BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1
Teori Keagenan Teori keagenan (agency theory) adalah suatu teori yang menjelaskan
adanya hubungan yang dimiliki oleh principal dan agent. Principal (pemilik) adalah pihak yang memberikan mandat kepada pihak lain yang disebut dengan agent dan agent akan melaksanakan mandat tersebut. Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana (principal) menggunakan orang lain (agent) untuk melakukan beberapa aktivitas untuk kepentingan mereka. Konflik kepentingan akan muncul dari pendelegasian tugas yang diberikan kepada agent yaitu agent tidak dalam kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan pemilik, tetapi mempunyai kecenderungan untuk mengejar kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan pemilik. Teori keagenan juga dikenal sebagai teori principal dan agent (the principleagent theory) menyatakan bahwa hubungan antara pihak-pihak dalam perusahaan yaitu pengelola, pemegang saham, kreditur, pemerintah dan masyarakat akan sulit tercipta karena kepentingan yang saling bertentangan menurut contracting theory (dalam Watts and Zimmerman 1983). Jensen and Meckling (1976) mengatakan bahwa kepentingan yang berbeda dan saling bertentangan akan mengarahkan kepada penipuan dan rekayasa sehingga hasil dari pekerja ataupun kinerja yang dihasilkan dari agent kepada principal tidak dapat dipercaya, sehingga penyatuan visi dan misi sangat diperlukan.
Melihat dari sudut pandang teori di atas, adanya hubungan antara agent dan principal dapat memunculkan konflik karena adanya asimetri informasi yang sering terjadi. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: yang pertama manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), yang kedua manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan yang ketiga adalah manusia selalu menghindari resiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi yang dihasilkan manusia untuk manusia lainnya selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan (Muh.Arief Ujiyantho 2011). Hal ini dapat dikaitkan dengan budaya tri hita karana yaitu pawongan dengan menjalin hubungan yang baik antara manusia dengan manusia untuk dapat menghindari konflik dan asimetri informasi yang dapat merugikan perusahaan. Melihat pada kenyataan yang ada bahwa asimetri informasi ini pada akhirnya akan memberikan kesempatan bagi para manajer untuk melakukan manajemen laba sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya. Kaitannya dengan proses audit, principal dan agent merupakan seseorang yang memiliki rasionalitas ekonomi, sehingga setiap kegiatannya dilakukan karena adanya motivasi oleh kepentingan pribadi atau memenuhi kepentingan pribadi sebelum memenuhi kepentingan orang lain. Agent selalu ingin dinilai pekerjaannya baik oleh pihak ekstrenal dan pemilik perusahaan, sedangkan pihak principal ingin agar agent melaporkan dengan sejujurnya apapun yang terjadi pada operasional perusahaan yang dibiayainya. Oleh karena itu, sudah bisa dilihat
adanya kepentingan yang berbeda antara principal dan agent. Sehingga harus ada auditor independen yang bertugas untuk menguji dan memperkecil kecurangan agent. Auditor independen diberikan mandat untuk melaksanakan tugas dan bertanggung jawab terhadap agent untuk melakukan pengauditan atas laporan keuangan yang dikelola.Dengan adanya teori keagenan, konflik kepentingan yang dialami antara agent dan principal dapat dipahami oleh auditor. Auditor independen mencegah terjadinya kecurangan keuangan yang dibuat oleh manajemen sekaligus dapat mengevaluasi kinerja agent untuk menghasilkan informasi yang sesuai dengan keadaan operasional sehingga dapat digunakan dalam pengambilan keputusan investasi. Sedangkan manajemen memerlukan auditor untuk
memberikan legitimasi atas kinerja yang dilakukan sehingga
auditor mendapat insentif atas pekerjaan yang dilakukan. Untuk itu agar dapat menghindari adanya asimetri informasi yang dilakukan oleh pihak agent dan principal maka pihak ketiga sangat diperlukan untuk memberikan keyakinan tanpa rekayasa.
