11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Agency Theory Jensen dan Meckling (1976) menerangkan hubungan keagenan sebagai kontrak antara satu atau lebih orang principal (shareholders) yang menunjuk orang lain sebagai agent (manajer). Teori keagenan ini timbul ketika pihak principal menunjuk atau menyewa pihak lain (agent) untuk melaksanakan jasa dan principal mendelegasikan wewenang kepada agent untuk melakukan jasa tersebut (Govindarajan dan Anthony, 2001). Menurut Eisenhardt (1989) agency theory dilandasi oleh tiga asumsi dasar, antara lain: a. Asumsi tentang sifat manusia Asumsi tentang sifat manusia ini menekankan bahwa manusia memiliki sifat dasar untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). b. Asumsi tentang keorganisasian Asumsi keorganisasian adalah konflik yang timbul antar anggota-anggota didalam suatu organisasi (goals conflict), efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asimetri informasi (asymmetric information) antara prinsipal dan agen.
12
c. Asumsi tentang informasi Asumsi mengenai informasi ini menganggap informasi dipandang sebagai suatu barang komoditas yang dapat diperjualbelikan kepada pihak lain. Teori keagenan memprediksi bahwa perusahaan dengan biaya agensi yang tinggi akan mencoba untuk mengurangi biaya agensi tersebut menggunakan mekanisme kontrol seperti kegiatan pengawasan, perbaikan struktur tata kelola perusahaan, dan pengungkapan sukarela (Fama dan Jensen, 1983). Menurut Allegrini dan Greco (2013) menemukan faktor pendukung untuk kedua variabel, yaitu hubungan komplementer dan hubungan substitusi antara governance dan pengungkapan. Hubungan yang kuat antara corporate governance dan pengungkapan timbul karena adanya hubungan sebab-akibat antara kedua objek tersebut. Semakin tinggi tingkat disclosure suatu perusahaan, maka corporate governance akan semakin baik pula. Pengungkapan sukarela menjadi alat untuk mengurangi informasi asimetri diantara pemangku kepentingan. Salah satu hasil dari pengambilan keputusan manajemen adalah pengungkapan, dengan adanya peraturan dan tanggung jawab yang semakin besar, pengungkapan menjadi bagian penting untuk mempelajari peran manajemen dalam menentukan perilaku pengungkapan perusahaan. Menurut Scott (2003), ada dua jenis asimetri informasi yang sering terjadi, yaitu:
13
1.
Adverse Selection Adverse Selection merupakan bentuk asimetri informasi, hal ini terjadi
apabila pihak yang satu mempunyai keunggulan informasi dibandingkan dengan pihak yang lain dalam transaksi bisnis atau usaha, namun tidak bersedia menginformasikanya. Hal ini tentu akan menghambat hubunga keagenan antara principal dan agent. 2.
Moral Hazard Moral Hazard merupakan bentuk asimetri informasi, hal ini terjadi apabila
pihak yang satu dalam suatu transaksi bisnis atau usaha dapat mengamati tindakan mereka secara penuh, namun pihak lainnya tidak dapat melakukan hal tersebut. Hal ini akan menimbulkan kepercayaan salah satu pihak menurun. Menurut Ugurlu (2000), ketika agent atau manajemen lebih memilih bertindak untuk mengejar kepentingan pribadi dan cenderung merugikan principal atau pemegang saham, maka munculah agency cost. Menurut Ang et al. (2000) saat terjadinya ketidakselarasan antara manajer dan para pemegang saham, maka disitulah akan muncul agency cost Jensen dan Meckling (1976) membagi agency cost menjadi tiga jenis, antara lain sebagai berikut: a. The monitoring expenditures by the principal Merupakan biaya yang dikeluarkan oleh principal berupa insentif kepada manajemen (agent) untuk pemantauan dan memastikan agent selalu bertindak sesuai kepentingan principal sebagai akibat dari adanya pendelegasian sebagian wewenang dari principal kepada agent.
