BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. PERILAKU PROSOSIAL Pada hati manusia terdapat cinta, baik cinta kepada dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Salah satu bentuk cinta terhadap orang lain adalah dengan memberikan pertolongan kepada orang tersebut (Nashori, 2008). Istilah menolong erat kaitannya dengan istilah altruisme dan perilaku prososial. Bierhoff (2002) membedakan tiap istilah tersebut dan mendefiniskan masing-masing dari istilah tersebut, yaitu : a.
Menolong adalah istilah yang paling luas, termasuk kepada semua bentuk dari hubungan yang membantu.
b.
Perilaku prososial, mempunyai arti yang lebih dangkal yaitu sebuah tindakan yang berniat untuk meningkatkan kondisi orang yang menerima pertolongan. Pemberi pertolongan tidak dimotivasi oleh tuntutan dari profesinya dan yang menerima pertolongan adalah harus orang bukan sebuah organisasi.
c.
Altruisme, istilah ini mengacu kepada perilaku prososial yang didalamnya tidak ada paksaan, motif dari pemberi pertolongan adalah karena sukarela dan empati. Berdasarkan kepada pengertian dari Bierhoff tersebut, maka menolong mempunyai makna yang lebih luas, dibandingkan dengan prososial
13
14
dan altruisme. Bila dibuat kedalam gambar, maka hubungan dari ketiga istilah tersebut adalah sebagai berikut :
Helping behaviour Prosocial behaviour
altruism
Gambar 2.1 Hubungan dari Menolong, Prososial, dan Altruisme (Bierhoff, 2002)
1. Pengertian Perilaku Prososial Menurut Batson (Taylor et.al, 2009) perilaku prososial merupakan kategori yang luas, yang mana didalamnya mencakup setiap tindakan membantu orang lain, terlepas dari motif orang yang memberikan bantuan tersebut. Perilaku prososial mempunyai cakupan yang lebih luas apabila dibandingkan dengan altruisme (Nashori, 2008). Menurut Eisenberg (Saripah, 2007) perilaku prososial adalah tingkah laku seseorang yang bermaksud merubah keadaan psikis atau fisik penerima sedemikian rupa, sehingga penolong akan merasa bahwa penerima menjadi lebih sejahtera atau puas secara material ataupun psikologis. Tingkah laku prososial menurut Baron dan Byrne (2005) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus
15
menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin mengandung suatu resiko bagi orang yang menolongnya tersebut. Perilaku prososial bisa menjadi perilaku altruisme ataupun tidak altruisme (Taylor et.al, 2009).
2. Perbedaan Prososial dengan Altruisme Altruisme menurut Baron dan Byrne (2005) yaitu tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingan diri sendiri demi kebaikan orang lain. Altruisme ini juga merupakan kebalikan dari sifat egois yang hanya mementingkan diri sendiri, sehingga dalam menolong lebih mengutamakan kepentingan orang lain (Myers dalam Sarwono 1999). Banyak perilaku prososial yang bukan altruisme (Taylor et.al, 2009), tetapi perilaku altruisme merupakan perilaku prososial. Menurut Sears (Nashori, 2008) tindakan altruisme tak mengharapkan apapun kecuali untuk kebaikan saja. Pelajaran tentang altruisme dalam Al Quran berdasarkan kepada kisah antara kaum Anshar yang menolong kaum Muhajirin ketika hijrah. Kisah tersebut diabadikan dalam surat Al Hasyr (59) : 9 “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka (Anshar) terhadap apa-apa yang diberikan kepada yang lain (Muhajirin), dan mereka mengutamakan
16
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan”. Menurut Nashori (2008) kata tidak menaruh keinginan dalam hati mereka diartikan sebagai keikhlasan dalam menolong, tanpa ada motif yang lain selain karena Allah. Menurut Bierhoff (2002) Perbedaan antara prososial dengan altruisme adalah pada motif.
