BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 2.1.1
Landasan teori Teori keagenan (agency theory) Teori keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami
corporate governance. Teori keagenan menyangkut hubungan kontraktual antara anggota-anggota di perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa hubungan agensi terjadi ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan. Principal adalah pemegang saham atau investor, sedangkan agent adalah manajemen yang mengelola perusahaan. Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahan fungsi antara kepemilikan di pihak investor dan pengendalian di pihak manajemen. Terdapat suatu kecenderungan timbulnya masalah keangenan yang disebabkan karena perbedaan kepentingan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan. Teori agensi menyatakan bahwa apabila terdapat pemisahan antara pemilik sebagai principal dan manajer sebagai agent yang menjalankan perusahaan, maka akan muncul permasalahan agensi karena masingmasing pihak tersebut akan selalu berusaha untuk memaksimalisasikan fungsi utilitasnya (Jensen dan Meckling, 1976). Agen memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan prinsipal, sehingga menyebabkan timbulnya asimetri informasi, yaitu suatu kondisi adanya ketidakseimbangan perolehan
12
informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder sebagai pengguna informasi. Konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham dapat diminimalkan dengan melakukan pengawasan. Siregar (2011) menjelaskan bahwa pengawasan atas setiap tindakan prinsipal dan agen harus dilakukan guna mencapai kata sepakat yang pada akhirnya membawa perusahaan pada atmosfir kerja yang positif. Dalam upaya mengatasi masalah keagenan ini akan menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang akan ditanggung baik oleh principal maupun agent. Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya keagenan ini menjadi monitoring cost, bonding cost dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent. Bonding cost merupakan biaya yang ditanggung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal. Selanjutnya residual loss merupakan pengorbanan berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal. Biaya pengawasan ini tercermin dari dibentuknya komite audit dan dewan komisaris serta dilibatkannya pihak independen untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas yang disebut komisaris independen (Siregar, 2011).
13
2.1.2
Corporate governance Forum for Corporate Governance in Indonesia dalam Tjager dkk. (2003)
mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eskternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Menurut Griffin (2002) dalam Siregar (2011) pengertian corporate governance, yaitu the roles of shareholders, directors and other managers in corporate decision making, yang berarti peran pemegang saham, direktur, dan manajer lainnya dalam pembuatan keputusan perusahaan. Berdasarkan definisi tersebut, semakin jelas bahwa konsep corporate governance akan membawa manfaat bagi penciptaan pertambahan nilai untuk berbagai pihak pemegang kepentingan (stakeholders), yang meliputi pemegang saham, pengurus, kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal (Hanas, 2009). Corporate governance dibuat untuk mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan antara hubungan tersebut (Arifani, 2012). Keuntungan penerapan good corporate governance dapat menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan. Keuntungan ini didapat apabila penerapan corporate governance tidak hanya sekedar formalitas tetapi diterapkan menjadi bagian integral dari aktivitas bisnis perusahaan. Menurut Forum Corporate Governance Indonesia dalam Siregar (2011), ada beberapa
14
keuntungan yang didapat dengan diterapkannya corporate governance dalam perusahaan, yaitu: a) Lebih mudah untuk menambah modal b) Turunnya biaya modal c) Peningkatan kinerja bisnis dan peningkatan kinerja ekonomi d) Ada dampak yang baik pada harga saham Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) menjelaskan lima asas dalam good corporate governance, antara lain: a) Transparansi (transparency) Perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Salah satu isi pedoman pokok pelaksanaan dari penerapan prinsip transparansi adalah informasi yang tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya. b) Akuntabilitas (accountability) Perusahaan harus mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Oleh karena itu, perusahaan harus dikelola dengan benar, terukur, serta sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan
kepentingan
kepentingan lain.
15
pemegang
saham
dan
pemangku
c) Responsibilitas (responsibility) Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. d) Independensi (independency) Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. e) Kewajaran dan kesetaraan (fairness) Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (2004) dalam Siregar (2011), prinsip-prinsip corporate governance, yaitu: a) Hak-hak pemegang saham b) Perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham c) Peranana semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam corporate governance d) Transparansi dan penjelasan Mekanisme pengendalian corporate governance dibagi menjadi dua bagian, yaitu internal dan eksternal (Hanas, 2009). Mekanisme internal adalah komponen-komponen yang berhubungan langsung dengan proses pengambilan
16
keputusan perusahaan, yang terdiri dari dewan direksi, dewan komisaris, komite audit dan struktur kepemilikan. Mekanisme eksternal adalah komponenkomponen yang tidak berhubungan langsung dengan proses pengambilan keputusan, seperti perbankan yang memberi suntikan dana, masyarakat selaku konsumen, pemerintah selaku regulator, supplier, tenaga kerja, serta stakeholder lainnya.
