BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1
Teori keagenan Teori keagenan yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976)
mecoba menjelaskan adanya konflik kepentingan antara manajemen selaku agen dan pemilik serta entitas lain dalam kontrak (misalnya kreditur) selaku principal. Seringkali terjadi kecurangan pihak manajemen dalam membuat laporan keuangan perusahaan sehingga kinerja perusahaan terlihat baik. Untuk mengurangi atau meminimalkan kecurangan tersebut dan memastikan laporan keuangan yang dibuat oleh manajamen dapat dipercaya (reliabel) maka diperlukan pengujian, dan pengujian tesebut hanya dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang independen yaitu auditor independen. Gavius dalam Wibowo dan Hilda (2009) mengatakan bahwa masalah keagenan auditor bersumber pada mekanisme kelembagaan antara auditor dan manajemen. Auditor ditunjuk oleh manajemen untuk melakukan audit bagi kepentingan pemegang saham, namun di pihak lain jasa audit dibayar dan ditanggung oleh manajemen. Hal ini menciptakan benturan yang tidak dapat dihindari oleh auditor. Mekanisme kelembagaan ini menimbulkan ketergantungan auditor kepada kliennya, sehingga auditor kehilangan independensinya dan harus mengakomodasikan berbagai keinginan klien dengan harapan agar perikatan auditnya di masa depan tidak terputus.
12
Auditor independen harus memiliki sikap independensi yang tinggi karena diharapkan auditor tidak mempunyai kepentingan pribadi dengan klien dalam melaksanakan tugasnya yang bertentangan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
2.1.2
Pengertian auditing Secara teoritis, pengertian auditing menurut Komite Konsep Audit Dasar
(Committee on Auditing Concepts) adalah “Suatu proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara obyektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan.” Menurut Mulyadi (2002a:9) secara umum auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Definisi auditing dapat diuraikan menjadi tujuh elemen yang harus diperhatikan
dalam
melaksanakan
audit
yaitu
proses
yang
sistematis,
menghimpun dan mengevaluasi bukti secara obyektif, asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi, menentukan tingkat kesesuaian (degree
13
of correspondence), kriteria yang ditentukan, menyampaikan hasil-hasilnya, dan pemakai yang berkepentingan (Halim, 2008:1). Berdasarkan beberapa definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa auditing adalah suatu proses pemeriksaaan yang sistematis terhadap laporan keuangan suatu perusahaan atau unit organisasi yang lain dengan menghimpun dan mengevaluasi bukti secara obyektif yang bertujuan untuk memberikan opini dan menyampaikan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan.
2.1.3
Jenis audit Abdul Halim (2008:5) menyatakan terdapat tiga jenis audit berdasarkan
tujuan dilaksanakannya audit yaitu: 1) Audit laporan keuangan (financial statement audit) Audit laporan keuangan mencakup penghimpunan dan pengevaluasian bukti mengenai laporan keuangan suatu entitas dengan tujuan untuk memberikan pendapat apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai kriteria yang telah ditentukan yaitu Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU). 2) Audit kepatuhan (compliance audit) Audit kepatuhan mencakup penghimpunan dan pengevaluasian bukti dengan tujuan untuk menentukan apakah kegiatan finansial maupun operasi tertentu dari suatu entitas sesuai dengan kondisi-kondisi, aturanaturan, dan regulasi yang telah ditentukan.
14
3) Audit operasional (operational audit) Audit operasional meliputi penghimpunan dan pengevaluasian bukti mengenai kegiatan operasional organisasi dalam hubungannya dengan tujuan pencapaian efisiensi, efektivitas, maupun kehematan (ekonomis) operasional.
2.1.4
Manfaat audit Abdul Halim (2008:62), menyatakan bahwa manfaat audit yaitu:
1) Meningkatkan kredibilitas perusahaan Sumbangan auditor adalah memberikan keterpercayaan terhadap laporan keuangan atau menjadikan laporan keuangan lebih handal sehingga dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Dengan demikian kredibilitas perusahaan akan meningkat sehingga para pemakai laporan keuangan akan memandang bahwa risiko investasi atas perusahaan tersebut relatif lebih rendah dari perusahaan yang tidak diaudit. 2) Meningkatkan efisiensi dan kejujuran Audit laporan keuangan yang dilakukan secara berfrekuensi teratur akan membawa dampak positif bagi efisiensi dan kejujuran karyawan. Bila karyawan mengetahui bahwa audit independen akan dilakukan, maka ia akan berusaha menekan sekecil mungkin kesalahan dalam proses akuntansi dan mengurangi kesalahan penilaian aktiva.