3. Perspektif Perilaku Prososial Ada lima perspektif yang digunakan dalam memandang perilaku prososial untuk mengetahui apa yang menjadi alasan, mengapa seseorang berperilaku prososial terhadap orang lain (Taylor et.al, 2009). Kelima perspektif tersebut adalah : a. Perspektif Evolusi Pendekatan perspektif evolusi dimulai dengan penelitian pada beberapa species hewan, dimana mereka saling membantu untuk bisa mempertahankan keberlangsungan hidup diri dan kelompoknya. Bila dikaitkan
dengan
manusia maka pada pendekatan
ini
lebih
menekankan kepada kecenderungan bahwa perilaku prososial itu adalah sebagai turunan atau warisan gen dari kedua orang tuanya. Seperti pada kasus beberapa species hewan yang saling menolong, alasan mengapa species hewan tersebut masih ada, dan tidak punah adalah karena hewan tersebut, saling menolong satu sama lain sehingga spesiesnya tetap terjaga. Hal ini karena sikap prososial itu terus terwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Maka alasan
17
mengapa seseorang berperilaku prososial adalah karena dia mewarisi gen prososial dari orang tuanya, sehingga dia berperilaku seperti itu. Menurut Sarwono (1999) inti dari perspektif evolusi, adalah untuk mempertahankan jenis spesiesnya dalam proses evolusi. Ada tiga hal yang disoroti dalam perspektif ini ketika seseorang menolong, yaitu : 1) Perlindungan kerabat (kin protection), yaitu kecenderungan orang untuk menolong seseorang yang masih mempunyai ikatan darah atau kekerabatan. 2) Timbal balik biologik (biological reciprocity). Prinsip timbal balik disini adalah dalam bentuk pertolongan, seseorang akan menolong untuk memperoleh kembali pertolongan dari orang lain. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. 3) Orientasi
seksual,
penelitian
ini
dilakukan
kepada
kaum
homoseksual. Kecenderungan mereka untuk menolong sangat tinggi, bila dibandingkan kaum heteroseksual, karena mereka menjadi kaum yang minoritas, sehingga mereka berperilaku prososial agar bisa mempertahankan jenisnya. b. Perspektif Sosiokultural Kemunculan
perspektif
sosiokultural
ini,
lahir
untuk
menjelaskan perilaku prososial yang muncul kepada orang lain yang tidak memiliki hubungan darah. Menurut Campell (Taylor et.al, 2009) masyarakat
manusia
perlahan-lahan
dan
secara
selektif
18
mengembangkan keterampilan dan keyakinan yang meningkatkan kesejahteraan
kelompok,
karena
perilaku
prososial
umumnya
bermanfaat bagi masyarakat, maka ia menjadi bagian dari aturan atau norma sosial. Pada budaya tertentu perilaku prososial sangat ditekankan kepada masyarakat yang berada didalamnya (Syafriman, 2007). Pada perspektif sosiokultural, keharusan menolong adalah karena adanya norma-norma dalam masyarakat (Sarwono, 1999). Ada tiga norma sosial dasar yang lazim dalam masyarakat, yaitu : 1) Norm of social responsibility (norma tanggung jawab sosial), norma ini menyatakan bahwa kita harus membantu orang lain yang bergantung kepada kita. Misalnya, orang tua membantu anaknya, guru membantu muridnya. 2) Norm of reciprocity (norma resiprositas), norma ini menyatakan bahwa kita harus membantu orang lain yang pernah membantu kita. 3) Norm of social justice (norma keadilan sosial), norma ini menyatakan bahwa dalam setiap hubungan personal harus tercipta keadaan adil yang merata pada setiap orang, sehingga untuk menciptakan hal tersebut orang akan saling menolong. c. Perspektif Belajar Menurut Batson (Taylor et.al, 2009) perspektif belajar menekankan pentingnya proses belajar untuk membantu orang. Hal ini
19
dimulai ketika anak-anak, dimana saat itu anak diajari untuk saling berbagi dan menolong. Ketika seorang anak memberikan bantuan maka akan diberikan reinforcement. Pada perspektif ini alasan seseorang menolong adalah karena dibiasakan oleh masyarakatnya untuk menolong, dan juga masyarakat tersebut menyediakan ganjaran yang positif atas perbuatan tersebut (Macy dalam Sarwono, 1999). Studi tentang perspektif belajar ini, menegaskan tentang peranan modeling berperan dalam membantu perilaku prososial. Menurut Taylor et.al (2009) reinforcement dan modeling sangat berperan penting dalam membentuk perilaku prososial. d. Perspektif Pengambilan Keputusan Menurut Latene dan Darley (Taylor et.al, 2009), perspektif ini muncul karena didasari karena adanya keputusan seseorang untuk memberikan pertolongan. Berdasarkan kepada perspektif ini, setiap pertolongan yang diberikan akan berproses melalui beberapa tahapan. Apabila gagal pada salah satu tahapan maka pertolongan itu pun tidak akan diberikan. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui seorang yang akan menolong tersebut adalah sebagai berikut (Latene dan Darley dalam Taylor et.al, 2009) : 1) Melihat kebutuhan Pada tahap ini seseorang melihat situasi dan mulai menyadari apakah bantuan perlu diberikan ataukah tidak perlu.