2.1.2
Teori Atribusi Menurut Luthas, 2005 teori atribusi adalah teori yang mempelajari proses
bagaimana seseorang dapat menginterprestasikan suatu peristiwa, alasan atau sebab perilakunya. Selanjutnya teori ini kemudian dikembangkan oleh Fritz Heider(tahun) yang berargumen bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha, dan kekuatan
eksternal (external forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar, seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan (Ikhsan dan Ishak, 2005). Berdasarkan hal tersebut, maka seseorang akan termotivasi untuk memahami lingkungannya dan sebab-sebab kejadian tertentu. Dalam penelitian ini diterapkan dengan dipergunakannya variabel budaya tri hita karana. Asumsi yang telah digunakan masyarakat Bali dalm riset ini adalah keyakinan terhadap ajaran budaya tri hita karana yang digunakan sebagai pedoman hidup, dimana dalam keseharian menjalankan pekerjaan didasari oleh ajaran tri hita karana yang diyakini dapat menstabilkan individu dalam menghadapi berbagai keadaan dan kondisi kerja seperti adanya kompleksitas tugas dan tekanan waktu yang dapat menimbulkan perilaku menyimpang. Sehingga, adanya hubungan antara teori atribusi yang mengandung persepsi internal maupun eksternal dalam individu dikaitkan pula dengan budaya tri hita karana untuk dapat mengarahkan kepada prestasi kerja/kinerja sehingga dapat menciptakan kualitas hidup individu tertentu maupun keseluruhan organisasi.
2.1.3
Kompleksitas Tugas Kompleksitas tugas dapat diartikan terjadinya situasi yang kompleks serta
kemampuan analisis sebuah tugas dan ketersediaan prosedur operasi standar. Menurut (Wood, 1968) kompleksitas tugas dapat diartikan sebagai fungsi dari tugas itu sendiri. Sedangkan, menurut (Sanusi dan Iskandar, 2007) kompleksitas tugas berarti adanya situasi tugas yang tidak terstuktur, membingungkan dan sulit. Adapun hubungan yang dapat dikaitkan adalah munculnya kompleksitas audit karena adanya kompleksitas tugas dan variabilitas tugas terjadi dalam kegiatan.
Kompleksitas audit didasarkan pada persepsi individu tentang kesulitan suatu tugas audit. Persepsi ini menimbulkan kemungkinan bahwa suatu tugas audit sulit bagi seseorang, namun mungkin juga mudah bagi orang lain (Restu dan Indriantoro,2000). Sedangkan menurut Restu dan Indriantoro (2000) bahwa kompleksitas tugas muncul dari ambiguitas dan struktur yang lemah, baik dalam tugas-tugas utama maupun tugas lainnya. Pada tugas-tugas yang membingungkan (ambigous) dan tidak terstruktur, alternatif-alternatif yang ada tidak dapat diidentifikasi, sehingga data tidak dapat diperoleh dan outputnya tidak dapat diprediksi. Chung dan Monroe (2001) mengemukakan argumen yang sama, bahwa kompleksitas tugas dalam pengauditan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) Banyaknya informasi yang tidak relevan dalam artian informasi tersebut tidak konsisten dengan kejadian yang akan diprediksikan. 2) Adanya ambiguitas yang tinggi, yaitu beragamnya outcome (hasil) yang diharapkan oleh klien dari kegiatan pengauditan.
