang manajer perusahaan akan melakukan penaikan laba saat ini dengan memilih metode akuntansi yang mampu menggeser laba dari masa depan ke
7 masa kini. Tindakan ini dilakukan karena manajer termotivasi untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi untuk masa kini. Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap (tingkat laba tertinggi). 2) Debt covenant hypothesis Dalam konteks perjanjian utang, manajer akan mengelola dan mengatur labanya agar kewajiban utangnya yang seharusnya diselesaikan pada tahun tertentu dapat ditunda untuk tahun berikutnya. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. Dalam suatu perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity cukup tinggi, maka akan mendorong manajer perusahaan untuk cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Hal ini dilakukan karena perusahaan yang memiliki rasio debt to equity yang tinggi akan menimbulkan kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor dan bahkan perusahaan dapat terancam melanggar perjanjian utang. 3) Political cost hypothesis Dalam hipotesis ini
dinyatakan bahwa perusahaan besar cenderung
menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba periodiknya dibandingkan di perusahaan kecil. Hal tersebut sebagai akibat adanya regulasi dari pemerintah, misalnya dengan penetapan pajak berdasarkan laba perusahaan. Kondisi inilah yang merangsang manajer untuk mengelola dan mengatur labanya agar pajak yang dibayarkannya tidak terlalu tinggi.
8 Menurut Scott (2003) pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara: 1) Taking a Bath Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa datang. 2) Income Minimization Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat laba yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. 3) Income Maximization Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang. 4) Income Smoothing Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
2.3 Good Corporate Governance Corporate Governance (CG) dianggap sebagai salah satu mekanisme untuk meminimalisir terjadinya manajemen laba yang dapat merugikan pihak lain. Lemahnya CG di Indonesia juga terbukti berdasarkan penelitian McGee (2008),
9 yang meneliti tentang perbandingan CG di Asia. Hasil penelitiannya ditampilkan dalam gambar di bawah ini: Gambar 2.1 Tingkat Corporate Governance di Asia
Sumber: Robert McGee, 2008 Berdasarkan tabel di atas CG di Indonesia menempati peringkat kedua terbawah sebelum Vietnam yang berarti bahwa CG di Indonesia masih tergolong buruk dibandingkan negara lain di Asia. CG berkaitan erat dengan kepercayaan, baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara. Dengan sistem CG yang baik maka perlindungan yang efektif dapat diberikan kepada para pemegang saham dan pihak kreditur, sehingga mereka bisa meyakinkan dirinya akan perolehan kembali investasi dengan wajar dan bernilai tinggi. Oleh karena itu, perusahaan harus menyadari bahwa sistem CG yang baik sangat berarti bagi kepentingan pemegang sahamnya, penyandang dana serta karyawannya, dan bagi perusahaan itu sendiri. Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002, mendefinisikan Corporate Governance sebagai suatu
10 proses dan struktur yang digunakan oleh suatu organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika. Syakhroza (2003) mendefinisikan good corporate governance sebagai suatu mekanisme tata kelola organisasi secara baik dalam melakukan pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis ataupun produktif dengan prinsip-prinsip terbuka, akuntabilitas, pertanggung jawaban, independen, dan adil dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/12/DPNP/2007 bagian penjelasan umum memberikan prinsip-prinsip GCG sebagai berikut: “Pertama transparansi (transparency) diartikan sebagai keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang materil dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan
proses
pengambilan
keputusan.