20
Apabila calon penolong tersebut merasakan perlu diberikan bantuan maka akan berlanjut kepada tahapan selanjutnya, tetapi bila merasa tak perlu maka tak akan terjadi pertolongan itu. 2) Melaksanakan tanggung jawab sosial Ketika pada tahap pertama keputusannya adalah perlu memberikan
pertolongan
maka
orang
tersebut
akan
memperhitungkan tanggung jawabnya dalam keadaan tersebut, bila itu merupakan tanggung jawabnya maka dia akan memberikan pertolongan dan bila tidak maka dia tidak akan membantu. 3) Menimbang untung rugi Setelah diputuskan bahwa menolong adalah tanggung jawabnya, selanjutnya orang yang akan memberikan pertolongan mulai menimbang-nimbang tentang untung rugi yang akan diperolehnya jika dia memberikan pertolongan. Seseorang akan bertindak prososial jika dia menganggap keuntungan dari membantu melebihi keuntungan dari tidak membantu. 4) Memutuskan cara membantu Langkah terakhir dalam proses ini adalah menentukan cara untuk memberikan pertolongan. Penolong yang berniat baik tidak selalu bisa memberi pertolongan atau mungkin salah dalam mengambil tindakan. Tahapan pengambilan keputusan tersebut digambarkan dalam bagan berikut ini
21
Melihat kebutuhan : Apakah perlu pertolongan Tidak : Tidak ada masalah
Mengambil tanggung jawab personal : Apakah bertanggung jawab atau tidak?
Tidak : Bukan tanggung jawabnya Mempertimbangkan untung rugi: Apakah dengan menolong akan menguntungkan Tidak : Berbahaya dan tidak menguntungkan Memutuskan cara menolong : Cara apa yang harus dilakukan Tidak : Tidak tahu cara menolong
Bantuan diberikan
Gambar 2.2 tahapan perilaku prososial (Latene dan Darley dalam Taylor et.al, 2009)
e. Perspektif Teori Atribusi Pada perspektif ini menjelaskan bahwa keyakinan kepantasan seseorang permasalahan akan sangat menentukan orang dalam memberikan pertolongan. Calon penolong akan merasa bersimpati kepada orang yang menderita karena bukan kesalahannya sendiri, atau berada diluar kontrolnya. Atribusi dalam hal ini mempengaruhi reaksi
22
emosional seseorang terhadap orang yang akan ditolongnya. Menurut Schmidt dan Weiner (Taylor et.al, 2009) mengatribusikan kesulitan seseorang dengan sebab-sebab yang dapat dikontrol mungkin menimbulkan kejengkelan, penghindaran atau pengabaian, sebaliknya mengatribusikan kesulitan seseorang dengan sebab yang tak dapat dikontrol akan menimbulkan simpati dan membuat kita bersedia menolong.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial Beberapa hal yang mempengaruhi seseorang dalam menolong orang lain adalah sebagai berikut : a. Mood Beberapa penelitian membuktikan bahwa orang bersedia menolong apabila mereka sedang dalam keadaan good mood. Seorang yang sedang dalam kondisi baik, lebih mudah memberikan pertolongan kepada orang lain (Pines dan Maslach, 2002). Beberapa hal yang mempengaruhi good mood sehingga bersedia menolong diantaranya seperti, menemukan uang (Isen dan Simmonds), mendapatkan hadiah (Isen dan Levin), atau pun setelah mendengarkan musik yang menyenangkan (Fried dan Berkowistz). Kesimpulan sementaranya adalah bahwa perasaan positif akan menaikkan kesediaan untuk bertindak secara prososial. Hasil penelitian berbeda diungkapkan oleh
23
Williamson dan Clark yang mengatakan kalau dengan menolong akan memberikan mood yang positif (Taylor et.al, 2009). b. Karakteristik personal atau trait Menurut Guagano dalam Sarwono (1999) seseorang bersikap prososial adalah karena adanya sifat menolong (agentic disposition) yang sudah tertanam dalam kepribadian orang tersebut, sehingga sifat ini sangat menentukan seseorang dalam bertindak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dinnia (2006) kepada siswa mu’alimin mengungkapkan bahwa siswa dengan tipe kepribadian ekstrovert lebih tinggi kecenderungan dalam menolong dibandingkan siswa yang introvert. c. Waktu Penelitian dari Darley dan Batson (dalam Taylor et.al, 2009) menyimpulkan bahwa orang yang mempunyai waktu luang lebih cenderung untuk bisa memberikan pertolongan daripada orang yang sibuk dan tergesa-gesa. Menurut Pines dan Maslach (2002) seseorang yang tidak terburu-buru, lebih memungkinkan untuk berhenti dan menawarkan bantuan kepada orang yang sedang memerlukan bantuan. Seseorang yang sedang sibuk akan menurunkan kemungkinan dalam melakukan pertolongan, karena waktunya habis untuk dirinya (Syafriman, 2007).
