BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori keagenan Menurut Jensen dan Meckling (1976), hubungan keagenan dalam teori keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal) dengan orang lain (agen). Prinsipal dalam hal ini menyewa agen untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Adanya hubungan keagenan ini mengakibatkan dua permasalahan yaitu: 1) terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dalam hal ini secara umum agen memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarnya dari prinsipal. Asimetri informasi berkaitan dengan efektivitas arus informasi dan interaksi antara prinsipal dan agen dalam melakukan tugas tertentu (Ahmad et al., 2012 dalam Wertianti, 2013). 2) terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) yang diakibatkan oleh adanya ketidaksamaan tujuan antara agen dan prinsipal, dimana agen tidak selalu bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal. Teori keagenan mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Adanya perbedaan kepentingan ini membuat masing-masing pihak berusaha memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri. Usulan yang diajukan oleh eksekutif (agen) memiliki muatan mengutamakan
kepentingan eksekutif. Eksekutif atau agency yang menjadi pengusul anggaran dan juga pelaksana atau pengguna dari anggaran tersebut berupaya untuk memaksimalkan jumlah anggaran (Smith & Bertozzi, 1998 dalam Suryarini, 2012). Sementara itu, prinsipal sulit untuk mengawasi dan mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh agen karena sedikitnya jumlah informasi yang dimiliki pihak prinsipal. Sadar atau tidak, praktik teori keagenan telah dilaksanakan di organisasi publik khususnya di pemerintahan daerah. Pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten/kota sering mempraktikkan agency theory dalam penyusunan rancangan APBD (Adiwiyana, 2011). Dalam sektor publik, masyarakat yang diproksikan oleh DPRD berperan sebagai prinsipal, sedangkan pemerintah daerah berperan sebagai agen. Semestinya pemerintah daerah sebagai pihak agen bertindak sesuai dengan kehendak prinsipalnya (masyarakat), namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Pemerintah daerah (agen) terkadang berperilaku opportunis dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Hal ini sesuai dengan teori keagenan yang menyatakan bahwa antara agen dan prinsipalnya tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dan agen cenderung melakukan suatu tindakan untuk memaksimalkan utilitasnya (self-interest). Kaitan agency theory dalam penelitian ini dapat dilihat hubungan antara masyarakat yang diproksikan oleh DPRD (prinsipal) dengan pemerintah daerah (agen). Pemberian sumber daya berupa pembayaran pajak, retribusi dan sebagainya guna meningkatkan pendapatan asli daerah telah diberikan oleh masyarakat (prinsipal) kepada daerah. Selaku agen, pemerintah daerah sudah
selayaknya memberikan timbal balik kepada masyarakat dalam bentuk pengalokasian belanja daerah dalam upaya pemenuhan kebutuhan publik yang memadai. Dimana pemenuhan kebutuhan publik tersebut didanai oleh pendapatan daerah itu sendiri sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
2.1.2 Teori fiscal federalism Teori Fiscal Federalism menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat tercapai melalui pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal diartikan sebagai pelimpahan kewenangan terkait dengan pengambilan keputusan kepada pemerintah tingkat rendah (Akai & Sakata, 2002). Bodman et al. (2009) menyatakan secara teoritis desentralisasi fiskal merupakan devolusi tanggung jawab fiskal dan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang dapat meningkatkan atau mengurangi pertumbuhan ekonomi. Desentralisasi fiskal memiliki fungsi yang utama yakni meningkatkan efisiensi sektor publik dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Faridi, 2011). Teori fiscal federalism dibagi menjadi dua perspektif yakni teori tradisional dan teori perspektif baru. Hayek (1945) mengemukakan bahwa teori tradisional menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi. Pandangan ini memiliki dua pendapat yang menekankan keuntungan alokatif desentralisasi. Pertama, tentang penggunaan knowledge in society yang menyiratkan proses pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya. Pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih baik
