9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan adalah teori yang dapat menjelaskan tentang adverse selection. Adverse selection adalah salah satu permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prinsipal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan agen, sehingga prinsipal tidak mengetahui dengan pasti apakah keputusan yang diambil agen didasarkan pada informasi yang sesungguhnya atau tidak. Kondisi ini terjadi karena asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan agen sehingga informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap dan tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang dipercayakan kepada agen (Sharp dan Salter, 1997). Manajer adalah pihak yang dipekerjakan oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham sehingga manajemen diberi kekuatan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Namun, dalam kenyataannya terdapat informasi yang asimetri antara agen yang memiliki kualitas dan jumlah informasi yang lebih banyak dibanding pemilik perusahaan sehingga hal ini dapat memicu kesempatan bagi agen untuk bertindak demi kepentingan diri sendiri. Motivasi melakukan kecurangan terjadi ketika kepentingan ekonomi manajer berbeda dengan kepentingan pemilik perusahaan, sehingga manajer 9
10
terdorong untuk mengabaikan kepentingan pemilik perusahaan. Manajer akan mendapatkan penghargaan yang lebih besar saat melakukan eskalasi komitmen pada proyek yang gagal daripada tidak melanjutkan proyek tersebut, apalagi jika proyek tersebut di kemudian hari berhasil. Ketika berada dalam dua kondisi yaitu motivasi berbuat kecurangan dan asimetri informasi, agen mungkin melihat bahwa tindakan yang dilakukan adalah rasional. Variabel adverse selection dimanipulasi dengan adanya kepemilikan informasi privat bagi manajer yang tidak diketahui oleh orang di luar perusahaan.
2.1.2 Teori Prospek (Prospect Theory) Pengaruh frame atau framing adalah sebuah fenomena yang menunjukkan bahwa para pembuat keputusan akan merespon dengan cara yang berbeda pada permasalahan keputusan yang sama jika masalah tersebut disajikan dalam format yang berbeda (Kuhberger, 1998; Levin et al.; 1998). Yusnaini (2005) menyebutkan bahwa framing merupakan salah satu alasan penyebab terjadinya bias dalam pengambilan keputusan. Teori prospek merupakan salah satu teori yang mencoba menjelaskan pengaruh framing (Kahneman dan Tversky, 1979). Teori prospek (prospect theory) dari Kahneman dan Tversky (1979) menjelaskan terjadinya bias kognitif yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam kondisi ketidakpastian dan berisiko. Individu akan bersifat menghindari risiko atau menyukai risiko tergantung pada masalah yang dihadapi. Teori ini berpendapat bahwa individu akan memberikan bobot yang berlebihan terhadap hasil yang pasti daripada yang belum pasti. Kecenderungan ini menimbulkan
11
perilaku menghindari risiko dalam kondisi pasti untung (positive framing). Dalam positive framing, individu menunjukkan penurunan preferensi risiko, dimana individu lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Sebaliknya, individu lebih menyukai risiko dalam kondisi pasti rugi (negative framing). Negative framing diproksikan dengan penyajian informasi mengenai kerugian yang pasti. Pengaruh sunk cost ternyata berperan cukup besar dalam proses pengambilan keputusan untuk tetap melanjutkan suatu investasi yang dianggap kurang menguntungkan. Sunk cost adalah biaya yang sudah terjadi di masa lalu dan tidak akan muncul lagi dari suatu proyek atau investasi baru (Putri, 2009). Sunk cost mempengaruhi pembuat keputusan dalam kondisi negative framing, sehingga mendorong individu menyukai risiko yang mengarah kepada eskalasi komitmen terhadap tindakan yang telah gagal (Keil et al. 2000).
2.1.3 Adverse Selection Manajer memiliki informasi superior tentang informasi internal dan prospek
perusahaan
di
masa
depan
dibanding
pemilik.
