BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Agensi Teori Agensi merupakan teori yang dapat menjabarkan konsep manajemen laba yang terkait dengan perataan laba. Menurut Anthony dan Govindarajan (1995) hubungan agensi ada ketika salah satu pihak (principal) menyewa pihak lain (agent) untuk melaksanakan suatu jasa dan mendelegasi wewenang untuk membuat keputusan kepada agent tersebut. Dalam teori keagenan pemilik bertindak sebagai principal dan manajemen bertindak sebagai agent. Manajer sebagai pengelola perusahaan merupakan orang yang lebih banyak mengetahui mengenai informasi internal dan prospek dari suatu perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan dengan pemilik. Oleh karena itu, manajemen berkewajiban untuk memberi sinyal kepada pemilik perusahaan mengenai kondisi perusahaan. Sinyal tersebut dapat berupa pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Ketidakseimbangan penguasaan informasi akan menimbulkan kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi. Dengan adanya asimetri informasi antara manajemen dengan pemilik akan memberi kesempatan kepada manajer untuk melakukan disfunctional behavior (perilaku yang tidak semestinya). Perilaku yang tidak semestinya tersebut dapat berupa manajemen laba atau bentuk dari manajemen laba yaitu perataan laba. Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak untuk kepentingan mereka sendiri. Teori ini mencoba
8
9
menjelaskan struktur modal perusahaan sebagai cara untuk meminimalisasi biaya yang dikaitkan dengan adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Perusahaan yang dikuasai oleh manajerial, maka biaya keagenannya rendah. Hal ini disebabkan antara pemilik dan manajer mempunyai tujuan yang sama. Ujiyanto dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: 1.
Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest).
2.
Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality).
3.
Manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia dijelaskan bahwa masing-masing
individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Pihak pemilik (principal) termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan manajer (agent) termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan ekonomi dan psikologinya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki. Principal diasumsikan hanya tertarik pada pengembalian keuangan yang diperoleh dari investasi mereka pada perusahaan. Sedangkan agent diasumsikan
10
akan menerima kepuasan tidak hanya dari kompensasi keuangan tetapi juga dari tambahan lain yang terlibat dalam hubungan keagenan (Anthony dan Govindarajan, 1995). Pemisahan dalam teori keagenan ini menandakan pemilik tidak lagi terlibat dalam pengelolaan perusahaan karena telah dialihkan kepada agen. Pihak principal hanya bertindak sebagai pengawas dengan memonitor kinerja perusahaan melalui laporan yang diberikan oleh agent. Dalam hubungan antara pemegang saham (principal) dan manajer (agent) mempunyai karakteristik perbedaan atas tujuan kerja dan risiko. Perbedaan principal dan agent, sebagai berikut: 1.
Perbedaan preferensi tujuan kerja Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Pemegang selain sebagai principal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedang para agent diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut.
2.
Preferensi risiko Teori ini mengasumsikan bahwa manusia lebih menyukai pertambahan kekayaan dibandingkan kekurangan atau penurunan atas kekayaan yang diakumulasi atau dikelola. Kekayaan manusia berupa nilai manajer itu sendiri yang dipersepsikan pasar dimana dipengaruhi oleh kinerja perusahaan. Karena penurunan utilitas atas kekayaan dan sejumlah modal investasi principal, maka diasumsikan manajer menghindari risiko. Pada sisi lain, para
11
pemegang saham berusaha mengurangi risiko dengan mendiversifikasi kekayaan dan kepemilikan saham mereka dibanyak perusahaan dalam nilai investasi yang mereka harapkan sehingga risiko menjadi netral. Secara garis besar, masalah-masalah yang dapat terjadi antara agent dan principal antara lain dikarenakan perbedaan dalam hal sebagai berikut: 1.
Waktu yang dimiliki principal dalam perusahaan biasanya lebih pendek daripada agent.
2.
Pendapatan yang diterima agent biasanya tetap (dalam hal tidak adanya tambahan insetif) sedangkan principal adalah residual claimant.
3.
Principal biasanya tidak terlibat dalam bidang manajerial, hal ini dikarenakan kepemilikan dipisahkan dengan pengelolaan.
4.
Terdapat asimetri informasi antara principal dan agent, hal ini dikarenakan principal tidak mengetahui secara detail apa yang dilakukan oleh agent. Adanya
perbedaan
kepentingan
antara
principal
dan
agent
dapat
menimbulkan pertentangan, hal tersebut berpotensi menimbulkan terjadinya asimetri informasi. Dengan adanya asimetri informasi antara pemilik dengan manajemen akan memberi kesempatan kepada manajer untuk melakukan praktik perataan laba.
2.1.2 Laporan Keuangan Teori keagenan yang menghendaki adanya pemisahan yang jelas antara pemilik dan manajemen perusahaan menyebabkan pemilik tidak lagi terlibat dalam pengelolaan perusahaan dan pengelolaan dilakukan oleh orang–orang yang
12
dianggap profesional dan dipercaya pemilik perusahaan (Purwandari, 2011). Pemilik perusahaan membutuhkan suatu alat yang digunakan untuk memonitor pengelolaan dan perkembangan perusahaaan, alat monitor yang dapat digunakan yaitu laporan keuangan. Menurut Munawir (2002:2) laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak–pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut. Pihak-pihak
yang
berkepentingan
terhadap
posisi
keuangan
maupun
perkembangan suatu perusahaan adalah: 1.