14
b. The bonding expenditures by the agent Merupakan biaya yang harus ditanggung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent tidak akan melakukan tindakan tertentu yang akan merugikan principal. c. The residual loss Merupakan kerugian dan pengurangan kesejahteraan yang dialami oleh principal akibat adanya perbedaan keputusan yang diambil antara agent dan principal. Menurut Allegrini dan Greco (2013) teori keagenan menyediakan kerangka kerja untuk mempelajari hubungan corporate governance dan voluntary disclosure, karena keduanya dapat dianggap sebagai mekanisme kontrol perusahaan. Oknum manajemen yang memiliki saham perusahaan juga dapat melakukan pengawasan langsung pada internal manajemen atau manajer sendiri dan memimpin perusahaan sebagai Presiden dan / atau CEO. Ini berkontribusi untuk menyelaraskan kepentingan kepemilikan dan pengelolaan. Corporate governance dan voluntary diclosure adalah dua mekanisme kontrol digunakan untuk melindungi investor dan mengurangi konflik keagenan. Secara teori, hubungan mereka bisa saling melengkapi atau substitusi. Jika sebagai pelengkap, teori keagenan memprediksi bahwa jumlah yang lebih besar dari pengungkapan sukarela yang dapat diharapkan dari perusahaan yang tata praktek memberikan
15
''paket pemantauan intensif'' (Leftwich, Watts dan Zimmerman, 1981). Dalam lingkungan seperti pemantauan intensif, manajer akan tidak mungkin untuk menahan informasi untuk manfaat pribadi, dengan kemungkinan perbaikan kelengkapan pengungkapan dan kualitas. Jika hubungan adalah substitusi, tata kelola dan pengungkapan digunakan sebagai mekanisme kontrol alternatif untuk mengurangi konflik keagenan (Allegrini Dan Greco, 2013). Jika konflik keagenan dan asimetri informasi dapat dikurangi melalui perangkat internal perusahaan yang efektif, maka akan ada semakin sedikit untuk penambahan mekanisme kontrol seperti informasi yang diungkapkan secara sukarela (Cerbioni dan Parbonetti, 2007). Menurut Taylor (2008) berkaitan dengan corporate governance, transparansi informasi yang diungkapkan perusahaan akan mengurangi konflikkonflik keagenan antara pihak shareholder dan manajer. Dengan konsep dari agency theory, mekanisme corporate governance merupakan langkah terbaik untuk menekan perilaku oportunistik dari manajer sebagai agent. Mekanisme corporate governance dilakukan untuk menekan dan membatasi agency cost yang timbul dari kegiatan-kegiatan unethical yang dilakukan oleh manajer. Agency theory juga dapat digunakan sebagai kerangka konseptual untuk menjelaskan perilaku pengungkapan manajemen baik mandatory maupuun voluntary. 2.1.2. Etika Etika adalah disiplin ilmu yang menjelaskan suatu standar moralitas dari suatu masyarakat guna mengevaluasi kebijaksanaan dan implikasi terhadap kehidupan. Moralitas adalah objek kajian dari etika (Velasquez, 2012). Moralitas
16
bermakna standar dari individu atau kelompok tentang nilai benar dan salah atau baik dan buruk. Menurut Keeraf (1998), etika berkaitan dengan nilai dan tata cara hidup yang benar, aturan hidup yang baik, dan kebiasaan yang dianut dan diturunkan dari individu ke orang lain atau dari suatu generasi ke generasi lain. Keeraf (1998) membagi etika menjadi dua jenis, antara lain: a. Etika Umum Etika umum berhubungan dengan cara manusia mengambil keputusan etis, teori-teori dan prinsip-prinsip moral mendasar yang menjadi pedoman dalam setiap kegiatan, serta menjadi ukuran dalam menilai baik dan buruk suatu tindakan. Etika ini dianalogikan dengan ilmu pengetahuan tentang umum dan teori. b. Etika khusus Pengertian etika khusus adalah penerapan prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Etika khusus dibagi menjadi dua, antara lain: 1. Etika individu yang terkait kewajiban dan perilaku manusia terhadap dirinya, 2. Etika sosial yang menyangkut kewajiban, perilaku dan pola perilaku manusia dengan manusia yang lain. Etika ini merupakan salah satu unsur dari etika profesi. Banyak teori etika yang menerangkan suatu tindakan, sifat atau objek perilaku yang sama walaupun dari sudut pandang yang berbeda. Menurut Agoes dan Ardana (2009) ada beberapa teori etika yang berkembang saat ini, antara lain:
17
a. Egoisme Tiap individu pada dasarnya hanya peduli pada diri sendiri. Dalam konsep egoisme etis ini, jika individu bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang besar, maka seluruh tindakan tersebut mayoritas didasari atas kepentingan diri sendiri. Jika tindakan yang dilakukan menguntungkan orang lain, maka hal tersebut bukan menjadi alasan utama individu, namun yang membuat
tindakan itu benar adalah
bahwa tindakan itu
menguntungkan diri sendiri. b. Utilitarianisme Teori ini menjelaskan suatu tindakan disebut baik jika memberikan manfaat bagi masyarakat (the greatest hapiness of the greatest numbers). Oleh karena itu, teori ini berprinsip benar atau salah suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya. c. Daentologi Teori ini menjelaskan keharusan tiap individu untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan baik. Teori ini mengarahkan individu untuk bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral seperti menghormati hak-hak asasi (Hartman dan Desjardins, 2011). Etis atau tidak suatu tindakan tidak berkaitan dengan tujuan, konsekuensi atau akibat dari tindakan tersebut. d. Hak Asasi Teori hak atau lebih dikenal dengan Hak Asasi Manusia, berasumsi bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama, artinya jika suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka orang lain dapat melakukan tindakan
18
yang sama sebagai hak. Teori hak berhubungan dengan berbagai hal, antara lain: 1. legal right, hak yang didasarkan atas sistem hukum suatu negara. Sumber hukum tertinggi suatu negara adalah Undang-Undang Dasar negara yang terkait, 2. moral and human right, berhubungan dengan kepentingan individu sejauh kepentingan tersebut tidak melanggar hak orang lain. 3. contractual right, mengikat individu-individu yang terlibat dalam kesepakatan kontrak dalam wujud hak dan kewajiban masing-masing individu. e. Teori Keutamaan (Virtue Theory) Teori
keutamaan
menanyakan
tindakan
berdasarkan
pertanyaan-
pertanyaan tentang karakter yang perlu dimiliki seseorang. Karakter merupakan disposisi dari watak seseorang yang melekat pada seseorang dan mendorong orang tersebut untuk selalu berbuat baik. f. Teonom Teori ini menyatakan bila karakter moral manusia ditetntukan secara hakiki oleh kesesuaian hubungan dengan kehendak Tuhan dan sikap manusia dinilai tidak baik jika tidak mengikuti aturan-aturan Tuhan. Berbagai etika ini pada dasarnya dimilki oleh setiap individu, tetapi individu perlu untuk memahami dan menerapkan etika dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya etika bisnis sebagai bagian penting dari etika profesi. Etika yang salah atau buruk yang dimiliki individu diperusahaan tentu
19