Kondisi
ketidakseimbangan informasi ini dinamakan informasi asimetri (asymmetric information). Informasi asimetri dapat menimbulkan dua permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan pemilik untuk memonitor dan melakukan control terhadap tindakan-tindakan manajer. Menurut Jensen dan Meckling (1976) permasalahan tersebut adalah: a. Moral hazard, yakni permasalahan yang timbul jika manajer tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati dalam kontrak kerja. Hal ini
12
dikarenakan kegiatan yang dilakukan manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun kreditur. b. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana pemilik tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh manajer benarbenar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya atau terjadi kelalaian tugas (incentive to shirk).
2.1.4 Negative Framing Menurut Suartana (2005) framing adalah sebuah fenomena yang mengindikasikan pengambil keputusan akan memberi respon dengan cara berbeda pada masalah yang sama jika disajikan dalam format berbeda. Framing atas informasi dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan. Arnold (1997) menjelaskan dalam literatur psikologi sering disebutkan bahwa cara suatu informasi disajikan kepada pembuat keputusan dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan itu sendiri. Dalam prospect theory, Kahneman dan Tversky (1979) menyebutkan bahwa penyajian (framing) dari berbagai alternatif dapat mempengaruhi risiko outcome dari keputusan yang dibuat. Dari perspektif managerial accounting, manajer mempertimbangkan informasi akuntansi dan membuat keputusan yang berpengaruh terhadap masa depan perusahaan. Interpretasi awal dari informasi dapat menentukan informasi tambahan yang akan dipertimbangkan ketika membuat keputusan yang berkenaan dengan masa depan. Pada konteks keputusan terhadap proyek yang mengindikasikan kegagalan, biaya yang telah dikeluarkan (sunk cost) bertindak sebagai titik referensi bagi manajer
13
dalam membuat keputusan. Fakta bahwa proyek mulai menunjukkan prospek yang negatif membawa pada beberapa kemungkinan diantaranya yaitu kemungkinan kerugian/keuntungan yang pasti terjadi (kerugian/keuntungan yang pasti terjadi masih berupa kemungkinan karena asumsi bahwa manajer masih belum mengambil keputusan untuk menghentikan/melanjutkan proyek) dan kemungkinan kerugian/keuntungan di masa mendatang yang kurang pasti. Ketika kemungkinan-kemungkinan tersebut diframing secara positif, maka informasi mengenai keuntungan akan lebih ditonjolkan. Ketika kemungkinan-kemungkinan tersebut diframing secara negatif, maka informasi mengenai kerugian yang akan lebih ditonjolkan.
2.1.5 Eskalasi Komitmen Seorang manajer dalam suatu perusahaan seringkali dituntut untuk mengambil keputusan penting, dan tidak jarang mengalami dilema ketika harus membuat keputusan untuk menghentikan suatu proyek yang dianggap tidak menguntungkan ataukah tetap melanjutkan proyek tersebut apapun konsekuensi yang akan dihadapi ke depan. Suatu jenis keputusan yang dihasilkan dari keadaan tersebut dalam perilaku organisasi, manajemen strategi dan psikologi dikenal dengan fenomena eskalasi (Wong et al. 2006). Eskalasi komitmen dapat dikatakan sebagai upaya meningkatkan keseriusan atau keloyalan terhadap komitmen yang telah dibuat sebelumnya. Eskalasi komitmen dalam penelitian ini diproksikan dengan keputusan manajer untuk tetap melanjutkan proyek yang mengindikasikan kegagalan. Eskalasi
14
komitmen dapat terjadi ketika individu atau organisasi dihadapkan pada dua kesempatan atas serangkaian tindakan yang telah dilakukan (dalam hal ini serangkaian tindakan yang telah diambil ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan). Individu atau organisasi tersebut berkesempatan untuk memilih bertahan dengan terus menjalankan proyek tersebut atau menarik kembali serangkaian tindakan yang telah dilakukan sebelumnya. Konsekuensi dari kedua pilihan
tersebut
sama-sama
mengandung
ketidakpastian.