24
d. Kemampuan Seseorang yang mempunyai kemampuan, cenderung untuk memberikan pertolongan. Apabila orang tersebut merasa tidak mampu maka ia tidak akan memberikan pertolongan (Sarwono, 1999). e. Agama Menurut
Sarwono
(1999)
faktor
agama
mempengaruhi
seseorang untuk menolong. Ada nilai-nilai keagamaan yang dianut sehingga orang tersebut mau menolong orang lain. Didalam Al Quran sebagai sumber ajaran Islam perintah tolong menolong ada pada surat Al Maidah ayat kedua, “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”. f. Kondisi lingkungan Penelitian dari Cunningham (Taylor et.al, 2009) menyebutkan bahwa orang lebih mau membantu ketika cuaca sedang cerah, dibandingkan sedang turun hujan atau cuaca yang tidak nyaman. Menurut
Sarwono
(1995)
perubahan
lingkungan
sekitar
bisa
mempengaruhi tingkah laku seseorang. g.
Bystander Kehadiran
orang
dalam
situasi
tersebut
(bystander)
mempengaruhi seseorang untuk menolong. Menurut Baron dan Byrne (2005) semakin banyak bystander di lokasi, maka tanggung jawab untuk menolong semakin berkurang, karena terjadi penyebaran
25
tanggung jawab. Latene dan Darley (Taylor et.al, 2009) menamai istilah bystander effect (efek orang sekitar) untuk peristiwa yang mana apabila di tempat perkara terdapat banyak orang tetapi tidak ada yang mau memberikan pertolongan. h.
Penampilan Faktor penampilan pada diri calon penerima pertolongan mempengaruhi orang yang memberikan pertolongan. Semakin menarik semakin besar pula peluang pertolongan tersebut (Sarwono, 1999). Selain penampilan yang menarik, kesamaan dalam penampilan antara penolong dan yang ditolong juga bisa meningkatkan penolong dalam bertindak (Sarwono, 1999).
i.
Gender Sebuah penelitian kepada lebih dari 6300 pejalan kaki di Boston,
Amerika
menghasilkan
bahwa
ternyata
1,6%
yang
menyumbang kepada peminta-minta jalanan, penyumbang laki-laki lebih banyak daripada wanita (Goldberg dalam Sarwono, 1999). Penelitian lain adalah dari Penner, Dertke & Achenbach serta Pomazal & Clore (Sarwono, 1999) mengungkap bahwa wanita lebih banyak ditolong daripada laki-laki, bila penolongnya laki-laki. Akan tetapi bila penolongnya wanita sama saja, antara laki-laki dan wanita.
26
B. DARAH DAN DONOR DARAH 1. Darah a. Pengertian Darah Darah adalah hal yang sudah tidak asing lagi bagi manusia. Adapun beberapa definisi tentang darah adalah : 1) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2005 : 237) darah adalah cairan yang terdiri atas plasma, sel-sel merah dan putih yang mengalir dalam pembuluh darah manusia atau binatang. 2) Menurut Watson (2002) darah adalah cairan berwarna merah pekat, yang membawa berbagai zat ke dan dari jaringan, pada sistem transportasi tubuh. b. Fungsi Darah Peranan darah dalam tubuh begitu penting, hal itu tercermin dari fungsi-fungsi vital yang dimain oleh dari itu sendiri, beberapa fungsi dari darah pada tubuh manusia menurut Watson (2002) adalah : 1.
Membawa nutrien ke jaringan
2.
Membawa oksigen ke jaringan dalam bentuk oksihemoglobin
3.
Membawa air ke jaringan
4.
Membawa produk sisa ke organ yang akan mengekskresinya
5.
Melawan infeksi bakteri melalui kerja sel darah putih dan antibodi
6.
Membawa zat yang dibutuhkan kelenjar untuk menghasilkan sekret
7.
Mendistribusikan sekret dari kelenjar buntu dan enzim
27
8.
Mendistribusikan panas secara merata ke seluruh tubuh dengan demikian mengatur suhu tubuh
9.