berpengaruh terhadap keberlangsuungan perusahaan. Hal ini menjadi dasar perlunya pengungkapan etika bisnis untuk menilai penerapan etika bisnis, sebagai pedoman etika seluruh elemen perusahaan sudah diterapkan dengan baik atau belum. Selain itu, diperlukan pula regulasi yang baik untuk mengatur etika dalam konteks bisnis. 2.1.3. Business Ethics Etika bisnis bukan merupakan suatu elemen yang berbeda dari etika, tetapi merupakan sebuah cabang dari etika (Sauser, 2005). Menurut Velasquez (2002), etika bisnis adalah ilmu yang khusus mengajarkan tentang moral benar dan salah yang berkonsentrasi pada standar moral yang diterapkan dalam kebijakan, institusi dan perilaku. Menurut Hurn (2008) menyatakan bahwa etika bisnis dapat didefinisikan sebagai penerapan moral dan etika pertimbangan dalam pengaturan bisnis. Dilema etika di sini adalah keberhasilan strategi bisnis sering diukur dengan seberapa baik tujuan perusahaan dapat tercapai. Tujuan perusahaan dinyatakan dalam hal memenuhi tertentu target keuangan dan kurang sering dalam hal hubungan dengan publik, pemangku kepentingan internal dan eksternal. Menurut Ghillyer (2006) dan De George (1999) etika bisnis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Etika Normatif Etika normatif berkonsentrasi pada penyediaan dan pembenaran dari sistem moral mengenai pemikiran dan penilaian yang koheren. Etika ini bertujuan untuk mengungkapkan, mengembangkan dan membenarkan
20
prinsip-prinsip moral dasar yang dijadikan pedoman dalam bertindak, berperilaku dan mengambil keputusan. 2. Etika Deskriptif Etika deskriptif adalah etika yang berkaitan dengan penjelasan tentang karakteristik moralitas masyarakat, budaya atau bangsa. Tujuan etika deskriptif adalah menegaskan dan membandingkan adanya perbedaan antara moral codes, praktik, sistem dan nilai-nilai etika. Etika bisnis adalah konsep yang bermutasi, berubah dalam konteks teknologi baru, metode-metode baru dalam mobilisasi sumber daya dan pemanfaatan, berkembang praktek sosial dan tumbuh terhadap jaringan bisnis global yang saling terhubung. Tumbuh kesadaran universal dari pemanfaatan sumber daya alam, kesenjangan kekayaan, dan adanya bisnis dalam kehidupan individu warga negara melalui teknologi, menciptakan etika bisnis kepada normanorma sosial (Goel dan Ramanathan, 2014) Beberapa perusahaan telah menetapkan untuk membuat sebuah komitmen publik tentang etika bisnis dengan merumuskan kode etik dan prisip operasi. Perusahaan tentu perlu mengubah rumusan tersebut menjadi tindakan dalam menentukan konsep personal, akuntabilitas perusahaan, pemberian perusahaan dan tata kelola perusahaan. Pendekatan etika dapat menjadi alat untuk meningkatkan kesuksesan perusahaan dan image positif bagi perusahaan (Velentzas dan Broni, 2010).
21
2.1.4. Disclosure Disclosure adalah literatur akuntansi yang menginformasikan laporanlaporan terkait keuangan maupun non-keuangan perusahaan kepada publik (Agca & Onder, 2007). Menurut Shehata (2014) pengungkapan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mandatory dan voluntary. Mandatory disclosure terdiri atas informasi yang diungkapkan untuk mentaati persyaratan regulasi dan hukum di suatu negara. Voluntary disclosure adalah informasi-informasi yang diungkapkan untuk menambah dan melengkapi mandatory disclosure. Voluntary disclosure ini berbeda-beda di setiap perusahaan, tergantung dengan kebijakan perusahaan untuk memberikan informasi-informasi yang relevan serta menambah ketertarikan investor untuk berinvestasi. Menurut Hendriksen, Eldon dan Michael (2002) mengklasifikasikan disclosure menjadi tiga jenis, yaitu: a. Full Disclosure Perusahaan melakukan pengungkapan seluruh informasi yang berkaitan dengan pelaporan keuangan yang menggambarkan keadaan perusahaan secara
faktual.
Informasi-informasi
yang
diterangkan
pada
jenis
pengungkapan ini bersifat detail dan substansial. b. Adequate Disclosure Perusahaan melakukan pengungkapan ini bertujuan untuk memenuhi syaratsyarat yang diwajibkan oleh institusi tertentu yang memiliki wewenang.
