BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan dalam teori keagenan, hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut. Jika agent tidak berbuat sesuai kepentingan principal, maka akan terjadi konflik keagenan (agency conflict), sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Scott (2000) menyatakan bahwa perusahaan mempunyai banyak kontrak, misalnya kontrak kerja antara perusahaan dengan para manajernya dan kontrak pinjaman antara perusahaan dengan krediturnya. Dimana antara agent dan principal ingin memaksimumkan utility masing-masing dengan informasi yang dimiliki. Tetapi di satu sisi, agent memiliki informasi yang lebih banyak (full information) dibanding dengan principal, sehingga menimbulkan adanya asimetry information. Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimumkan utilitasnya. Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini investor, akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Oleh karena itu,
12
terkadang kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tanpa sepengetahuan pihak pemilik modal atau investor. Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu sematamata termotivasi oleh kepentingan diri sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Pemegang saham sebagai pihak principal mengadakan kontrak untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Manajer sebagai agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Masalah keagenan muncul karena adanya perilaku oportunistik dari agent, yaitu perilaku manajemen untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan principal. Manajer memiliki dorongan untuk memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerjanya yang baik untuk tujuan mendapatkan bonus dari principal (Muliati, 2011). Menurut Ujiyanto dan Bambang (2007) menggunakan tiga asumsi sifat manusia, yaitu: 1) Pada dasarnya manusia mementingkan diri sendiri (self-interest) 2) Daya pikir manusia mengenai persepsi masa depan sangat terbatas (bounded rationality) 3) Manusia selalu berusaha untuk menghindari resiko (risk adverse). Berdasarkan sifat manusia yang telah disebutkan, kita dapat melihat bahwa seorang manajer sebagai manusia dapat melakukan tindakan yang mengutamakan
13
kepentingan pribadinya serta akan melakukan hal-hal untuk menghindari resikoresiko yang akan mereka hadapi. 2.1.2 Teori Legitimasi O’Donovan (2000) berpendapat legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian legitimasi memiliki manfaat untuk mendukung keberlangsungan hidup suatu perusahaan (going concern). Menurut Suchman (1995) legitimasi dapat dianggap sebagai menyamakan persepsi atau asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas adalah merupakan tindakan yang diinginkan, pantas ataupun sesuai dengan sistem norma, nilai, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial. Legitimasi dianggap penting bagi perusahaan dikarenakan legitimasi masyarakat kepada perusahaan menjadi faktor yang strategis bagi perkembangan perusahaan ke depan. Teori legitimasi ini dapat diterapkan pada perusahaan yang melakukan kegiatan tanggung jawab sosial. Perusahaan menjadi bagian dari suatu komunitas dan lingkungannya itu sendiri. Dampak yang ditimbulkan dari aktivitas perusahaan tersebut, akan sangat berpengaruh terhadap masyarakat sekitar, sehingga apa yang dilakukan oleh pihak perusahaan akan kembali lagi kepada masyarakat tersebut. Oleh karena itu, manajemen perusahaan membutuhkan dukungan dari lingkungan masyarakat yang kondusif agar perusahaan dapat beroperasi dengan tenang. Dengan kata lain, perusahaan memerlukan legitimasi dari masyarakat sekitarnya. Hal ini juga sejalan dengan legitimacy theory yang
14
diungkapkan oleh Haniffa dan Cooke (2005) bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Perusahaan harus memperhatikan kepentingan dari berbagai pihak, bukan hanya dari pihak perusahaan saja. Semakin banyak perusahaan melakukan kegiatan sosial yang memberikan dampak positif bagi pihak lain membuat manfaat dan kemajuan tersendiri bagi pihak perusahaan. Untuk itu, sebagai suatu sistem yang mengedepankan keberpihakan kepada society, operasi perusahaan harus kongruen dengan harapan masyarakat (Retno dan Priantinah, 2012). 2.1.3 Teori Stakeholder Stakeholders merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan (Kusumastuti, 2014). Teori stakeholder menjelaskan hubungan antara perusahaan dengan stakeholder-nya. Menurut Ghozali dan Chariri (2007), dalam teori stakeholder perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder-nya seperti pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain. Pengungkapan corporate social responsibility penting karena para stakeholder perlu mengetahui dan mengevaluasi sejauh mana perusahaan melaksanakan peranannya sesuai dengan keinginan stakeholder, sehingga menuntut adanya
