BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Teori Keagenan Hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak antara satu orang atau
lebih (principal) dengan orang lain (agent) dimana principal mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan pada agent untuk melakukan beberapa pekerjaan atas nama mereka (Jensen dan Meckling, 1976). Principal memiliki keterbatasan dalam mengatur perusahaan sehingga mereka menyerahkan tanggung jawab pengelolaan kepada agent (Ahmad dan Septriani, 2008). Pihak manajemen yang berkewajiban mengelola perusahaan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan principal melalui peningkatan nilai perusahaan. Bila hal itu dapat terwujud, mereka akan memperoleh imbalan berupa bonus maupun kompensasi lainnya. Pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan antara pemilik (principal) dan manajemen (agent) cenderung menimbulkan konflik keagenan. Hal ini muncul karena agent tidak selalu bertindak demi kepentingan principal semata. Agent mempunyai kewenangan dalam mengelola perusahaan sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa mereka menentukan kebijakan yang juga memaksimalkan kesejahteraan pribadinya. Konflik keagenan makin meningkat karena principal tidak dapat memonitor secara optimal aktivitas yang dilakukan agent, sehingga tidak diketahui secara pasti apakah agent sudah bekerja sesuai dengan keinginan principal.
12
13
Eisenhardt (1989) menjelaskan bahwa terdapat 3 asumsi mengenai sifat manusia, yakni: 1) Manusia cenderung lebih mementingkan diri sendiri (self interest) 2) Manusia mempunyai keterbatasan informasi, kemampuan kognitif, maupun waktu dalam pengambilan keputusan (bounded rationality) 3) Manusia cenderung menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, principal dan agent sebagai manusia tentu saja akan bertindak oportunistik demi kepentingan pribadi mereka. Laeven dan Levine (2009) menyebutkan bahwa manajemen yang ingin memaksimalkan keuntungan pribadi dan melindungi posisinya di perusahaan akan memilih berinvestasi pada proyek dengan risiko rendah dan keuntungan yang pasti. Sebaliknya,
shareholder
yang
berkeinginan
meningkatkan
kekayaannya
cenderung memiliki insentif yang kuat untuk mengambil risiko yang tinggi karena jika proyek berisiko yang didanai itu sukses, mereka akan mendapatkan pembagian keuntungan yang besar. 2.1.1
Moral Hazard Dalam konteks keagenan, moral hazard timbul karena adanya asimetri
informasi antara principal dan agent. Agent mengetahui lebih banyak informasi internal perusahaan dibandingkan dengan principal. Keadaan itu memungkinkan agent
mengambil
keputusan
yang
menyimpang
demi
memaksimalkan
kepentingan mereka. Tentu saja, hal tersebut akan merugikan principal sebagai pemilik perusahaan. Mitnick (1996) mendefinisikan moral hazard berdasarkan empat pendekatan yang berbeda, yakni:
14
1) Monitoring disability (hidden action) Principal tidak dapat mengamati tindakan agent dalam mengelola perusahaan. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakpastian antara langkah yang diambil agent dengan hasil yang diinginkan principal serta ketidaksamaan informasi yang diterima oleh kedua pihak. Agent dapat mengambil
langkah
yang
menguntungkan
dirinya
sendiri
tanpa
memerdulikan kepentingan principal. Ini akan sulit dideteksi karena principal tidak mampu memonitor semua tindakan agent. 2) Undesirable behavior production Pendekatan ini mengasumsikan bahwa faktor utama dari moral hazard adalah tingkah laku tertentu yang tidak diinginkan menurut sudut pandang principal. Agent tidak selalu mengambil keputusan yang menguntungkan principal ataupun mampu mengurangi kerugian perusahaan yang mungkin terjadi. 3) Undesirable outcome (impact) production Moral hazard adalah oportunisme setelah dibuatnya suatu kontrak yang muncul karena tindakan ini memiliki konsekuensi efisiensi dan tidak dapat dimonitor sehingga suatu pihak diuntungkan secara pribadi atas biaya pihak lain. Dapat disimpulkan bahwa tindakan menyimpang yang dilakukan oleh satu pihak, memberikan hasil yang tidak diharapkan oleh pihak lain. 4) Morals disability Moral hazard mengacu pada kecenderungan individu untuk berperilaku tidak bermoral demi kepentingan pribadi. Perilaku tersebut seperti ketidakjujuran, kecerobohan, kurangnya kegigihan, maupun ketidaktahuan.