2.1.4
Tekanan Waktu Tekanan waktu (time pressure) didefinisikan sebagai kendala yang timbul
karena keterbatasan waktu atau keterbatasan sumber daya yang dialokasikan dalam melaksanakan penugasan DeZoort dan Lord (1997). Dalam tugas pengauditan auditor sering kali dihadapkan pada tekanan anggaran waktu karena semakin lama proses audit yang dilakukan maka biaya yang akan dikeluarkan semakin banyak. Menurut Sososutikno (2003), tekanan anggaran waktu adalah
keadaan yang menunjukkan bahwa auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun atau terdapat pembatasan waktu dan anggaran yang sangat ketat dan kaku. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tekanan waktu adalah persaingan fee antara KAP, kemampuan laba perusahaan, dan keterbatasan personil (DeZoort, 2002 dalam Rustiarini, 2013). Dalam setiap melakukan kegiatan audit, auditor akan menemukan adanya suatu kendala dalam menentukan waktu untuk mengeluarkan hasil audit yang akurat dan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Tekanan waktu yang dialami oleh auditor ini dapat berpengaruh terhadap menurunnya kualitas audit karena auditor dituntut untuk menghasilkan hasil audit yang baik dengan waktu yang telah dijanjikan dengan klien. De Zoort dan Lord (1997) dalam Andini (2011), yang menyebutkan bahwa saat menghadapi tekanan anggaran waktu, auditor akan memberikan respon dengan dua cara yaitu : fungsional dan disfungsional. Tipe fungsional adalah perilaku auditor untuk bekerja lebih baik dan menggunakan waktu sebaikbaiknya. Herningsih (2001) dalam Amalia Yuliana dkk, (2009), auditor dituntut melakukan efisiensi biaya dan waktu dalam melaksanakan audit. Tekanan waktu memiliki dua dimensi sebagai berikut : 1) Time Budget Pressure merupakan keadaan dimana auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun, atau terdapat pembatasan waktu dalam anggaran yang sangat ketat. 2) Time Deadline Pressure merupakan kondisi dimana auditor dituntut untuk menyelesaikan tugas audit tepat pada waktunya.
2.1.5 Tri Hita Karana Budaya tri hita karana dikenal dalam dimensi hidup orang Bali yang merupakan tradisi masyarakat Hindu di Bali. Prinsip tri hita karana merupakan filosofi yang diajarkan di dalam Kitab Bhagawadghita, yaitu mengajarkan tentang 3 hal pokok kepada manusia untuk
mencapai kebahagiaan tertinggi:
dharma/kebenaran Tuhan dan hakekat manusia, meningkatkan keyakinan hati akan kebenaran Tuhan, dan bagaimana berbuat di dalam kebenaran Tuhan (Palguna, 2007). Tri hita karana dapat puladiartikan sebagai tiga penyebab kesejahteraan yang bersumber pada keharmonisan hubungan antara: manusia dengan Tuhannya (parahyangan), manusia dengan alam lingkungannya (palemahan), dan manusia dengan sesamanya (pawongan) (Kaler, 1983; Surpha, 1991; Pitana, 1994; Dalem, 2007; Palguna, 2007; dan Agung, 2009). Tri hita karana sesungguhnya mengandung nilai-nilai universal karena tri hita karana merupakan filosofi tentang harmoni dan kebersamaan yang dalam konsep maupun penerapannya tidak mengenal perbedaan ras, suku, keturunan, agama, dan ada pada semua ajaran agama di dunia (Arif. 1999 dan Pusposutardjo, 1999 dalam Windia dan Dewi, 2007; Agung, 2009). Ini menunjukkan implementasi budaya tri hita karana pada bisnis merupakan bukti bahwa nilainilai yang terkandung di dalam budaya nasional telah digunakan dan diimplementasikan di dalam praktik budaya organisasi. Koentjaraningrat (2008) menjelaskan bahwa konsep tri hita karana ini pada dasarnya analog dengan sistem kebudayaan yang memiliki 3 elemen, yaitu: 1) elemen/subsistem pola
pikir/konsep/nilai, 2) subsistem sosial, dan 3) subsistem artifak/kebendaan. Demikian halnya Schein (2004) menyatakan bahwa budaya ditunjukkan oleh tiga tingkatan, yaitu: perilaku dan artifak, kepercayaan dan nilai, dan asumsi-asumsi dasar.
