BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. KAJIAN PUSTAKA Untuk memahami secara mendalam tentang pola komunikasi orangtua dan anak dalam keluarga broken home mengenai studi kasus pada siswa SMK Prudent School Kota Tangerang 2015. Peneliti berupaya untuk melakukan studi kepustakaan terutama terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti perguruan tinggi sebelumnya. Kajian pustaka ini juga dimaksudkan sebagai bahan perbandingan peneliti di dalam melakukan penelitian ini. 2.1.1. Penelitian Terdahulu Pertama, penelitian serupa tentang Komunikasi Orangtua dan Anak pernah dilakukan oleh Sintia Permata, Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Samratulangi Manado, penelitian yang berjudul “Pola Komunikasi Jarak Jauh Orangtua dengan Anak ( (studi pada mahasiswa Fisip angkatan 2009 yang berasal dari luar daerah)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi jarak jauh antara orang tua dengan anak. Metode penelitian yang digunakan yaitu kualitatif dengan pemilihan informan secara sampling purposivedengan mengambil 10 informan anak (informan kunci) dan 5 informan orang tua (pendukung). Dengan teknik pengumpulan data yang digunakan melalui wawancara mendalam (depth interview), yakni data dikumpulkan melalui wawancara yang mendalam pada setiap subjek penelitian.
1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara (interview guide) agar wawancara tetap berada pada fokus penelitian dan data yang didapatkan dianalisis melalui tiga alur yaitu ; reduksi data (proses penyeleksian,pemfokusan, penyederhanaan, hasil wawancara), sajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa pola komunikasi antara informan anak dengan informan orang tua maupun sebaliknya pola komunikasi antara informan orang tua dengan informan anak berdasarkan tipe keluarga antara lain; tipe keluarga karier, tipe keluarga protektif, tipe keluarga gaptek, dan tipe keluarga broken home. Terdapat hambatan-hambatan yang mempengaruhi pola komunikasi seperti; hambatan ekonomi, waktu, profesi, dan jaringan komunikasi. Hambatan-hambatan inilah yang mempengaruhi komunikasi tidak berjalan dengan baik.Pola komunikasi antara informan anak dengan informan orang tua maupun sebaliknya berdampak terhadap hubungan antara informan anak dengan informan orang tua menjadi erat atau renggang. Kedua, Penelitian yang berjudul “Komunikasi Antar Pribadi Anak Jalanan Dalam Proses Pembentukan Konsep Diri”. Oleh Sakinah Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Paradigma penelitian ini ialah konstruktivisme. Menggunakan data primer dan sekunder. Mempunyai enam key informan. Menggunakan teknik keabsahan data dengan triangulasi.
2 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dari hasil penelitian, bahwa motif anak-anak menjadi anak jalanan ini ada tiga: lingkungan, keluarga, dan ekonomi. Dengan adanya aktivitas positif yang berada di komunitas anak langit menjadikan anak-anak tersebut merasakan perubahan menjadi lebih baik dan sudah punya minat untuk sekolah. Konsep diri mereka pun ikut berubah dengan seiring berubahnya perilaku sosial yang mereka lakukan. Kesimpulan, anak-anak dasarnya tidak ingin menjadi anak jalanan namun kondisi yang memaksa mereka untuk mempunyai kehidupan sosial seperti itu. Yang perlu diperbaiki hanya komunikasi yang mereka jalankan terhadap masyarakat luas, sehingga mereka dapat diterima lebih baik oleh lingkungan sosial. Ketiga, Penelitian yang berjudul
“Perilaku Memaafkan di kalangan
Remaja Broken Home”. Oleh Sri Wahyu AR Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Metode pengambilan data menggunakan wawancara dan observasi pada sampling yang memiliki kriteria remaja yang berusia 17-22 tahun dengan keluarga broken home. Hasil penelitian menunjukkan aspek-aspek psikologis yang terjadi pada subjek adalah, secara kognitif subjek memberikan maaf tanpa ada rasa dendam di hati, secara afektif memaafkan dengan rasa kasihan tapi tidak dengan terpaksa. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan pada remaja
3 http://digilib.mercubuana.ac.id/