15
3) Meningkatkan efisiensi operasional perusahaan Auditor independen, berdasarkan pengujiaannya, dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki pengendalian internal dan untuk meningkatkan efisiensi operasional perusahaan klien. 4) Mendorong efisiensi pasar modal Audit yang dilakukan secara efektif akan menghasilkan laporan keuangan auditan yang berkualitas, relevan (berpaut), dan handal atau reliabel. Dengan demikian, pasar modal yang menggunakan informasi utamanya akan dapat berjalan secara efisien. Pasar modal yang efisien akan menghasilkan alokasi sumber daya
yang efisien pula sehingga
perekonomian nasional akan berjalan secara efisien. Sofyan Safri Harahap dalam Halim (2008:63) mengemukakan manfaat audit dari sisi pengawasan sebagai berikut: 1) Preventive control Tenaga akuntansi akan bekerja lebih hati-hati dan akurat apabila mereka menyadari akan diaudit. 2) Detective control Suatu penyimpangan atau kesalahan yang terjadi lazimnya akan dapat diketahui dan dikoreksi melalui suatu proses audit. 3) Reporting control Setiap kesalahan perhitungan, penyajian atau pengungkapan yang tidak dikoreksi dalam keuangan akan disebutkan dalam laporan pemeriksaan.
16
Dengan demikian pembaca laporan keuangan terhindar dari informasi yang keliru dan menyesatkan.
2.1.5
Standar auditing Standar auditing merupakan salah satu ukuran kualitas pelaksanaan
auditing. Standar auditing ini harus diterapkan dalam setiap audit atas laporan keuangan yang dilakukan auditor independen. Secara umum, standar ini meliputi pertimbangan-pertimbangan mengenai kualitas profesional pribadi auditor, pelaksanaan audit dan pelaporannya. Standar auditing terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan (SPAP, 2001;150:1). 1) Standar umum (1) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. (2) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. (3) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran professionalnya dengan cermat dan seksama. 2) Standar pekerjaan lapangan (1) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. (2) Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus dapat diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
17
(3) Bukti audit kompeten yang cukup harus dapat diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan, pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan. 3) Standar pelaporan (1) Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. (2) Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan jika ada ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. (3) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan dalam laporan auditor. (4) Laporan auditor harus memuat penyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atas suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Apabila auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.
18
2.1.6
Pengertian dan jenis auditor Auditor merupakan orang atau tim yang melakukan tugas audit. Menurut
Halim (2008:11) auditor pada umumnya diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1) Auditor internal Auditor internal merupakan karyawan suatu perusahaan atau entitas usaha tempat mereka melakukan audit. Tujuan auditing internal adalah untuk membantu manajemen dalam melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif. Meskipun demikian, pekerjaan auditor internal dapat mendukung audit atas laporan keuangan yang dilakukan auditor independen. 2) Auditor pemerintah Auditor pemerintah adalah auditor yang bekerja di instansi pemerintah dimana
tugas
utamanya
adalah
melakukan
audit
atas
laporan
pertanggungjawaban keuangan dari berbagai unit organisasi dalam pemerintahan. Auditing ini dilaksanakan oleh auditor pemerintah yang bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Direktorat Jenderal Pajak. 3) Auditor independen Auditor independen adalah para praktisi individual atau anggota kantor akuntan publik yang memberikan jasa auditing profesional kepada klien. Klien dapat berupa perusahaan yang berorientasi laba, organisasi nirlaba, badan-badan pemerintahan maupun individu perseorangan. Di samping itu, auditor juga menjual jasa lain yang berupa konsultasi pajak, konsultasi
19
manajemen, penyusunan sistem akuntansi, penyusunan laporan keuangan, serta jasa-jasa lainnya. Auditor independen bekerja dan memperoleh penghasilan yang dapat berupa fee per jam kerja.
2.1.7
Profesi akuntan publik Menurut Harefa (1999) dalam Halim (2008:13), makna kata profesi adalah
pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan (kemahiran) yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Profesional merupakan orang yang melakukan kegiatan atau menjalani profesi tertentu, sedangkan profesionalisme adalah sikap atau perilaku seseorang dalam melakukan profesi tertentu. Suatu pekerjaan dapat disebut sebagai profesi ketika setidaknya telah memenuhi 3 syarat, yaitu: 1) Diperlukan suatu pendidikan profesional tertentu (biasanya setingkat S1) dan dapat pula ditambah dengan pendidikan profesi. 2) Diperlukan suatu pengaturan terhadap diri pribadi yang didasarkan pada kode etik profesi. 3) Diperlukan penelaahan dan atau ijin dari penguasa (pemerintah) (Abdul Halim, 2003:13). Profesi akuntan publik merupakan pekerjaan yang memberikan jasa sebagai berikut (SPAP, 2001:301). 1) Jasa pemeriksaan umum yaitu pemeriksaan akuntan yang independen atas laporan keuangan disertai dengan pernyataan pendapat mengenai kewajaran penyajian laporan keuangan secara keseluruhan.