Kedua,
akuntabilitas
(accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pertangungjawaban bank sehingga pengelolaannya berjalan efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun. Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
11 Dalam sektor perbankan kewajiban penerapan GCG tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum yang merupakan salah satu upaya untuk memperkuat kondisi internal perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Mekanisme CG dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) internal mechanism (mekanisme internal) yang terdiri dari komposisi dewan direksi atau komisaris, kepemilikan manajerial, dan kompensasi eksekutif, (2) external mechanism (mekanisme eksternal) seperti pengendalian oleh pasar dan debt financing (Barnhart dan Rosenstein, 1998). Menurut Utama (2003) dalam Herawati (2008) prinsip-prinsip GCG yang telah diterapkan memberikan beberapa manfaat, diantaranya: 1) Meminimalkan agency cost dengan mengontrol konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara prinsipal dengan agen. 2) Meminimalkan cost of capital dengan menciptakan sinyal positif kepada para penyedia modal. 3) Meningkatkan citra perusahaan. 4) Meningkatkan nilai perusahaan yang dapat dilihat dari cost of capital yang rendah. 5) Peningkatan kinerja keuangan dan persepsi stakeholder terhadap masa depan perusahaan yang lebih baik. 2.3.1 Kepemilikan Manajerial Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran
12 yang berbeda pula, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan mempengaruhi manajemen laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang dikelolanya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa persentase tertentu kepemilikan saham oleh pihak manajemen (kepemilikan manajerial) cenderung mempengaruhi tindakan manajemen laba (Boediono, 2005). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa praktek manajemen laba dapat diminimumkan dengan menyelaraskan perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen dengan cara memperbesar kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (managerial ownership). Dalam kepemilikan saham yang rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat (Shleifer dan Vishny, 1997). Warfield et al. (1995) dalam Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyatakan adanya kepemilikan manajerial dapat mengurangi dorongan manajer untuk melakukan tindakan manipulasi sehingga laba yang dilaporkan merefleksikan keadaan ekonomi yang sebenarnya dari perusahaan tersebut. 2.3.2 Kepemilikan Institusional Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga. Masalah keagenan utama dalam perusahaan dengan kepemilikan seperti ini adalah konflik antara pemegang perusahaan dengan pemegang saham minoritas. Apabila tidak terdapat hukum yang memadai, pemegang saham pengendali dapat melakukan aktivitas yang menguntungkan
13 dirinya sendiri dan merugikan pemegang saham lain (Tarjo, 2008). Penelitian La Porta et al. (1999) menunjukkan bahwa kepemilikan semua perusahaan publik di hampir semua negara adalah terkonsentrasi, kecuali di Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. La Porta et al. (1999) menunjukkan bahwa struktur kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi di negara-negara dengan tingkat corporate governance yang rendah. Investor institusional sering disebut sebagai investor yang canggih (sophisticated) seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibandingkan dengan investor non institusional. Balsam et al. (2002) dalam Veronica dan Utama (2006) menyatakan bahwa kepemilikan institusional yang tinggi dapat meminimalisir earnings management tergantung pada tingkat kecanggihan investor tersebut. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005). Pernyataan ini sesuai dengan Ujiyantho dan Pramuka (2007) yang menyatakan bahwa kepemilikan saham oleh institusional karena mereka dianggap sebagai sophisticated investor dengan jumlah kepemilikan yang cukup signifikan dapat memonitor manajemen yang berdampak mengurangi motivasi manajer untuk melakukan earnings management. 2.3.3 Proporsi Dewan Komisaris Independen Dewan komisaris merupakan organ perusahaan yang memiliki tanggung jawab dan kewenangan penuh atas pengurusan perusahaan. Fungsi dewan
14 komisaris termasuk di dalamnya komisaris independen antara lain: melakukan pengawasan terhadap direksi dalam pencapaian tujuan perusahaan dan memberhentikan direksi untuk sementara bila diperlukan (Warsono et al., 2009). Dalam Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 proporsi dewan komisaris independen sekurang-kurangnya 50 persen (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan komisaris. Proporsi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan. Dapat dikatakan bahwa proporsi dewan komisaris yang terdiri dari anggota yang berasal dari luar perusahaan mempunyai kecenderungan mempengaruhi manajemen laba. Pemikiran ini didukung hasil penelitian Klein (2006), Chtourou et al. (2001), dan Midiastuty dan Machfoedz (2003). 2.3.4 Komite Audit Komite audit mempunyai peran penting dan strategis dalam memelihara kredibilitas penyusunan laporan keuangan seperti menjaga sistem pengawasan yang memadai. BAPEPAM melalui Surat Edaran No. SE-03/PM/2000 menghimbau perusahaan publik untuk membentuk komite audit. Anggota komite audit diangkat dari anggota dewan komisaris yang tidak melaksanakan tugas eksekutif dan terdiri paling sedikit tiga anggota yang independen. Komite audit mengadakan rapat tiga sampai empat kali setahun untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya. Komite audit memberi pendapat profesional kepada dewan
komisaris
untuk
meningkatkan
penyimpangan pengelolaan perusahaan.