broken home adalah subjek memberikan maaf pada seseorang karena ingin membangun hubungan sosial yang baik setelah adanya konflik. Keempat, penelitian yang berjudul “Kreativitas Seorang Pelukis yang berasal dari keluarga Broken Home”. Oleh Rudy Puspono Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran kreativitas pelukis yang berasal dari keluarga broken home dan mengetahui faktor-faktor yang mendukung kreativitas. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan subjek penelitian adalah pria berusia 27 tahun yang berasal dari keluarga broken home dan telah menjadi pelukis selama lebih dari 3 tahun. Adapun jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak satu orang. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa subjek tumbuh dari situasi broken home dan menjadi kreatif serta menghasilkan karya seni berupa lukisan. Mengenai gambaran kreativitas, aspek pribadi subjek memiliki pribadi yang cenderung baik intelegensinya, mempunyai pengetahuan luas, ulet dan fleksibel dalam menghadapi persoalan. Dari aspek proses, subjek mempunyai proses dengan tahapan sendiri dalam menghasilkan karya seni, dimulai dari pencarian ide sampai terciptanya lukisan. Dari aspek produk, produk yang dihasilkan subjek bersifat unik, baru dan memiliki kebermaknaan. Dari aspek pendorong, subjek terdorong oleh broken home, yakni kondisi lingkungan yang sulit, yang memaksa subjek untuk mengatasi masalah tersebut dan mampu merubahnya menjadi lebih baik. Kemudian faktor-faktor yang mendukung
4 http://digilib.mercubuana.ac.id/
kreativitas subjek antara lain jenis kelamin, status sosial ekonomi, urutan kelahiran, ukuran keluarga, dan intelegensi. Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Patrix Brando Rimporox dengan judul “Intesitas Komunikasi Dalam keluarga untuk Meminimalisir Kenakalan Remaja di Desa Maumbi Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara”. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap salah satu pola yang dapat menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja, yakni pola komunikasi di dalam keluarga itu sendiri. Lokasi penelitian ialah desa Maumbi Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara. Dengan pendekatan deskriptif maka hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata intensitas komunikasi di dalam keluarga dapat menjadi faktor yang meminimalisir terjadinya kenakalan di kalangan remaja desa Maumbi. Keenam, penelitian dengan judul “Juvenile Deliquency (Kenakalan Remaja) pada Remaja Putra Korban Perceraian Orangtua”. oleh Sutji Prihatinningsih, Fakultas psikologi Universitas Gunadarma, Peneliti bertujuan untuk meneliti mengenai Juvenile Delinquency (Kenakalan Remaja) pada korban perceraian orang tua. Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah remaja putra yang berusia 16 tahun, korban perceraian orang tua dan memiliki kecenderungan Juvenile Delinquency (kenakalan remaja). Penelitian ini dilakukan secara studi kasus, dengan pengumpulan data dan menggunakan metode wawancara sebagai metode utama, observasi dan pengamatan. Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh hasil, bahwa
5 http://digilib.mercubuana.ac.id/
subjek yang memiliki orang tua yang bercerai mengalami kerinduan terhadap figur kedua orang tua. Hal ini terjadi karena subjek telah kehilangan kedua orang tua untuk panutan masa depannya. Ketujuh, penelitian dengan judul “Komunikasi
Remaja dan Orangtua
tentang Masalah Seksual” (Studi Kasus Pada Remaja Pelaku Seks Pranikah). Oleh M. Teguh Karya AP., Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah subjek, komunikasi subjek dengan orang tua tentang masalah seksual, serta untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi komunikasi tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ini yaitu remaja pelaku seks pranikah. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara dan catatan lapangan. Faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah subjek yaitu kurangnya pendidikan mengenai seks dari orang tua, perilaku teman sebaya, informasi dari media massa, pendidikan yang relatif rendah, dan tidak adanya rasa bersalah jika melakukan hubungan seks pranikah. Gambaran komunikasi yang dilakukan subjek dengan orang tuanya tentang masalah seksual yaitu kurangnya inisiatif berkomunikasi dan berdiskusi, orang tua suka mengalihkan pembicaraan, orang tua memberikan pengertian bahwa seks itu sehat selama dilakukan setelah menikah, orang tua tidak melarang membahas masalah seks sepanjang langsung bertanya pada orang tua, subjek
6 http://digilib.mercubuana.ac.id/
merasa malu membicarakan masalah seks, orang tua tidak menjelaskan seks secara terbuka di depan umum. Faktor yang mempengaruhi komunikasi tersebut yaitu kurangnya keterbukaan, respons yang kurang baik, rasa empati, penyampaian informasi yang menarik, ketidaknyamanan saat berkomunikasi, ketidakyakinan bahwa masalah bisa teratasi dengan berkomunikasi, sikap kasar orang tua, dan kesamaan pola pikir. Kedelapan, penelitian dengan judul “Jenis Pola Komunikasi Orangtua Dengan Anak Perokok Aktif di Desa Jembayan Kecamatan LOA Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara”. Oleh Hendri Gunawan, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang sistematis melukiskan fakta ataupun karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat. Teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan sumber data utama adalah wawancara mendalam yang menghasilkan data berupa kata- kata dan tindakan. Berdasarkan analisa data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat dikemukakan bahwa terdapat 3 jenis pola komunikasi pada orangtua dengan anak perokok aktif, yaitu Authoritarian, Permissive, dan Authoritative. Bagi orangtua sebaiknya menggunakan pola komunikasi Authoritative. Sehingga komunikasi interpersonal antara orangtua dengan anak perokok dapat terjalin dengan baik sebagai komunikator maupun sebagai komunikan. Orangtua harusnya mampu memelihara hubungan yang harmonis antar anggota keluarga. Hubungan yang
7 http://digilib.mercubuana.ac.id/
harmonis penuh pengertian, dan kasih sayang akan membuahkan perkembangan perilaku anak yang baik. Kesembilan, penelitian dengan judul “Pola Komunikasi Orangtua Tunggal Dalam Membentuk Kemandirian Anak” (Kasus di Kota Yogyakarta). Oleh Y Retnowati, A.V.S Hubeis, dan Hadiyanto,
Staff Pengajar Komunikasi
Pembangunan FEMA IPB, Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menguji pola komunikasi orang tua tunggal dalam mengubah kemandirian anak-anak; (2) menganalisis hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal untuk pola komunikasi; (3) menganalisis hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal untuk anak-anak independensi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode survei dengan mengumpulkan data melalui kuesioner dengan 25 orang tua tunggal yang ditentukan
dengan
memiliki
dokumen
hukum
yang
dikeluarkan
oleh
Pengadilan Agama Yogyakarta, wawancara mendalam dengan 10 orang tua tunggal. Kemudian data dianalisis secara deskriptif. Hasil ini Penelitian menunjukkan bahwa: (1) pola interaksi dan komunikasi transaksi memainkan peran dominan dalam mengubah independensi anak-anak dengan internalisasi kesadaran untuk mandiri dan memberikan anakanak beberapa pelatihan; (2) tidak ada hubungan antara faktor lingkungan dan pola komunikasi tetapi ada korelasi antara karakteristik orang tua tunggal dan pola komunikasi; (3) ada hubungan antara Faktor lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal untuk kemandirian anak-anak.
8 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kesepuluh, penelitian dengan judul “Komunikasi Interpersonal Orangtua dan Anak Dalam Membentuk Perilaku Positif Anak Pada Murid SDIT Cordova Samarinda”. Oleh Rio Ramadhani, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, mengetahui, mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana komunikasi interpersonal orang tua dan anak dalam membentuk perilaku positif anak. Rumusan permasalahan adalah Bagaimanakah komunikai interpersonal orang tua dalam membentuk perilaku positif anak pada murid SDIT Cordova Samarinda. Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan atau menjabarkan obyek yang diteliti berdasarkan fakta yang ada dilapangan. Dengan menggunakan informan sebagai sumber data, datadata yang disajikan menggunakan data melalui wawancara, buku-buku dan internet, kemudian tekhnik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis data kualitatif dengan model interktif dari Mathew B. Miles dan Michael Huberman. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa proses komunikasi antara orang tua dan anak dalam menanamkan perilaku positif berlangsung secara tatap muka dan berjalan dua arah artinya ketika orang tua mengkomunikasikan pesan-pesan yang berisi nilai-nilai positif yang akan mempengaruhi perilaku anak ke arah yang positif, dalam menanamkan perilaku positif ada hal-hal yang dapat mendukung orang tua untuk memudahkannya dalam menyampaikan pesan-pesan tentang nilai-nilai positif tersebut.
9 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Penelitian-penelitian diatas dapat digambarkan dalam tabel seperti tertera dibawah ini : Tabel 2.1 Nama Peneliti
Judul
Teori
Metode
Hasil
Kritik
Sintia Permata, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Univ. Samratulangi Manado. (2013)
Pola Komunikasi Jarak Jauh antara Orangtua dengan Anak (Studi pada mahasiswa FISIP Angkatan 2009 yang berasal dari Luar Daerah).
Devito, (2011). Komunikasi antarpribadi / interpersonal, Vroom (1964). Teori harapan dan motivasi
Metode Penelitian yang dipakai adalah metode penelitian studi kasus pendekatan kualitatif
Terdapat hambatanhambatan yang mempengaruhi pola komunikasi seperti hambatan ekonomi, waktu, profesi, dan jaringan komunikasi.
Sakinah, Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana. (2014)
Komunikasi Antar Pribadi Anak Jalanan Dalam Proses Pembentukan Konsep Diri, 2014.