15
akuntabilitas perusahaan atas kegiatan CSR yang telah dilakukannya (Riswari, 2012). Menurut Irwan (2009) dalam Sayidatina (2011), Perkembangan teori stakeholder diawali dengan berubahnya bentuk pendekatan aktivitas usaha yang dilakukan perusahaan. Terdapat dua bentuk dalam pendekatan stakeholders, yakni: 1) Old-corporate relation. Pendekatan ini menekankan pada bentuk pelaksanaan aktivitas perusahaan yang dilakukan secara terpisah, dimana setiap fungsi di dalam sebuah perusahaan melakukan pekerjaannya tanpa adanya kesatuan diantara fungsi-fungsi tersebut. Selain itu hubungan antara pemimpin dengan karyawan dan supplier berjalan satu arah, kaku dan berorientasi jangka pendek. Pendekatan dalam tipe ini dapat menimbulkan banyak konflik karena perusahaan memisahkan diri dengan para stakeholder-nya, baik yang berasal dari dalam dan luar perusahaan. 2) New-corporate relation. Pendekatan ini menekankan kerjasama antara perusahaan dengan seluruh stakeholder-nya sehingga perusahaan tidak hanya menempatkan dirinya sebagai bagian yang bekerja secara sendiri dalam sistem sosial masyarakat karena profesionalitas telah menjadi hal utama dalam pola hubungan ini. Pendekatan ini mengeliminasi penjenjangan status seperti yang terdapat pada pendekatan old-corporate relation diantara para stakeholder perusahaan. Menurut Iryanie (2009), terdapat beberapa alasan yang mendorong perusahaan perlu memperhatikan kepentingan stakeholders, yaitu:
16
1) Isu lingkungan melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka. 2) Dalam era globalisasi telah mendorong produk-produk yang diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan. 3) Para investor dalam menanamkan modalnya cenderung untuk memilih perusahaan yang memiliki dan mengembangkan kebijakan dan program lingkungan. 4) LSM dan pencinta lingkungan semakin kritis dalam mengkritik perusahaanperusahaan yang kurang peduli terhadap lingkungan. 2.1.4
Manajemen Laba
2.1.4.1 Definisi Manajemen laba Manajemen laba menurut Schipper (1989: 92) adalah intervensi atau campur tangan manajer dalam proses penyusunan laporan keuangan dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Definisi tersebut mengartikan bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunistik manajer untuk memaksimalkan utilitas mereka. Manajer melakukan manajemen laba dengan memilih metode atau kebijakan akuntansi untuk menaikkan laba atau menurunkan laba. Pada saat manajer menaikkan laba manajer menggeser laba periode-periode yang akan datang ke periode sekarang dan pada saat manajer menurunkan laba yaitu dengan menggeser laba periode masa sekarang ke periode-periode berikutnya. Menurut Healy dan Wahlen (1998), manajemen laba mengandung beberapa aspek: pertama, intervensi manajemen laba terhadap pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan
17
dalam mengistimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditujukan dalam pelaporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan residu aset tetap, tanggung jawab untuk pensiun, kerugian piutang, dan penurunan nilai aset; Kedua, tujuan dari manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak luar. Menurut Mulford dan Comiskey (2010), manajemen laba (earnings management) adalah manipulasi akuntansi dengan tujuan menciptakan kinerja perusahaan agar terkesan lebih baik dari yang sebenarnya. Sedangkan Menurut Nariastiti dan Dwi Ratnadi (2014) manajemen laba ialah perilaku manajer dalam mempertinggi atau menurunkan laba yang akan sampaikan kepada pemilik perusahaan, dengan tidak meningkatkan atau menurunkan profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut. Tidak sedikit mengungkapkan bahwa manjemen laba merupakan tindakan yang etis dan wajar dilakukan oleh manajer. Seperti diketahui bahwa manajemen laba berada di daerah abu-abu (grey area) antara aktivitas yang diijinkan oleh prinsip akuntansi dan kecurangan. Fischer dan Rosenzweigh (1995) menyatakan bahwa banyak manajer menganggap praktik manajemen laba sebagai tindakan wajar dan etis serta merupakan alat sah manajer dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk mendapatkan keuntungan atau return perusahaan. Merchant dan Rockness (1994) menyatakan bahwa manajemen laba yang banyak dilakukan selama ini dianggap perbuatan yang legal, dengan artian tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.