2.1.3
Dewan komisaris independen Menurut UU PT No. 40 tahun 2007 pasal 1 ayat 6 dalam Maulia (2014),
dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi. Dewan komisaris adalah pihak yang berperan penting dalam menyediakan laporan keuangan perusahaan yang reliable, yaitu dengan memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan perundangan yang berlaku maupun nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan operasinya. Chtourou et al. (2001) berpendapat keberadaan dewan komisaris mempunyai pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan dan dipakai sebagai ukuran tingkat rekayasa yang dilakukan oleh manajer. Dewan komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan Good Corporate Governance (Hanas, 2009). Lebih lanjut Hanas (2009) menjelaskan bahwa dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksaaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola
17
perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Jumlah anggota dewan komisaris harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektivitas dalam pengambilan keputusan. Anggota dewan komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) melalui proses yang transparan. Dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen. Menurut Chtourou et al. (2001), dewan komisaris yang independen secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mempengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan oleh manajer. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin kompeten dewan komisaris, maka semakin mengurangi kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan (Edgina, 2008 dalam Maulia, 2014). Tugas-tugas utama dewan komisaris menurut Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD, 2004) meliputi: a) Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan
sasaran
kerja,
mengawasi
pelaksanaan
dan
kinerja
perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset. b) Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota dewan direksi serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil.
18
c) Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan. d) Memonitor pelaksanaan governance dan mengadakan perubahan jika perlu. e) Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan. Disamping tugas-tugas yang wajib dilaksanakan, dewan komisaris juga memiliki beberapa kewajiban yang harus dipatuhi. Kewajiban dewan komisaris menurut UU PT No. 40 Tahun 2007 pasal 116, yaitu: a) Membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya. b) Melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain. c) Memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada Rapat Umum Pemegang Saham. Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (2007) dalam Hanas (2009), fungsi dewan komisaris termasuk komisaris independen mencakup dua peran, yaitu: a) Mengawasi direksi perusahaan dalam mencapai kinerja dalam business plan dan memberikan nasihat kepada direksi mengenai penyimpangan
19
pengelolaan usaha yang tidak sesuai dengan arah yang ingin dituju oleh perusahaan. b) Memantau penerapan dan efektivitas dari praktik Good Corporate Governance.
2.1.4
Komite audit Tugiman (1995:8) mendefinisikan komite audit adalah sekelompok orang
yang dipilih oleh kelompok yang lebih besar untuk mengerjakan pekerjaan tertentu atau untuk melakukan tugas-tugas khusus atau sejumlah anggota dewan komisaris perusahaan klien yang bertanggungjawab untuk membantu auditor dalam mempertahankan independensinya dari manajemen. Hal
tersebut
menjelaskan bahwa, komite audit dibentuk oleh dewan komisaris dan bertanggungjawab langsung kepada dewan komisaris. Selain itu, fungsi komite audit sendiri yaitu membantu dewan komisaris dalam melaksanakan tugasnya. Komite audit adalah sebuah komite kecil dari dewan komisaris yang independen dan di luar direktur. Komite audit mempunyai tanggung jawab yang luas terhadap laporan ekstern perusahaan, memonitor risiko, mengontrol proses serta menjalankan fungsi audit internal dan eksternal. Komite audit bertindak sebagai pemeriksa manajemen yang independen dan sebagai pengacara bagi para pengguna eksternal laporan keuangan dalam menjamin bahwa laporan keuangan disajikan secara akurat yang menggambarkan kegiatan ekonomi perusahaan (Schwieger dan Rottenberg, 2003).