2.1.6
Kinerja Auditor Kinerja (performance) merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh
seseorang atau kelompok dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing - masing dalam rangka mencapai tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum, dan sesuai dengan moral maupun etika (Judge. et al, 2001). Menurut Trisnaningsih (2007), kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan waktu yang diukur dengan mempertimbangkan kuantitas, kualitas, dan ketepatan waktu. Adapun faktor penentu kinerja auditor digambarkan melalui pendekatan teori atribusi menyatakan bahwa dua kategori dasar yang digunakan pada diri seorang karyawan untuk dapat menentukan kinerjanya, yaitu atribusi yang bersifat internal atau disposisional (dihubungkan dengan sifat - sifat orang), dan yang bersifat eksternal atau situasional (yang dapat dihubungkan dengan lingkungan seseorang (Bateman, 1984 dalam Maryani, 2010). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kinerja auditor ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal auditor. Faktor internal adalah adanya kemauan, bakat, kemampuan,
maupun usaha yang dilakukan. Sedangkan faktor eksternal adalah hal yang berkaitan dengan lingkungan kerja, rekan kerja, dan pimpinan (Maryani, 2010).
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1
Pengaruh Kompleksitas Tugas terhadap Kinerja Auditor Kompleksitas tugas sangat erat kaitannya dengan kualitas hasil audit
laporan yang dihasilkan oleh auditor. Kompleksitas tugas merupakan sikap yang dimiliki oleh individu karena kemampuan serta daya ingat untuk melaksanakan sebuah tugas audit. Dalam melaksanakan tugas audit banyak dihadapi oleh persoalan yang kompleks. Kesulitan yang dirasakan oleh setiap individu berbedabeda biasanya terjadi ketidakkonsisten petunjuk informasi dan tidak mampu dalam mengambil suatu keputusan akan menjadikan sebuah tugas semakin kompleks. Menurut Andini Ika Setyorini (2011) peningkatan kompleksitas tugas dapat
menurunkan
keberhasilan
tugas.
Pendapat
yang
sama
menurut
Restuningdiah dan Indriantoro (2000) bahwa peningkatan kompleksitas dalam suatu tugas atau sistem, akan dapat menurunkan tingkat keberhasilan tugas itu sendiri. Terkait dengan kegiatan pengauditan, tingginya kompleksitas audit bisa menyebabkan seorang akuntan berperilaku disfungsional sehingga dapat mengakibatkan penurunan kinerja auditor. Bonner (1994) menyatakan bahwa kompleksitas tugas tidak terstruktur, sulit untuk dipahami, dan ambigu. Didalam tugas yang kompleks, usaha tidak dapat secara langsung atau kuat berpengaruh pada kinerja, jika auditor tidak
menambah kemampuan atau pengalaman (Bonner, 1994). Ketika tugas lebih kompleks dan tidak terstruktur, usaha yang tinggi tidak akan membantu seorang auditor untuk menyelesaikan tugas audit. Hasil penelitian Sanusi & Iskandar (2007) menunjukkan bahwa ketika auditor memiliki tugas yang kompleks atau tidak terstruktur dengan baik, setinggi apapun usaha auditor akan sulit untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik sehingga justru menurunkan kinerja auditor tersebut. Berdasarkan penjelasan diatas tentang hasil penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Kompleksitas tugas berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor 2.2.2
Pengaruh Tekanan Waktu Terhadap Kinerja Auditor Dalam setiap proses pengauditan biasanya penurunan kualitas audit dapat
disebabkan dengan adanya faktor dalam pembatasan pengumpulan bukti yang dilakukan oleh auditor, ada dua faktor yaitu faktor terhadap biaya dan waktu. Waktu menjadi ketentuan yang sangat ketat dalam pelaksanaan proses audit karena akan mempengaruhi efesiensi terlebih biaya yang dikeluarkan. Dalam hal ini auditor akan merasakan tekanan waktu saat melaksanakan audit karena sangat mempengaruhi kualitas audit yang dihasilkan oleh auditor. Semakin tinggi tekanan waktu dalam melakukan audit, membuat auditor semakin meningkatkan efisiensi dalam proses audit
sehingga seringkali pelaksanaan audit yang
dilakukan oleh auditor tidak dapat dipastikan selalu berdasarkan prosedur dan perencanaan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebelumnya. Dalam proses peningkatan kinerja seorang auditor dituntut untuk dapat menyelesaikan
pekerjaannya tepat waktu sesuai dengan waktu yang telah disepakati dengan klien.