18
2.1.4.2 Motivasi Manajemen Laba Menurut Scott (2009), terdapat beberapa motivasi manajer sebuah perusahaan melakukan manajemen laba, yakni: 1) Bonus scheme (program bonus) merupakan motivasi manajer yang bekerja di perusahaan dengan program bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkan agar dapat memaksimalkan bonus yang akan diterimanya. 2) Debt covenant (kontrak hutang jangka panjang) yaitu motivasi yang sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori akuntansi positif yaitu semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang maka manajer akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat "memindahkan" laba periode mendatang ke periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran. 3) Political motivation (motivasi politik) yaitu motivasi dari perusahaanperusahaan besar dan industri strategis yang cenderung menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya, khususnya selama periode kemakmuran tinggi. Tindakan ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah, misalnya subsidi. 4) Taxation motivation (motivasi perpajakan), perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang dilaporkan maka perusahaan dapat meminimalkan besar pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. 5) Pergantian CEO, CEO yang akan habis masa penugasannya atau pensiun akan melakukan strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya.
19
Demikian pula dengan CEO yang kinerjanya kurang baik, akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya. 6) Initial public offering (penawaran saham perdana), pada saat perusahaan go public, informasi keuangan yang ada dalam prospektus merupakan sumber informasi yang penting. Informasi ini dapat dipakai sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan. 2.1.4.3 Pola Manajemen Laba Menurut Scott (2009), terdapat empat pola yang dilakukan manajer dalam melakukan manajemen laba, yaitu: 1) Taking a bath Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa mendatang. 2) Income minimization Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat probabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan laba periode sebelumnya. 3) Income maximization Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas Income Maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang.
20
4) Income smoothing Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil. 2.1.4.4 Teknik Manajemen Laba Manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000) dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu: 1) Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain. 2) Mengubah metode akuntansi Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. 3) Menggeser periode biaya atau pendapatan Contoh
rekayasa
periode
biaya
atau
pendapatan
antara
lain:
mempercepat/menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai
pada
periode
akuntansi
berikutnya,
mempercepat/menunda
pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat/menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai.
21
2.1.5 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan tingkat identifikasi besar atau kecilnya suatu perusahaan. Menurut Hilmi dan Ali (2008) ukuran perusahaan dapat dinilai dari beberapa segi. Besar kecilnya ukuran perusahaan dapat didasarkan pada total nilai aktiva, total penjualan, kapitalisasi pasar, jumlah tenaga kerja dan sebagainya. Semakin besar nilai item-item tersebut maka semakin besar pula ukuran perusahaan itu. Semakin besar aktiva maka semakin banyak modal yang ditanam, semakin banyak penjualan maka semakin banyak perputaran uang dan semakin besar kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ia dikenal dalam masyarakat. Menurut Restuwulan (2013), ukuran perusahaan yang biasa dipakai untuk menentukan tingkat perusahaan adalah: 1) Tenaga kerja, merupakan jumlah pegawai tetap dan kontraktor yang terdaftar atau bekerja di perusahaan pada suatu saat tertentu. 2) Tingkat penjualan, merupakan volume penjualan suatu perusahaan pada suatu periode tertentu misalnya satu tahun. 3) Total utang ditambah dengan nilai pasar saham biasa, merupakan jumlah utang dan nilai pasar saham biasa perusahaan pada saat atau suatu tanggal tertentu. 4) Total aset merupakan keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaan pada saat tertentu.