20
Bursa Efek Indonesia (BEI) mewajibkan perusahaaan tercatat memiliki komisaris independen dan komite audit. Keanggotaan komite audit sekurangkurangnya tiga anggota dan seorang diantaranya komisaris independen perusahaan tercatat sekaligus menjadi ketua komite. Sebaliknya, pihak lain adalah pihak eksternal yang independen dan sekurang-kurangnya salah seorang memiliki kemampuan di bidang akuntansi dan keuangan. Menurut Surat Keputusan Ketua BAPEPAM-LK No. Kep-643/BL/2012, tugas dan tanggung jawab komite audit, antara lain: a) Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan emiten atau perusahaan publik kepada publik dan/atau pihak otoritas antara lain laporan keuangan, proyeksi, dan laporan lainnya terkait dengan informasi keuangan emiten atau perusahaan publik. b) Melakukan penelaahan atas ketaatan terhadap peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan kegiatan emiten atau perusahaan publik. c) Memberikan pendapat independen dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara manajemen dan akuntan atas jasa yang diberikannya. d) Memberikan rekomendasi kepada dewan komisaris mengenai penunjukan akuntan berdasarkan pada independensi, ruang lingkup penugasan, dan fee. e) Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal dan mengawasi pelaksanaan tindak lanjut oleh direksi atas temuan auditor internal.
21
f) Melakukan penelaahan terhadap aktivitas pelaksanaan manajemen risiko yang dilakukan oleh direksi, jika emiten atau perusahaan publik tidak memiliki fungsi pemantau risiko di bawah dewan komisaris. g) Menelaah pengaduan yang berkaitan dengan proses akuntansi dan pelaporan keuangan emiten atau perusahaan publik. h) Menelaah dan memberikan saran kepada dewan komisaris terkait dengan adanya potensi benturan kepentingan emiten atau perusahaan publik. i) Menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi emiten atau perusahaan publik. Tujuan dibentuknya komite audit menurut Keputusan Menteri Nomor 117 Tahun 2002 adalah untuk membantu komisaris atau dewan pengawas dalam memastikan efektivitas sistem pengendalian internal dan efektivitas pelaksanaan tugas auditor eksternal dan auditor internal. Sebagai komite yang membantu fungsi pengawasan komisaris, komite audit memiliki fungsi dalam hal yang terkait dengan proses dan peran audit bagi perusahaan, terutama dalam pelaporan hasil audit keuangan perusahaan yang dipaparkan di publik (Hanas, 2009).
2.1.5
Kepemilikan manajerial Sujono dan Subiantoro (2007) dalam Sabrina (2010) mengemukakan
bahwa kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen. Pihak manajerial dalam suatu perusahaan adalah pihak yang secara aktif berperan dalam pengambilan keputusan untuk menjalankan perusahaan
22
(Wijayanti, 2011). Menurut Itturiaga dan Sanz (2000) struktur kepemilikan manajerial dapat dijelaskan dari dua sudut pandang, yaitu pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan ketidakseimbangan (asymmetric information approach). Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai sebuah instrument atau alat untuk mengurangi konflik keagenan diantara beberapa
klaim
(claim
holder)
terhadap
perusahaan.
Pendekatan
ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan manajerial sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi di dalam pasar modal. Gunarsih (2004) dalam Sabrina (2010) menyatakan bahwa kepemilikan perusahaan merupakan salah satu mekanisme yang dapat dipergunakan agar pengelola melakukan aktivitas sesuai dengan kepentingan pemilik perusahaan. Meningkatkan kepemilikan manajerial dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi masalah keagenan. Masalah keagenan muncul ketika terjadi perbedaan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham, dimana terdapat kemungkinan manajer mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan pemegang saham. Menurut Arifin (2005) kepemilikan manajerial merupakan mekanisme kontrol untuk mengurangi masalah agensi. Ross et al. (1999) dalam Tarjo (2008) menyatakan semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung berusaha giat untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain dirinya sendiri. Kepemilikan saham manajerial akan mendorong manajer untuk berhati-hati dalam
23
mengambil keputusan karena mereka ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah (Listyani, 2003 dalam Wiranata dan Nugrahanti, 2013). Kepemilikan
perusahaan
sangat
penting
karena
terkait
dengan
pengendalian operasional perusahaan. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan kepemilikan oleh manajer yang akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola. Dengan demikian, perusahaan dengan proporsi kepemilikan manajerial yang besar cenderung tepat waktu dalam penyajian laporan keuangannya (Savitri, 2010).