Teori Looking Glass, dan Teori Interaksionisme Simbolik
Metode Penelitian yang digunakan adalah meode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif
Sri Wahyu Putri AR, Fakultas Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan. (2010)
Perilaku Memaafkan dikalangan Remaja Broken Home
Perilaku Memaafkan, McCullough (2001)
Metode Penelitian yang dipakai adalah metode penelitian studi kasus pendekatan kualitatif
Bahwa motif anakanak menjadi anak jalanan ini ada tiga: lingkungan, keluarga, dan ekonomi. Dengan adanya aktivitas positif yang berada di komunitas anak langit menjadikan anak-anak tersebut merasakan perubahan menjadi lebih baik dan sudah punya minat untuk sekolah. Konsep diri mereka pun ikut berubah dengan seiring berubahnya perilaku sosial yang mereka lakukan. Pada remaja broken home menunjukkan aspek-aspek psikologis yang terjadi pada subjek adalah secara kognitif subjek memberikan maaf tanpa ada ragu
Penelitian ini hanya fokus pada mahasiswa yang tidak tinggal satu rumah saja, seharusnya dengan mahasiswa yang tinggal satu rumah juga, sehingga pola komunikasi dapat dibandingkan. Penelitian ini tidak dapat digeneralisir kepada anak jalanan yang lain, karena penelitian ini hanya dilakukan kepada anak jalanan yang berada di komunitas anak langit.
10 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Peneltian ini hanya menjelaskan definisi-definisi memaafkan saja, seharusnya menjelaskan bagaimana interaksi dan
dendam di hati.
komunikasi mereka dengan orang lain. Partisipan dalam penelitian ini hanya satu orang, jadi penelitian ini tidak dapat mewakili orangorang yang berasal dari keluarga broken home atau tidak dapat digeneralisir. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, tidak dijelaskan metode penelitian secara spesifik.
Rudi Puspono, Fakultas Psikologi, Univertas Gunadarma. (2012)
Kreativitas Seorang Pelukis yang Berasal dari Keluarga Broken Home
Hurlock, (1992) : Tentang Faktor yang mempengaruhi kreativitas.
Metode Penelitian yang dipakai adalah metode penelitian studi kasus pendekatan kualitatif
Subjek berasal dari keluarga broken home menjadi kreatif serta menghasilkan karya seni berupa lukisan. Memiliki pribadi yang baik, intelligensinya, tinggi, pengetahuan luas, ulet & fleksibel.
Patrix Brando Rimporox, (2015)
Intensitas Komunikasi Dalam Keluarga untuk Meminimalisir Kenakalan Remaja di Desa Maumbi Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara Juvenile Deliquency (Kenakalan Remaja) pada Remaja Putra Korban Perceraian Orangtua
Bernard Barelson dan Garry A. Steinner tentang “Human Behaviour”
Metode Penelitian menggunakan pendekatan deskriptip.
Bahwa ternyata intensitas komunikasi di dalam keluarga dapat menjadi faktor yang meminimalisir terjadinya kenaklan di kalangan remaja Maumbi.
Turner & Helms (1987), tentang Juvenile delinquency (kenakalan remaja).
Metode Penelitian adalah studi kasus pendekatan kualitatif
Bahwa subjek yang memiliki orangtua yang bercerai mengalami kerinduan terhadap figur kedua orangtua. Hal ini terjadi karena subjek telah kehilangan kedua orangtua untuk panutan masa depannya.
Subjek dalam penelitian ini hanya melihat kenakalan remaja putra yang kedua orangtuanya bercerai, padahal kenakalan yang terjadi sesuai data dan fakta banyak dilakukan juga oleh remaja putri.
Komunikasi Remaja dan Orangtua tentang masalah Seksual (Studi Kasus pada Remaja Pelaku Seks
Fisher (1987) Komunikasi Remaja & Orangtua tantang masalah seksual
Metode Penelitian adalah studi kasus pendekatan kualitatif
Faktor yang mempengaruhi komunikasi tersebut yaitu kurangnya keterbukaan, respons yang kurang baik, rasa empati, penyampaian informasi yang
Penelitian ini tidak menjelaskan tentang pola komunikasi orangtua dan anak, dan partisipannya tidak dijelaskan
Sutji Prihatinningsih, Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma. (2013)
M. Teguh Karya AP, Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma. (2008)
11 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pranikah)
Hendri Gunawan, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, (2013) Y. Retnowati, A.V.S Hubeis, Hadiyanto, Staff Pengajar Ilmu Komunikasi Pembangunan, FEMA IPB, (2008)
Rio Ramadhani, Jurusan Ilmu
menarik, ketidaknyamanan saat berkomunikasi, ketidaknyamanan bahwa masalah bisa teratasi dengan berkomunikasi, sikap kasar orangtua, & kesamaan pola pikir.
Jenis Pola Komunikasi Orangtua dengan Anak Perokok Aktif di Desa Jembayan Kecamatan LOA Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara Pola Komunikasi Orangtua Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta)
Komunikasi Interpersonal, Devito (2005)
Metode Penelitian adalah studi kasus pendekatan kualitatif
Hasil penelitian maka dapat dikemukakan bahwa terdapat 3 jenis pola komunikasi pada orangtua dengan anak perokok aktif, yaitu Authoritarian, permissive, & Authoritative.