22
2.1.6
Corporate Social Responsibility
2.1.6.1 Definisi Corporate Social Responsibility Menurut Hackston dan Milne (1996), Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Arief (2014) berpendapat bahwa CSR merupakan suatu sikap yang ditunjukkan perusahaan atas komitmennya terhadap para
pemangku
kepentingan
perusahaan
atau
stakeholders
dalam
mempertanggungjawabkan dampak dari operasi atau aktivitas yang dilakukan perusahaan tersebut baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan, serta menjaga agar dampak tersebut memberikan manfaat kepada masyarakat dan lingkungannya. CSR merupakan sebuah gagasan yang menjadikan perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada nilai perusahaan yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja. Kesadaran atas pentingnya CSR dilandasi pemikiran bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomi dan legal kepada pemegang saham (shareholder) melainkan juga kewajiban terhadap stakeholder. CSR menunjukkan bahwa tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan dapat menggunakan informasi CSR sebagai salah satu keunggulan kompetitif perusahaan (Budi, 2013).
23
2.1.6.2 Prinsip Prinsip Corporate Social Responsibility Menurut Mardikanto (2014), implementasi CSR juga didasarkan pada prinsip-prinsip berikut: 1) Prinsip kepatuhan hukum, dalam arti, perusahaan harus memahami dan mematuhi semua peraturan, lokal, internasional, yang dinyatakan secara tertulis dan tidak ditulis, sesuai dengan prosedur tertentu. 2) Kepatuhan terhadap hukum adat internasional. Artinya, ketika menetapkan kebijakan dan praktik yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial, perusahaan harus mematuhi, keputusan, pedoman, peraturan pemerintah, deklarasi dan atau perjanjian internasional. 3) Menghormati stakeholder terkait, dalam arti, perusahaan harus mengakui dan menerima keberagaman stakeholder terkait dan keragaman perusahaan-mitra (besar dan kecil) dan unsur-unsur lain, yang dapat mempengaruhi stakeholder terkait. 4) Prinsip transparansi artinya, perusahaan harus jelas, akurat, dan komprehensif dalam menyatakan kebijakan, keputusan, dan kegiatan, termasuk pengenalan terhadap potensi lingkungan dan masyarakat. Selain itu, informasi tersebut harus tersedia bagi orang yang terkena dampak, atau mereka yang mungkin akan terpengaruh secara material oleh perusahaan. 5) Menghormati hak asasi manusia, dalam arti, perusahaan harus melaksanakan kebijakan dan praktik yang akan menghormati hak azasi manusia yang ada.
24
2.1.6.3 Manfaat Corporate Social Responsibility Tanggung jawab sosial perusahaan memberikan keuntungan bersama bagi semua pihak, baik perusahaan sendiri, karyawan, masyarakat, pemerintah maupun lingkungan. Menurut Suharto (2008) dalam Sayidatina (2011), ada empat manfaat CSR terhadap perusahaan: 1) Brand differentiation. Dalam persaingan pasar yang kian kompetitif, CSR bisa memberikan citra perusahaan yang khas, baik, dan etis di mata publik yang pada gilirannya menciptakan customer loyalty. 2) Human resources. Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan baru, terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat interview, calon karyawan yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya tentang CSR dan etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi staf lama, CSR juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam bekerja. 3) License to operate. Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong pemerintah dan publik memberi "izin" atau "restu" bisnis. Karena dianggap telah memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas. 4) Risk management. Manajemen resiko merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan. Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan. Membangun budaya "doing the right thing" berguna bagi perusahaan dalam mengelola risiko-risiko bisnis.