Investor Berkepentingan dengan risiko dan hasil investasi yang mereka lakukan. Informasi dibutuhkan untuk menentukan apakah mereka akan membeli, menahan atau menjual investasi tersebut. Investor biasanya melihat informasi mengenai kemampuan perusahaan untuk membayar dividen.
2.
Kreditor Menggunakan informasi akuntansi untuk membantu mereka memutuskan apakah pinjaman dan bunganya dapat dibayar pada waktu jatuh tempo.
3.
Pemasok Membutuhkan informasi mengenai kemampuan perusahaan dalam melunasi hutang-hutangnya pada saat jatuh tempo.
4.
Karyawan Membutuhkan informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan.
13
5.
Pemerintah Berkepentingan dengan informasi untuk mengatur aktivitas perusahaan, menetapkan kebijakan pajak, dan menyusun statistik pendapatan nasional. Laporan keuangan yang lengkap terdiri atas komponen neraca, laporan laba
rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, dan catatan atas laporan (IAI, 2012). 1.
Neraca Neraca menyediakan informasi mengenai sifat dan jumlah investasi dalam sumber daya perusahaan, kewajiban kepada kreditor, dan ekuitas pemilik dalam sumber daya bersih. Neraca dapat membantu meramalkan jumlah, waktu, dan ketidakpastian arus kas masa depan.
2.
Laporan laba rugi Laporan laba rugi adalah laporan yang mengukur keberhasilan operasi perusahaan
selama
periode
waktu
tertentu.
Investor
dan
kreditor
menggunakan informasi yang terdapat dalam laporan laba rugi untuk mengevaluasi kinerja masa lalu perusahaan, memberi dasar untuk memprediksi
kinerja
masa
depan,
membantu
menilai
risiko
atau
ketidakpastian pencapaian arus kas masa depan. 3.
Laporan arus kas Laporan arus kas menyediakan informasi yang relevan mengenai penerimaan dan pembayaran kas sebuah perusahaan selama suatu periode. Laporan arus kas melaporkan kas yang mempengaruhi operasi selama suatu periode,
14
transaksi investasi, transaksi pembiayaan, dan kenaikan atau penurunan bersih kas selama satu periode. 4.
Laporan perubahan ekuitas Laporan perubahan ekuitas melaporkan perubahan dalam setiap akun ekuitas pemegang saham dan total ekuitas pemegang saham selama tahun berjalan.
5.
Catatan atas laporan keuangan Catatan atas laporan keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian jumlah yang tertera dalam neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas serta laporan tambahan seperti kewajiban kontijensi dan komitmen. Menurut Munawir (2002:3) manfaat laporan keuangan bagi manajemen
yaitu: 1.
Mengukur tingkat biaya dari berbagai kegiatan perusahaan.
2.
Menentukan dan mengukur efisiensi tiap-tiap bagian, proses atau produksi serta untuk menentukan derajad keuntungan yang dapat dicapai oleh perusahaan yang bersangkutan.
3.
Menilai dan mengukur hasil kerja tiap-tiap individu yang telah diserahi wewenang dan tanggung jawab.
4.
Menentukan perlu tidaknya digunakan kebijaksanaan atau prosedur yang baru untuk mencapai hasil yang lebih baik. Menurut Statement of Financial Accounting Concept no 2 informasi
keuangan akan bermanfaat bila memenuhi karakteristik kualitas sebagai berikut:
15
1.
Relevan Informasi akuntansi dikatakan relevan apabila informasi tersebut mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi keputusan manajer atau pemakai laporan keuangan lainnya. Informasi akuntansi yang relevan akan bermanfaat bagi investor, kreditor, dan pemakai lainnya, apabila (1) informasi tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa sekarang dan masa mendatang (predictive value), (2) menegaskan atau memperbaiki harapan yang dibuat sebelumnya (feedback value) dan (3) informasi harus tersedia tepat waktu dan bagi pengambil keputusan sebelum mereka kehilangan kesempatan atau kemampuan untuk mempengaruhi keputusan yang diambil (timeliness).
2.
Keandalan Informasi dapat dikatakan andal apabila informasi tersebut (1) dapat menggambarkan secara wajar keadaan atau peristiwa sesuai dengan kondisi yang sebenarnya (representatif faithfulness), (2) informasi harus dapat diuji kebenarannya dengan metode pengujian yang sama tetapi oleh orang yang berbeda (verifiable) dan (3) informasi bebas dari unsur bias (neutrality).
3.
Daya banding dan Konsistensi Informasi dalam laporan keuangan akan lebih berguna bila dapat dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya dari perusahaan yang sama, maupun dengan laporan keuangan perusahaan-perusahaan lainnya pada periode yang sama. Konsistensi menunjukkan pemakaian metode yang sama oleh perusahaan sepanjang periode.