15
Dalam industri perbankan, peran pengawasan tidak hanya dilaksanakan bank kepada debitur, tetapi pemerintah maupun deposan juga perlu memonitor aktivitas-aktivitas bank. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir penyelewengan dana yang mungkin dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Namun, perbedaan kuantitas serta kualitas informasi yang dimiliki menyebabkan satu pihak dapat mengorbankan pihak lain demi keuntungan pribadi sehingga menimbulkan masalah moral hazard. Bankir tentu saja memiliki informasi yang lebih baik mengenai keadaan perusahaan daripada pemilik. Kondisi ini akan mendorong mereka untuk memaksimumkan utilitasnya atas beban pihak lain. Mereka pun tidak menanggung secara penuh kerugian yang terjadi akibat keputusan yang mereka ambil (Taswan, 2009). Ada beberapa tipe moral hazard yang dilakukan oleh shareholder, manajemen bank, dan debitur sebagai berikut. 1) Tipe pertama, moral hazard yang muncul antara bank dengan debitur Bank tidak mengetahui dengan pasti apakah debitur memiliki kemampuan dan kemauan yang baik untuk mengembalikan hutangnya. Sehingga, moral hazard dapat dilakukan oleh debitur dikarenakan asimetri informasi yang tinggi. Mereka menyadari bahwa dana pinjaman memberikan manfaat besar bagi bisnisnya. Namun, jika usahanya gagal maka bank pun akan ikut menanggungnya. Sangat besar kemungkinannya terjadi transfer kekayaan dari bank ke debitur melalui tindakan penggunaan kredit yang menyimpang.
16
2) Tipe kedua, moral hazard yang terjadi antara shareholder dan manajemen bank dengan deposan Moral hazard ditunjukkan dengan penempatan dana pada proyek berisiko tinggi demi memperoleh keuntungan yang besar. Shareholder yang menginginkan kesejahteraannya bertambah cenderung mengambil risiko yang tinggi dengan mengabaikan kepentingan deposan. Mereka pun menekan pihak manajemen untuk bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan termasuk ikut serta dalam transfer kekayaan dari deposan ke shareholder. Bila investasi ini gagal maka klaim deposan akan sulit untuk dibayarkan. Kondisi ini cenderung terjadi jika terdapat penyebaran kepemilikan yang rendah. 3) Tipe ketiga, moral hazard yang muncul antara shareholder dan manajemen bank dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Provisi dari deposit insurance mendorong bank untuk mengambil risiko yang tinggi. Dana deposan yang dijamin oleh LPS membuat bank berani menginvestasikan dana tersebut pada aset yang berisiko karena jika investasi itu gagal, LPS yang menanggung kewajiban bank pada nasabah. 2.2
Risiko Risiko merupakan ancaman atau kemungkinan suatu tindakan dapat
menimbulkan hasil berlawanan dari tujuan awal yang ingin dicapai. Risiko juga dapat diartikan sebagai sisi yang berlawanan dari peluang untuk meraih tujuan. Tiap organisasi mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk meraih tujuan itu memiliki peluang untuk mendapatkan hasil
17
yang diinginkan. Sebaliknya, jika aktivitas tersebut memiliki risiko maka hasil akhirnya dapat berlawanan dari yang diperkirakan (Indroes, 2011:4). Bank dalam menjalankan aktivitas-aktivitasnya untuk memperoleh pendapatan selalu dihadapkan pada risiko. Produk, layanan, maupun aktivitasnya selalu berhubungan dengan uang. Sifat dasar uang yang anonim, siapa saja dapat dan ingin memilikinya, serta mudah berpindah tangan atau hilang membuat penyerapan hingga penyaluran dana yang dilakukan bank sangat rentan akan risiko kehilangan uang. Pada dasarnya risiko terbagi menjadi dua kelompok utama, yakni risiko finansial dan risiko nonfinansial. Risiko finansial berhubungan dengan kerugian langsung, seperti hilangnya uang yang dimiliki akibat risiko yang terjadi. Selanjutnya, risiko nonfinansial terkait pada kerugian yang tidak dapat dihitung secara eksplisit dan dampaknya tidak secara langsung dapat dirasakan, contohnya bila bank kehilangan nasabahnya, dampaknya tidak langsung membuat bank menjadi rugi. Tetapi, risiko nonfinansial ini dapat menimbulkan kerugian finansial nantinya (Indroes, 2011:22). Menurut Bank Indonesia, terdapat beberapa jenis risiko bank yang harus dikelola, yakni: 1) Risiko kredit Risiko ini merupakan risiko kerugian yang berhubungan dengan pihak peminjam (counterparty) yang tidak dapat atau tidak mau memenuhi kewajibannya saat jatuh tempo ataupun sesudahnya. 2) Risiko pasar Risiko pasar adalah risiko kerugian yang timbul karena pergerakan harga pasar.