20
2) Jasa nasehat manajemen terdiri dari berbagai jasa yang diberikan oleh akuntan kepada klien mengenai masalah akuntansi. 3) Jasa pemeriksaan khusus yaitu pemeriksaan terhadap hal-hal sesuai dengan penugasan diberikan kepada akuntan seperti penentuan harga pembelian atau penjualan perusahaan. 4) Jasa perwakilan yang terjadi bila klien membutuhkan jasa akuntan sebagai wakil kuasa klien dalam pengurusan masalah perpajakan. 5) Jasa asisten yaitu membantu pelaksanaan tugas manajemen yang bermacam-macam antara lain membantu penyusunan sistem akuntansi yang baru. Sedangkan menurut Halim (2008:18), jasa yang diberikan oleh akuntan publik dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1) Jasa atestasi Atestasi adalah suatu pernyataan pendapat atau pertimbangan auditor independen dan kompeten mengenai kesesuaian, dalam segala hal yang signifikan, asersi suatu entitas dengan memberikan pendapat tertulis berisi kesimpulan tentang kendala asersi tertulis yang menjadi tanggung jawab pihak lain. Keempat jasa atestasi yang dapat diberikan oleh suatu KAP, antara lain: a. Audit Dalam audit laporan keuangan, klien menugaskan auditor untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti yang berkaitan dengan laporan
21
keuangan untuk memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan. b. Pemeriksaan (Examination) Auditor dalam melaksanakan penugasan jasa ini memberikan pendapat atas asersi-asersi suatu pihak sesuai kriteria yang ditentukan. c. Penelahaan (review) Jasa review atau pengkajian terutama dilakukan dengan wawancara dengan manajemen dan analisa komparatif informasi keuangan suatu perusahaan. d. Prosedur yang disepakati bersama (Agreed-upon procedures) Lingkup kerja jasa ini lebih sempit dari audit atau examination. Kesimpulannya yang dibuat atas hal tersebut harus berbentuk tingkatan temuan, keyakinan negatif atau keduanya. 2) Jasa non atestasi Ada tiga jasa yang diberikan suatu KAP yaitu: a. Jasa akuntansi Jasa akuntansi dapat diberikan melalui aktivitas pencatatan, penjualan, posting, jurnal penyesuaian, dan penyusunan laporan keuangan klien (jasa kompilasi) serta perancangan sistem akuntansi klien. b. Jasa perpajakan Jasa perpajakan meliputi pengisian surat laporan pajak dan perencanaan pajak.
22
c. Jasa konsultan manajemen Jasa konsultan manajemen merupakan fungsi pemberian konsultasi dengan memberikan saran dan bantuan teknis kepada klien guna meningkatkan penggunaan kemampuan dan sumber daya untuk mencapai tujuan perusahaan klien. Perkembangan
profesi
akuntan
publik
sangat
dipengaruhi
oleh
perkembangan perusahaan pada umumnya. Pihak luar seperti kreditur, pemerintah, investor pasar modal dan lainnya sangat memerlukan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Laporan keuangan ini mereka gunakan sebagai informasi untuk mengambil keputusan ekonomi. Profesi akuntan publik semakin diperlukan dalam keadaan demikian. Akuntan publik merupakan pihak independen yang bertugas untuk memeriksa dan menilai apakah laporan keuangan yang disajikan secara wajar sesuai prinsip akuntansi yang berlaku umum (Abdul Halim, 2008:16).