Menghentikan pendarahan melalui proses pembekuan
c. Sifat Darah Darah
yang
beredar
pada
tubuh
manusia
mempunyai
karakteristik yang khas berbeda dengan hewan. Menurut Kurnadi (2008) darah dalam keadaan normal akan selalu berada di dalam pembuluh pembuluh (arteri, kapiler, vena). Darah lebih berat dari air. Berat jenis darah 1,058. pH darah 7,35-7,45. Darah lebih kental dari air dengan viskositas (kekentalan) 4,5-5,5 (viskositas air = 1). Temperatur darah ±38° C. Darah berbau air dan sedikit terasa asin dengan konsentrasi NaCl 0,85-0,9%. Sifat darah semua manusia memang sama, akan tetapi volume darah yang beredar dalam tubuh setiap orang berbeda-beda dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu berat badan, jenis kelamin (sex), kegemukan, keadaan hidrasi tubuh, dan keadaan sistem kardiovaskuler. Namun volume darah diperkirakan 1/12-1/13 kali (±8% dari berat badan seseorang) (Kurnadi, 2008). d. Komposisi Darah Pada umumnya darah berwarna merah. Menurut Brown (1989) warna merah dalam darah dikarenakan adanya hemoglobin yang terkandung dalam sel darah. Selain mengandung hemoglobin, darah
28
pun memiliki bagain-bagian yang lain. Secara umum komposisi darah terdiri atas dua komponen utama (Kurnadi, 2008) yaitu : 1. Plasma Darah Plasma darah adalah bagian darah yang cair yang mengandung larutan elektrolit dan protein (Bevelander dan Ramley, 1988).
Plasma
darah
didapat
dengan
cara
memutar
atau
mensentrifugal, suatu tabung yang berisi darah yang telah diberi zat anti beku (antikoagulan), sehingga akan terpisah menjadi cairan bagian bawah yang padat berisi sel-sel darah (45%) dan bagian atas berupa cairan kekuningan (55%) yang disebut plasma (Kurnadi, 2008). Komposisi utama dari plasma darah adalah air, sisanya adalah protein dan zat-zat lain. Menurut Kurnadi (2008) jumlah dari dalam plasma darah sekitar 91% yang berfungsi sebagai pelarut ion dan molekul dan juga untuk mensuspensikan sel-sel darah. Sisa dari komposisi plasma darah diisi oleh zat-zat terlarut yaitu plasma protein (±7%) sedangkan sisanya ±2% terdiri atas nutrien, garamgaram mineral, enzim dan hormon, gas-gas, dan zat-zat organik lainnya. 2. Sel Darah Komposisi sel darah dalam darah lebih sedikit dari pada plasma darah, yaitu sekitar 45% dan itu pun masih terbagi kedalam beberapa bagian pula. Menurut Bevelander dan Ramley (1988)
29
secara struktural sel darah terdiri atas beberapa bagian, yaitu eritrosit, leukosit, platelet atau keping darah. a) Eritrosit Eritrosit atau sel darah merah, memiliki bentuk cakram yang bikonkaf, dengan diameter 7,7µ. Membran sel eritrosit terdiri dari protein, phospolipid, dan cholesterol (kurnadi, 2008). Pada eritrosit terdapat hemoglobin yang berfungsi untuk mengikat oksigen sehingga berwarna merah. Menurut Kurnadi (2008) fungsi dari eritrosit adalah untuk mengangkut hemoglobin, untuk mengikat O2 dan CO2. Selain itu juga berfungsi sebagai sistem buffer darah, karena hemoglobin mampu mengikat H+ menjadi HHb. b) Leukosit Leukosit adalah sel darah putih yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh atau imun. Leukosit memiliki bentuk yang khas, nukleus, sitoplasma dan organel dari leukosit bersifat mampu bergerak pada keadaan tertentu, sehingga leukosit ini mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melaksanakan fungsinya (Brown, 1989). Sifat dari leukosit ini adalah aktif beda dengan eritrosit yang pasif. c) Platelet. Platelet disebut juga trombosit atau dikenal dengan nama keping darah. Ukuran platelet ini sangat kecil, sekitar 2µ m,
30
sehingga kadang tidak dimasukkan kedalam bagian sel darah (Bevelander dan Ramley, 1988). Bentuk dari platelet ini bulat atau lonjong dan tidak memiliki inti. Platelet berperan dalam proses pembekuan darah bila terluka untuk mencegah pendarahan (Kurnadi, 2008). e. Haemopoiesis (Pembentukan Sel Darah) Darah yang ada pada tubuh manusia yang sehat tidak akan habis, karena tubuh senantiasa memproduksi darah. Adapun darah yang lama akan hancur oleh mekanisme tubuh dengan sendirinya, dan digantikan oleh darah yang baru. Setelah beredar didalam tubuh sekitar 120 hari, maka sel darah akan mengalami lisis atau penghancuran. Proses lisis terjadi karena metabolisme sel darah perlahan-lahan memburuk, sehingga akhirnya hancur (Hoffbrand dan Pettit, 1996). Maka untuk mengganti darah yang hancur tadi, tubuh akan aktif membentuk darah, sehingga komposisi darah dalam tubuh akan tetap terjaga baik secara kualitas ataupun kuantitasnya. Proses
pembentukan
darah
dikenal
dengan
istilah
haemopoiesis, proses ini sudah dimulai sejak beberapa minggu kehamilan (Hoffbrand dan Pettit, 1996). Seiring makin berkembang dan lengkapnya organ pada tubuh manusia, maka tempat pembentukan sel darah pun berubah tempat pula. Berikut ini adalah tabel tempat haemopoiesis, berdasarkan kepada perkembangan manusia.