25
2.1.6.4 Level Corporate Social Responsibility Dauman dan Hargreaves (1992) dalam Hasibuan (2001), menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan (CSR) dapat dibagi menjadi tiga level sebagai berikut: 1) Basic Responsibility (BR). Pada level pertama, menghubungkan tanggung jawab yang pertama dari suatu perusahaan yang muncul karena keberadaan perusahaan tersebut, seperti: perusahaan harus membayar pajak, memenuhi hukum, memenuhi standar pekerjaan, dan memuaskan pemegang saham. Bila tanggung jawab pada level ini tidak dipenuhi maka akan menimbulkan dampak yang sangat serius. 2) Organization Responsibility (OR). Pada level kedua ini menunjukkan tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi perubahan kebutuhan pemangku kepentingan seperti pekerja, pemegang saham, dan masyarakat di sekitarnya 3) Sociental Responses (SR). Pada level ketiga, menunjukkan tahapan ketika interaksi antara bisnis dan kekuatan lain dalam masyarakat yang demikian kuat
sehingga
perusahaan
dapat
tumbuh
dan
berkembang
secara
berkesinambungan, terlibat dengan apa yang terjadi dalam lingkungannya. 2.1.6.5 Corporate Social Responsibility Disclosure (CSRD) Ghozali dan Chariri (2007) menjelaskan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah proses yang digunakan oleh perusahaan untuk mengungkapkan
informasi
berkaitan
dengan
kegiatan
perusahaan
dan
pengaruhnya terhadap kondisi sosial masyarakat dan lingkungan. Jenis
26
pengungkapan ada yang bersifat wajib (mandatory) yaitu pengungkapan informasi yang wajib dilakukan perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau standar tertentu. Selain itu ada juga pengungkapan yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu pengungkapan informasi melebihi persyaratan minimum dari peraturan yang berlaku. Menurut Deegan (2002), alasan yang mendorong praktik pengungkapan sosial dan lingkungan antara lain: 1) Mematuhi persyaratan yang ada dalam undang-undang. 2) Pertimbangan rasionalitas ekonomi. 3) Mematuhi pelaporan dalam proses akuntabilitas. 4) Mematuhi persyaratan peminjaman. 5) Mematuhi harapan masyarakat. 6) Konsekuensi ancaman atas legitimasi perusahaan. 7) Mengelola kelompok stakeholder tertentu. 8) Menarik dana investasi. 9) Mematuhi persyaratan industri. 10) Memenangkan penghargaan pelaporan. Di Indonesia, pengungkapan pertanggungjawaban sosial merupakan praktik pengungkapan yang wajib (mandatory disclosure) dilaksanakan bagi perusahaan karena telah diatur dalam beberapa peraturan dan perundang-undangangan. Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 pasal 74 menyatakan bahwa perusahaan yang kegiatan operasinya berhubungan dengan penggunaan sumber daya alam diwajibkan untuk melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sedangkan
27
pasal 66 ayat 1 menyatakan bahwa hal-hal yang harus dimuat dalam laporan tahunan perusahaan diantaranya adalah pelaporan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Walaupun pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan bersifat wajib, namun item-item tanggug jawab sosial yang diungkapkan
perusahaan masih merupakan informasi yang bersifat sukarela
(Putra, 2013) Perusahaan sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan perlu menunjukkan dan memiliki komitmen terhadap masyarakat dan lingkungan. Sebagai bentuk kepedulian perusahaan tersebut, perusahaan melakukan suatu pertanggungjawaban
sosial
(Corporate
Social
Responsibility-CSR).