Basuki dan Mahardani (2006) menyimpulkan bahwa keberadaan anggaran waktu yang ketat telah dianggap suatu hal yang lazim dan merupakan cara untuk medorong auditor untuk bekerja lebih keras dan efisien. Menurut Paul dkk (2003) tingginya tingkat tekanan waktu anggaran pada auditor, dan banyak auditor telah beberapa kali melakukan praktek mengurangi kualitas audit, berpotensi memiliki implikasi untuk fungsi kualitas audit. Hasil ini menunjukkan pentingnya menempatkan nilai yang sesuai pada fungsi audit untuk memastikan waktu anggaran yang memadai. Sehingga semakin auditor dibatasi atau mengalami tekanan dalam mencari temuan audit maka kualitas audit yang dihasilkan secara tidak langsung mempengaruhi kinerja auditor yang cenderung semakin rendah. Berdasarkan penjelasan diatas tentang hasil penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 : Tekanan waktu berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor
2.2.3 Budaya Tri Hita Karana Memoderasi Pengaruh Kompleksitas Tugas pada Kinerja Auditor Budaya dapat mencerminkan adanya gabungan antara kepribadian dan sifat manusia (Hofstede 1991). Budaya didefinisikan sebagai norma, kepercayaan dan nilai yang menyebar dan luas di mana memandu kehidupan sehari-hari dari kelompok (Kotter and Heskett, 2002). Ideologi tri hita karana oleh masyarakat di Bali telah digunakan sebagai praktik pembangunan dan penataan kehidupan
masyarakat dalam seluruh aspek baik material dan non material. Dalam penelitan ini Budaya tri hita karana digunakan untuk menilai sudut pandang pengendalian diri pada kinerja seorang auditor akibat adanya kompleksitas tugas yang diterima. Dengan melihat adanya harmonisasi Budaya tri hita karana dalam kehidupan untuk pekerjaan sangat meyakini bahwa mereka akan bahagia jika kehidupannya seimbang dan harmonis melalui parhyangan, pawongan, dan palemahan. Budaya tri hita karana sesungguhnya merupakan budaya organisasi yang telah dikembangkan menjadi budaya nasional. Budaya tri hita karana telah dapat dipergunakan sebagai suatu tata nilai atau kebiasaan yang menjadi pegangan anggota organisasi dalam melaksanakan kewajiban dan berperilaku di dalam organisasi. Hal inilah yang mendasari adanya
dinamika dan kreativitas baik
secara individu maupun organisasional ingin mewujudkan kehidupan yang harmonis, meliputi pembangunan manusia seutuhnya, yang hormat
terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, rukun serta damai dengan sesamanya, dan cinta kepada pelestarian lingkungan. Nilai-nilai inilah merupakan nilai budaya yang melekat pada filosofi pada budaya tri hita karana (Windia, 2007), yang dapat dijadikan landasan bagi individu maupun organisasi dalam setiap gerak langkah aktivitasnya
di
dunia
pekerjaan
terlebih
profesi
auditor
yang
sangat
mengedapankan hasil kinerja sehingga mendapat kepercayaan dari klien dan masyarakat luas. Munculnya kompleksitas tugas yang dirasakan oleh auditor akan memicu adanya hal – hal yang tidak diinginkan seperti adanya manipulasi hasil audit. Namun, pegangan yang kuat akan nilai-nilai budaya tri hita karana bagi setiap
auditor dapat memberikan dukungan terhadap pola pikir mereka untuk senantiasa melaksanaan tugasnya yang begitu kompleks sebagai suatu proses bahwa dirinya sebagai individu yang terus belajar dan memotivasi diri dalammemperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan penugasan audit. Mereka memiliki keyakinan diri yang kuat bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas audit berasal dari pengendalian dirinya sehingga akan membantu auditor untuk meningkatkan kinerjanya apapun kompleksitas tugasnya. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Adiputra (2013) tentang budaya tri hita karana sebagai variabel pemoderasi menunjukkan bahwa tri hita karana memoderasi pengaruh kompleksitas tugas terhadap kinerja internal auditor inspektorat pemerintah berhasil. Berdasarkan pernyataan tersebut peneliti membuat hipotesis sebagai berikut: H3 : Budaya tri hita karana memoderasi pengaruh kompleksitas tugas pada kinerja auditor.