2.1.8
Kualitas audit Menurut Chen et al. (2011), audit perlu dilakukan untuk memantau
kebijaksanaan atas pelaporan manajerial sehingga dapat mengurangi risiko informasi. Adeyemi dan Fabgemi (2010) mengatakan bahwa peran audit adalah untuk mengurangi asimetri informasi pada angka akuntansi, dan untuk meminimalkan kerugian yang dihasilkan dari sisa oportunisme manajer keuangan dalam pelaporan. Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan yang telah dibuat
23
oleh auditor. Dengan demikian auditor mempunyai peranan penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Auditor harus menghasilkan audit yang berkualitas sehingga dapat mengurangi ketidakselarasan yang terjadi antara pihak manajemen dan pemilik. Laporan keuangan auditan yang berkualitas, relevan, dan reliabel dihasilkan dari audit yang dilakukan secara efektif oleh auditor yang berkualitas (Isnugrahadi dan Indra, 2009). Seperti yang dinyatakan dalam Pernyataan Standar Auditing (SPAP, 2001:150.1), persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang auditor adalah keahlian, independensi, dan due professional care. Dengan memiliki sifat tersebut diharapkan auditor dapat menghasilkan laporan audit yang berkualitas. Kualitas audit ini penting karena kualitas audit yang tinggi akan menghasilkan laporan keuangan
yang dapat
dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan
(Kusharyanti, 2003). De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Deis dan Groux (1992) menjelaskan bahwa probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan teknis auditor dan probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi auditor. Kualitas hasil pekerjaan auditor juga dapat dilihat dari kualitas keputusankeputusan yang diambil. Menurut Edwards et al. dalam Bedard dan Michelene (1993), ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengevaluasi sebuah keputusan yaitu outcome oriented dan process oriented. Pendekatan outcome
24
oriented digunakan jika solusi dari sebuah permasalahan atau hasil dari sebuah pekerjaan sudah dapat dipastikan. Untuk menilai kualitas keputusan yang diambil dilakukan dengan cara membandingkan solusi atau hasil yang dicapai dengan standar hasil yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan pendekatan process oriented digunakan jika solusi sebuah permasalahan atau hasil dari sebuah pekerjaan sangat sulit dipastikan. Maka untuk menilai kualitas keputusan yang diambil dilihat dari kualitas proses yang ditempuh auditor selama menyelesaikan pekerjaan dari awal hingga menghasilkan sebuah keputusan. Pengukuran hasil lebih banyak digunakan karena pengukuran proses tidak dapat diobservasi secara langsung, sedangkan pengukuran hasil biasanya menggunakan ukuran besarnya audit. Hal tersebut senada dengan Moizer (1997) yang menyatakan bahwa pengukuran kualitas proses audit terpusat pada kinerja yang dilakukan auditor dan kepatuhan pada standar yang telah digariskan. Dalam Nataline (2007) disebutkan ada sembilan elemen pengendalian kualitas yang harus diterapkan oleh kantor akuntan dalam mengadopsi kebijakan dan prosedur pengendalian kualitas untuk memberikan jaminan yang memadai agar sesuai dengan standar profesional dalam melakukan audit, jasa akuntansi, dan jasa review. Sembilan elemen pengendalian tersebut adalah independensi, penugasan personal untuk melaksanakan perjanjian, konsultasi, supervisi, pengangkatan, pengembangan profesi, promosi, penerimaan dan kelangsungan kerjasama dengan klien, dan inspeksi. Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menyatakan bahwa audit yang dilakukan auditor dikatakan berkualitas jika memenuhi standar auditing dan
25
standar pengendalian mutu. Sedangkan AAA Financial Accounting Committee (2000) menyatakan bahwa kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi (keahlian) dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit. Basuki dan Krisna (2006) menyatakan bahwa kualitas audit merupakan suatu issue yang kompleks, karena begitu banyak faktor yang dapat mempengaruhi kualitas audit, yang tergantung dari sudut pandang masing-masing pihak. Hal tersebut menjadikan kualitas audit sulit pengukurannya, sehingga menjadi suatu hal yang sensitif bagi perilaku individual yang melakukan audit. Dari beberapa pengertian tentang kualitas audit di atas maka dapat disimpulkan bahwa kualitas audit merupakan segala kemungkinan (probability) dimana auditor pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana dalam melaksanakan tugasnya auditor berpedoman pada standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan. Sehingga dapat dikatakan bahwa auditor dituntut untuk memberikan pendapat tentang kewajaran pelaporan keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan dan harus memiliki 3 komponen dalam menjalankan kewajibannya yaitu kompetensi (keahlian), independensi, dan due professional care.