kualitas
kerja
dan
mengurangi
15 Komite audit sebagai komponen mekanisme corporate governance, memiliki hubungan yang erat dengan masalah keagenan. Apabila fungsi komite audit berjalan secara efektif, kontrol terhadap perusahaan akan semakin baik sehingga diharapkan mengurangi agency problems. Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyatakan bahwa keberadaan komite audit berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Hal ini memberi bukti bahwa keberadaan komite audit dapat meningkatkan efektifitas kinerja perusahaan.
2.4 Kualitas Auditor Auditing adalah bentuk monitoring yang digunakan oleh perusahaan untuk menurunkan biaya keagenan (agency cost) perusahaan dengan pemegang utang (bond holder) dan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976). Nilai auditing timbul karena auditing menurunkan pelaporan yang salah atas informasi akuntansi (Ardiati, 2005). Hasil auditing ini dicerminkan dalam laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan. Hasil audit tidak bisa diamati secara langsung sehingga pengukuran variabel kualitas audit maupun kualitas auditor menjadi sulit untuk dioperasionalkan. Untuk mengatasi permasalahan ini, para peneliti terdahulu kemudian mencari indikator pengganti dari kualitas auditor. Dimensi kualitas auditor yang paling sering digunakan dalam penelitian adalah ukuran kantor akuntan publik atau KAP karena nama baik perusahaan (KAP) dianggap merupakan gambaran yang paling penting (Sanjaya, 2008).
16 2.5 Leverage Leverage merupakan rasio antara total kewajiban dengan total asset. Semakin besar rasio leverage, berarti semakin tinggi nilai utang perusahaan. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman (1986) dalam Sulistyanto (2008), dalam hipotesis debt covenant bahwa motivasi debt covenant disebabkan oleh munculnya perjanjian kontrak antara manajer dengan perusahaan yang berbasis kompensasi manajerial. Dengan demikian, perusahaan yang mempunyai rasio leverage yang tinggi, berarti proporsi utangnya lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi aktivanya akan cenderung melakukan manipulasi dalam bentuk manajemen laba. Kebijakan utang merupakan salah satu alternatif pendanaan perusahaan selain menjual saham di pasar modal. Utang yang dipergunakan secara efektif dan efisien akan meningkatkan nilai perusahaan. Tarjo (2008) menunjukkan bahwa leverage menyebabkan peningkatan nilai perusahaan. Tetapi bila dilakukan dengan dalih menarik perhatian para kreditur, maka justru akan memicu manajer untuk melakukan manajemen laba (Achmad et al., 2007). Perusahaan yang memiliki utang tinggi akan memilih kebijakan akuntansi dengan menggeser laba masa depan ke masa sekarang. Pernyataan ini juga dibuktikan oleh penelitian Herawati dan Baridwan (2007) yang memberikan bukti empiris tentang adanya tingkat manajemen laba yang lebih besar pada perusahaan yang terikat perjanjian utang daripada perusahaan yang tidak terikat perjanjian utang.