31
Tabel 2.1 Tempat Haemopoiesis (Hoffbrand dan Pettit, 1996)
Fase Janin
Bayi Dewasa
Tempat 0 -2 bulan - indung telur (yolk sac) 2- 7 bulan - hati, limpa 5- 9 bulan – sumsum tulang Sumsum tulang (praktis semua tulang) Tulang belakang, iga, sternum, tengkorak, sakrum dan pelvis, ujung proksimal femur
Pada orang dewasa, tempat utama pembentukan sel darah merah berada di sumsum tulang. Pada proses pembentukan tulang, terdapat satu ruangan kosong. Kemudian ruang tersebut diinvasi oleh mesenkima, kemudian disebut sebagai sumsum tulang, yang pada akhirnya berfungsi sebagai pembentuk sel darah (Bevelander dan Ramley, 1988). Ketika seseorang kehilangan darah, maka sebenarnya dalam jangka waktu tertentu darah yang hilang itu bisa kembali lagi, melalui proses haemopoiesis. Akan tetapi bila kehilangan darah cukup banyak dan membutuhkan penggantinya dalam waktu yang cepat, tubuh tidak bisa memproduksi darah tersebut, sehingga untuk membantu proses tersebut dilakukanlah transfusi darah dari pendonor darah. Pendonor yang sudah mendonorkan darahnya, memang kehilangan darahnya, akan tetapi, karena jumlah darah yang dikeluarkannya pun sesuai dengan ukuran, maka tidak akan mempengaruhi fungsi tubuhnya. Lambat laun darah yang telah keluar itu pun akan tergantikan kembali.
32
f. Golongan Darah Setiap individu yang terlahir, mempunyai golongan darah yang berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh genetika dari orang tuanya.. Menurut Kurnadi (2008) permukaan membran sel darah merah (eritrosit) mengandung berbagai jenis glikoprotein yang bersifat antigen, antigen-antigen ini disebut juga aglutinogen. Sebenarnya ada beberapa jenis golongan darah, tetapi yang penting dan sering dipakai dalam praktek adalah sistem ABO dan Rhesus. Menurut Watson (2002) darah individu tidak selalu bisa dicampur secara aman dengan darah individu yang lain. Kenyataan ini diketahui dari tranfusi darah, yang pada mulanya dapat menyembuhkan, tetapi juga kadang-kadang membunuh pasien. Menurut Kurnadi (2008), penggolongan darah berdasarkan sistem ABO, mengenal 2 jenis aglutinogen yaitu aglutinogen A dan aglutinogen B pada permukaan eritrosit. Sedangkan pada plasma darah mengandung antibodi yang disebut aglutinin terhadap aglutinogen yang berbeda. Sehingga bila terjadi percampuran dua darah dengan jenis golongan darah yang berbeda darah akan menggumpal, karena masingmasing aglutinin bereaksi mengumpalkan sel darah satu sama lain. Berikut ini adalah tabel tentang aglutinogen dan aglutinin masingmasing golongan darah.
33
Tabel 2.2 aglutinogen dan aglutini pada setiap golongan darah (Kurnadi, 2008)
Golongan darah
Aglutinogen (eritrosit)
Aglutinin (plasma)
A B O AB
A B A+B
β α α+β -
Pada saat donor darah akan selalu diperiksa terlebih dahulu golongan darah, untuk menentukan termasuk kepada golongan darah mana,
agar
ketika
ditransfusikan
darah
tersebut
tidak
akan
menggumpal, sehingga bisa menyebabkan kematian pada resipien yang menerima darah tersebut, karena berbeda golongan darah.