2.1.9
Independensi Sucher et al. (2004) menyebutkan bahwa salah satu faktor kunci dari
auditor adalah independensi, tanpa independensi pengguna laporan keuangan
26
tidak dapat mengandalkan laporan auditor. Independensi merupakan standar kualitatif yang diperlukan oleh suatu kantor akuntan publik untuk bertidak dengan integritas dan obyektifitas dalam melaksanakan tugas profesionalnya (Jaka, 2005). Selain itu, Badera (2007) juga mengatakan bahwa independensi memberikan keyakinan memadai bahwa pada setiap lapis organisasi semua staf profesional mempertahankan
independensi
sebagaimana
diatur
dalam
aturan
Etika
Kompartemen Akuntan Publik secara terperinci, yaitu Aturan Etika No. 1 integritas, obyektivitas, dan independensi memuat contoh-contoh penerapan yang berlaku untuk akuntan publik. Menurut Abdul Halim (2008:50) ada tiga buah aspek independensi seorang auditor, yaitu 1) Independence in fact (independensi senyatanya) yakni auditor harus mempunyai kejujuran yang tinggi. 2) Independence in appearance (independensi dalam penampilan) yang merupakan
pandangan pihak lain terhadap diri auditor sehubungan
dengan pelaksanaan audit. Auditor harus menjaga kedudukannya sedemikian
rupa
sehingga
pihak
lain
akan
mempercayai
sikap
independensi dan objektivitasnya 3) Independence in competence (independensi dari sudut keahlian) yang berhubungan erat dengan kemampuan auditor dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya. American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) menyebutkan bahwa independensi merupakan suatu kemampuan bertindak berdasarkan
27
integritas objektivitas (Mayangsari, 2003). Integritas merupakan prinsip moral yang tidak memihak, jujur, memandang, dan mengemukakan sama seperti adanya. Objektivitas merupakan sikap tidak memihak dalam mempertimbangkan fakta, kepentingan pribadi tidak terdapat dalam fakta yang dihadapi. Berdasarkan pengertian di atas disimpulkan bahwa independensi merupakan sikap seseorang untuk bertindak jujur, tidak memihak, dan melaporkan temuan-temuan berdasarkan bukti yang ada. Dalam penelitian ini independensi auditor diukur melalui lama hubungan dengan klien (audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor, dan jasa non audit. 1) Lama hubungan dengan klien Perdebatan mengenai apakah lamanya masa kerja meningkatkan atau merusak independensi auditor dan kualitas audit memiliki sejarah panjang dan menyadari banyaknya skandal akuntansi yang dipublikasikan dengan besarbesaran telah memperbaharui kepentingan membatasi masa kerja auditor (Gunny et. al, 2007). Di Indonesia, masalah audit tenure atau masa kerja auditor dengan klien sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.17/PMK.01/2008 tentang jasa akuntan publik. Pearaturan menteri tersebut membatasi masa kerja auditor paling lama 3 tahun untuk klien yang sama, sementara untuk Kantor Akuntan Publik (KAP) boleh sampai 6 tahun. Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat dengan klien sehingga dapat mencegah terjadinya skandal akuntansi. Jika masa kerja terbatas, auditor akan memiliki insentif yang lebih
28
besar untuk menahan tekanan manajemen (AICPA, 1992, 1-2 dalam Chen et al., 2005). 2) Tekanan dari klien Dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan
manajemen
perusahaan.
Manajemen
mungkin
ingin
operasi
perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil yakni tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak jarang manajemen perusahaan melakukan tekanan kepada auditor sehingga laporan keuangan auditan yang dihasilkan itu sesuai dengan keinginan klien. Tekanan dari klien seperti tekanan personal, emosional atau keuangan dapat mengakibatkan independensi auditor berkurang dan dapat mempengaruhi kualitas audit (Kusharyanti, 2003). 3) Telaah dari rekan auditor Telaah dari rekan auditor (peer review) merupakan mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit (Widiastuti, 2002:59). Telaah dari rekan auditor (peer review) telah lama menjadi bagian dari program AICPA untuk meningkatkan kualitas audit dalam profesi akuntan. Sejak awal tahun 1970-an, peer review telah berusaha dengan utama untuk meningkatkan kualitas audit dengan mengidentifikasi kelemahan signifikan perusahaan audit, dan mengkomunikasikan kelemahankelemahan itu untuk perusahaan yang ditinjau yang kemudian dapat mengambil tindakan korektif (White et al. 1988, AICPA 2004, dalam Knechel et al,.2006).