18
3) Risiko operasional Risiko operasional diartikan sebagai risiko kerugian yang dilihat dari ketidakcukupan atau tidak memadainya sumber daya manusia dan proses internal. 4) Risiko likuiditas Risiko ini disebabkan oleh ketidakmampuan bank dalam memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo. 5) Risiko hukum Risiko hukum adalah risiko yang timbul karena adanya kelemahan aspek yuridis. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya undang-undang yang mendukung atau adanya tuntutan hukum. 6) Risiko kepatuhan Risiko kepatuhan merupakan risiko yang muncul sebagai akibat dari ketidakpatuhan dalam menaati peraturan ataupun ketentuan lain yang berlaku. 7) Risiko stratejik Risiko stratejik adalah risiko yang dikaitkan dengan pelaksanaan strategistrategi jangka panjang yang dibuat oleh manajemen bank. 8) Risiko reputasi Risiko ini disebabkan oleh opini negatif yang diberikan publik yang berefek buruk pada citra perusahaan. 2.3
Regulasi Bank merupakan lembaga yang paling banyak diawasi dan dikendalikan
oleh pemerintah. Regulasi yang diterapkan pada bank diharapkan dapat
19
melindungi serta meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap produk perbankan. Bila regulasi pada sektor usaha lain umumnya terkait dengan standarisasi produk dan persaingan usaha, regulasi pada perbankan meliputi keseluruhan bank secara komprehensif (Indroes, 2011:27). Ada beberapa pertimbangan mengenai pentingnya penerapan regulasi di bank sebagai berikut. 1) Komoditas uang dan sarat perikatan Aktivitas antara bank dan nasabah perlu diatur dalam regulasi. Uang yang ada dalam
aktivitas
itu
dapat
memunculkan
persengketaan
sehingga
pengimplementasian regulasi penting untuk kesepakatan antara bank dan nasabah. Selain itu, regulasi dibutuhkan dalam perikatan agar terjaminnya legalitas perjanjian yang sudah dibuat. 2) Rasio utang berbanding modal Bank memiliki utang yang lebih banyak dari modal, cenderung rawan akan kondisi insolvensi (ketidakmampuan bank dalam memenuhi kewajibannya). Oleh sebab itu, regulasi diperlukan untuk mengatur penempatan dana pihakpihak yang berkepentingan. 3) Ketidakmampuan bank dalam menyelesaikan kewajiban Bila suatu bank mengalami insolvensi, diperlukan penanganan dari pemerintah. Dampak dari krisis yang dialami bank mampu mempengaruhi lembaga keuangan lain yang terkait. Oleh sebab itu, pemerintah harus melakukan langkah penyelamatan guna menghindari efek domino yang mungkin terjadi akibat krisis tersebut.