Pertanggungjawaban sosial yang dilakukan perusahaan ditujukan kepada pihakpihak yang berkepentingan terhadap perusahaan (stakeholder). Stakeholder memerlukan informasi mengenai pertanggungjawaban sosial yang dilakukan perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengungkapan (disclosure) terkait praktik CSR yang dilakukan perusahaan. Perusahaan dapat melakukan pengungkapan melalui laporan tahunan (annual report) perusahaan. Para stakeholder berhak untuk mengetahui semua informasi baik bersifat mandatory maupun voluntary serta informasi keuangan dan non-keuangan. Sehingga apa yang dilakukan perusahaan tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan perusahaan sendiri tetapi juga harus dapat memberikan manfaat bagi stakeholder.
28
2.2
Rumusan Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pokok permasalahan yang
akan diuji kebenarannya. Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan teori-teori yang mendukung maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Pengungkapan Corporate Social Responsibility Ukuran perusahaan adalah tingkat identifikasi besar atau kecilnya suatu perusahaan. Ukuran perusahaan merupakan variabel penduga yang banyak digunakan untuk menjelaskan variasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan. Pada umumnya, perusahaan besar mengungkapkan informasi yang lebih banyak daripada perusahaan kecil. Hal ini terjadi karena perusahaan besar akan menghadapi resiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil (Kusumastuti, 2014). Perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan politis, yaitu tekanan untuk melakukan pertanggung jawaban sosial. Menurut Hackston dan Milne (1996), Corporate Social Responsibility merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Dengan mengungkapkan kepedulian terhadap lingkungan, maka perusahaan dalam jangka waktu panjang dapat terhindar dari biaya yang besar akibat tuntutan dari masyarakat. Perusahaan yang besar akan mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaannya untuk mendapatkan legitimasi dari stakeholders (Nurkhin, 2009).
29
Kusumastuti (2014) menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh poisitif signifikan terhadap pengungkapan pertanggung jawaban sosial. Purwanto (2011) dalam penelitiannya juga menemukan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsibility. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa pertanggungjawaban sosial dipengaruhi oleh ukuran perusahaan dimana perusahaan besar cenderung mengungkapkan pertanggungjawaban sosial yang lebih luas. Begitu juga Primadewi dan Mertha (2014) yang menemukan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsibility. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif pada pengungkapan corporate social responsibility 2.2.2 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Manajemen Laba Ukuran perusahaan merupakan suatu skala untuk mengklasifikasikan besar atau kecil perusahaan menurut beberapa cara diantaranya total nilai aktiva, total penjualan, kapitalisasi pasar, jumlah tenaga kerja dan sebagainya. Semakin besar nilai item-item tersebut maka semakin besar pula ukuran perusahaan itu. Ukuran perusahaan sebagai proksi dari political cost, dianggap sangat sensitif terhadap perilaku pelaporan laba (Watt and Zimmerman, 1978). Terdapat dua pandangan mengenai hubungan ukuran perusahaan terhadap manajemen laba. Pandangan pertama menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan positif dengan manajemen laba, karena perusahaan besar memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks dibandingkan perusahaan
30
kecil, sehingga lebih memungkinkan untuk melakukan manajemen laba. Pandangan kedua menyatakan ukuran perusahaan memiliki hubungan negatif dengan manajemen laba. Perusahaan yang lebih besar kurang memiliki dorongan untuk melakukan manajemen laba dibandingkan perusahaan-perusahaan kecil, karena perusahaan besar dipandang lebih kritis oleh pemegang saham dan pihak luar. Perusahaan besar memiliki basis investor yang lebih besar, sehingga mendapat tekanan yang lebih kuat untuk menyajikan pelaporan keuangan yang kredibel (Marihot dan Setyawan, 2007). Muliati (2011) melakukan penelitian di perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2001 sampai 2008 dan menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Jao dan Pagalung (2011) menyatakan ukuran perusahaan mempunyai hubungan negatif signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Begitu juga dengan Nariastiti dan Dwi Ratnadi (2014) yang menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H2 : Ukuran perusahaan berpengaruh negatif pada manajemen laba 2.2.3 Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility pada Manjemen Laba Corporate social responsibility merupakan suatu sikap yang ditunjukkan perusahaan atas komitmennya terhadap para pemangku kepentingan perusahaan atau stakeholders dalam mempertanggungjawabkan dampak dari operasi atau
