BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Teori Keagenan(Agency Theory) Teori keagenan yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976) dan Ng (1978) dalam Kharismatuti (2012) bahwa adanya konflik kepentingan antara manajemen sebagai agen dan pemilik perusahaan serta entitas lain dalam kontrak (seperti kreditur) sebagai prinsipal. Dalam hal ini prinsipal ingin mengetahui semua informasi teramasuk aktifitas manajemen yang terkait dengan dana atau investasi dalam perusahaan, yaitu dilakukan dengan meminta laporan keuangan dari agen (manajemen). Laporan keuangan berfungsi sebagai dasar bagi pihak prinsipal dalam menilai kinerja manajemen. Tetapi, kecenderungan yang dilakukan manajemen adalah melakukan tindakan yang membuat laporan terlihat baik, sehingga kinerjanya dianggap baik. Untuk mengurangi hal ini, maka diperlukan pihak ketiga yaitu auditor independen untuk menguji kebenaran laporan keuangan, sehingga laporan keuangan yang dibuat manajemen dapat lebih dipercaya (Kharismatuti 2012). Dari pengujian yang dilakukan auditor independen ini, para pemakai laporan keuangan akan menjadikan pendapat auditor ini sebagai bahan pertimbangan untuk proses pengambilan keputusan ekonomi. Prinsipal akan mempercayai laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor yang memiliki kerdibilitas tinggi (Ningrum, 2012).
10
Teori keganenan ini akan dapat membantu auditor sebagai pihak ketiga untuk memahami permasalahan yang terjadi antara pihak prinsipal dan agennya. Adanya seorang auditor eksternal yang independen dan profesional diharapkan dapat menghilangkan ketidakwajaran yang terjadi dalam laporan keuangan yang dibuat oleh pihak manajemen sehingga dapat digunakan sebagai media evaluasi kerja yang menghasilkan informasi relevan bagi seluruh pemakai laporan keuangan (Kharismatuti 2012). 2.1.2 Teori Kontijensi Teori kontijensi menyatakan bahwa tidak ada sistem akuntansi manajemen yang dapat diterapkan secara universal.Fisher (1990) mengemukakan bahwa teori kontijensi merupakan desain dari sistem pengandalian yang tergantung pada konteks organisasi tempat pengendalian tersebut dilaksanakan. Keefektifan penerapan sebuah sistem bergantung pada kesesuaian antara sistem tersebut dengan lingkungan dimana sitem diterapkan (Harjanto, 2014). Dalam
penelitian
ini
teori
kontijensi
mengargumenkan
bahwa
independensi yang dibarengi dengan profesionalisme akan mencapai kinerja auditor yang baik akan tergantung pada suatu kondisi tertentu, seperti hubungan dengan klien, pemberian barang atau jasa dari klien, ketergantungan pada klien untuk mata pencaharian, tingkat pendidikan, pengalaman dan pelatihan yang dimiliki oleh auditor. Untuk
memahami
bagaiamana
sebuah
variabel
kontjensi
yaitu
profesionalisme berpengaruh pada independensi dan selanjutnya berpengaruh pada tercapainya kinerja auditor, maka dibuatlah sebuah kerangka pengendalian
11
kontijensi. Auditor yang menerima suatu proses auditing akan melakukan evaluasi atau pertimbangan terhadap bukti yang saling berkelanjutan dengan pemikiran bahwa meraka akan mendapatkan hasil sesuai dengan yang diinginkan. Akibatnya, kemampuan untuk menilai bukti berkelanjutan secara independen dan objektif mungkin akan terhalang (Harjanto, 2014). Namun, jika auditor memiliki profesionalisme sebagai sikap lain dalam menjalankan tugas auditnya dimana ia mampu bekerja secara mandiri tanpa tergantung pada pihak lain, hal ini akan membuatnya tetap bekerja secara independen terhadap proses auditnya, sehingga kualitas hasil kerja yang dihasilkan akan baik. 2.1.3 Teori Sikap dan Perilaku Teori sikap dan perilaku dikembangkan oleh Tirandis (1971), menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh sikap, aturan-aturan