20
4) Stabilitas keuangan Regulasi perbankan penting untuk menjaga stabilitas keuangan dimana pemeliharaan situasi yang berhubungan dengan kapasitas lembaga keuangan dan pasar untuk memobilisasi dana serta menyediakan likuiditas dapat mengatasi kegagalan periodik yang mungkin terjadi. 5) Stabilitas moneter Stabilitas moneter mencerminkan tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Pengaturan stabilitas moneter diharapkan dapat memudahkan pengelolaan ekonomi secara mikro oleh pihak swasta dan secara makro oleh pihak pemerintah. 6) Persaingan antarbank Perkembangan yang pesat dalam produk dan layanan bank memicu semakin tingginya persaingan untuk mendapatkan serta mempertahankan nasabahnya. Produk dan layanan sebaiknya diatur untuk mencegah bank memanfaatkan peluang secara berlebihan tanpa peduli dengan risiko yang ada. Keseragaman regulasi secara internasional untuk dijadikan acuan bagi regulator pada masing-masing negara telah menjadi kebutuhan. Pemikiran tersebut kemudian menjadi dasar munculnya kesepakatan Basel (Basel Accord). Agar regulasi bekerja secara lokal, bank sentral akan merujuk kepada kebijakan makro pemerintah. Sementara itu, jika regulasi diharapkan dapat bekerja sesuai dengan standarisasi internasional, bank sentral dapat merujuk kesepakatan Basel. Di tahun 1988, kesepakatan Basel I mengeluarkan konsep permodalan dan perhitungan ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko) khusus untuk risiko
21
kredit. Lalu, pada tahun 2006 ditetapkan dokumen International Covergence on Capital Measurement and Capital Standard (A Revised Framework) atau yang lebih dikenal dengan Basel II. Secara umum kerangka Basel II terdiri dari tiga pilar, yakni Pilar 1 (kecukupan modal minimum), Pilar 2 (proses review oleh pengawas), dan Pilar 3 (disiplin pasar). Lalu, di tahun 2010 dikeluarkannya kerangka Basel III dalam merespon krisis keuangan global. Basel III membahas mengenai peningkatan ketahanan bank di level mikro dan makro (Indroes, 2011:38). 2.3.1
Capital Requirement Selain berfungsi sebagai sumber utama pembiayaan pada kegiatan
operasionalnya, modal berperan sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian. Modal juga dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Aspek yang paling mendasar dalam pelaksanaan prinsip kehati-hatian adalah bank wajib memenuhi kecukupan permodalan. Hal ini menjadi fokus utama dari otoritas pengawasan bank. Modal yang bank miliki seharusnya dapat menutupi seluruh risiko usaha bank (Indroes, 2011:68). Otoritas pengawas menetapkan jumlah minimum modal yang harus dimiliki bank dengan mengeluarkan persyaratan mengenai permodalan minimum. Pemenuhan ketentuan ini dapat menjadi salah satu komponen penilaian pengawasan bank yang tercermin dari pemenuhan rasio kecukupan modal. Capital requirement menentukan tingkat modal yang dikelola oleh bank dalam proporsi aset mereka. Peran penting sektor perbankan dalam sistem pembayaran dan
22
perekonomian, membuat regulator memberlakukan capital requirement yang mungkin berbeda dari sektor industri lainnya (Derina, 2011). Sehubungan dengan itu, Basel Committee on Banking Supervision dari Bank for International Settlement telah menetapkan metode perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum yang memperhitungkan eksposur risiko. Dalam kesepakatan Basel I, ditetapkan bahwa target rasio modal minimum adalah 8%. Persentase ini tidak berubah secara signifikan pada Basel II. Walaupun tetap sama 8 %, Basel II menekankan bahwa capital requirement ditentukan sesuai dengan profil risiko (penilaian tingkat kesehatan) masing-masing bank. Kemudian pada Basel III, bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko, dengan rentang persentase 8% sampai dengan 14% dari ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko) (Otoritas Jasa Keuangan, 2014). Kegiatan usaha bank yang makin kompleks berpotensi menyebabkan makin tingginya risiko yang dihadapi. Peningkatan risiko ini perlu diikuti oleh peningkatan modal. Oleh karena itu, bank wajib menyediakan modal minimum yang dipersyaratkan untuk mendukung kegiatan usahanya. Persyaratan modal minimum yang ditetapkan Bank Indonesia mengalami perubahan dari tahun ke tahun sebagaimana tersaji dalam tabel berikut.
23
Tabel 2.1. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia perihal persyaratan modal minimum bank umum NO.
TANGGAL
KETENTUAN
KETERANGAN
1
24 September 2008
PBI No.10/15/PBI/2008
Bank wajib menyediakan modal
tentang Kewajiban
minimum sebesar 8% (delapan
Penyediaan Modal
persen) dari Aset Tertimbang
2
28 November 2012
Minimum Bank Umum.