2.1.6
Kepemilikan institusional Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional
memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan kepemilikan institusional dianggap mampu dijadikan sebagai mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham suatu perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan institusi lainnya (Tarjo, 2008). Menurut Che Hat et al. dalam Putra (2013) kepemilikan institusional adalah persentase
24
saham yang dimiliki oleh orang di luar perusahaan terhadap total saham perusahaan. Kepemilikan institusional merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Adanya tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional, sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajerial (Machmud dan Djakman, 2008 dalam Bangun dkk., 2012). Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Dengan adanya monitoring tersebut, maka pemegang saham akan semakin terjamin kemakmurannya, pengaruh kepemilikan institusional yang berperan sebagai agen pengawas ditekan oleh investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal (Permanasari, 2010). Menurut
Permanasari
(2010)
kepemilikan
institusional
memiliki
kelebihan, antara lain: a) Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan informasi. b) Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan. Penelitian Bathala et al. (1994) menemukan bahwa kepemilikan institusional menggantikan kepemilikan manajerial dalam mengontrol agency cost. Hal ini didukung oleh Sabrina (2010) yang menemukan bahwa semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan, maka akan semakin besar kekuatan
25
suara dan dorongan institusi keuangan untuk mengawasi manajemen dan akibatnya akan memberikan dorongan yang lebih besar untuk mengoptimalkan nilai perusahaan sehingga kinerja perusahaan juga akan meningkat.
2.1.7
Financial distress Financial Distress atau sering disebut dengan kesulitan keuangan, terjadi
sebelum suatu perusahaan benar-benar mengalami kebangkrutan. Platt dan Platt (2002) mendefinisikan financial distress merupakan suatu kondisi dimana keuangan perusahaan dalam keadaan tidak sehat atau sedang krisis. Dengan kata lain financial distress merupakan suatu kondisi dimana perusahaan mengalami kesulitan keuangan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Trijadi (1999) dalam Rambang (2010) mendefinisikan kesulitan keuangan merupakan kesulitan likuiditas, sehingga perusahaan tidak mampu menjalankan kegiatan operasinya dengan baik. Menurut Rambang (2010) kesulitan keuangan dapat diartikan dalam beberapa kategori, yaitu: a) Economic failure, yaitu kegagalan ekonomi yang berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biayanya sendiri. Ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal. b) Bussines failure, didefinisikan sebagai usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditur dan kemudian dikatakan gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan secara moral.
26
c) Technical insolvency, sebuah perusahaan dapat dinilai mengalami kesulitan keuangan apabila tidak memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Technical insolvency ini menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara, dimana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap beroperasi. d) Insolvency in bankcruptcy, sebuah perusahaan dapat dikatakan mengalami kesulitan keuangan bilamana nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari aset perusahaan. e) Legal bankcruptcy, sebuah perusahaan dikatakan bangkrut secara hukum jika telah diajukan tuntutan secara resmi dengan undang-undang. Financial distress merupakan salah satu berita buruk yang akan mempengaruhi kondisi perusahaan di mata publik (Julien, 2013). Indikasi terjadinya financial distress dapat diketahui dari kinerja keuangan suatu perusahaan. Kinerja keuangan dapat diperoleh dari informasi akuntansi yang terdapat didalam laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan merupakan laporan mengenai posisi kemampuan dan kinerja keuangan perusahaan serta infromasi lainnya yang diperlukan oleh pemakai informasi akuntansi (Rambang, 2010). Menurut Platt dan Platt (2002) kegunaan informasi jika suatu perusahaan mengalami financial distress adalah: a) Dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah sebelum terjadinya kebangkrutan.