sosial, dan kebiasaan.Ajzen (1985) dalam (Arumsari, 2014) menyatakan bahwa sikap dapat dipelajari, sikap mendefinsikan prediposisi kita terahdap aspek-aspek yang terjadi di dunia, sikap memberikan dasar perasaan bagi hubungan antara pribadi kita dengan orang lain, dan sikap adalah pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan tentang obyek, orang, atau peristiwa. Allport (1935) membuat batasan terkait definisi sikap yang merujuk pada kesiapan mental. Menurut Allport, sikap merupakan proses yang berlangsung di dalam diri individu, bersama dengan pengalaman individu, dengan mengarahkan dan menentukan respon terhadap berbagai objek dan situasi. Lebih lanjut dijelaskan sikap sebagai kecenderungan individu untuk berpikir, merasa atau bertindak secara positif atau negatif terhadap objek di lingkungan kita. Sikap juga
12
dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek sikap yang diekspresikan ke dalam proses kognitif yaitu keyakinan, komponen afektif yaitu suka dan tidak suka, berkaitan dengan apa yang dirasakan dan komponen perilaku yaitu bagaimana seorang ingin berperilaku terhadap sikap. Arumsari (2014) menjelaskan bahwa sikap memberikan pemahaman tentang atau kecenderungan untuk bereaksi.Sikap bukan perilaku tetapi lebih pada kesiapan untuk menampilkan suatu perilaku. Menurutnya bahwa model perilaku interpersonal yang lebih komprehensif dengan menyatakan faktor-faktor sosial, perasaan dan konsekuensi dirasakan akan mempengaruhi tujuan perilaku. Kebiasaan merupakan penentu sikap yang langsung dan tidak langsung. Perilaku tidak
mungkin
terjadi
apabila
kondisi
yang
memfasilitasinya
tidak
memungkinkan. 2.1.4 Due Professional Care Due Professional Care memiliki arti kemahiran profesional yang cermat dan seksama, yaitu kecermatan dan keseksamaan dalam penggungaan kemahiran profesional yang menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisme profesional (Nirmala, 2013). Dalam SA 200 skeptisme profesional diartikan sebagai suatu sikap yang mencakup suatu pikiran yang mempertanyakan, yang peka terhdap kondisi yang mengindikasikan kemungkinan salah saji yang disebabkan oleh kesalahan atau kecurangan, dan sautu penilaian atas bukti secara kritis. Due Professional Care menekankan tanggung jawab setiap professional yang bekerja dalam organisasi auditor independen untuk mengamati standar aduting yang berlaku. (Nugraha, 2013).
13
Lebih lanjut Nugraha (2013) menyatakan penerapan kecermatan dan keseksamaan diwujudkan dengan dilakukan review secra kristis pada setiap tingkat supervise terhadap pelaksanaan audit. Kecermatan dan keseksamaan menyangkut apa yang dikerjakan auditor dan bagaimana kesempurnaan pekerjaan yang dihasilkan. Auditor yang cermat dan seksama akan menghasilkan suatu kualitas hasil kerja yang baik. 2.1.5 Independensi SA 200 menyebutkan bahwa sangat penting bagi auditor untuk mempertahankan independensinya dalam melakukan pemeriksaan terhadap kewajaran laporan keuangan. Standar ini menjelaskanindependensi diartikan sebagai sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan dari pihak lain dan tidak teragntung pada orang lain, bahkan manajemen perusahaan yang berarti ada kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya. Selain itu juga independensi adalah auditor bekewajiban untuk jujur tidak hanya pada manajemen perusahaan dan pemilik perusahaan, tetapi juga pada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaannya kepada mereka (Kharismatuti, 2012). Jika seorang auditor tidak independen yaitu tidak jujur, maka opini yang ia terbitkan tidak akan memberikan tambahan apapun. Auditor secara intelektual harus jujur, bebas dari kewajiban terhadap klien, baik manajemen maupun pemilik perusahaan (Arumsari, 2014).