16
4.
Pertimbangan Cost-Benefit Informasi akuntansi keuangan akan diupayakan untuk disajikan dalam laporan keuangan, selama manfaat yang diperoleh dari penyajian informasi tersebut melebihi biaya yang diperlukan untuk menghasilkannya. Oleh karena itu, sebelum menyajikan informasi, manfaat yang akan diperoleh dari informasi tersebut harus dibandingkan dengan biaya yang akan timbul.
5.
Materialitas Informasi dipandang material jika kelalaian untuk mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat informasi tersebut dalam mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna yang diambil atas dasar laporan keuangan. Materialitas bergantung pada besarnya pos atau kesalahan yang dinilai sesuai dengan situasi khusus dari kelalaian dalam mencantumkan (omission) atau kesalahan dalam mencatat (misstatement). Di samping memiliki manfaat, laporan keuangan juga memiliki keterbatasan.
Menurut Munawir (2002:9) keterbatasan laporan keuangan meliputi: 1.
Laporan keuangan yang dibuat secara periodik pada dasarnya merupakan interim report (laporan yang dibuat antara waktu tertentu yang sifatnya sementara) dan bukan merupakan laporan yang final. Karena itu semua jumlah-jumlah atau hal-hal yang dilaporkan dalam laporan keuangan tidak menunjukkan nilai likuidasi atau realisasi dimana dalam interim report ini terdapat atau terkandung pendapat-pendapat pribadi (personal judgment) yang telah dilakukan oleh Akuntan atau Management yang bersangkutan.
17
2.
Laporan keuangan menunjukkan angka dalam rupiah yang kelihatannya bersifat pasti dan tepat, tetapi sebenarnya dasar penyusunannya dengan standar nilai yang mungkin berbeda atau berubah-ubah. Laporan keuangan dibuat berdasarkan konsep going concern sehingga aktiva tetap dinilai berdasarkan nilai-nilai historis atau harga perolehannya dan pengurangannya dilakukan terhadap aktiva tetap tersebut sebesar akumulasi depresiasinya. Karena itu angka yang tercantum dalam laporan keuangan hanya merupakan nilai buku (book value) yang belum tentu sama dengan harga pasar sekarang.
3.
Laporan keuangan disusun berdasarkan hasil pencatatan transaksi keuangan atau nilai rupiah dari berbagai waktu atau tanggal yang lalu, dimana daya beli (purchasing power) uang tersebut semakin menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, sehingga kenaikan volume penjualan yang dinyatakan dalam rupiah belum tentu menunjukkan atau mencerminkan unit yang dijual semakin besar, mungkin kenaikan itu disebabkan naiknya harga jual barang tersebut yang mungkin juga diikuti kenaikan tingkat harga-harga. Jadi suatu analisa dengan memperbandingkan data beberapa tahun tanpa membuat penyesuaian terhadap perubahan tingkat harga akan diperoleh simpulan yang keliru.
4.
Laporan keuangan tidak dapat mencerminkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi posisi atau keadaan keuangan perusahaan karena faktor-faktor tersebut tidak dapat dinyatakan dengan satuan uang misalnya reputasi dan prestasi perusahaan, adanya beberapa pesanan yang tidak dapat dipenuhi atau
18
adanya kontrak-kontrak pembelian maupun penjualan yang telah disetujui, kemampuan serta integritas managernya dan sebagainya.
2.1.3 Manajemen Laba Manajemen laba sebagai suatu proses mengambil langkah yang disengaja dalam batas prinsip akuntansi berterima umum baik di dalam maupun di luar batas General Accepted Accounting Principal (GAAP). Manajemen laba juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan manajemen yang mempengaruhi laba yang dilaporkan dan memberi manfaat ekonomi yang keliru kepada perusahaan, sehingga dalam jangka panjang hal tersebut akan sangat mengganggu bahkan membahayakan perusahaan. Disatu sisi manajemen laba merupakan tindakan yang tidak menyalahi peraturan yang ada dan berlaku umum, sebagaimana dinyatakan oleh Poll (2004) The practice of earnings management is facilitated in the flexibility of GAAP as well as the many possible interpretation of some of the principles put forward in GAAP. Scott (2006) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua yaitu: 1.
Manajemen
laba
sebagai
perilaku
oportunistik
manajer
untuk
memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings management). 2.
Memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (efficient earnings management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk
melindungi diri
mereka dan perusahaan dalam
19
mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihakpihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu. Menurut Belkaoui dan Riahi (2006:205) isu-isu dalam manajemen laba antara lain: 1.
Manajemen laba yang bertujuan untuk memenuhi harapan dari analisis keuangan atau manajemen (yang diwakili oleh peramalan laba dari publik).
2.
Manajemen laba bertujuan untuk mempengaruhi kinerja harga jangka pendek dengan berbagai cara.
3.
Manajemen laba berakhir dan dapat bertahan karena informasi yang asimetris yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh informasi yang diketahui manajemen namun tidak ingin untuk mereka ungkapkan.