Menurut Risiko (ATMR).
PBI No.14/18/PBI/2012
Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko berikut: a. 8% dari ATMR, untuk Bank dengan profil risiko 1; b. 9% sampai dengan kurang dari 10% dari ATMR, untuk Bank dengan profil risiko 2; c. 10%sampai dengan kurang dari 11% dari ATMR, untuk Bank dengan profil risiko 3; d. 11% sampai dengan 14% dari ATMR, untuk Bank dengan profil risiko 4 atau 5. Mencabut Pasal 7 ayat (1) dalam
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Sesuai Profil Risiko.
3
12 Desember 2013
PBI No.15/12/PBI/2013 perihal Kewajiban
PBI
Penyediaan Modal
peraturan yang baru ini mulai
Minimum Bank Umum
berlaku
No.14/18/PBI/2012
secara
penuh
dan
per
1
Januari 2015. Ketentuan modal minimum yang ditetapkan pun masih
sama
dengan
PBI
No.14/18/PBI/2012.
Sumber: Booklet Perbankan Indonesia, 2014 2.4
Struktur Kepemilikan Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa struktur kepemilikan
menunjukkan besarnya persentase kepemilikan saham oleh insider (manajemen) dan outsider (investor yang tidak memiliki peran langsung dalam manajemen perusahaan). Selain itu, struktur kepemilikan dapat bertindak sebagai bentuk
24
komitmen untuk mendelegasikan pengendalian dengan tingkat tertentu pada manajemen (Burkat dkk., 1997). Shareholder dengan kepemilikan saham besar mempunyai hak suara yang dapat mengontrol pihak manajemen. Sebaliknya, bila shareholder hanya memiliki sebagian kecil saham perusahaan, akan sulit bagi mereka untuk mengendalikan aktivitas manajerial. Caprio dkk. (2007) mengklasifikasikan kepemilikan di bank menjadi dua, yakni jika shareholder memiliki hak kontrol dan hak aliran kas secara langsung dan tak langsung sebesar 10% atau lebih maka disebut dengan large shareholder dan sebaliknya, jika shareholder memiliki hak kontrol dan hak aliran kas kurang dari 10%, maka bank diklasifikasikan sebagai widely held. Sementara itu, Siregar (2008) menjelaskan bahwa terdapat dua konsep kepemilikan dalam perusahaan, yakni kepemilikan imediat dan kepemilikan ultimat. Kepemilikan langsung (kepemilikan imediat) dilihat dari besarnya kepemilikan shareholder yang ditunjukkan dari persentase saham yang terdaftar atas namanya sendiri sedangkan kepemilikan tidak langsung melibatkan saham yang dimiliki oleh suatu institusi dimana kontrol entitas tersebut dipegang oleh ultimate shareholder. Kepemilikan ultimat merupakan gabungan dari kepemilikan langsung dan kepemilikan tidak langsung dalam suatu perusahaan. Banyak ditemukan bahwa ultimate shareholder di bank merupakan principal perusahaan itu sendiri (Laeven dan Levine, 2009). Adanya pemisahan hak kontrol dan hak aliran kas disebabkan oleh keberadaan large shareholder yang mengontrol perusahaan secara langsung maupun tidak langsung (melalui perusahaan lain). Hak kontrol merupakan hak
25
suara yang dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan sedangkan hak aliran kas adalah klaim keuangan pemegang saham terhadap perusahaan. Claessens dkk. (2000) dalam Siregar (2008) melakukan riset di Asia dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 93% perusahaan publik yang memiliki struktur kepemilikan terkonsentrasi dengan cut-off hak kontrol 10%. Pada pisah batas hak kontrol 20%, jumlah perusahaan publik dengan kepemilikan terkonsentrasi menurun menjadi 77%. 2.5
Charter Value Charter value adalah nilai sekarang dari laba masa depan bank. Nilai ini
didasarkan pada kekuasaan bank dalam melakukan bisnis, struktur pasar, serta sumber daya manusia (Fisher dkk., 2001). Charter value yang positif menunjukkan bahwa bank memiliki kekuatan pasar yang mampu menghasilkan laba ekonomi. Tingkat kekuatan pasar yang bervariasi menandakan charter value yang berbeda pada tiap-tiap bank dimana penguasaan pangsa pasar serta efisiensi kinerja menjadi salah satu faktor penentu kekuatan pasar itu sendiri (Furlong dan Kwan, 2006). Bigg (2003) mengungkapkan bahwa efisiensi perusahaan merupakan salah satu sumber dari charter value. Menetapkan biaya yang terlampau tinggi akan menghambat bank untuk unggul dalam persaingan. Untuk dapat sukses pada pasar perbankan lokal, bank memerlukan kantor-kantor cabang baru yang tersebar ke pelosok-pelosok negeri. Selain itu, inovasi teknologi pada masa sekarang telah mengurangi kebutuhan akan infrastruktur dan mampu menaikkan keuntungan,