27
b) Pihak manajemen dapat mengambil tindakan merger atau takeover agar perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola perusahaan dengan lebih baik. c) Memberikan tanda peringatan dini atau awal adanya kebangkrutan di masa yang akan datang. Financial distress yang terjadi di perusahaan dapat diprediksi dengan berbagai metode, salah satunya adalah dengan menggunakan analisis rasio dari informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Foster (1986) dalam Dwijayanti (2010) menjabarkan empat hal yang mendorong dilakukannya analisis rasio, yaitu: (1) mengendalikan pengaruh perbedaan besaran antar perusahaan atau antar waktu, (2) membuat data menjadi lebih memenuhi asumsi alat statistik yang digunakan, (3) menginvestigasi teori yang terkait dengan rasio keuangan, dan (4) mengkaji hubungan empiris antara rasio keuangan dan estimasi atau prediksi variabel tertentu (seperti kebangkrutan atau financial distress). Penelitian ini menggunakan gearing ratio untuk memprediksi financial distress. Gearing ratio adalah perbandingan antara utang dengan seluruh modal perusahaan, untuk menilai tingkat pendapatan modal sendiri sehubungan dengan usaha peningkatan pendapatan operasional. Menurut Owusu dan Ansah (2000), gearing ratio digunakan untuk mengukur kesulitan keuangan yang dapat dilihat dari perbandingan hutang jangka panjang dengan total aset yang dimiliki oleh perusahaan. Perusahaan dengan tingkat rasio gearing yang tinggi menggambarkan risiko keuangan yang tinggi pula (Julien, 2013).
28
2.1.8
Kecepatan publikasi laporan keuangan Menurut Owusu-Ansah dan Yeoh (2005:33) dan Afolabi (2007:5) dalam
Putra dan Ramantha (2015) terdapat tiga kriteria utama yang digunakan dalam mengevaluasi kualitas laporan keuangan, yaitu ketepatan waktu, kehandalan dan komparatif. Fraser dan Ormiston (2004) dalam Siregar (2011) berpendapat bahwa ketepatan waktu merupakan salah satu aspek kualitatif dari laporan keuangan untuk disajikan secepat mungkin kepada para pengguna, sehingga laporan keuangan dan data lain yang dihasilkan oleh laporan keuangan perusahaan dapat membantu pengguna mengembangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan spesifik. Menurut Prena (2011) kecepatan pelaporan keuangan merupakan karakteristik yang penting bagi informasi akuntansi karena informasi historis akan mempengaruhi pengguna laporan keuangan dalam proses pembuatan keputusan ekonomi.
Semakin
cepat
suatu
perusahaan
mempublikasikan
laporan
keuangannya, maka semakin cepat pula keputusan yang diambil oleh para pengguna laporan keuangan. Kenley dan Stubus (1972) dalam Saleh (2004) menyatakan bahwa kecepatan publikasi laporan keuangan akan memberikan pengaruh pada nilai laporan keuangan tersebut. Keterlambatan penyampaian laporan keuangan dapat diartikan akan menyebabkan distorsi nilai dan manfaat dari laporan keuangan bersangkutan (Jeva, 2014). Owusu dan Ansah (2000) dalam Saleh (2004) menyatakan bahwa pelaporan yang tepat waktu akan membantu mengurangi tingkat insider trading dan kebocoran serta rumor di pasar saham.
29
Kecepatan waktu adalah tersedianya informasi dengan cepat bagi pembuat keputusan pada saat dibutuhkan sebelum informasi tersebut kehilangan kemampuannya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan. Lamanya waktu penyelesaian laporan audit dapat mempengaruhi kecepatan waktu penyajian informasi laporan keuangan untuk diterbitkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Hal ini dapat berdampak pada reaksi pasar dan mempengaruhi ketidakpastian dalam pengambilan keputusan (Arifa, 2013). Siregar (2011) mengungkapkan bahwa semakin pendek jarak waktu antara akhir tahun akuntansi dan tanggal dipublikasikan, maka akan semakin besar keuntungan yang diperoleh dari laporan keuangan itu. Prena (2011) mengemukakan bahwa faktor penyebab kepatuhan penyerahan laporan keuangan telah dibuktikan oleh para peneliti sebelumya. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor yang terkait dengan audit seperti pengungkapan laporan keuangan bagi klien yang mengalami kerugian beruntun maupun ketidakmampuan membayar hutang. Khomsiyah (2005) dalam Prena (2011) menunjukkan bahwa semakin tinggi indeks corporate governance, maka semakin baik juga penerapan corporate governance oleh suatu perusahaan terhadap
peraturan
pengungkapan
yang
ditunjukkan
dalam
besarnya
pengungkapan wajib dalam laporan tahunan. Indeks corporate governance juga menggambarkan kualitas pengungkapan informasi yang disajikan oleh perusahaan dalam laporan tahunan dan kecepatan penyampaian laporan keuangan. Menurut Wijayanti (2011) ketepatan waktu tidak menjamin relevansi tetapi relevansi informasi tidak mungkin tanpa ketepatan waktu. Ketepatan waktu
30
menunjukkan bahwa laporan keuangan harus disajikan dalam kurun waktu teratur untuk memperlihatkan perubahan keadaan perusahaan yang pada gilirannya akan mempengaruhi prediksi dan keputusan pemakai (Hilmi dan Ali, 2008). Gregory dan Van Horn (1963) dalam Owusu dan Ansah (2000) mengatakan bahwa secara konseptual yang dimaksud dengan tepat waktu adalah kualitas ketersediaan informasi pada saat yang diperlukan atau kualitas informasi yang baik dilihat dari segi waktu. Informasi dikatakan memiliki kualitas relevan, jika dapat mempengaruhi keputusan ekonomi para pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan, serta menegaskan atau mengkoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu. Dengan demikian, laporan keuangan yang dipublikasikan dengan cepat dan tepat waktu serta memiliki informasi yang berkualitas sangat diperlukan oleh para pemakai laporan keuangan sebagai alat analisis untuk mengambil suatu keputusan.