Staw
(1997)
mencontohkan organisasi mengetahui bahwa konsekuensi dari pengembangan produk baru bisa bermuara pada kondisi menguntungkan maupun tidak menguntungkan di masa yang akan datang. Eskalasi komitmen merupakan perilaku untuk meningkatkan komitmen dengan tetap menjalankan proyek walaupun proyek tersebut akan memberikan umpan balik negatif. Seorang manajer dapat mengalokasikan sumber daya tambahan pada proyek yang dianggap tidak menguntungkan ini. Brockner
(1992)
menjelaskan
bahwa
eskalasi
komitmen
adalah
melanjutkan komitmen walaupun terdapat informasi negatif yang berkaitan dengan ketidakpastian pencapaian tujuan. Eskalasi komitmen sering dikaitkan dengan pengabaian atas sinyal kegagalan. Kanodia et al. (1989) menjabarkan eskalasi komitmen sebagai keputusan manajer yang cenderung mengabaikan kepentingan perusahaan dan lebih mengutamakan kepentingan ekonomi pribadinya. Beberapa penjelasan dapat dikemukakan untuk perilaku eskalasi ini, pertama, adanya umpan balik negatif atas keputusan yang telah dijalankan
15
menyebabkan individu melanjutkan proyek tersebut dalam upaya pembenaran keputusan mereka sebelumnya (Bazerman, 1994). Kedua preferensi risiko seseorang apakah risk taker atau risk averse dapat bergeser berdasarkan kondisi yang dihadapi seseorang (Kahneman dan Tversky, 1979). Pada saat menghadapi keuntungan individu cenderung bersikap risk averse, namun saat menghadapi kerugian cenderung risk taker (Supramono dan Putlia, 2007). Berdasarkan penjelasan tersebut kemungkinan manajer yang memandang dirinya sedang dalam posisi mengalami kerugian cenderung memilih untuk menerima keputusan yang berisiko tinggi. Ketiga, teori keagenan menjelaskan bahwa antara kepentingan pemilik dan manajer seringkali bertentangan.
2.2 Penelitian Sebelumnya Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan variabel-variabel yang dibahas dalam penelitian ini, antara lain: Rutledge dan Karim (1999) mengungkapkan hasil penelitiannya, yaitu kondisi adverse selection pada manajer berpengaruh signifikan secara statistik pada keputusan manajer evaluasi proyek. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan manajer lebih cenderung menghentikan kemungkinan proyek gagal ketika mereka memiliki tingkat penalaran moral yang tinggi daripada ketika mereka memiliki tingkat penalaran moral rendah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa manajer lebih mungkin untuk melanjutkan suatu proyek yang gagal ketika adanya dua kondisi yaitu kondisi adverse selection dan tingkat penalaran moral rendah.
16
Salter dan Sharp (2004) menunjukkan bahwa asimetri informasi dan incentive to shirk meningkatkan kemungkinan eskalasi. Selain itu, negative framing juga meningkatkan kemungkinan eskalasi. Suartana (2003) menguji prosedur pengendalian dengan bantuan informasi akuntansi untuk mengurangi eskalasi komitmen sunk cost. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa progress report dan future benefits merupakan strategi yang tepat untuk mengurangi eskalasi komitmen sunk cost. Sahmuddin (2003) menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan keputusan individu yang berpengalaman dan tidak berpengalaman jika informasi disajikan dalam framing baik positif maupun negatif serta adanya perbedaan keputusan individu berpengalaman dan tidak berpengalaman jika individu bertanggungjawab tinggi dan bertanggungjawab rendah. Effriyanti (2005) meneliti tentang pengaruh dari strategi ambiguous feedback, progress report, dan pemberian informasi future benefit dalam menghindari permasalahan eskalasi komitmen. Hasil pengujian hipotesis mengindikasikan bahwa ketiga strategi dapat digunakan untuk membantu pengambil keputusan individu terhindar dari permasalahan eskalasi. Selain melihat pengaruh ketiga strategi terhadap level pengambilan keputusan individu, penelitian ini juga mengamati pengaruh ketiga strategi terhadap level pengambilan keputusan kelompok. Hasilnya memberi dukungan secara statistik bahwa strategi pemberian feedback yang tidak ambigu dan progress report memang secara signifikan pada tingkat kepercayaan 95% dapat membantu kelompok terhindar dari permasalahan eskalasi komitmen. Hasil akhir