2. Donor darah a. Pengertian Donor Darah dan Transfusi Darah Istilah donor darah berkaitan erat dengan istilah transfusi, agar tidak tertukar maka perlu diketahui apa definisi dari tiap istilah tersebut. Definis donor darah adalah : 1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005 : 274) Donor darah adalah penderma darah (yang menyumbangkan darahnya untuk menolong orang lain yang memerlukan). Adapun definisi tranfusi darah adalah : 1. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2005 : 1209) transfusi darah pemindahan atau pemasukan darah dan sebaginya kepada orang yang memerlukan ; untuk menolong penderita yang
34
mengalami pendarahan, cara yang paling baik adalah dengan memberikan darah. 2. Menurut Hoffbrand dan Pettit (1996) transfusi darah adalah pemberian infus seluruh darah atau suatu komponen darah dari satu individu (donor) ke individu lain (resipien). Antara donor dan transfusi darah memang berkaitan, akan tetapi keduanya berbeda. Tranfusi darah adalah tindak lanjut dari donor darah. b. Manfaat Donor Darah Donor darah berarti secara sederhana adalah memberikan darah yang ada pada tubuh kita kepada orang lain yang membutuhkan. Maka sebagian besar manfaat itu akan dirasakan oleh penerima darah tersebut. Sebenarnya bagi pendonor pun ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh ketika melakukan donor darah, beberapa manfaat tersebut, diantaranya adalah : 1) Donor darah mempercepat proses penggantian sel-sel darah.
Sehingga tubuh kita bisa menjadi lebih sehat, karena darah hanya mampu bertahan kurang lebih selama 100 hari (Elfazia, 2009). 2) Donor darah dapat mengurangi kandungan besi yang berlebihan
dalam darah, sehingga bisa menghindari tubuh dari penyakit jantung atau penyakit lainnya yang terjadi karena penumpukan zat besi dalam organ (Paskah, 2008) 3) Mendapat
pemeriksaan
kesehatan,
untuk
mengetahui
dan
mendeteksi apabila ada penyakit, karena ketika melakukan donor
35
darah, terlebih dahulu akan ada pemeriksaan khusus (Tensi dan cek Hb ) selain itu juga PMI akan mengirim surat pemberitahuan bila darah kita mengandung penyakit yang dapat ditularkan kepada penerima darah (Anindita, 2009) sehingga kita bisa mengetahui kondisi tubuh kita. 4) Bagi pendonor yang belum mengetahui golongan darahnya sendiri,
maka dengan donor darah dapat mengetahui jenis golongan darahnya (Wartamedika, 2008).
C. PERILAKU PROSOSIAL PADA PENDONOR DARAH Piliavin dan Callero (Taylor (2009), melakukan penelitian terhadap beberapa pendonor darah. Pada mulanya alasan mereka mendonor adalah karena mereka mempunyai teman atau keluarga yang menjadi pendonor, sehingga tercipta suatu modeling dalam perilaku prososial. Beberapa perilaku prososial pada pendonor darah, terjadi karena adanya contoh dari keluarga atau teman yang rutin donor darah. Modeling ini memampukan pendonor untuk mengatasi keengganannya dalam memberi sumbangan darah untuk pertama kali. Menurut Myers (1999) modeling membantu seseorang dalam meningkatkan keinginan untuk melakukan donor darah. Seiring dengan berjalannya waktu, pendonor ini pelan-pelan mengembangkan motivasi internal untuk memberikan darah ; mereka menyumbang karena mereka menganggap itu sudah seharusnya, bukan karena diminta menyumbang. Selain itu, pendonor yang rajin ini berhasil
36
mengatasi atau “menetralisir” ketakutan dalam menyumbangkan darahnya. Mereka menganggap donor darah sebagai aktivitas yang bermakna yang memperkaya konsep diri mereka (Piliavin & Callero dalam Taylor, 2009). Para pendonor darah tersebut, kemudian menjadikan aktivitasnya tersebut sebagai bentuk pernyataan sosial diri mereka, sebagai bentuk pengembangan identitas sosial mereka (Taylor et.al, 2009). Menurut Pilliavi (Myers, 1999), menyebutkan bahwa para pendonor setuju bahwa donor darah membuat perasaan mereka senang dan memberikan mereka kepuasan diri. Menurut Clary et.al (Myers, 1999) perilaku menolong dalam donor darah, bisa karena enam motif, yaitu : value, pemahaman, sosial, karir, proteksi diri, dan pengayaan diri. Pada penelitian lain keenam motif jadi adalah sebagai fungsi ketika seseorang menjadi relawan dan atau menolong (Clary et.al, 1998 ; Snyder, Clary & Stukas, 2000 dalam Taylor 2009) 1. Banyak relawan menekankan pada nilai personal seperti kasih sayang pada orang lain, keinginan untuk menolong orang yang kurang beruntung, perhatian khusus pada kelompok atau komunitas. Menurut Bierhoff (2002) donor darah berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan dalam kelompok atau komunitas seseorang tersebut. 2. Untuk
mendapatkan
pemahaman
yanag
lebih
mendalam,
untuk
mempelajari suatu kejadian sosial, mengeksplorasi kekuatan personal, mengembangkan keterampilan baru, dan belajar bekerja sama dengan berbagai macam orang. Beberapa relawan AIDS menunjukkan keinginan untuk belajar cara orang menghadapi penyakit AIDS.