dibandingkan pemerintah pusat terkait kondisi daerah masing-masing. Kedua, Tiebout (1956) memperkenalkan dimensi persaingan dalam pemerintah dan kompetisi antar daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Teori yang kedua dikenal sebagai teori perspektif baru, dikemukakan oleh Musgrave (1959) dan Oates (1972). Teori ini lebih menekankan bagaimana desentralisasi fiskal berpengaruh pada perilaku pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah mempunyai kewenangan membuat peraturan tentang ekonomi lokal, maka campur tangan pemerintah pusat dalam perekonomian daerah dibatasi. Menurut Mardiasmo (2002), desentralisasi fiskal menuntut tiap-tiap daerah memiliki kemandirian fiskal yang tinggi dengan mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal dikatakan menawarkan sejumlah manfaat bagi tata kelola sektor publik, termasuk pertumbuhan, akuntabilitas dan responsivitas para pejabat pemerintah terhadap tuntutan lokal dan kebutuhan (Amagoh & Amin, 2012). Penerapan
sistem pemerintahan terdesentralisasi,
akan
membuat
pemerintah daerah dikejar untuk meningkatkan usahanya dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik di wilayahnya (Suhardjanto,dkk., 2009). Tirtosuharto (2010) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal memberikan struktur insentif yang lebih besar bagi pemerintah untuk lebih efisien dalam
mengalokasikan sumber daya keuangannya, namun itu tidak selalu mengarah pada pertumbuhan yang kuat karena meningkatnya kesenjangan antar daerah terutama di tingkat kapasitas pembangunan dan sumber daya.
2.1.3 Belanja rutin Belanja rutin merupakan pengeluaran anggaran untuk kegiatan seharihari pemerintah daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Pengeluaran ini tidak menambah aset kekayaan bagi daerah (Baswir, 2000). Belanja rutin meliputi: 1) Belanja Pegawai 2) Belanja Barang 3) Belanja Bunga 4) Belanja Subsidi 5) Belanja Hibah 6) Belanja Bantuan Sosial 7) Belanja Bantuan Keuangan
2.1.4 Belanja modal Belanja modal merupakan salah satu komponen dari belanja langsung yang berfungsi untuk membiayai kebutuhan investasi. Belanja modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya (Mardiasmo, 2009:67). Belanja Modal dapat dikelompokkan menjadi lima kategori antara lain:
1) Belanja Modal Tanah 2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin 3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan 4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan 5) Belanja Modal Fisik Lainnya Sedangkan menurut Halim (2002:73), Belanja modal dibagi menjadi: 1) Belanja Publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. Contoh belanja publik yaitu pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans. 2) Belanja Aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Contoh belanja aparatur : pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan, dan pembangunan rumah dinas.
2.1.5 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Dewasa ini persoalan mengenai capaian pembangunan manusia telah menjadi perhatian para penyelenggara pemerintahan (Artaningtyas, dkk., 2011). Berbagai ukuran pembangunan manusia dibuat namun tidak semuanya dapat digunakan sebagai ukuran standar yang dapat dibandingkan antar wilayah atau antar negara. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah suatu indikator pembangunan manusia yang diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 oleh pemenang nobel India Amartya Sen dan Mahbub Ul Haq seorang ekonom dari pakistan yang dibantu oleh Gustav
Ranis. Lebih lanjut, Artaningtyas, dkk. menyatakan bahwa IPM lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya sekedar pendapatan per kapita untuk melihat kemajuan pembangunan yang selama ini digunakan. IPM dapat mengetahui kondisi pembangunan di daerah dengan alasan: 1) IPM merupakan indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas manusia. 2) IPM menjelaskan tentang bagaimana manusia mempunyai kesempatan untuk mengakses hasil dari proses pembangunan, sebagai bagian dari haknya seperti dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. 3) IPM digunakan sebagai salah satu ukuran kinerja daerah, khususnya dalam hal evaluasi terhadap pembangunan kualitas hidup masyarakat/penduduk. 4) Meskipun menjadi indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas hidup manusia, IPM belum tentu mencerminkan kondisi sesungguhnya namun untuk saat ini IPM merupakan satu-satunya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pembangunan kualitas hidup manusia Konsep IPM menurut UNDP dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengacu pada pengukuran capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup, yaitu: 1) Capaian di bidang kesehatan yang diukur dalam indeks harapan hidup 2) Capaian di bidang pendidikan dengan mengukur rata-rata lama sekolah (ratarata jumlah tahun yang telah dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di
seluruh jenjang pendidikan formal yang dijalani) dan angka melek huruf Latin atau lainnya terhadap jumlah penduduk usia 15 tahun atau lebih.