14
Dalam SA 220 menjelaskan bahwa rekan perikatan harus memiliki kesimpulan atas kepatuhan terhadap ketentuan independensi yang berlaku dalam perikatan audit. Dalam melakukan hal tersebut, rekan perikatan harus: 1) Memperoleh informasi yang relevan dari firm dan, jka relevan, firm jejaring, untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kondisi dan hubungan yang menciptakan ancaman terhadap independensi 2) Mengevaluasi informasi tentang pelanggaran yang teridentifikasi, jika ada, terhadap kebijakan dan prosedur independensi firm untuk menentukan apakah pelanggaran tersebut menciptakan ancaman terhadap independensi bagi perikatan audit dan; 3) Melakukan tindakan yang tepat untuk menghilangkan ancaman atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima dengna menerapkan pencegahan, atau apabila dipandan tepat, menarik diri dari perikatan audit, ketika penarikan diri tersebut dimungkinkan oleh peraturan perundang-undang an yang berlaku. Rekan perikatan harus melaporkan dengan segera kepada firm setiap ketidakmampuan dalam menyelesaikan hal tersebut agar dapat dilakukan tindakan yang tepat. Aspek independensi ada tiga, yaitu (Arumsari, 2014): 1) Independensi sikap mental, yang ditentukan oleh pikiran akuntan publik untuk bertindak dan bersikap independen. 2) Independensi penampilan, yaitu ditentukan oleh kesan masyarakat terhadap independensi akuntan publik.
15
3) Independensi dari sudut keahlian, yaitu mempertimbangkan fakta dengan baik yang kemudian ditarik menjadi suatu kesimpulan jika ia memiliki keahlian dari hal tersebut. Mautz dan Sharaf dalam Safitri (2012) memeberikan beberapa indikator independensi profesional adalah sebagai berikut: 1) Independensi dalam Program Audit (a) Bebas dari intervensi manajerial atas program audit. (b) Bebas dari segala intervensi atas prosedur audit. (c) Bebas dari segala persyaratan untuk penugasan audit selain yang memang diisyaratkan untuk sebuah proses audit. 2) Independensi dalam Verifikasi (a) Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva, dan karyawan yang relevan dengan audit yang dilakukan. (b) Bebas dari segala usaha manejerial yang berusaha membatasi aktivitas yang diperiksa atau membatasi pemrolehan bahan bukti. (c) Mendapatkan kerja sama sama yang aktif dari karyawan manajemen selama verifikasi audit. (d) Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat verifikasi audit. 3) Independensi dalam Pelaporan (a) Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak atau signifikansi dari fakta-fakta yang dilaporkan. (b) Bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal yang signifikan dalam laporan audit.
16
(c) Menghindari penggunaan kata-kata yang menyesatkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja dalam melaporkan fakta, opini, dan rekomendasi dalam interpretasi auditor. (d) Bebas dari segala usaha untuk meniadakan pertimbangan auditor mengenai fakta atau opini dalam laporan audit. 2.1.6 Kinerja Auditor Kinerja atau kualitas hasil kerja adalah hasil kerja individu secara keseluruhan yang dicapai seseorang dengan menjalankan aktivitasnya pada kurun waktu tertentu (Widyasari, 2011).Kinerja juga merupakan hasil kerja secara kualitias dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksankan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya (Arumsari, 2014). Kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Lebih lanjut dalam penelitiannya, Arumsari (2014) menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi pada periode tertentu. Kinerja auditor sebagai pelaksanaan penugasan pemeriksaan secara obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keungan tersebut telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usahan perusahaan. Kinerja auditor sebagai evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh atasan, rekan kerja sendiri, dan bawahan langsung. .
17
Sulton (2013) menyatakan bahwa untuk mendapatkan informasi atas kinerja, maka ada beberapa pihak baik itu perorangan ataupun kelompok yang biasanya melakukan penilaian atas kinerja auditor. Ada lima pihak yang dapat melakukan penilaian atas kinerja auditor, yaitu: 1) Atasan langsung Semua evaluasi kinerja pada tingkat bawah dan menengah dari organisasi dijalankan oleh atasan langsung auditor yang memberikan pekerjaan dan paling tahu kinerja auditornya. 2) Rekan sekerja Penilaian melalui rekan sekerja dilaksanan dengan pertimbagnan.Pertama, rekan sekerja dekat dengan tindakan.Interaksi sehari-hari memberikan kepada auditor pandangan menyeluruh terhadap kinerja seorang auditor dalam pekerjaan.Kedua, dengan menggunakan rekan sekerja sebagai penilaian menghaislkan sejumlah penilaian yang independen. 3) Evaluasi diri Hal ini cenderung mengurangi kedefensifan para auditor mengenai proses penilaian dan evaluasi ini merupakan sarana yang unggul untuk merangsang pembahasan kinerja auditor dan atasan auditor. 4) Bawahan langsung Penilaian kinerja auditor oleh bawahan langsung dapat memberikan informasi yang tepat dan rinci mengenai perilaku seorang atasan karena lazimnya penilai mempunyai kontak yang serng dengan yang dinilai.