4.
Manajemen laba terjadi dalam konteks suatu kumpulan pelaporan yang fleksibel dan seperangkat kontrak tertentu yang menentukan pembagian aturan di antara pemegang kepentingan.
5.
Strategi perusahaan bagi manajemen laba mengikuti satu atau lebih dari tiga pendekatan (memilih dari pilihan-pilihan yang ada dalam GAAP, pilihan aplikasi yang ada dalam opsi menggunakan akuisisi serta deposisi aktiva dan waktu untuk melaporkannya).
6.
Manajemen laba merupakan suatu hasil usaha untuk melewati ambang batas.
20
7.
Manajemen laba dapat berasal dari pemenuhan perjanjian dari kontrak kompensasi implisit.
8.
Manajemen laba tumbuh dari ancaman dua bentuk aturan yakni aturan industri spesifik dan aturan antitrust.
9.
Laba negatif secara tiba-tiba umumnya lebih merugikan daripada revisi ramalan negatif. Manajer mempunyai kebebasan untuk memilih dan menggunakan alternatif-
alternatif yang tersedia untuk menyusun laporan keuangan sehingga laba yang dihasilkan dapat sesuai dengan yang diinginkan walaupun laba yang dihasilkan tersebut tidak mencerminkan keadaan perusahaan yang sebenarnya. Adapun pola manajemen laba menurut Scott (2006) adalah sebagai berikut: 1.
Taking a bath Pola ini dilakukan pada saat keadaan buruk yang tidak menguntungkan bagi perusahaan dan tidak dapat dihindari pada periode berjalan. Pola ini dilakukan dengan cara mengakui beban-beban dan kerugian periode yang akan datang ke periode berjalan dan sebaliknya, menunda pendapatan periode berjalan ke periode berikutnya, sehingga mengorbankan laba periode berjalan hingga menjadi buruk atau mengalami kerugian yang drastis agar pada periode berikutnya perusahaan dapat meningkatkan labanya.
2.
Income Minimization Pola ini dilakukan pada saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan
21
yang diambil dapat berupa pembebanan beban secara cepat atau menunda pengakuan pendapatan. 3.
Income Maximization Pola ini dilakukan dengan tujuan untuk memaksimalkan laba agar memperoleh bonus yang lebih besar melalui pemilihan metode-metode akuntansi dan pemilihan waktu pengakuan transaksi, seperti mempercepat pencatatan pendapatan dan menunda biaya. Hal ini dapat dijumpai pada perusahaan yang mendekati suatu pelanggaran kontrak hutang jangka panjang (debt hypothesis), manajer perusahan tersebut akan cenderung memaksimalkan laba.
4.
Income Smoothing Merupakan bentuk manajemen laba yang sering dilakukan dan paling popular. Melalui pola ini, manajer menaikkan laba jika terjadi penurunan laba yang cukup besar, begitu pula sebaliknya. Tujuannya adalah untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat lebih stabil dan tidak berisiko tinggi. Motivasi yang melatarbelakangi terjadinya praktik manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer, antara lain: 1.
Bonus Purpose Manajer yang lebih mengetahui informasi tentang laba perusahaan dibandingkan dengan pemegang saham cenderung bersifat opportunistic dan melakukan tindakan manajemen laba untuk memaksimalkan laba saat ini dengan tujuan untuk mendapat insentif berupa bonus.
22
2.
Political Motivations Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
3.
Taxation Motivations Taxation Motivations dilakukan perusahaan dengan tujuan penghematan pajak. Manajemen laba dilakukan untuk memperkecil perolehan laba sehingga mengakibatkan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah juga lebih kecil dari yang seharusnya.
4.
Pergantian CEO Manajemen laba yang dilakukan oleh CEO yang telah mendekati masa pensiunnya biasanya dilakukan dengan menaikkan laba dengan tujuan mendapat bonus.
5.
Initital Public Offering (IPO) Perusahaan yang baru pertama kali melakukan penawaran sahamnya dan belum memiliki nilai pasar memiliki kecenderungan untuk melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan di masa yang akan datang.
6.
Pentingnya memberi informasi kepada investor Segala informasi yang berkaitan dengan perusahaan harus disampaikan oleh manajer kepada investor sebagai bentuk tanggungjawab manajer. Oleh
23
karena itu, pelaporan laba perlu dibuat sedemikian rupa sehingga investor tetap menilai bahwa perusahaan memiliki kinerja yang baik sesuai keinginan. Ayres (1994:27-29) menyatakan bahwa ada unsur-unsur dalam laporan keuangan yang dapat dijadikan sasaran untuk dilakukan manajemen laba yaitu: 1.
Kebijakan akuntansi Keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib diterapkan oleh suatu perusahaan, yaitu antara menerapkan akuntansi lebih awal dari waktu yang diterapkan atau menundanya sampai saat berlakunya kebijakan tersebut.
2.
Pendapatan Dengan mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan.
3.