29
Peer review dirasakan memberikan manfaat bagi klien, Kantor Akuntan Publik (KAP), yang direview, dan auditor yang telibat dalam tim peer review. Manfaat yang diperoleh dari peer review antara lain mengurangi risiko litigasi, memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge, dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan (Harjanti, 2002:59). 4) Jasa non audit Jasa yng diberikan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) bukan hanya jasa atestasi melainkan juga jasa non atestasi yang berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa akuntansi seperti penyusunan laporan keuangan (Kusharyanti, 2003). Adanya dua jenis jasa yang diberikan oleh suatu KAP menjadikan independensi auditor terhadap kliennya dipertanyakan yang nantinya akan mempengaruhi kualitas audit. Barkes dan Simnet (2004), Knapp (1985) dalam Elfarini (2007) mengatakan bahwa pemberian jasa selain audit merupakan ancaman potensial bagi independensi auditor, karena manajemen dapat meningkatkan tekanan pada auditor agar bersedia untuk mengeluarkan laporan yang dikehendaki oleh manajemen, yaitu wajar tanpa pengecualian. Dengan memberikan jasa selain jasa audit berarti auditor telah terlibat dalam aktivitas manajemen klien. Jika pada saat dilakukan pengujian laporan keuangan klien ditemukan kesalahan yang terkait dengan jasa yang diberikan auditor dan auditor tersebut tidak mau reputasinya buruk karena dianggap memberikan alternatif yang tidak baik bagi kliennya, maka hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas audit.
30
2.1.10 Due professional care Due professional care memiliki arti kemahiran profesional yang cermat dan seksama. Menurut PSA No. 4 SPAP (2001), kecermatan dan keseksamaan dalam penggunaan kemahiran profesional menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisme profesional, yaitu suatu sikap auditor yang berpikir kritis terhadap bukti audit dengan selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi terhadap bukti audit tersebut. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan.
2.1.11 Etika auditor Etika berkaitan dengan pertanyaan tentang bagaimana orang akan berperilaku terhadap sesamanya (Kell et al., 2002). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) dalam Alim dkk. (2007) etika berarti nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Maryani dan Ludigdo (2001) mendefinisikan etika sebagai seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan manusia atau masyarakat atau profesi. Arens (2003:71) mendefinisikan etika secara umum sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Setiap profesi tanpa terkecuali sangat memperhatikan kualitas jasa yang dihasilkan. Profesi akuntan publik juga memperhatikan kualitas audit sebagai hal
31
yang sangat penting untuk memastikan bahwa profesi auditor dapat memenuhi kewajibannya kepada para pemakai jasanya. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas audit adalah ketaatan auditor terhadap kode etik, yang terfleksikan oleh independensi, objektivitas, integritas dan lain sebagainya (Halim, 2008:29). Kode etik IAI dalam Abdul Halim (2008:29) menyebutkan bahwa prinsip etika profesi dalam Kode Etik Institut Akuntan Publik Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggung jawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi. Akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi dimana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri dimana akuntan mempunyai tanggung jawab menjadi kompeten dan untuk menjaga integritas dan obyektivitas mereka (Nugrahaningsih, 2005). Payamta (2002) menyatakan bahwa berdasarkan “Pedoman Etika” International Federation of Accountants (IFAC), maka syaratsyarat etika suatu organisasi akuntan sebaiknya didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang mengatur tindakan/perilaku seorang akuntan dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Prinsip tersebut adalah integritas, obyektifitas, independen, kepercayaan, standar-standar teknis, kemampuan profesional, dan perilaku etika.
32
2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian ini merupakan penelitian gabungan dari penelitian-penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Tantri (2011), Huntoyungo (2009), Diah (2011). Selain itu penelitian mengenai pengaruh etika auditor sebagai variabel moderasi terhadap kualitas audit juga telah dilakukan oleh Alim dkk (2007). Alim dkk (2007) meneliti tentang pengaruh kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit dengan etika auditor sebagai variabel moderasi. Variabel dependen dari penelitian ini adalah kompetensi dan independensi, variabel dependennya adalah kualitas audit, dan terdapat juga variabel moderasi yaitu etika auditor. Responden dari penelitian ini adalah seluruh auditor KAP yang ada di wilayah Jawa Timur. Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit, sedangkan interaksi kompetensi dan etika auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Pengaruh interaksi kompetensi dan etika auditor terhadap kualitas audit dalam penelitian ini tidak dapat diketahui karena dari hasil pengujian ternyata kedua variabel tersebut keluar dari model (Excluded Variables). Selain itu, penelitian ini juga menemukan bukti empiris bahwa independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit, selanjutnya interaksi independensi dan etika auditor berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan variabel yang sama yaitu variabel independennya adalah independensi, variabel dependennya adalah kualitas audit, dan variabel moderasinya adalah etika auditor. Perbedaannya adalah pada variabel independen, lokasi penelitian, dan waktu penelitian.