3) Indeks standar kehidupan yang layak, yang diindikasikan dengan logaritma normal dari produk domestik bruto perkapita penduduk dalam paritas daya beli. Dengan demikian terdapat tiga indeks yang menjadi komponen dalam perhitungan Indeks Pembangunan Manusia yaitu Indeks Usia Harapan Hidup (Life Expectancy Index), Indeks Pendidikan (Education Index), dan Indeks Pendapatan (Income Index). Rumus penghitungan IPM dapat disajikan sebagai berikut : IPM = 1/3 (X1 + X2 + X3) ………….…………………….…………………….(1) Dimana : X1 = indeks konsumsi perkapita yang disesuaikan X2 = indeks angka harapan hidup X3 = indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata lama bersekolah) Penetapan kategori IPM didasarkan pada skala 0,0-1,0 (Mudrajad, 2003 dalam Artaningtyas, 2011) terdiri dari : Kategori rendah : nilai IPM 0-0,5 Kategori menengah : nilai IPM antara 0,51-0,79 Kategori tinggi : nilai IPM 0,8-1
2.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang dan landasan teori, maka kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dari hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat yang disajikan pada Gambar 2.1 berikut ini.
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
H1
Belanja Rutin
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Belanja Modal
H2
2.2.1 Pengaruh alokasi belanja rutin pada indeks pembangunan manusia Belanja rutin merupakan pengeluaran pemerintah yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak menambah aset kekayaan bagi daerah. Belanja rutin meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan, belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana umum (Setiawan, 2010). Menurut Badrudin dalam Zebua (2014), belanja daerah yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk belanja rutin diharapkan akan meningkatkan
aktivitas
yang
memicu
pertumbuhan
ekonomi
sehingga
kesejahteraan masyarakat pun akan tercapai. Salah satu jenis belanja rutin yaitu belanja barang dan jasa berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM (Zebua, 2014). Sasana (2012) menyatakan bahwa belanja daerah yang mencakup belanja tidak langsung, dimana sebagian besarnya merupakan komponen belanja rutin
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Pengalokasian belanja rutin secara tepat akan menunjang kinerja dari masingmasing unit kerja dalam pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan pembangunan kualitas manusia (Sasana, 2012). Berdasarkan hal tersebut, hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ha.1 : Belanja Rutin berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi Bali.
2.2.2 Pengaruh alokasi belanja modal pada indeks pembangunan manusia Belanja modal merupakan salah satu komponen dari belanja langsung yang berfungsi untuk membiayai kebutuhan investasi. Tepatnya pengalokasian belanja modal seperti pembenahan infrastruktur daerah serta fasilitas umum yang memadai akan meningkatkan kualitas dan kuantitas serta meningkatkan produktivitas daerah, pendapatan masyarakat, dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Zebua (2014) menyatakan bahwa Belanja Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM. Belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM (Mirza, 2012). Peningkatan alokasi belanja modal semestinya juga meningkatkan kualitas pembangunan manusia yang diukur melalui IPM. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis dalaam penelitian ini adalah: Ha.2 : Belanja Modal berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi Bali.