2.2 2.2.1
Hipotesis penelitian Pengaruh dewan komisaris independen pada kecepatan publikasi laporan keuangan Dewan komisaris adalah pihak yang berperan penting dalam menyediakan
laporan keuangan perusahaan yang reliable, yaitu dengan memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan perundangan yang berlaku maupun nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan operasinya. Savitri (2010) mengemukakan dewan komisaris independen memainkan peran yang aktif dalam
31
peninjauan kebijakan dan praktik pelaporan keuangan, sehingga dapat mempengaruhi ketepatan waktu pelaporan keuangan dalam suatu perusahaan. Fama dan Jensen (1983) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa non-executive director (dewan komisaris) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Kehadiran dewan komisaris independen dalam persiapan pembuatan laporan keuangan dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mempublikasikan laporan keuangannya kepada publik (Clatworthy, 2010). Berdasarkan uraian di atas hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah: H1: Dewan komisaris independen berpengaruh positif pada kecepatan publikasi laporan keuangan.
2.2.2
Pengaruh komite audit pada kecepatan publikasi laporan keuangan Komite audit adalah suatu badan yang dibentuk oleh dewan direksi dalam
suatu perusahaan yang bertugas untuk memelihara independensi akuntan pemeriksa terhadap manajemen serta melaksanakan pengawasan independen atas proses laporan keuangan dan audit ekstern. Dalam hal pelaporan keuangan, peran dan tanggung jawab komite audit adalah memastikan laporan keuangan yang dikeluarkan tidak menyesatkan dan sesuai dengan praktik akuntansi yang berlaku umum, memastikan bahwa internal kontrolnya memadai, menindaklanjuti dugaan adanya penyimpangan yang material di bidang keuangan dan implikasi hukumnya, dan merekomendasikan seleksi auditor eksternal (KNKCG, 2006).
32
Beberapa penelitian telah melaporkan hasil penelitian tentang hubungan komite audit dan kualitas pelaporan keuangan. Para peneliti cenderung mendukung keberadaan komite audit karena meningkatnya kualitas pelaporan keuangan. Salah satu kualitas pelaporan keuangan yang baik adalah pelaporan keuangan perusahaan tersebut disampaikan secara tepat waktu. Menurut Purwati (2006) salah satu tanggung jawab komite audit adalah mengawasi proses audit dan memastikan kualitas laporan keuangan. Di sisi lain hasil penelitian Wijayanti (2011) menemukan keberadaan komite audit tidak berpengaruh terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan. Berdasarkan uraian di atas hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah: H2: Komite audit berpengaruh positif pada kecepatan publikasi laporan keuangan.
2.2.3
Pengaruh kepemilikan manajerial pada kecepatan publikasi laporan keuangan Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer dan
pemegang saham mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency conflict. Jensen and Meckling (1976) dalam Wiranata dan Nugrahanti (2013) menyatakan konflik kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan pentingnya suatu mekanisme yang diterapkan yang berguna untuk melindungi kepentingan pemegang saham. Meningkatkan kepemilikan manajerial suatu perusahaan merupakan salah satu cara untuk mengurangi konflik anatara agen dan prinsipal.