26
sebagai contoh diperkenalkannya mesin ATM dan internet banking dapat mengurangi biaya-biaya yang timbul dari kantor cabang bank. Sementara itu, Demsetz dkk. (1996) menjelaskan adanya dua sumber utama dari charter value, yakni: 1) Market-related Aturan yang ketat dalam sektor perbankan menyebabkan entry barrier bagi bank pendatang baru. Hal ini menguntungkan bank-bank yang telah lama beroperasi dimana mereka mempunyai akses yang lebih besar untuk mendapatkan profit. Oleh sebab itu, besarnya charter value tergantung pada jumlah bank yang diizinkan beroperasi dalam pasar sehingga entry cost dan tingkat modal yang dibutuhkan menjadi faktor penentu charter value. Di samping itu, pembatasan masuk bank asing yang diberlakukan suatu negara memberikan kesempatan yang lebih besar bagi bank lokal untuk memperluas bisnisnya. 2) Bank-related Pengelolaan secara efisien, reputasi bank, dan hubungan baik yang terjalin dengan nasabah merupakan faktor-faktor penentu charter value. Bank yang dikelola oleh manajer-manajer yang kompeten lebih unggul dibandingkan kompetitornya. Keunggulan ini muncul dari kemampuan untuk menyediakan jasa keuangan kepada nasabah dengan biaya yang relatif murah dibandingkan pesaingnya. Hal ini membuka peluang bank untuk tumbuh menjadi lebih besar dan profitable. Selain itu, reputasi baik yang dimiliki bank akan menghasilkan kerangka bisnis menguntungkan dengan investor dan juga
27
nasabah. Hubungan unik yang terjalin dengan nasabah akan memberikan keuntungan tersendiri, yakni bank memiliki akses informasi pribadi nasabah yang tidak tersedia di financial market. Ini membantu bank dalam mengurangi cost of loan origination sehingga kegiatan lending menjadi lebih menguntungkan. Demsetz dkk. (1996) menyatakan bahwa charter value mempengaruhi perilaku perusahaan. Bank yang berhasil meningkatkan charter value akan berusaha mempertahankannya dengan memilih strategi bisnis yang rendah risiko. Oleh karena itu, bank cenderung menyediakan modal lebih dari yang disyaratkan regulator untuk membatasi eksposur terhadap debitur berisiko tinggi. Charter value juga memainkan peranan penting dalam mengurangi masalah moral hazard. Proteksi pemerintah atas simpanan nasabah, seperti deposit insurance akan menciptakan moral hazard yang kemudian memicu bank mengambil risiko yang berlebihan. Di sinilah peran charter value dalam mengurangi tingkat risiko yang diambil. Bank yang mempunyai charter value tinggi akan mempertimbangkan risiko dari proyek-proyek yang mereka danai dan berusaha mengurangi kemungkinan hilangnya charter value akibat insolvency. 2.6
Penelitian Sebelumnya Koehn dan Santomero (1980) menganalisis pengaruh flat capital
regulation pada portfolio risk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi modal gagal dalam mengurangi probability of default bank. Besarnya tingkat modal yang diperlukan menyebabkan menurunnya expected return sehingga bank
28
mengkompensasikan kerugian itu dengan berinvestasi pada aset berisiko tinggi dan akhirnya akan memperbesar probabilitas kebangkrutan. Dengan demikian, bank yang berisiko tinggi menunjukkan probability of default yang besar dan sebaliknya, bank dengan risiko yang rendah menunjukkan probability of default yang rendah pula. Penelitian yang dilakukan Gennotte dan Pyle (1991) menguji efek peraturan modal pada perilaku bank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan modal dapat meningkatkan risiko portofolio dan probabilitas kebangkrutan. Dalam model yang dibuat Gennotte dan Pyle, peningkatan capital requirement mendorong bank untuk mengurangi ukuran portofolio dan menaikkan risiko. Probabilitas kebangkrutan juga ikut meningkat seiring dengan makin ketatnya capital requirement. Mereka juga menyatakan bahwa peraturan modal bukanlah alat yang tepat untuk memantau serta mengendalikan aset berisiko sehingga