18
5) Pendekatan menyeluruh Penilaian kinerja auditor dilakukan oleh atasan, pelanggan, rekan sekerja, dan bawahan. Penilaian ini cocok di dalam organisasi yang memperkenalkan tim. Dimensi yang dipergunakan di dalam melakukan penilaian kinerja auditor menurut Lubis (2008) dalam Sulton (2010): 1) Pengetahuan atas pekerjaan, kejelasan pengetahuan atas tanggung jawab pekerjaan yang menjadi auditor. 2) Perenacanaan dan organisasi, kemampuan membuat rencana pekerjaan meliputi jadwal dan urutan pekerjaan, sehingga tercapai efisiensi dan efektivitas. 3) Mutu pekerjaan, ketepatan dan ketelitian pekerjaan. 4) Produktivitas, jumlah pekerjaan yang dihasilkan dibandingkan dengan waktu yang digunakan. 5) Pengetahuan teknis, dasar teknis dan kepraktisan sehingga pekerjaannya mendekati standar kerja. 6) Judgement, kebijakan naluriah dan kemampuan menyimpulkan tugas sehingga tujuan organisasi tercapai. 7) Komunikasi, kemampuan berhubungan secara lisan dengan orang lain. 8) Kerjasama, kemampuan bekerja sama dengan orang lain dan sikap yang konstruktif dalam tim. 9) Kehadiran dalam rapat, kemampuan dan partisipasi dalam rapat beruapa pendapat atau ide.
19
10) Manajemen proyek, kemampuan mengelola proyek, baik itu membina tim, membuat jadwal kerja, anggaran dan menciptakan hubungan baik antar karyawan. 2.1.7 Profesionalisme Profesi dan profesionalisme dibedakan secara konseptual.“Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan atribut individual yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak.Istilah profesinalisme berasal dari kata profesi yang berarti suatu pekerjaan yang memerlukan memerlukan pengetahuan yang tinggi dan latihan khusus, daya pemikiran kereatif untuk melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan bidan keahlian dan profesianya (Arumsari, 2014). Lebih jelas dalam SA 200 menjelaskan bahwa profesionalisme sebagai penerapan pelatihan, pengetahuan, pengalaman yang relevan, dalam konteks auditing, akuntansi, dan kode etik dalam pengambilan keputusan berdasarkan informasi tentang serangkaian tindakan yang semestinya dalam keadaan tertentu dalam perikatan audit. Seorang
akuntan
publik
yang
profesional
harus
memenuhi
tanggungjawabnya terhadap masyarakat, klien termasuk rekan seprofesi untuk berperilaku semsestinya. Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa audit profesional meningkat jika profesi menetapakan standar kerja dan perilaku yang dapat mengimplementasikan praktis bisnis yang efektif dan tetap mengupayakan profesionalisme yang tinggi (Mayasari, 2011).
20
Menurut Hall (1998) dalam Arumsari (2014) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu: 1) Pengabdian pada profesi Hal ini dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecapakan yang dimiliki. 2) Kewajiban sosial Kewajiban sosial merupakan suatu pandangan mengenai pentingnya peranan profesi dan manfaat yang didapatkan baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. 3) Kemandirian Kemandirian dalam hal ini adalah suatu cara pandang seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain. 4) Keyakinan pada profesi Keyakinan pada profesi merupakan suatu keyakinan bahwa yang paling memiliki wewenang menilai pekerjaan adalah profesional rekan sesama profesi,bukan orang luar yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. 5) Hubungan dengan sesama profesi Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan.Melalui hal ini para profesional membangun kesadaran profesionalnya.