Biaya Menganggap sebagai beban biaya atau menganggap sebagai suatu tambahan investasi atas suatu biaya (amortize or capitalize of investment). Manajemen laba adalah salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas
laporan keuangan, menambah bias dalam laporan keuangan, dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan.
2.1.4 Perataan Laba Konsep perataan laba sejalan dengan konsep manajemen laba yang pembahasannya menggunakan pendekatan teori keagenanan (agency theory). Anggapan yang melekat pada teori keagenan adalah bahwa antara agent dengan principal terdapat konflik kepentingan. Konflik akan terjadi jika usaha manajer
24
untuk
memaksimumkan
kekayaannya
tidak
memaksimumkan
kekayaan
pemegang saham, untuk mengatasi konflik tersebut maka manajer melakukan tindakan perataan laba. Purwanto (2004) menyatakan bahwa perataan laba atau income smoothing didefinisikan sebagai cara yang digunakan manajemen untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan agar sesuai dengan target yang diinginkan baik secara artificial (melalui metode akuntansi) maupun secara real (melalui transaksi ekonomi). Foster (1986) menyatakan tujuan perataan laba antara lain sebagai berikut: 1.
Memperbaiki citra perusahaan di mata pihak luar bahwa perusahaan tersebut memiliki risiko yang rendah.
2.
Memberi informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba di masa yang akan datang.
3.
Meningkatkan kepuasan relasi bisnis.
4.
Meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemampuan manajemen.
5.
Meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen. Sedangkan faktor-faktor atau motivasi yang menyebabkan terjadinya
perataan laba diungkapkan oleh beberapa peneliti. Jatiningrum (2000) menyatakan bahwa alasan adanya perataan laba antara lain: 1.
Rekayasa untuk mengurangi laba dan menaikkan biaya pada periode berjalan dapat mengurangi hutang pajak.
2.
Tindakan perataan laba dapat meningkatkan kepercayaan investor karena mendukung kestabilan laba dan kebijakan dividen sesuai dengan keinginan.
25
3.
Tindakan perataan laba dapat mempererat hubungan antara manajer dan karyawan karena dapat menghindari permintaan kenaikan upah atau gaji oleh karyawan atau pekerja.
4.
Tindakan perataan laba memiliki dampak psikologis pada perekonomian, dimana kemajuan dan kemunduran dapat dibandingkan dan gelombang optimisme dan pesimisme dapat ditekan. Serta biasanya perusahaan lebih memilih untuk melaporkan pertumbuhan laba yang stabil daripada menunjukkan perubahan laba yang meningkat atau menurun terlalu drastis. Menurut Purwanto (2004) dua alasan yang menyebabkan manajemen
meratakan laporan laba, yaitu: 1.
Berdasar pada asumsi bahwa suatu aliran laba yang stabil dapat mendukung dividen dengan tingkat yang lebih tinggi daripada suatu aliran laba yang variabel sehingga memberi pengaruh yang menguntungkan bagi nilai saham perusahaan seiring dengan turunnya tingkat risiko perusahaan secara keseluruhan.
2.
Berkenaan pada perataan kemampuan untuk melawan hakikat laporan laba yang bersifat siklus dan kemungkinan juga akan menurunkan korelasi antara ekspektasi pengembalian perusahaan dengan pengembalian portofolio pasar. Menurut Narsa et al. (2003) ada tiga faktor yang dapat dikaitkan dengan
munculnya praktik perataan laba, yaitu: 1.
Manajemen akrual (accrual management) Faktor ini bisa dikaitkan dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang
26
dari para manajer. Contohnya: mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan 2.
Penerapan suatu kebijakan akuntansi yang wajib (adoption of mandatory accounting changes). Faktor kedua berkaitan dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijaksanaan akuntansi yang wajib diterapkan perusahaan, yaitu antara menetapkan lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat berlakunya kebijaksanaan tersebut. Para manajer tentu akan memilih menerapkan kebijaksanaan akuntansi yang baru bila dengan penerapan tersebut dapat mempengaruhi baik aliran kas maupun keuntungan persahaan.
3.
Perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting changes) Faktor ketiga berkaitan dengan upaya manajer untuk mengganti atau mengubah suatu metode akuntasi tertentu di antara sekian banyak metode yang dapat dipilih yang tersedia dan diakui oleh badan akuntasi yang ada. Contohnya: penggantian metode penilaian persediaan Last In First Out (LIFO) ke First In First Out (FIFO) atau sebaliknya, mengubah metode penyusutan aktiva dari metode garis lurus ke metode yang dipercepat dan sebaliknya. Belkaoui dan Riahi (2006:57) menyatakan ada empat keadaan yang
menyebabkan terjadinya perataan laba yaitu: 1.
Manajemen perusahaan memilih celah dalam prinsip akuntansi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
27
2.
Memiliki kegunaan bagi manajemen seperti jaminan pekerjaan, peningkataan taraf pendapatan, dan aset perusahaan.
3.
Untuk pencapaian tujuan manajemen yang tergantung pada tingkat kepuasan pemegang saham.
4.