Pola Komunikasi, Devito (2005)
Metode Penelitian adalah studi kasus pendekatan kualitati
Komunikasi Interpersonal Orangtua &
Komunikasi Interpersonal, Devito (2005)
Metode Penelitian adalah studi
Penelitian menunjukkan bahwa (1) Pola interaksi & komunikasi transaksi memainkan peran demikian dalam mengubah independensi anakanak dengan internalisasi kesadaran untuk mandiri & memberikan anakanak beberapa pelatihan; (2) tidak ada hubungan antara faktor lingkungan & pola komunikasi tetapi ada korelasi antara karakteristik orangtua tunggal & pola komunikasi; (3) ada hubungan antara faktor lingkungan & karakteristik orangtua tunggal untuk kemandirian anak. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa
12 http://digilib.mercubuana.ac.id/
remaja putra atau putri, padahal kedua jenis kelamin tersebut mempengaruhi pula tentang perilaku dan komunikasi tentang seksualitas. Penelitian ini tidak dapat digeneralisasi untuk semua remaja perokok aktif, karena partisipan atau informan hanya remaja dari Desa Jembayan saja. Penelitian ini tidak menjelaskan secara spesifik tentang partisipan, berasal dari sekolah atau komunitas mana, tetapi yang tertera hanya kasus di Kota Yogyakarta saja, mengingat penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Penelitian ini tidak menjelaskan
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. (2012)
Anak Dalam Membentuk Perilaku Positif Anak Pada Murid SDIT Cordova Samarinda
kasus pendekatan kualitati
proses komunikasi antara orangtua & anak dalam menanamkan perilaku positif berlangsung secara tetap & berjalan dua arah artinya ketika orangtua mengkomunikasikan pesan-pesan yang berisi nilai-nilai positif yang akan mempengaruhi perilaku anak ke arah yang positif, dalam menanamkan perilaku positif ada hal-hal yang dapat mendukung orangtua untuk memudahkannya dalam menyampaikan pesan-pesan tentang nilai-nilai positif tersebut.
secara spesifik dan detail tentang perilaku atau nilai-nilai positif apa yang dikomuniaksikan kepada anak.
Berdasarkan tabel penelitian terdahulu diatas, penelitian yang akan dilakukan peneliti memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya tentang Komunikasi Orangtua dan Anak korban perceraian, penelitian ini hanya akan membahas pola komunikasi orangtua dan anak dalam keluarga broken home, sebagai upaya mengingatkan para orangtua ketika mereka akan memutuskan untuk bercerai harus memikirkan bagaimana dengan masa depan anak-anak mereka. Selain itu penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme yaitu Realitass dibentuk oleh pengalaman dan konstruksi sosial yang berlaku. Selain itu, realitass juga berciri lokal dan spesifik dan bentuk serta isinya bergantung pada manusia atau kelompok sosial yang memiliki konstruksi tersebut.
13 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dalam hal ini metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Dimana untuk teknik pengumpulan data terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang dianggap berpotensi dalam memberikan informasi yang relevan dan sebenarnya di lapangan. Sedangkan data sekunder menggunakan studi kepustakaan dan lietaratur. Dengan demikian penelitian ini berupaya mendeskripsikan komunikasi keluarga dengan menitikberatkan pada pola komunikasi orangtua dan anak dalam keluarga broken home. Oleh karena itu penelitian ini berupaya ingin mengetahui pola komunikasi orangtua dan anak dalam keluarga broken home. Bagaimana pola komunikasi antara orangtua dan anak ketika mereka tidak lagi tinggal satu atap dengan salah satu kedua orangtuanya ayah atau ibunya. Khususnya pada siswa-siswi SMK “X“ Kota Tangerang yang mengalami broken home dalam keluarganya. Hal ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang menjadikan penelitiannya adalah siswa dan orangtua siswa itu sendiri. Oleh karena itu penelitian ini akan terhindar dari bias yang di dapat. Dengan demikian penelitian ini akan menghasilkan analisis yang lebih objektif. Sejalan dengan hal tersebut untuk para narasumber atau informan dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMK “ X “ Kota Tangerang yang mengalami broken home atau perceraian kedua orangtuanya. Dengan demikian, pemikiran yang ada merupakan sebuah bentuk penilaian berdasarkan pengamatan nyata, bukan hanya sekedar imajinasi belaka. Akhirnya penelitian yang ada merupakan cerminan dari pengetahuan dan
14 http://digilib.mercubuana.ac.id/
pengalaman yang telah dilaluinya ketika berhubungan dengan pola komunikasi orangtua dan anak dalam keluarga broken home tersebut. Hal inilah yang menjadi dasar pembeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
2.2. KAJIAN TEORITIS 2.2.1. Komunikasi Interpersonal Menurut
Joseph
A.Devito
dalam
bukunya
The
Interpersonal
Communication Book (Devito, 1989:4), komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (the process of sending and receiving messages between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate feedback). Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang dilakukan antara seseorang dengan orang lain dalam suatu masyarakat maupun organisasi (bisnis dan non-bisnis), dengan menggunakan media komunikasi tertentu dan bahasa yang mudah dipahami (informal) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Berdasarkan pengertian ini, ada 4 hal penting yang harus diperhatikan, sebagai berikut : a. Komunikasi dilakukan oleh dua orang atau lebih. b. Menggunakan media tertentu, misalnya telepon seluler atau bertatap muka (face to face). c. Bahasa yang digunakan bersifat informal (tidak baku), dapat menggunakan
15 http://digilib.mercubuana.ac.id/
bahasa daerah, bahasa pergaulan atau bahasa campuran.