21
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Independensi pada Kinerja Auditor Dalam teori keagenan yang telah dijelaskan diatas, adanya perbedaan kepentingan antara klien dan pemakai laporan keuangan sehingga mengharuskan auditor dalam menjalanknan pemeriksaan bersikap independen terhadap kepentingan klien, para pemakai laporan keuangan, dan masyarakat (Arumsari, 2014).Seorang akuntan harus memiliki karakteristik yang salah satunya adalah independensi tersebut. Karakter ini sangat penting bagi profesi akuntan publik dalam melaksanakan audit terhadap kliennya. Kepercayaan yang diberikan oleh klien kepada akuntan publik dalam melaksanakan audit dan para penggunan laporan keuangan agar dapat membuktikan kewajaran laporan keuangan yang telah disusun oleh klien (Harjanto, 2014). Safitri (2014) menjelaskan bahwa independensi merupakan aspek profesionalsime akuntan khususnya dalam membentuk integritas pribadi yang tinggi.Hal ini disebabkan karena pelayanan jasa akuntan sangat dipengaruhi oleh kepercayaan klien maupun publik secara luas dengan berbagai kepentingan klien yang berbeda. Seorang auditor yang menegakkan independensi yang tinggi maka kinerja auditor akan menjadi baik. Seorang auditor yang menegakkan independensinya, tidak akan terpengaruh oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri auditor dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam pemeriksaan. Penelitian-penelitian sebelumnya yaitu Ningrum (2012), Rahayu (2012), dan Saftri (2014) menyatakan bahwa independensi tidak berpengaruh pada kinerja
22
auditor, Sapariyah (2011) menyatakan independensi berpengaruh negatif pada kinerja auditor, namun Aryani et al., (2015), Putri dan Dharma(2013), Arumsari (2014) dan Arifah (2012) menyatakan bahwa independensi berpengaruh positif pada kinerja auditor.Berdasarkan hal di atas, maka ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut. H1 : Independensi berpengaruh positif pada kinerja auditor. 2.2.2 Profesionalisme Memoderasi Pengaruh Independensi pada Kinerja Auditor Bhagat and Black (2001) dalam Arumsari (2014) menyatakan bahwa suatu perusahaan dengan pemimpin yang independen tidak selalu kinerja perusahaanya lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang lain. Independensi dalam hal ini merupakan salah satu faktor penting bagi profesionalisme akuntan khusnya dalam membangun integritas pribadi yang tinggi. Pelayanan jasa akuntan sangat dipengaruhi oleh kepercayaan klien maupun publik secara luas dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Sehingga seroang auditor yang memiliki independensi yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Penelitian mengenai pengaruh independensi pada kinerja auditor telah banyak dilakukan seperti Ningrum (2012), Rahayu (2012), dan Saftri (2014) menyatakan bahwa independensi tidak berpengaruh pada kinerja auditor, Sapariyah (2011) menyatakan independensi berpengaruh negatif pada kinerja auditor, namun Aryani dkk., (2015), Putri dan Dharma(2013), Arumsari (2014) dan Arifah (2012) menyatakan bahwa independensi berpengaruh pada kinerja auditor. Hasil ini menunjukkan ketidakkonsistenan penelitian, sehingga faktanya
23
dalam diri auditor tidak hanya perlu memiliki sikap independensi saja untuk menunjang kinerjanya menjadi baik. Vroom (1964) dalam Arumsari (2014) menyatakan bahwa salah satu sikap yang dapat membawa individu untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan dan memnuhi kebutuhan-kebutuhan sehingga mencapai kinerja yang diharapkan adalah profesionalisme. Profesionalisme menjadi begitu penting dalam hal ini, untuk diterapkan dalam melakukan proses audit karena akan memberikan pengaruh pada peningkatan hasil kerja atau kinerja auditor (Gautama, 2010). Lebih lanjut dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan Halim (2014) profesionalisme merupakan faktor penting dalam suatu perilaku individu dalam hubungannya dengan profesi. Auditor dengan tingkat profesional yang lebih tinggi cenderung akan lebih kompeten dan independen dalam mengatasi masalah terkait dengan konflik antar peran dan akan tetap fokus dalam pekerjaannya. Profesionalisme yang tinggi tercermin pada kepekaan terhadap isu-isu etika profesi yang dapat menaikkan kompetensi dan independensi auditor.Hasil penelitian ini mengatakan bahwa profesionalisme atau komintmen profesional mampu
memperkuat
hubungan
antara
indpendensi
pada
kualitas
audit.Berdasarkan hal tersebut, maka dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut: H2 : Profesionalisme memperkuat pengaruh independensi pada kinerja auditor
24