diperlukan
pengawasan
lebih
lanjut
dari
pemerintah
untuk
mengatasinya. Cebenoyan dkk. (1999) menyelidiki hubungan antara kepemilikan manajer, charter value, dan pengambilan risiko di tahun 1986-1995. Hipotesis yang disusun menjelaskan bahwa saat regulasi belum terlalu ketat dan tingkat charter value rendah, manager-owner cenderung terlibat dalam pengambilan risiko yang tidak menguntungkan. Namun, ketika regulasi makin ketat dan charter value meningkat, pengambilan risiko yang dilakukan manager-owner sangat menguntungkan. Hasil penelitian pun menunjukkan bahwa kedua hipotesis itu
29
diterima dan disimpulkan adanya pengaruh regulasi dan charter value pada pengambilan risiko. Dalam dynamic model yang dibuat oleh Hellmann dkk. (2000), ditemukan bahwa kompetisi pasar dapat mengurangi perilaku kehati-hatian bank. Persaingan yang ketat mengurangi charter value sehingga leverage bank meningkatkan dan terjadi kenaikan pengambilan risiko. Mereka juga meneliti peran flat capital requirement sebagai alat untuk mengurangi moral hazard. Hasil penelitian menunjukkan adanya efek yang merugikan dari penerapan capital requirement. Peningkatan modal adalah aktivitas yang costly dan menurunkan keuntungan di setiap periode, sehingga perlahan-lahan charter value akan makin menurun. Mereka berpendapat bahwa penetapan capital requirement yang tinggi bukanlah peraturan yang efisien bagi bank dan cenderung mendorong bank untuk mengambil risiko. Milne dan Whalley (2001) meneliti dampak peraturan modal bank dalam sebuah model yang dibuat oleh Merton (1978). Mereka mengembangkan berbagai prediksi mengenai hubungan antara regulasi modal dan pengambilan risiko yang cukup berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa capital requirement tidak memiliki pengaruh pada pengambilan risiko. Di samping itu, charter value dapat menurunkan tingkat risiko yang diambil dimana bank memilih menginvestasikan asetnya pada proyek berisiko rendah demi mempertahankan charter value. Penelitian yang dilakukan oleh Konishi dan Yasuda (2004) menyelidiki faktor-faktor penentu pengambilan risiko pada bank umum di Jepang. Penelitian
30
diadakan pada tahun 1999 dengan sampel yang terdiri dari 48 bank regional yang terdaftar di Tokyo Stock Exchange (TSE) dan model regresi linear berganda digunakan dalam menganalisis data. Hasil yang ditemukan menjelaskan bahwa pelaksanaan capital adequacy requirement mengurangi pengambilan risiko. Selain itu, Amakudari (pensiunan Kementerian Keuangan dan Perbankan Jepang berpangkat tinggi yang bekerja sebagai dewan direksi bank umum) memiliki pengaruh yang signifikan pada risiko bank. Stable shareholder memiliki pengaruh negatif pada pengambilan risiko dan charter value mampu menurunkan risiko bank. Jokipii (2008) meneliti hubungan antara modal bank, pengambilan risiko, dan charter value. Riset ini dilakukan pada Bank Holding Companies (BHCs) di Amerika Serikat dari tahun 1986 sampai tahun 2006. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan nonlinear antara modal bank dan charter value, khususnya pada tahun-tahun setelah terjadi reformasi regulasi. Selain itu, charter value mempengaruhi hubungan antara modal bank dan pengambilan risiko sehingga makin besar modal yang ditahan maka makin kecil pengambilan risiko. Penelitian Marco dan Fernandes (2008) menguji determinan pengambilan risiko sektor keuangan Spanyol dengan menitikberatkan pada variabel struktur kepemilikan dan ukuran perusahaan. Mereka menemukan perilaku pengambilan risiko yang berbeda antara bank tabungan dan bank komersial. Pengambilan risiko yang tinggi ditunjukkan oleh bank komersial dimana perusahaan ini berorientasi pada shareholder dan kepemilikannya jelas sedangkan bank tabungan dengan struktur kepemilikan yang menyebar lebih berhati-hati dalam mengambil risiko.