Dalam buku Komunikasi Antarpribadi, Alo Liliweri mengutip pendapat Joseph A.Devito mengenai ciri komunikasi antarpribadi yang efektif, yaitu: a. Keterbukaan (openness) Kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi. Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada komunikannya. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya. Memang ini mungkin menarik, tetapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebalikanya, harus ada kesediaan untuk
membuka
diri
mengungkapkan
informasi
yang
biasanya
disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut dan wajar. Aspek kedua mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan komunikan yang menjemukan. Bila ingin komunikan bereaksi terhadap apa yang komunikator ucapkan, komunikator dapat memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain. Aspek ketiga menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran dimana komunikator mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang diungkapkannya adalah miliknya dan ia bertanggung jawab atasnya.
16 http://digilib.mercubuana.ac.id/
b.
Empati (empathy) Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Berbeda dengan simpati yang artinya adalah merasakan bagi orang lain. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang sehingga dapat mengkomunikasikan empati, baik secara verbal maupun non-verbal.
c.
Dukungan (supportiveness) Situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif. Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung. Individu memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap deskriptif bukan evaluatif, spontan bukan strategik.
d.
Rasa Positif (positiveness) Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.
e.
Kesetaraan (equality) Komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk
disumbangkan.
Kesetaraan
meminta
kita
untuk
memberikan
penghargaan positif tak bersyarat kepada individu lain. (Liliweri, 1991: 13)
17 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tujuan yang ingin dicapai dapat bersifat personal bila komunikasi terjadi dalam suatu masyarakat dan pelaksanaan tugas pekerjaan bila komunikasi terjadi dalam suatu organissasi. Pada hakikatnya komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam hal mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang, karena sifatnya
yang
dialogis
berupa
percakapan
dan
arus
balik
bersifat
langsung.Komunikator mengetahui pasti apakah komunikasi itu positif atau negative, berhasil atau tidak. Jika tidak, ia dapat memberikan kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.
2.2.2. Teori Coordinated Management of Meaning Pearce dan Cronen (Griffin: 2006) mengembangkan teori Coordinated Management Of Meaning atau Manajemen Koordinasi Makna (CMM). Teori ini dikembangkan berdasarkan pandangan mereka yang menganggap bahwa persons in conversations co-construct their own social realities and are simultaneously shaped by the world they create. Pearce dan Cronen menghadirkan CMM sebagai teori praktis untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik dan berguna untuk memahami serta bertindak lebih efektif dalam situasi komunikasi yang lebih luas. Oleh karena itu teori CMM banyak digunakan dalam proses mediasi, terapi keluarga, proyek masyarakat dan sebagainya. Para pengguna CMM berasumsi bahwa lingkungan atau dunia sosial bukanlah sesuatu yang ditemukan begitu saja melainkan sesuatu yang diciptakan
18 http://digilib.mercubuana.ac.id/
atau dikonstruksi, oleh karena itu mereka menganggap diri mereka sebagai social constructionsits. Selain itu mereka juga berpegangan pada beberapa prinsip yaitu : 1.
Keterlibatan seseorang dalam sebuah percakapan adalah proses utama dalam kehidupan manusia. Pearce mengatakan bahwa konsep dasar ini dimunculkan untuk menyikapi pandangan bahwa komunikasi bukan sekedar aktivitas atau alat bagi seseorang untuk mencapai tujuannya melainkan untuk membentuk siapa diri mereka dan menciptakan hubungan di antara mereka.
2.
Cara seseorang berkomunikasi sering lebih penting dari pada isi pembicaraannya. Seringkali cara seseorang berkomunikasi berperan besar dalam proses konstruksi sosial. Dalam hal ini, Pearce mengatakan bahwa “bahasa” adalah alat yang paling powerful dalam penciptaan dunia sosial.
3.
Perilaku seseorang dalam percakapan secara refleks direproduksi selama interaksi berlangsung. Refleks dipahami dalam arti bahwa setiap apa yang kita lakukan akan berbalik dan mempengaruhi kita.
4.