22
c. Fair Disclosure Pengungkapan yang wajar atau fair disclosure secara tidak langsung memberikan perlakuan yang sama terhadap seluruh pemakai laporan dengan menyediakan informasi kepada pembaca potensial dengan layak. Menurut Probohudono (2013b) manfaat yang diraih perusahaan apabila melakukan disclosure adalah dapat mengurangi biaya pengawasan atau monitoring cost, sehingga perusahaan-perusahaan manufaktur perlu menjamin bahwa aktivitas pengawasan berjalan untuk mengurangi asimetri informasi. Pengungkapan merupakan suatu kebutuhan untuk mengatasi asimetri informasi antara investor orang dalam perusahaan dan investor luar perusahaan (Bokpin et al., 2015). Hal ini dibutuhkan stakeholders untuk memastikan bahwa seluruh informasi relevan dan investor dapat mengambil keputusan yang tepat. Peningkatan transparansi dan corporate governance yang semakin baik akan meningkatkan nilai perusahaan dengan menekan kemungkinan self interesting manajer (Lambert, 2001). 2.1.5. Business Ethics Disclosure Dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia yang dikeluarkan Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) menyatakan bahwa informasi nilai-nilai perusahaan perlu diungkapkan. Nilai-nilai perusahaan salah satunya adalah kode etik perusahaan. Pengungkapan kode etik diwujudkan dalam business ethics disclosure. Menurut Persons (2009) dengan adanya kode etik dalam perusahaan dapat membantu manajemen untuk fokus terhadap risiko pelanggaran etika,
23
membudayakan integritas dan akuntabilitas, memperkuat internal control dan menekan kemungkinan fraud pada pelaporan keuangan. Dengan adanya kode etik bukan berarti lingkungan perusahaan akan terbebas dari fraud. Menurut Persons (2009) ada dua implikasi utama dari pengungkapan kode etik di Amerika Serikat, yaitu : 1. Investor global dapat menggunakan tingkat pengungkapan sukarela etika sebagai kriteria pengambilan keputusan untuk berinvestasi di suatu negara. 2. Regulator di suatu negara dapat mempertimbangkan kebutuhan perusahaan publik untuk mengadopsi dan mengungkapkan kode etik. Dalam pengungkapan etika bisnis tidak hanya menjadi sebuah pengungkapan filosofi formal perusahaan tetapi juga perlu diwujudkan dalam proses bisnis perusahaan. Norma bisnis akan membentuk budaya dalam internal perusahaan dan hal ini yang menjadi brand image perusahaan agar menarik minat investor.
24
Menurut Pae dan Choi (2011) dan Persons (2009) serta poin-poin penilaian untuk business ethics disclosure adalah sebagai berikut :
Item Pengungkapan
No.
1 Manajemen puncak dari perusahaan ini secara teratur menekankan pentingnya etika bisnis 2 perilaku etis didasarkan pada filosofi bisnis formal adalah norma perusahaan ini 3 Perusahaan ini memiliki sistem disiplin di mana perilaku yang tidak etis akan dihukum 4 Perusahaan ini memiliki kode etik 5 Dalam perusahaan ini, karyawan dapat melaporkan perilaku tidak etis secara anonim Dalam perusahaan ini , pendidikan etika , pelatihan , atau lokakarya di tempat untuk
6 meningkatkan etika bisnis karyawan
7 Perusahaan ini secara teratur menempatkan sebagian besar keuntungannya terhadap filantropi 8 Perusahaan ini memiliki departemen etika independen dan petugas Dalam perusahaan ini , karyawan bisa mendapatkan bantuan mengenai etika bisnis melalui
9 etika hotline atau saluran komunikasi terbuka 10 Perusahaan ini memiliki komite etik
11 Perusahaan mempertimbangkan etika dalam mempekerjakan seorang direktur atau eksekutif 12 Perusahaan menghubungkan kompensasi eksekutif dengan perilaku etis dari perusahaan Perusahaan ini memiliki sistem evaluasi etika diukur oleh pihak independen dari luar
13 perusahaan
14 Kode etik diterapkan di bidang-bidang berikut : a. Pemeliharaan catatan perusahaan yang akurat ; b. Komunikasi dengan publik ; c. Konflik kepentingan antara hubungan pribadi dan profesional ; d. Perlakuan terhadap informasi rahasia ; e. Penggunaan aset perusahaan; f. Anti - nepotisme ; g. Pelaporan keluhan akuntansi dan perilaku yang tidak etis/ilegal ; Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku termasuk diskriminasi, pelecehan,
h. lingkungan dan hak asasi manusia ; i. Penyuapan j. Persaingan dan kesepakatan yang adil k. Insider trading dari saham perusahaan l. Tindakan disiplin untuk pelanggaran kode etik
Sumber : Pae dan Choi (2011) dan Persons (2009)
25
2.1.6. Corporate Governance Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) corporate governance adalah sistem dimana perusahaan bisnis diarahkan dan dikontrol. Struktur tata kelola perusahaan menentukan pembagian hak dan tanggung jawab antar elemen yang berbeda dalam perusahaan, seperti, direksi, manajer, pemegang saham, pemangku kepentingan lainnya serta merinci aturan dan prosedur untuk membuat keputusan dalam perusahaan. Menurut Shleifer & Vishny (1997) mengemukakan bahwa corporate governance merupakan rangkaian mekanisme yang berfungsi untuk melindungi minority shareholder dari tindakan yang dilakukan manajemen dan majority shareholder dengan tindakan yang menekankan pada mekanisme yang legal. Corporate governance saat ini menjadi isu penting dalam bisnis karena tingginya angka kesalahan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, salah satunya adalah rendahnya tingkat pengungkapan perusahaan (Strandberg, 2005). Dengan tindakan ini,
pengambilan keputusan tujuan perusahaan
ditetapkan, strategi mencapai tujuan tersebut dan pemantauan kinerja perusahaan. Dari definisi ini dapat dinilai bahwa corporate governance meliputi: 1) Hubungan perusahaan untuk pemegang saham dan masyarakat. 2) Promosi keadilan, transparansi dan akuntabilitas. 3) Mengacu mekanisme yang digunakan untuk mengarahkan manajer. 4) Untuk memastikan bahwa tindakan yang diambil sesuai dengan kepentingan kelompok pemangku kepentingan utama.