31
aktivitas yang dilakukan perusahaan tersebut baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan, serta menjaga agar dampak tersebut memberikan manfaat kepada masyarakat dan lingkungannya (Arief, 2014). Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dilakukan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat. (Junitasari, 2015) Hubungan antara corporate social responsibility dengan manajemen laba dapat dijelaskan melalui teori legitimasi. Teori legitimasi menjelaskan bahwa organisasi secara kontinuitas akan memastikan bahwa mereka beroperasi dalam batasan dan norma yang ada pada masyarakat. Teori legitimasi ini akan merujuk pada teori etika karena legitimasi mendasarkan pada norma dan batasan yang ada dimasyarakat yang merujuk pada etika perusahaan guna mendapatkan legitimasi dari masyarakat itu sendiri. Perusahaan yang memiliki komitmen yang kuat atas tanggung jawab sosial untuk mendapatkan legitimasi di lingkungan sekitarnya akan beroperasi sesuai dengan etika dan norma yang belaku sehingga akan membatasi praktik manajemen labanya. Shleifer (2004) menyatakan manipulasi yang secara etika tidak bisa diterima kebanyakan orang terjadi lebih sedikit pada perusahaan yang memiliki komitmen yang kuat atas tanggung jawab sosial. Jika melihat hal tersebut maka bisa dikatakan perusahaan yang melakukan pengungkapan item corporate social responsibility yang lebih banyak akan berdampak pada manajemen laba yang lebih kecil. Putri
(2012)
menemukan
bahwa
pengungkapan
responsibility berpengaruh negatif pada manajemen laba.
corporate
social
Yip et al. (2011)
menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara manajemen laba dengan
32
corporate social responsbilty. Begitu juga dengan Kim et al. (2011) yang menemukan bahwa CSR berpengaruh negatif pada manajemen laba. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H3 : Pengungkapan corporate social responsibility berpengaruh negatif pada manajemen laba 2.2.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Manajemen Laba melalui Pengungkapan Corporate Social Responsibility Informasi yang diungkapkan perusahaan besar pada umumnya akan lebih banyak daripada perusahaan kecil. Hal ini terjadi karena perusahaan besar akan menghadapi resiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil (Kusumastuti, 2014). Perusahaan besar mengungkapkan aktivitas tanggung jawab sosialnya untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat. Legitimasi dianggap penting bagi perusahaan dikarenakan legitimasi masyarakat kepada perusahaan menjadi faktor yang strategis bagi perkembangan perusahaan ke depan (Suchman, 1995). Teori legitimasi menjelaskan bahwa legitimasi yang diperoleh perusahaan tidak terlepas dari etika perusahaan dalam menjalankan aktivitas usahanya. Shleifer (2004) menyatakan manipulasi yang secara etika tidak bisa diterima kebanyakan orang terjadi lebih sedikit pada perusahaan yang memiliki komitment yang kuat atas tanggung jawab sosial. Perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial yang mengeluarkan usaha dan sumber daya dalam memilih dan menerapkan praktek corporate social responsibility untuk memenuhi harapan etis para pemegang saham dan masyarakat, cenderung membatasi penggunaan manajemen
33
labanya sehingga memberikan investor informasi keuangan yang lebih transparan dan dapat diandalkan (Kim et al. 2011). Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam penelitian ini ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap manajemen laba melalui corporate social responsibility. Penejelasan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kusumastuti (2014), Purwanto (2011), serta Primadewi dan Mertha (2014) yang menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsibility. Sedangkan Putri (2012), Yip et al. (2011), serta Kim et al. (2011) menemukan bahwa terdapat pengaruh negatif antara manajemen laba dengan pengungkapan corporate social responsibility. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H4 : Ukuran perusahan berpengaruh negatif pada manjaemen laba melalui pengungkapan corporate social responsibility
34