17 2.6 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai manajemen laba dan corporate governance telah terdahulu dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti Murtini dan Mansyur (2012), penelitian tersebut bertujuan untuk menguji dampak dari mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba pada perushaanperusahaan di Indonesia. Penelitian tersebut menjelaskan dampak dari kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, komisaris independen, ukuran dewan komisaris (sebagai proksi corporate governance), dan kualitas auditor terhadap manajemen laba. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa kepemilikan manajerial dan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, sementara ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba, dan kepemilikan institusional serta kualitas auditor tidak mempengaruhi manajemen laba. Hasil dari penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Teshima dan Shuto (2008) membuktikan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Guna dan Herawati (2010) melakukan penelitian pada 40 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Hasil dari penelitian mengindikasikan bahwa leverage, kualitas auditor, dan profitabilitas berpengaruh terhadap praktik manajemen laba, sedangkan kepemilikan
institusional,
kepemilikan manajerial, komite audit, komisaris independen, ukuran perusahaan, dan independensi auditor tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Pamudi dan Sumantri (2014) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari kualitas audit, ukuran perusahaan, dan leverage
18 terhadap manajamen laba. Berdasarkan hasil pengujian, ditemukan bahwa kualitas auditor berpengaruh positif terhadap manajemen laba, hal ini menandakan bahwa KAP baik big four maupun non big four tidak bisa memperkecil manajemen laba. Sedangkan ukuran perusahaan dan leverage berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hal ini menandakan bahwa perusahaan besar cenderung tidak melakukan praktik manajemen laba dikarenaka nilai total aset yang dimiliki ratarata cukup besar. Halim et al. (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan perusahaan manufaktur sebagai obyek penelitian. Hasil penelitian menyatakan bahwa asimetri informasi, kinerja masa kini, leverage, dan ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan kinerja masa depan berhubungan negatif dengan manajemen laba. Nasution dan Setiawan (2007) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji pengaruh mekanisme corporate governance (komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, dan komite audit) dan ukuran perusahaan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian menyatakan bahwa komposisi dewan komisaris dan keberadaan komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba, ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hasil ini berarti mekanisme-mekanisme
yang
dilakukan
oleh
perusahaan
telah
berhasil
meminimalkan praktek manajemen laba. Oleh karena itu, berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa mekanisme corporate governance telah bekerja secara efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Penelitian serupa juga dilakukan
19 oleh Klein (2006) yang meneliti mengenai pengaruh komite audit dan dewan komisaris terhadap manajemen laba, dimana hasil penelitian ini menunjukkan komite audit dan dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Swastika (2013) melakukan penelitian yang bertujuan unutuk mengevaluasi dampak dari penerapan corporate governance dan ukuran perusahaan terhadap manajemen laba bagi perusahaan makanan dan minuman di Bursa Efek Indonesia. Dengan menggunakan teknik analisis regresi linier berganda didapatkan hasil dua dari variabel corporate governance serta ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Abed et al. (2012) menguji hubungan antara manajemen laba dan karakteristik corporate governance (dewan direksi independen, ukuran dewan direksi, the role duality, dan persentase kepemilikan insider). Hasil dari penelitian ini adalah dewan direksi independen, ukuran dewan direksi, dan kepemilikan insider secara signifikan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. The role duality (CEO/Chairman) secara signifikan berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Temuan penelitian ini memiliki implikasi kebijakan yang penting karena mereka mendukung penerapan corporate governance untuk mengontrol perilaku direksi yang dapat menyebabkan distorsi dalam laporan tahunan keuangan yang dilaporkan. Akibatnya, keandalan dan transparansi laporan keuangan dilaporkan dapat ditingkatkan. Cornett et al. (2006) meneliti hubungan antara corporate governance (kepemilikan institusional, kepemilikan saham oleh direksi/eksekutif, karakteristik dewan direksi) dan kinerja perusahaan dengan manajemen laba. Menggunakan
20 sample penelitian yaitu perusahaan yang terdaftar pada Indeks S&P 100 didapatkan hasil bahwa kepemilikan institusional dan karakteristik dewan direksi berhubungan negatif dengan manajemen laba. Kinerja perusahaan, kepemilikan saham oleh direksi atau eksekutif berhubungan positif dengan manejemen laba. Kusumawardhani et al. (2005) melakukan penelitian yang bertujuan untuk membuktikan adanya fenomena manajemen laba menjelang IPO. Hasil penelitian menunjukkan perusahaan melakukan manajemen laba meningkatkan laba melalui komponen total akrual diskresioner pada periode satu tahun menjelang IPO dan manajemen laba berpengaruh secara negatif pada kinerja perusahaan pasca IPO. Rice dan Salim (2014) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal perusahaan yang dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba perusahaan perbankan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa secara simultan profitabilitas, ukuran perusahaan, dan leverage operasi, nilai perusahaan, tingkat inflasi, dan umur perusahaan berpengaruh pada perataan laba. Namun secara parsial leverage operasi dan umur perusahaan berpengaruh pada perataan laba.