26
Corporate governance adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar (KNKG, 2006). Menurut KNKG (2006), corporate governance memiliki lima asas yang diperlukan untuk sustainability perusahaan dengan stakeholder, lima asas tersebut antara lain: 1. Transparansi (Transparency) Transparansi berfungsi menjaga obyektivitas dalam operasi bisnis perusahaan. Perusahaan perlu menyediakan informasi material dan relevan, serta mudah diakses dan dipahami oleh stakeholders. 2. Akuntabilitas (Accountability) Asas
akuntabilitas
menuntut
perusahaan
untuk
dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Atas dasar tersebut, perusahaan harus dikelola dengan benar, terukur dan sesuai kepentingan perusahaan dengan tetap menilai kepentingan shareholder dan stakeholder. 3. Responsibilitas (Responsibility) Asas responsiblitas menuntut perusahaan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan sehingga dapat tercapai kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan good corporate citizen dari masyarakat. 4. Independensi (Independency) Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga organ-organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain, guna melancarkan pelaksanaan corporate governance.
27
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Dalam
operasinya,
perusahaan
harus
memperhatikan
kepentingan
shareholders dan stakeholders lainnya dengan dasar asas kewajaran dan kesetaraan. Dengan pekerjaan yang fair diharapkan semua kebijakan dapat melindungi seluruh stakeholders terhadap operasional bisnis. Praktik corporate governance yang baik menghasilkan komite audit, berdasarkan pengalaman bisnis, mereka dapat menghasilkan peluang untuk meningkatkan proses dengan tingkat keamanan yang lebih baik, produktivitas dan pengawasan kontrol dapat diimplementasikan oleh manajemen dalam penyusunan dan penerbitan informasi perusahaan (Hidalgo et al, 2011). 2.2. Penelitian Sebelumnya Di Indonesia penelitian yang mengangkat tema mengenai business ethic disclosure dan corporate governance belum ada, namun di tingkat internasional sudah ada beberapa peneliti yang meneliti berkaitan dengan business ethic disclosure dan corporate governance. Pada penelitian yang dilakukan Persons (2009) yang melakukan uji tentang karakteristik komite audit terhadap earlier voluntary ethics disclosure di Amerika Serikat. Persons (2009) juga menyebutkan bahwa tingkat pengungkapan etika sukarela masih sangat rendah dibandingkan dengan pengungkapan wajib. Komite audit dalam penelitian ini merupakan representatif dari corporate governance. Komite audit direpresentasikan ke dalam tujuh variabel yaitu komite audit independen, ukuran komite audit, jumlah rapat komite audit, keahlian anggota komite audit, masa jabatan komite audit, komite audit dengan additional
28
directorship dan kejadian kecurangan laporan keuangan. Sampel yang digunakan sebanyak 154 perusahaan terdiri dari 77 perusahaan fraud dan 77 perusahaan nofraud pada 59 bidang industri yang berbeda. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa karakteristik komite audit memiliki pengaruh signifikan terhadap earlier voluntary ethics disclosure. Penelitian Pae Choi (2010) menemukan bahwa business ethics dan corporate governance memiliki korelasi yang tinggi satu dengan yang lain. Pernyataan ini ditunjukan dengan semakin komprehensif corporate governance, maka etika perusahaan akan cenderung menunjukan standar yang tinggi pula. Pengukuran business ethic pada penelitian ini menggunakan ethical commitment index. Sebanyak 105 sampel per tahun dari perusahaan yang listing di Korea Stock Exchange (KSE) digunakan dalam penelitian ini. Othman et al., (2014) juga melakukan pengujian tentang analisis laporan tahunan dan regresi linear untuk mengetahui hubungan karakteristik komite audit dan pengungkapan etika sukarela. Subjek penelitian ini adalah 94 perusahaan terbaik di Bursa Malaysia. Hasil penelitian ini menunjukan hanya dua karakteristik komite audit yaitu masa jabatan dan komite audit dengan multiple directorship yang berhubungan dengan pengungkapa etika sukarela, sedangkan independen, keahlian, jumlah rapat dan ukuran komite audit tidak konsisten. Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi kesenjangan dalam literaturliteratur karena masih sedikitnya penelitian yang secara spesifik terkait dengan business ethics disclosure. Business ethics disclosure menjadi topik yang menarik bagi peneliti, karena masih sedikit penelitian tentang hal ini. Berdasarkan
29
penjelasan diatas, maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul Business Ethics Disclosure dan Corporate Governance di Negara Indonesia, Thailand, dan Malaysia. 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian ini menggunakan business ethics disclosure sebagai variabel dependen. Variabel independen penelitian ini adalah corporate governance yang diproksikan dengan proporsi komisaris independen, proporsi anggota komite audit independen, CEO Ownership serta company size dan country. Variabel kontrol penelitian ini adalah profitability, leverage dan auditor. Dibawah ini gambar kerangka pemikiran penelitian. Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Variabel Independen
Variabel Dependen (+)
Proporsi komisaris independen (+)
Proporsi Anggota komite audit independen CEO Ownership
(-)
Business Ethics Disclosure
(+) Company Size (+) Country
1. Profitability Variabel Kontrol
2. Leverage 3. Auditor
30
2.4. Pengembangan Hipotesis 2.4.1. Proporsi Komisaris Independen Menurut Pound (1995) komisaris independen adalah bagian dari dewan komisaris yang berperan sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan yang berperan penting dalam pengawasan aktivitas perusahaan. Kaitannya dengan business etics disclosure, Rosenstein dan Wyatt (1990) mengemukakan bahwa dewan komisaris independen merupakan alat untuk mengawasi kinerja internal perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan informasi sukarela dalam laporan tahunan perusahaan. Proporsi dewan komisaris independen yang tepat dapat juga meningkatkan reputasi berkaitan dengan pengendalian yang lebih efektif, sehingga memiliki hubungan secara signifikasn dengan kepatuhan pengungkapan sukarela perusahaan (Abeysekera, 2008). Menurut Limantauw (2012) menunjukan bahwa proporsi anggota komisaris independen tidak berpengaruh terhadap tingkat konvergensi akuntansi. Hal ini karena pemililihan komisaris independen hanya berdasarkan kekerabatan semata, bukan didasarkan atas kompetensi anggota komisaris independen (Suhardjanto, 2010). Masalah ini yang seringkali menghambat pengawasan dan ketidak mampuan dalam meningkatkan kualitas pengungkapan informasi perusahaan. Pada penelitian Hossain (2008) menemukan bahwa komposisi direksi yang direpresentasikan dengan komposisi komisaris independen secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan perusahaan. Cerbioni & Parbonetti (2007) menemukan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap intellectual capital disclosure. Selain itu penelitian Probohudono et. al.