Sebagai konstruksi sosial, peneliti CMM melihat diri mereka sebagai partisipan yang penuh rasa igin tahu dalam dunia pluralistik. Mereka ingin tahu karena mereka berfikir bahwa mengharapkan kepastian dari perilaku individu dalam kondisi yang selalu berubah adalah hal yang konyol. Mereka adalah partisipan dalam dunia plural. Para penemu teori CMM membedakan antara setories lived dan sotries
told. Stories lived adalah perilaku yang terkonstruksi yang kita jalani bersama orang lain. Sedangkan stories told adalah kata-kata naratif yang kita gunakan untuk memahami stories lived. Dalam hal ini koordinasi berperan pada saat
19 http://digilib.mercubuana.ac.id/
menyesuaikan stories lived kita dengan sotries lived orang lain untuk membuat hidup menjadi lebih baik. Sebagai ahli teori praktis, mereka ingin membantu orang-orang
untuk
menginterpretasikan
apa
yang
dikatakan
dan
mengkoordinasikan apa yang mereka lakukan sehingga lingkungan sosial yang mereka ciptakan bisa mereka jalani dan bisa bertahan di dalamnya. Pearce dan Cronen menghadirkan beberapa konsep dan model untuk membantu seseorang menggambarkan apa yang terjadi dalam sebuah percakapan yaitu, hierarchy model of meaning dan the seprentine model. Jika menggunakan herarchy model of meaning apapun yang dikatakan oleh
komunikator akan
masuk akal apabila 4 konteks sudah dipahami, yaitu episode, relationship, identity, dan culture. kunci untuk melakukan interpretasi adalah dengan melihat konteks mana yang mendominasi percakapan tersebut. Coordination mengacu pada proses dimana orang-orang berkolaborasi dalam suatu usaha untuk menyamakan visi mereka tentang apa yang dianggap, penting, mulia dan baik serta menghindari perbuatan yang ditakuti, dibenci, atau dicela. Untuk bisa memadukan stories lived orang tidak selalu harus koheren dengan orang lain, mereka hanya perlu menetapkan keputusan untuk mengkoordinasikan perilaku mereka. Penemu teori Coordinated Management of Meaning (CMM) mengatakan bahwa teori komunikasi ini dapat menghadirkan dunia sosial dengan penuh perdamaian, kegembiraan, kehormatan dan cinta. Salah satu cara yang digunakan untuk berbicara dengan orang lain adalah dengan menggunakan komunikasi
20 http://digilib.mercubuana.ac.id/
dialogi. Komunikasi dialogis dilapangan sebagai sebuah cara untuk menjelaskan bagaimana orang-orang dalam pembicaraan dapat mencapai the meshing of stories lived. Hal ini terlihat ketika individual yang sedang berkomunikasi dengan nyaman padahal mreka memiliki latar belakanga budaya yang sangat berbeda, memiliki perbedaan nilai, serta memiliki kepercayaan yang berbeda. Seluruh Dunia adalah Sebuah Panggung. Hidup ini diibaratkan sebagai “teater tanpa sutradara”. Manusia di dalam teater (hidup) tersebut berperan sebagai aktor-aktor yang mengikuti semacam perilaku dramatis. Drama yang dimainkan adalah realitas hidup mereka. Sehingga, manusia dalam hidupnya secara tidak sadar seakan-akan menyutradarai hidupnya sendiri bagai sebuah teater disamping mereka menjadi aktor utama dalam hidupnya tersebut. Dan kemudian
mereka
memaknai
drama
yang
dimainkan
tersebut
dengan
mengkoordinasikan makna yang dimiliki masing-masing individu menjadi makna yang sama merujuk pada naskah drama yang dimainkan. Peneliti berasumsi bahwa teori CMM ini relevan jika digunakan digunakan dalam penelitian tesis ini, teori ini melengkapi dari teori penetrasi sosial, karena teori ini mengatakan bahwa individu membentuk realitasnya sosial mereka sendiri melalui naskah-naskah yang telah dibuat oleh masing-masing individu kaitanya adalah orangtua memiliki naskah percakapan yang harus mereka sampaikan kepada anak mereka, demikian juga anak memiliki naskah untuk disampaikan kepada kedua orangtua mereka, agar naskah atau pesan yang mereka sampaikan sesuai tujuan yang mereka inginkan, sehingga di setiap pesan yang disampaikan terdapat makna yang mereka interpretasikan sendiri.
21 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Teori koordinasi manajemen makna, diharapkan dapat membantu dalam penelitian tesis ini, sehingga teori ini dapat mengungkap komunikasi yang dialami oleh orangtua dan anak yang mengalami broken home, karena komunikasi yang terjadi mungkin berbeda dengan komunikasi orangtua dan anak yang rumah tangga mereka harmonis, tentunya ini adalah penelitian yang menarik bagi peneliti untuk mengetahui bagaimana komunikasi diantara mereka, karena anakanak mereka hanya tinggal satu rumah dengan salah satu dari kedua orangtunya pasca perceraian yang terjadi.