Tingkat kepuasan pemegang saham bertambah dengan adanya pertumbuhan dan stabilitas pendapatan. Menurut Nasir et al. (2002) perataan laba dapat diakibatkan oleh dua faktor,
yaitu: 1.
Natural Smoothing (Perataan Alami) Tipe aliran ini secara sederhana mempunyai implikasi bahwa sifat proses perolehan laba itu sendiri yang menghasilkan suatu aliran laba yang rata. Tipe perataan laba terjadi begitu saja secara alami tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.
2.
Intentional Smoothing (Perataan yang disengaja) Biasanya dihubungkan dengan tindakan manajemen. Dapat dikatakan bahwa intentional smoothing berkenaan dengan situasi dimana rangkaian earning yang dilaporkan dipengaruhi oleh tindakan manajemen. Intentional smoothing dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: (1) Real smoothing, merupakan usaha yang diambil oleh manajemen dalam merespon perubahan kondisi ekonomi. Dapat juga berarti suatu transaksi yang sesungguhnya untuk dilakukan atau tidak dilakukan berdasarkan pengaruh perataan pada laba. Perataan ini menyangkut pemilihan waktu kejadian transaksi riil untuk mencapai sasaran perataan. (2) Artificial smoothing, merupakan suatu usaha
28
yang disengaja untuk mengurangi variabilitas aliran laba melalui metode akuntansi. Perataan laba ini menerapkan prosedur akuntansi untuk memindahkan biaya dan pendapatan dari satu periode ke periode tertentu. Dengan kata lain, artificial smoothing dicapai dengan menggunakan kebebasan memilih prosedur akuntansi yang memperbolehkan perubahan cost dan revenue dari suatu periode akuntansi. Belkaoui dan Riahi (2006:196) menambahkan selain perataan real dan artificial, terdapat dimensi perataan ketiga yaitu perataan klasifikasi. Barnea et al. membedakan antara ketiga dimensi perataan tersebut sebagai berikut: 1.
Perataan melalui adanya kejadian atau pengakuan (smoothing through on event strategic management occurance or recognition) Manajemen dapat menentukan waktu transaksi aktual terjadi sehingga pengaruhnya terhadap pelaporan pendapatan akan cenderung mengurangi variasinya dari waktu ke waktu. Sering kali, waktu yang direncanakan dari terjadinya peristiwa akan menjadi fungsi dari aturan akuntansi yang mengatur pengakuan akuntansi atas peristiwa. Misalnya: pengeluaran biaya riset dan pengembangan, kebijakan perusahaan mengenai diskon dan kredit yang menyebabkan meningkatnya jumlah piutang dan penjualan sehingga laba terlihat stabil pada periode tertentu.
2.
Perataan melalui alokasi terhadap waktu (smoothing through allocation overtime) Manajer memiliki kewenangan untuk mengalokasikan pendapatan atau beban untuk periode tertentu. Misalnya: jika penjualan meningkat maka manajemen
29
dapat membebankan biaya riset dan penelitian serta amortisasi goodwill pada periode tersebut untuk menstabilkan harga. 3.
Perataan melalui klasifikasi (classificatory smoothing) Manajemen
memiliki
kewenangan
dan
kebijakan
sendiri
untuk
mengklasifikasi pos-pos rugi laba dalam kategori yang berbeda. Misalnya: jika pendapatan non operasi sulit untuk didefinisikan, maka manajer dapat mengklasifikasi pos itu pada pendapatan operasi atau pendapatan
non
operasi. Dan hal ini dapat digunakan sewaktu-waktu untuk meratakan laba dengan melihat kondisi pendapatan periode itu. Selain itu, manajemen juga dapat mengelompokkan pos-pos laba tertentu dalam kategori yang berbeda, misalnya antara pos-pos biasa (ordinary items) dan pos-pos luar biasa (extraordinary items). Brayshaw dan Eldin (1989) mengungkap dua alasan mengapa manajemen diuntungkan dengan adanya praktik perataan laba: 1.
Skema kompensasi manajemen dihubungkan dengan kinerja perusahaan yang disajikan dalam penghasilan akuntansi yang dilaporkan, karena itu setiap fluktuasi dalam laba akan berpengaruh langsung terhadap kompensasinya.
2.
Fluktuasi dalam kinerja manajemen dapat mengakibatkan intervensi pemilik untuk mengganti manajemen dengan cara penggantian manajemen secara langsung. Ancaman penggantian ini mendorong manajemen untuk membuat kinerja yang sesuai dengan keinginan pemilik. Perataan laba dapat dilakukan terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat
digunakan oleh manajemen untuk mempengaruhi aliran data atau informasi demi
30
menciptakan laporan keuangan sesuai yang diinginkan. Manajer dapat memasukkan informasi yang seharusnya dilaporkan pada periode yang akan datang ke dalam laporan periode ini atau sebaliknya tidak melaporkan informasi periode ini untuk dilaporkan pada periode yang akan datang. Instrumen atau sasaran yang biasa digunakan dalam perataan laba antara lain, pendapatan, kebijakan deviden, perubahan dalam kebijakan akuntansi, investasi, depresiasi, dan biaya tetap, perbedaan mata uang, klasifikasi akuntansi dan pencatatan. Foster (1986) mengklasifikasi beberapa unsur-unsur laporan keuangan yang seringkali dijadikan sasaran untuk melakukan perataa laba, yaitu: 1.