31
(2013b) menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara board independen terhadap tingkat voluntary risk disclosure. Berdasarkan uraian tersebut, maka dikembangkan hipotesis: H1: Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap business ethics disclosure. 2.4.2. Proporsi anggota komite audit independen Menurut Ferreira (2008) independensi memberikan wewenang kepada komite audit untuk objektif dalam pengambilan keputusan. Mereka akan memastikan bahwa kualitas dan kredibilitas dari proses pelaporan, agar dapat mencegah asimetri informasi (Li et al., 2008). Hal ini dapat didukung Allegrini dan Greco (2011) yang menyatakan bahwa komite audit independen memiliki kesempatan untuk mengontrol dan mencegah manajemen untuk memanfaatkan informasi perusahaan untuk kepentingan pribadi. Persons (2009) menemukan bahwa komite audit yang independen memiliki pengaruh positif terhadap earlier voluntary ethics disclosure. Bronson et al. (2006) mengindikasikan pernyataan yang berbeda bahwa komite audit independen tidak memiliki hubungan yang signifikan dalam efektivitas pengungkapan etika. Li et al. (2008) menemukan bahwa anggota komite audit independen juga berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, termasuk dalam pengungkapan informasi perusahaan. Akhtaruddin dan Haron (2010) menyatakan bahwa komite audit independen berhubungan dengan pengungkapan etika sukarela yang lebih banyak. Berdasarkan uraian tersebut, maka dikembangkan hipotesis:
32
H2: Proporsi anggota komite audit independen berpengaruh positif terhadap business ethics disclosure. 2.4.3. CEO Ownership Kepemilikan CEO atau CEO ownership memiliki hubungan dengan pengungkapan sukarela dalam perusahaan (Akhtaruddin dan Haron, 2010). Dengan adanya kepemilikan yang lebih tinggi dari direksi dapat meningkatkan level pengungkapan dan menekan asimetri informasi antara manajemen dan investor. Menurut Samaha dan Dahawy (2011) kepemilikan manajerial yang salah satunya diukur dengan persentase saham yang dimiliki oleh CEO perusahaan, juga mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela perusahaan. Mengacu pada penelitian Fan dan Wong (2002) dan Morck, Masao dan Anil (2009) kepemilikan manajerial yang lebih tinggi akan menyebabkan pengungkapan sukarela yang lebih rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikembangkan hipotesis: H3: CEO ownership berpengaruh negatif terhadap business ethics disclosure. 2.4.4. Company Size Menurut Akhtaruddin dan Haron (2010) dengan menggunakan uji regresi pada penelitiannya, menemukan bahwa perusahaan besar dan perusahaan yang memiliki return on equity lebih tinggi, lebih banyak mengungkapkan informasiinformasi sukarela dalam annual report perusahaan. Hal ini didasarkan dengan pengungkapan yang lebih tinggi akan meningkatkan pasar dan ekonomi perusahaan tersebut (Zaini, Saleh dan Hassan, 2012). Pengungkapan etika bisnis ini termasuk salah satu pengungkapan sukarela. Karim, Pinsker dan Robin (2013)
33
mengindikasikan bahwa pengungkapan informasi perusahaan besar didukung oleh manajer yang memberikan rekomendasi untuk mengungkapkan informasi lebih banyak dibandingkan perusahaan kecil. Menurut Huafang dan Jianguo (2007) menemukan bahwa perusahaan dengan ukuran yang lebih besar atau perusahaan besar memiliki pengungkapan wajib dan pengungkapan sukarela yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Firth (1979) yang menemukan bahwa perusahaan besar cenderung mengungkapkan informasi yang lebih lengkap karena perusahaan lebih rentan terhadap pengawasan publik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan kecil. Jensen dan Meckling (1976) mengungkapkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap tingkat voluntary disclosure suatu perusahaan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikembangkan hipotesis: H4: Company size berpengaruh positif terhadap business ethics disclosure. 2.4.5. Country Menurut Probohudono (2012) membuktikan bahwa country berpengaruh positif terhadap Risk Index Disclosure, kaitannya dengan voluntary disclosure. Meek, Roberts, dan Gray (1995) juga menemukan bahwa wilayah/negara adalah salah satu faktor penting dalam menjelaskan tingkat voluntary disclosure, termasuk didalamnya business ethics disclosure. Menurut Dye (1985) regulasi akuntansi yang berlaku di suatu negara
atau wilayah dapat mempengaruhi
pengkomunikasian informasi yang bersifat sukarela. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikembangkan hipotesis: H5: Country berpengaruh positif terhadap business ethics disclosure.