37
3. Motif sosial, yaitu merefleksikan keinginan untuk berteman, melakukan aktivitas yang memiliki nilai signifikan, atau mendapatkan penerimaan sosial. 4. Pengembangan karier. Kegiatan sukarela dapat membantu individu mengeksplorasi opsi karier, membangun kontak potensial, dan menambah daftar aktivitas yang bernilai social di resume mereka. 5. Fungsi proteksi, artinya aktivitas ini mungkin membantu seseorang lepas dari kesulitan, merasa tidak kesepian, atau mereduksi perasaan bersalah. 6. Pengayaan diri. Kegiatan sukarela mungkin membantu orang merasa dibutuhkan atau menjadi orang yang penting, memperkuat harga diri, atau bahkan mengembangkan kepribadian. Relawan AIDS menegaskan bahwa mereka bisa “mendapatkan pengalama menghadapi hal-hal yang menyulitkan perasaan” dan “merasa diri menjadi lebih baik” (Snyder & Otomo, 1992 dalam Taylor et.al 2009). Table 2.3 motif menjadi relawan dan fungsi (Clary et.al, 1998 ; Snyder, Clary & Stukas, 2000 dalam Taylor et.al 2009)
Motif Nilai Pemahaman Sosial Karir Proteksi diri Pengayaan diri
Fungsi menjadi relawan memampukan seseorang untuk mengekspresikan nilai-nilai personal seperti kasih sayang dan perhatian pada orang yang kurang beruntung. menjadi relawan memampukan seseorang memperoleh pengetahuan baru, keterampilan baru dan pengalaman baru. menjadi relawan adalah salah satu cara beraktivitas yang dihargai orang lain, untuk mendapat persetujuan sosial, dan memperkuat hubungan sosial menjadi relawan memeberikan kesempatan untuk menambah pengalaman untuk tujuan karir atau pekerjaan menjadi relawan membantu seseorang mengalihkan perhatian pada masalahnya sendiri dan menghindari perasaan bersalah menjadi relawan menyediakan peluang untuk pertumbuhan personal dan memperkuat harga diri
38
D. PENELITIAN TERDAHULU YANG BERKAITAN Ada beberapa penelitian dengan tema prososial yang sebelumnya telah dilakukan diantaranya adalah Saripah (2007) yang meneliti tentang bimbingan perilaku prososial di taman penitipan anak, yang hasilnya menunjukkan bahwa pada taman penitipan anak terdapat bimbingan yang bisa meningkatkan anak supaya berperilaku prososial. Penelitian selanjutnya adalah Dinnia (2006) yang meneliti tentang hubungan antara tipe kepribadian introvert ekstrovert dengan kecenderungan perilaku prososial. Hasilnya didapatkan bahwa terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan kecenderungan perilaku prososial. Adapun tipe kepribadian yang cenderung lebih prososial adalah tipe ekstrovert. Penelitian tentang perilaku prososial selanjutnya adalah dari Syafriman (2007), yang meneliti tentang perbedaan perilaku prososial antara orang suku Melayu dan Tionghoa. Hasil dari penelitian adalah : 1.
Ada perbedaan yang signifikan perilaku prososial orang Melayu dengan orang Tionghoa, ternyata perilaku prososial orang Melayu lebih tinggi daripada orang Tionghoa
2.
Perilaku prososial pada generasi tua dengan generasi muda tidak ada perbedaan
3.
Tidak ada perbedaan yang signifikan perilaku prososial antara lelaki dengan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungan
39
Berdasarkan kepada penelitian Syafriman ini, didapat kesimpulan kalau yang mempengaruhi perilaku prososial adalah, budaya. Faktor lain seperti usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh pada penelitiannya. Adapun penelitian dengan tema yang sama yaitu tentang perilaku prososial pada pendonor darah, belum peneliti temui. Berdasarkan dari penelitian sebelumnya maka peneliti mencoba untuk menggali lebih dalam tentang perilaku prososial pada pendonor darah melalui penelitian ini.