Unsur penjualan Unsur penjualan dijadikan sasaran perataan laba dengan beberapa cara, antara lain dengan pembuatan pesanan atau penjualan fiktif, manipulasi pembuatan faktur, misalnya dengan cara penjualan yang sebenarnya untuk periode yang akan datang, pembuatan fakturnya dilakukan pada periode ini dan dilaporkan sebagai penjualan periode ini. Penurunan produk (downgrading), misalnya dengan cara mengklasifikasi produk yang belum rusak ke dalam kelompok produk yang rusak dan selanjutnya dilaporkan telah terjual dengan harga yang lebih rendah dari harga yang sebenarnya.
2.
Unsur biaya Unsur biaya dijadikan sasaran perataan laba dengan beberapa cara, antara lain dengan memecah-mecah faktur, misalnya faktur untuk sebuah pembelian atau pesanan dipecah menjadi beberapa pembelian atau pesanan dan selanjutnya dibuatkan beberapa faktur dengan tanggal yang berbeda
31
kemudian dilaporkan dalam beberapa periode akuntasi. Mencatat biaya dibayar dimuka sebagai biaya, misalnya melaporkan biaya iklan dibayar dimuka untuk tahun depan sebagai biaya iklan tahun ini.
2.1.5 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan adalah suatu skala yang dapat diklasifikasi besar kecil perusahaan menurut berbagai cara, antara lain: total aktiva, log size, nilai pasar saham dan lain–lain. Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam tiga kategori yaitu perusahaan besar, menengah, dan kecil. Menurut Purwanto (2004) ukuran perusahaan dinyatakan sebagai determinan dari struktur keuangan dalam hampir setiap studi untuk alasan yang berbeda: 1.
Ukuran perusahaan dapat menentukan tingkat kemudahan perusahaan memperoleh dana dari pasar modal. Perusahaan kecil umumnya kekurangan akses ke pasar modal yang terorganisir, baik untuk obligasi maupun saham. Meskipun mereka memiliki akses, biaya peluncuran dari penjualan sejumlah kecil sekuritas dapat menjadi penghambat. Jika penerbitan sekuritas dapat dilakukan, sekuritas perusahaan kecil mungkin kurang dapat dipasarkan sehingga membutuhkan penentuan harga sedemikian rupa agar investor mendapat hasil yang memberi return lebih tinggi secara signifikan.
2.
Ukuran perusahaan menentukan kekuatan tawar-menawar dalam kontrak keuangan. Perusahaan besar biasanya dapat memilih pendanaan dari berbagai bentuk hutang, termasuk penawaran spesial yang lebih menguntungkan dibandingkan yang ditawarkan perusahaan kecil. Semakin besar jumlah uang
32
yang digunakan, semakin besar kemungkinan-kemungkinan pembuatan kontrak yang dirancang sesuai dengan preferensi kedua pihak sebagai ganti dari penggunaan kontrak standar hutang. 3.
Ada kemungkinan pengaruh skala dalam biaya dan return membuat perusahaan yang lebih besar dapat memperoleh lebih banyak laba. Menurut Nasser dan Herlina (2003) perusahaan besar lebih diperhatikan
berbagai pihak seperti analis, investor maupun pemerintah sehingga manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Hal tersebut dilakukan perusahaan untuk menghindari perubahan atau fluktuasi laba yang terlalu drastis, sebab pada saat kenaikan laba yang terlalu tinggi akan menyebabkan bertambahnya pajak yang harus ditanggung oleh perusahaan, sedangkan pada saat terjadi penurunan laba yang terlalu drastis, akan mengakibatkan image yang kurang baik dari berbagai pihak. Oleh karena itu perusahaan besar diperkirakan memiliki kecenderungan untuk melakukan praktik perataan laba daripada perusahaan kecil.
2.1.6 Pertumbuhan Perusahaan Pertumbuhan
perusahaan
merupakan
kemampuan
perusahaan
untuk
meningkatkan size. Pertumbuhan perusahaan pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor eksternal, internal dan pengaruh iklim industri lokal. Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi sebaiknya menggunakan ekuitas sebagai sumber pembiayaannya agar tidak terjadi biaya keagenan (agency
33
cost) antara pemegang saham dengan manajemen perusahaan, sebaliknya perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang rendah sebaiknya menggunakan hutang sebagai sumber pembiayaannya karena penggunaan hutang akan mengharuskan perusahaan tersebut membayar bunga secara teratur. Pertumbuhan perusahaan yang cepat maka semakin besar kebutuhan dana untuk ekspansi. Semakin besar kebutuhan untuk pembiayaan mendatang maka semakin besar keinginan perusahaan untuk menahan laba. Jadi perusahaan yang sedang tumbuh sebaiknya tidak membagikan laba sebagai deviden tetapi lebih baik digunakan untuk ekspansi. Potensi pertumbuhan ini dapat diukur dari besarnya biaya penelitian dan pengembangan. Semakin besar Research & Development cost-nya maka berarti ada prospek perusahaan untuk tumbuh (Sartono, 2001). Pertumbuhan perusahaan dapat diukur dengan beberapa cara, misalnya dengan melihat pertumbuhan penjualannya. Pertumbuhan perusahaan yang cepat maka semakin besar kebutuhan dana untuk ekspansi. Semakin besar kebutuhan untuk pembiayaan mendatang maka semakin besar keinginan perusahaan untuk menahan laba.