33
Ross et al. (1999) dalam Tarjo (2008) menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung berusaha giat untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain dirinya sendiri. Dengan semakin besarnya kepemilikan manajerial, manajer akan lebih berhatihati dalam melilih metode akuntansi serta kebijakan-kebijakan akuntansi untuk perusahaan yang mereka kelola. Dengan adanya kepemilikan manajerial perusahaan tidak akan menunda pelaporan keuangan dan hal itu berarti pelaporan keuangan menjadi tepat waktu. Penelitian tentang hubungan kepemilikan manajerial terhadap ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan telah dilakukan oleh Rianti (2014) yang menemukan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan. Sedangkan penelitian oleh Harnida (2005) dalam Wijayanti (2011) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap kesegeraan penyampaian laporan keuangan. Berdasarkan uraian di atas hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah: H3: Kepemilikan manajerial berpengaruh positif pada kecepatan publikasi laporan keuangan.
2.2.4
Pengaruh kepemilikan institusional pada kecepatan publikasi laporan keuangan Anggiani
(2011)
menyatakan
kepemilikan
institusional
memiliki
kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif, sehingga dapat mendorong manajemen untuk mengeluarkan
34
laporan keuangan yang tepat waktu. Ujiyantho dan Pramuka (2007) menemukan adanya bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor nasional dapat membatasi perilaku manajer. Busshee (1998) dalam Savitri (2010) menyatakan investor institusional dalam struktur kepemilikan menimbulkan pengaruh, sehingga mengubah pengelolaan perusahaan yang semula berjalan sesuai keinginan perusahaan menjadi memiliki keterbatasan. Wardhani (2008) dalam Anggiani (2011) menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan institusional dalam struktur kepemilikan perusahaan, maka semakin mendorong penggunaan prinsip akuntansi yang konservatis yang diukur dengan ukuran akrual. Harnida (2005) dalam Kadir (2008) menemukan adanya hubungan antara kepemilikan institusional dengan ketepatan waktu pelaporan keuangan. Berbeda dengan hasil penelitian Saleh (2004) yang menemukan bahwa kepemilikan
institusional
tidak
berpengaruh
terhadap
ketepatan
waktu
penyampaian laporan keuangan. Berdasarkan uraian di atas hipotesis keempat dalam penelitian ini adalah: H4: Kepemilikan institusional berpengaruh positif pada kecepatan publikasi laporan keuangan.
2.2.5
Pengaruh financial distress pada kecepatan publikasi laporan keuangan Menurut Platt dan Platt (2002) financial distress adalah tahap penurunan
kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan, yang terjadi sebelum
35
terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Financial distress bisa dialami oleh semua perusahaan terutama jika kondisi perekonomian di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi mengalami krisis ekonomi (Dwijayanti, 2010). Menurut Dwijayanti (2010) kondisi keuangan perusahaan menjadi perhatian bagi banyak pihak, tidak hanya manajemen perusahaan karena kelangsungan hidup dan kondisi keuangan perusahaan menentukan kemakmuran berbagai pihak yang berkepentingan. Kesulitan keuangan perusahaan merupakan salah satu contoh kondisi keuangan yang buruk. Kesulitan keuangan perusahaan akan menjadi berita buruk yang mempengaruhi kondisi perusahaan di mata publik (Julien, 2013). Oleh karena itu, pihak manajemen cenderung akan menunda penyampaian laporan keuangan yang berisi berita buruk (Saleh, 2004). Penelitian ini menggunakan gearing ratio untuk memprediksi kesulitan keuangan perusahaan. Penelitian mengenai pengaruh rasio gearing terhadap ketepatan waktu telah dilakukan oleh Saleh (2004), Owusu dan Ansah (2000), dan Kristanti (2012) yang menemukan bahwa rasio gearing tidak berpengaruh terhadap ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan. Serta penelitian Schwartz dan Soo (1996) dalam Kadir (2008) menunjukkan bahwa perusahaan yang
mengalami
kesulitan
keuangan
(financial
distress)
cenderung
menyampaikan laporan keuangannya tidak tepat waktu dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Berdasarkan uraian di atas hipotesis kelima penelitian ini adalah: H5: Financial distress berpengaruh negatif pada kecepatan publikasi laporan keuangan.
36