33
Huntoyungo (2009) meneliti tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas audit. Penelitian ini ditujukan untuk menguji pengaruh independen yaitu keahlian auditor, independensi, dan due professional care terhadap variabel dependen yaitu kualitas audit. Responden dalam penelitian ini adalah auditor Inspektorat Daerah se Provinsi Gorontalo sejumlah 56 responden. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keahlian auditor dan independensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas audit, sedangkan variabel due professional care tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kualitas audit. Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan variabel independen dan variabel dependen yang sama. Perbedaannya adalah lokasi dan waktu penelitian serta tidak adanya variabel moderasi. Tantri (2011) meneliti tentang pengaruh kompetensi dan independensi auditor pada kualitas audit auditor Kantor Akuntan Publik di Bali. Variabel independen yang digunakan adalah kompetensi dan independensi, sedangkan variabel dependennya adalah kualitas audit. Responden dalam penelitian ini adalah auditor yang bekerja pada kantor akuntan publik di bali. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik regresi berganda. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa kompetensi dan independensi auditor berpengaruh secara simultan maupun parsial terhadap kualitas audit. Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan lokasi penelitian, variabel independen dan variabel dependen yang sama. Perbedaannya adalah waktu penelitian dan tidak adanya variabel moderasi.
34
Diah (2011) meneliti tentang pengaruh independensi, pengalaman, due professional care, dan akuntabilitas terhadap kualitas audit. Variabel independen yang digunakan adalah independensi, pengalaman, due professional care, dan akuntabilitas, sedangkan variabel dependennya adalah kualitas audit. Responden dalam penelitian ini adalah auditor yang bekerja di BPK Perwakilan Yogyakarta. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik regresi berganda. Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa hasil pengujian independensi dan pengalaman tidak berpengaruh terhadap kualitas audit, sedangkan due professional care dan akuntabilitas berpengaruh terhadap kualitas audit. Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan variabel independen dan variabel dependen yang sama. Perbedaannya adalah lokasi dan waktu penelitian serta tidak adanya variabel moderasi. Terdapat
perbedaan
hasil
dari
beberapa
penelitian
yang
tidak
menggunakan variabel moderasi, dimana dikatakan independensi dan due professional care dapat mempengaruhi kualitas audit atau sebaliknya faktor tersebut secara signifikan tidak mempengaruhi kualitas audit. Melihat fenomena tersebut, diperkirakan terdapat faktor yang menyebabkan mengapa penelitian tersebut dapat mencapai hasil yang berbeda yaitu adanya variabel moderasi. Penelitian ini menetapkan variabel etika auditor sebagai variabel moderasi yang mungkin akan mempengaruhi secara kuat atau lemah hubungan antara independensi, due professional care, dan kualitas audit.
35
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Sebelumnya No
3
Nama
Teknik Hasil Penelitian Analisis Regresi Linear Kompetensi, Berganda Independensi, dan interaksi antara independensi dan etika auditor berpengaruh signifikan pada kualitas audit, sedangkan pengaruh interaksi kompetensi dan etika auditor terhadap kualitas audit tidak dapat diketahui. Regresi Linear Keahlian auditor dan Berganda independensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas audit, sedangkan variabel due professional care tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kualitas audit.
Variabel
1
Alim dkk.
Kompetensi, Independensi, Etika Auditor, dan Kualitas Audit
2
Huntoyungo
Keahlian Auditor, Independensi, Due Professional Care, dan Kualitas Audit
Tantri
Kompetensi, Independensi Auditor, dan Kualitas Audit
Regresi Linear Kompetensi dan Berganda independensi auditor berpengaruh secara simultan maupun parsial terhadap kualitas audit
36
4
Diah
Independensi, Pengalaman, Due Professional Care, Akuntabilitas, dan Kualitas Audit
Regresi Linear Independensi dan Berganda pengalaman tidak berpengaruh terhadap kualitas audit, sedangkan due professional care dan akuntabilitas berpengaruh terhadap kualitas audit.
2.3
Rumusan Hipotesis
2.3.1
Pengaruh independensi pada kualitas audit Independensi merupakan sikap yang diharapkan dari seorang akuntan
publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan obyektivitas (Christiawan, 2002). Hal ini senada dengan America Institure of Certified Public Accountant (AICPA) dalam Meutia (2004) yang menyatakan bahwa independensi adalah suatu kemampuan untuk bertindak berdasarkan integritas dan objektivitas. Meskipun integritas dan objektivitas tidak dapat diukur dengan pasti, tetapi keduanya merupakan hal yang mendasar bagi profesi akuntan publik. Dalam aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik disebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAPI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance) (Amani dan Sulardi, 2005).
37
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan untuk menghasilkan audit yang berkualitas diperlukan sikap independen dari auditor, karena jika auditor kehilangan independensinya maka laporan audit yang dihasilkan tidak akan mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya sehingga laporan yang dihasilkan tidak dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. H1 : Independensi berpengaruh positif pada kualitas audit Kantor Akuntan Publik di Bali.