2.2.4 Budaya Tri Hita Karana Memoderasi Pengaruh Tekanan Waktu pada Kinerja Auditor Budaya merupakan proses pemrograman pikiran kolektif yang membedakan anggota satu kelompok atau kategori orang-orang dari lainnya. Orang-orang beraktivitas di dunia bisnis perlu menyadari bahwa setidaknya ada tiga level budaya yang mungkin mempengaruhi aktivitas suatu perusahaan. Adanya level budaya dapat meliputi budaya nasional, budaya bisnis, dan budaya organisasional serta pekerjaan (Kotter and Heskett, 2002). Salah satu budaya yang nasional yaitu budaya tri hita karana merupakan budaya lokal yang bersumber dari kearifan
lokal, sehingga dapat dikatakan sebagai budaya nasional karena berbagai faktor seperti etnis, ekonomi, politik, agama, ataupun bahasa memberikan kontribusi dalam pembentukan budaya nasional (Kotter and Heskett, 2002). Untuk itu dalam penelitian ini, budaya tri hita karana digunakan sebagai sebuah variabel untuk menilai adanya pengaruh tekanan waktu dalam pelaksanan penugasan audit karena adanya faktor ekonomi yang digunakan. Tingginya tingkat tekanan waktu yang dimiliki oleh auditor, membuat auditor seringkali melakukan audit tidak sesuai dengan perencanaan yang sudah ditetapkan sehingga kualitas hasil audit yang dihasilkan akan menurun. Tekanan anggaran waktu merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang (Ahituv dan Igbaria, 1998). Dalam menghadapi munculnya iklim persaingan, tekanan waktu merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari oleh setiap auditor. Pengalokasian waktu secara tepat dalam menentukan besarnya biaya audit harus mampu dilakukan oleh auditor. Kantor Akuntan Publik merupakan sebuah kategori organisasi besar yang biasanya memberikan tekanan baik secara institusional maupun individual kepada personil di dalamnya. Tekanan tersebut biasa diakibatkan karena munculnya deadline, fee maupun time budget yang ketat. Untuk itu diperlukan adanya budaya organisasi yang digunakan sebagai sebuah dasar pada nilai – nilai yang berfungsi sebagai landasan untuk berperilaku bagi setiap jajaran yang ada dalam organisasi dalam setiap gerak dan langkah akvitasnya (Susanto et. al., 2008). Sehingga dalam penelitian ini digunakan budaya tri hita karana yang merupakan budaya organisasi sebagai variabel pemoderasi untuk mengetahui pengaruh tekanan
waktu pada kinerja auditor. Berdasarkan pernyataan tersebut peneliti membuat hipotesis sebagai berikut : H4 : Budaya tri hita karana memoderasi pengaruh tekanan waktu kinerja auditor.