31
Sementara pada bank komersial, makin besar perusahaan justru menyebabkan shareholder enggan mengambil risiko tinggi. Hal yang berbeda ditunjukkan pada bank tabungan, besar kecilnya perusahaan tidak mempengaruhi perilaku pengambilan risiko. Laeven dan Levine (2009) melakukan penilaian empiris pertama mengenai pengambilan risiko bank, struktur kepemilikan, dan regulasi bank. Mereka berfokus pada konflik antara manajer dan owner dimana hasil riset menunjukkan bahwa pengambilan risiko bank bervariasi sesuai dengan power yang dimiliki shareholder. Selain itu, ditemukan bahwa hubungan antara risiko bank dengan capital requirement, deposit insurance, dan restriction activities sangat bergantung pada struktur kepemilikan bank. Regulasi yang sama memiliki pengaruh yang berbeda pada besarnya pengambilan risiko, tergantung dari struktur tata kelola masing-masing bank. Paligorova (2010) meneliti faktor-faktor penentu pengambilan risiko perusahaan dari listed firms di 38 negara selama periode 2003-2006. Peneliti menemukan hubungan positif antara pengambilan risiko perusahaan dan large shareholder yang merupakan investor dengan kepemilikan ekuitas yang besar pada
beberapa
perusahaan.
Sebaliknya,
family
shareholder
cenderung
menghindari pengambilan risiko yang tinggi untuk melindungi aset mereka. Agoraki dkk. (2011) melakukan penelitian untuk menyelidiki bagaimana pengaruh regulasi dan competition pada pengambilan risiko bank. Regulasi itu sendiri didasarkan pada capital requirement, pembatasan aktivitas bank, dan official supervisory power. Variabel competition diukur melalui market power.
32
Studi ini berfokus pada sektor perbankan di Eropa Tengah dan Eropa Timur selama periode 1988-2005. Temuan penelitian menunjukkan bahwa bank dengan market power besar cenderung memiliki risiko kredit dan kemungkinan default yang rendah. Capital requirement berpengaruh negatif pada pengambilan risiko, tetapi bagi bank yang memiliki market power besar, pengaruh tersebut secara signifikan melemah. Pembatasan aktivitas bank dan market power yang besar mampu mengurangi risiko kredit dan risiko kegagalan bank. Sementara adanya official supervisory power mampu mengurangi insolvency risk. Awdeh dkk. (2011) menganalisis dampak capital requirement terhadap pengambilan risiko di bank-bank umum Lebanon. Mereka menggunakan kumpulan data panel yang terdiri dari 41 bank komersial dari tahun 1996 sampai tahun 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan capital requirement diikuti dengan kenaikan risiko bank. Mereka juga menemukan bahwa bank komersial Lebanon mengandalkan retained earnings untuk memenuhi kebutuhan modal. Bank-bank besar cenderung untuk menahan modal yang lebih rendah dan memiliki kemampuan lebih baik dalam mengendalikan risiko. Penelitian yang dilakukan oleh Berger dkk. (2014) menyajikan studi mengenai bagaimana intervensi regulasi dan capital support mempengaruhi pengambilan risiko bank. Riset dilakukan pada sektor perbankan Jerman dari tahun 1999 sampai tahun 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi regulasi dan capital support berhasil mengurangi pengambilan risiko bank. Pengaruh dari kedua variabel bebas tersebut terlaksana dengan cepat dan bertahan dalam jangka panjang.