2.1.7 Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan. Kepemilikan saham manajerial dapat
mensejajarkan antara
kepentingan pemilik dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer yang menanggung risiko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan
34
keputusan yang salah. Hal tersebut menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemilik, sehingga kinerja perusahaan semakin baik. Adanya kepemilikan manajerial menjadi hal yang menarik jika dikaitkan dengan agency theory. Manajer yang sekaligus pemegang saham akan meningkatkan nilai perusahaan, karena dengan meningkatnya nilai perusahaan maka nilai kekayaannya sebagai individu pemegang saham akan ikut meningkat pula. Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai sebuah instrument atau alat untuk mengurangi konflik keagenan antara principal dengan agent. Menurut Itturiaga (dalam Pujiningsih, 2011) struktur kepemilikan manajerial dapat dijelaskan dari dua sudut pandang yaitu pendekatan keagenan (agency approach)
dan
pendekatan
ketidakseimbangan
(asymmetric
information
approach). Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai sebuah instrument atau alat untuk mengurangi konflik keagenan di antara beberapa
klaim
(claim
holder)
terhadap
perusahaan.
Pendekatan
ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan manajerial sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi di dalam pasar modal. Dari sudut pandang teori akuntansi, praktik perataan laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran tindakan perataan laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga
35
sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan mempengaruhi praktik perataan laba, sebab kepemilikan saham seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola. Dengan kata lain, presentase tertentu terhadap kepemilikan saham oleh pihak manajemen, cenderung mempengaruhi praktik perataan laba.
2.2 Rerangka Pemikiran Berdasarkan teori di atas, maka rerangka pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Teori Agensi
Agent
Principal Asimetri Informasi Manajemen Laba
Taking a bath
Ukuran Perusahaan
Income Smoothing
Income Minimization
Pertumbuhan Perusahaan
Kepemilikan Manajerial
Gambar 1 Rerangka Penelitian
Income Maximization
36
2.3 Perumusan Hipotesis 2.3.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Praktik Perataan Laba Ukuran perusahaan secara umum diukur dari total aset perusahaan. Ukuran perusahaan merupakan faktor dalam menjelaskan kemungkinan perusahaan melakukan perataan laba. Terdapat dua argumen yang mendasari, yaitu: (1) perusahaan besar memiliki aturan yang luas untuk mengatur pengeluarannya dan pos yang jarang terjadi, (2) perusahaan besar kemungkinan memiliki pendapatan dan laba yang disinkronisasikan. Menurut Nasser dan Herlina (2003) perusahaan besar lebih diperhatikan berbagai pihak seperti analis, investor maupun pemerintah sehingga manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Hal tersebut dilakukan perusahaan untuk menghindari perubahan atau fluktuasi laba yang terlalu drastis, sebab pada saat kenaikan laba yang terlalu tinggi akan menyebabkan bertambahnya pajak yang harus ditanggung oleh perusahaan, sedangkan pada saat terjadi penurunan laba yang terlalu drastis, akan mengakibatkan image yang kurang baik dari berbagai pihak. Dari penjelasan di atas hipotesis yang dapat dirumuskan yaitu: H1 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap praktik perataan laba di perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.
37
2.3.2 Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadap Praktik Perataan Laba Pertumbuhan
perusahaan
merupakan
kemampuan
perusahaan
untuk
meningkatkan size. Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi sebaiknya menggunakan ekuitas sebagai sumber pembiayaannya agar tidak terjadi biaya keagenan antara pemegang saham dengan manajemen perusahaan, sebaliknya perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang rendah sebaiknya menggunakan hutang sebagai sumber pembiayaannya karena penggunaan hutang akan mengharuskan perusahaan tersebut membayar bunga secara teratur. Perusahaan dengan pertumbuhan yang tinggi akan menarik para investor dan kreditur. Dari penjelasan tersebut hipotesis yang dapat dirumuskan yaitu: H2 : Pertumbuhan perusahaan berpengaruh terhadap praktik perataan laba di perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.
2.3.3 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Praktik Perataan Laba Kepemilikan manajerial dianggap sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perataan laba yang dilakukan manajer. Jika manajer mempunyai kepemilikan pada perusahaan maka manajer akan bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham karena manajer juga mempunyai kepentingan di dalamnya. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Atarwaman (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh secara dominan terhadap
38
praktik perataan laba. Dari penjelasan tersebut hipotesis yang dapat dirumuskan yaitu: H3 : Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap praktik perataan laba di perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.