17
memperlihatkan bahwa strategi progress report merupakan strategi yang paling baik untuk diterapkan, baik level pengambilan keputusan individu maupun kelompok untuk menghindari terjadinya permasalahan eskalasi komitmen. Chong dan Suryawati (2007) menunjukkan bahwa manajer proyek cenderung tidak melakukan eskalasi pada proyek yang mengindikasikan kegagalan ketika ada kebijakan job rotation. Ketika manajer memiliki informasi privat dan kebijakan job rotation, secara signifikan mengurangi dampak informasi privat pada perilaku eskalasi. Koroy
(2008)
menunjukkan
bahwa
pembingkaian
keputusan
mempengaruhi subjek yang tidak berpengalaman dalam eskalasi, serta semakin berpengalaman seseorang dalam keputusan bisnis atau manajerial, maka semakin cenderung dia berperilaku eskalasi. Yao dan Cui (2010) menunjukkan bahwa ketika dihadapkan dengan level sunk cost yang tinggi, pembuat keputusan lebih mungkin untuk melakukan eskalasi komitmen daripada ketika dihadapkan dengan level sunk cost yang rendah. Ketika dihadapkan dengan level self–esteem yang tinggi diyakini pembuat keputusan akan jauh lebih mungkin untuk melakukan eskalasi komitmen dibandingkan dengan level self–esteem yang rendah. Dewanti (2010) menunjukkan bahwa framing negatif berpengaruh signifikan terhadap keputusan eskalasi komitmen. Hasil interaksi antara framing negatif dengan adverse selection tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan manajer untuk melanjutkan proyek yang mengindikasikan kegagalan. Job rotation berpengaruh signifikan terhadap keputusan manajer untuk
18
tidak melakukan eskalasi pada proyek yang mengindikasikan kegagalan. Hasil interaksi antara job rotation dan adverse selection tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan manajer untuk tidak melakukan eskalasi pada proyek yang mengindikasikan kegagalan. Eveline (2010) meneliti tentang pengaruh adverse selection, pembingkaian negatif, dan self efficacy terhadap eskalasi komitmen proyek investasi yang tidak menguntungkan. Hasil penelitian menunjukkan adverse selection, pembingkaian negatif, dan self efficacy (keyakinan diri) berpengaruh terhadap keputusan eskalasi komitmen. Bahrudin dan Anissa (2011) meneliti tentang pengaruh pembingkaian dan locus of control terhadap eskalasi komitmen. Hasil penelitian menunjukkan pembingkaian dan locus of control berpengaruh positif terhadap eskalasi komitmen. Irfan (2012) menunjukkan bahwa pengaruh langsung dari distribusi yang fair yang hanya bisa mempengaruhi tingkat eskalasi komitmen sedangkan dengan melihat pengaruh variabel intervening yaitu self esteem tidak bisa memediasi hubungan antara prosedur dan distribusi yang fair terhadap tingkat eskalasi komitmen. Irfan dkk. (2013) menunjukkan bahwa manajer dihadapkan dengan tantangan adverse selection akan cenderung untuk melanjutkan proyek-proyek yang tidak menguntungkan. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa manajer dengan unrigid thinking cenderung tidak akan melanjutkan proyek yang tidak menguntungkan. Hasil hipotesis terakhir adalah manajer dengan unrigid
19
thinking, dalam kondisi adverse selection cenderung akan melanjutkan proyek yang tidak menguntungkan daripada ketika manajer dengan rigid thinking. Kanodia, et al. (1989) menunjukkan bahwa ketika manajer tidak melanjutkan proyek yang dianggap gagal justru akan merusak reputasi dan peluang karirnya di masa yang akan datang. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa insentif untuk switching atau eskalasi akan bervariasi dengan besarnya sunk cost. Harrison dan Harrel (1993) menunjukkan bahwa ketika tidak ada kondisi adverse selection, orang cenderung membuat keputusan yang terbaik untuk kepentingan principal mereka. Ringkasan penelitian-penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Lampiran 1.