2.3.2
Pengaruh due professional care pada kualitas audit Due professional care merupakan hal yang penting yang harus diterapkan
setiap akuntan publik dalam melaksanakan pekerjaan profesionalnya agar dicapai kualitas audit yang memadai. Due professional care menyangkut dua aspek, yaitu skeptisme profesional dan keyakinan yang memadai. Hasil penelitian Kopp et al. (2007) membuktikan bahwa masyarakat mempercayai laporan keuangan jika auditor telah menggunakan sikap skeptis profesionalnya (professional skepticism) dalam proses pelaksanaan audit. Auditor harus tetap menjaga sikap skeptis profesionalnya selama proses pemeriksaan, karena ketika auditor sudah tidak mampu lagi mempertahankan sikap skeptis profesionalnya, maka laporan keuangan yang diaudit tidak dapat dipercaya lagi, dan memungkinkan adanya litigasi paksa audit. Nearon (2005) juga mengatakan bahwa jika auditor gagal dalam menggunakan sikap skeptis atau penerapan sikap skeptis yang tidak sesuai dengan kondisi pada saat pemeriksaan maka opini audit yang diterbitkannya tidak berdaya
38
guna dan tidak memiliki kualitas audit yang baik. Selain itu, keyakinan yang memadai atas bukti-bukti yang ditemukan akan sangat membantu auditor dalam menentukan scope dan metodologi yang akan digunakan dalam melaksanakan pekerjaan audit agar tujuan dapat tercapai. H2: Due professional care berpengaruh positif pada kualitas audit Kantor Akuntan Publik di Bali.
2.3.3
Moderasi etika auditor pada hubungan independensi dengan kualitas audit Nichols dan Price (1976) menemukan bahwa ketika auditor dan
manajemen tidak mencapai kata sepakat dalam aspek kinerja, maka kondisi ini dapat mendorong manajemen untuk memaksa auditor melakukan tindakan yang melawan standar, termasuk dalam pemberian opini. Kondisi ini akan sangat menyudutkan auditor sehingga ada kemungkinan bahwa auditor akan melakukan apa yang diinginkan oleh pihak manajemen. Deis dan Giroux (1992) mengatakan bahwa pada konflik kekuatan, klien dapat menekan auditor untuk melawan standar profesional dan dalam ukuran yang besar, kondisi keuangan klien yang sehat dapat digunakan sebagai alat untuk menekan auditor dengan cara melakukan pergantian auditor. Hal ini dapat membuat auditor tidak akan dapat bertahan dengan tekanan klien tersebut sehingga menyebabkan independensi mereka melemah. Posisi auditor juga sangat dilematis yakni mereka dituntut untuk memenuhi keinginan klien namun di satu sisi tindakan auditor dapat melanggar standar profesi sebagai acuan kerja mereka.
39
Hipotesis dalam penelitian mereka terdapat argumen bahwa kemampuan auditor untuk dapat bertahan di bawah tekanan klien mereka tergantung dari kesepakatan ekonomi, lingkungan tertentu, dan perilaku termasuk di dalamnya mencakup etika profesional. H3: Etika auditor memoderasi hubungan independensi dengan kualitas audit Kantor Akuntan Publik di Bali.
2.3.4
Moderasi etika auditor pada hubungan due professional care dengan kualitas audit Due professional care menyangkut dua aspek, yaitu skeptisme profesional
dan keyakinan yang memadai. Ketika auditor dan manajemen tidak mencapai kata sepakat dalam aspek kinerja, maka kondisi ini dapat mendorong manajemen untuk memaksa auditor melakukan tindakan yang melawan standar, termasuk dalam pemberian opini. Auditor harus tetap menjaga sikap skeptis profesionalnya selama proses
pemeriksaan
karena
ketika
auditor
sudah
tidak
mampu
lagi
mempertahankan sikap skeptis profesionalnya, maka laporan keuangan yang diaudit tidak dapat dipercaya lagi, dan memungkinkan adanya litigasi paksa audit. Deis dan Giroux (1992) mengatakan bahwa pada konflik kekuatan, klien dapat menekan auditor untuk melawan standar profesional dan dalam ukuran yang besar, kondisi keuangan klien yang sehat dapat digunakan sebagai alat untuk menekan auditor dengan cara melakukan pergantian auditor. H4: Etika auditor memoderasi hubungan due professional care dengan kualitas audit Kantor Akuntan Publik di Bali.
40