2.2.3. Pola Komunikasi Pengertian Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan cara yang tepat, sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Djamarah, 2004). Dimensi pola komunikasi terdiri dari dua macam, yaitu pola yang berorientasi pada konsep dan pola yang berorientasi pada sosial yang mempunyai arah hubungan yang berlainan (Soenarto, 2006). Pola komunikasi akan terbentuk, jika proses komunikasi antar pribadi terjadi, tentunya dengan menggunanakan teori sosial penetrasi dan teori koordinasi manajemen makna, karena kedua teori ini sangat relevan untuk menciptkan bentuk pola komunikasi itu sendiri, terutama pola komunikasi yang berkaitan dengan judul penelitian tesis ini. Pola komunikasi merupakan suatu sistem penyampaian pesan melalui lambang tertentu, mengandung arti, dan pengoperan perangsang untuk mengubah
22 http://digilib.mercubuana.ac.id/
tingkah laku individu lain. Pola komunikasi dapat dipahami sebagai pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Djamarah, 2004:1). Pola Komunikasi terdiri atas beberapa macam yaitu : 1.
Pola Komunikasi satu arah adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan baik menggunakan media maupun tanpa media, tanpa ada umpan balik dari komunikan dalam hal ini komunikan bertindak sebagai pendengar saja.
2.
Pola Komunikasi dua arah atau timbal balik (Two way traffic communication) yaitu komunikator dan komunikan menjadi saling tukar fungsi dalam menjalani fungsi mereka, komunikator pada tahap pertama menjadi komunikan dan pada tahap berikutnya saling bergantian fungsi. Namun pada hakekatnya
yang
memulai
percakapan
adalah
komunikator
utama,
komunikator utama mempunyai tujuan tertentu melalui proses komunikasi tersebut, Prosesnya dialogis, serta umpan balik terjadi secara langsung (Siahaan, 1991 : 57). 3.
Pola komunikasi multi arah yaitu proses komunikasi terjadi dalam satu kelompok yang lebih banyak di mana komunikator dan komunikan akan saling bertukar pikiran secara dialogis. Komunikasi adalah salah satu bagian dari hubungan antar manusia baik
individu maupun kelompok dalam kehidupan sehari-hari (Effendy, 2003: 141)
23 http://digilib.mercubuana.ac.id/
dari pengertian ini jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang dimana seorang menyatakan sesuatu kepada orang lain, jadi yag terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia itu sendiri. Tubbs dan Moss mengatakan bahwa pola komunikasi atau hubungan itu dapat diciptakan oleh komplementaris atau simetri. Dalam hubunngan komplementer, satu bentuk perilaku akan diikuti oleh lawannya. Contohnya perilaku dominan dari satu partisipan mendatangkan perilaku tunduk dan lainnya. Dalam simetri, tingkatan sejauh mana orang berinteraksi atas dasar kesamaan. Dominasi bertemu dengan dominasi, atau kepatuhan dengan kepatuhan (Tubbs dan Moss, 2001). Disini kita mulai melibatkan bagaimana proses interaksi menciptakan struktur system. Bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang mereka miliki. Pola komunikasi adalah suatu gambaran yang sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya (Soejanto, 2001). Pola Komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman, dan penerimaan cara yang tepatsehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengriman dan penerimaan pesan yang mengaitkan dua komponen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah pada suatu aktifitas, dengan komponen-komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan komunikasi antar
24 http://digilib.mercubuana.ac.id/
manusia atau kelompok dan organisasi. Pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses mengkaitkan dua komponen yaitu gambaran atau rencana yang menjadi langkah – langkah pada suatu aktifitas dengan komponen – komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan antar organisasi ataupun juga manusia.
2.2.4. Pola Komunikasi Keluarga Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial, dalam interaksi dengan kelompoknya. (Kurniadi, 2001: 271). Dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina, sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan. Keluarga merupakan kelompok primer paling penting dalam masyarakat,
yang terbentuk dari
hubungan laki-laki dan perempuan, perhubungan ini yang paling sedikit berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. (Murdok 1949 dikutip oleh Dloyana, 1995: 11). Menurut Rae Sedwig (1985), Komunikasi Keluarga adalah suatu pengorganisasian yang menggunakan kata-kata, sikap tubuh (gesture), intonasi suara, tindakan untuk menciptakan harapan image, ungkapan perasaan serta saling membagi pengertian (Dikutip dari Achdiat, 1997: 30)
25 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dilihat dari pengertian di atas bahwa kata-kata, sikap tubuh, intonasi suara dan tindakan, mengandung maksud mengajarkan, mempengaruhi dan memberikan pengertian. Sedangkan tujuan pokok dari komunikasi ini adalah memprakarsai dan memelihara interaksi antara satu anggota dengan anggota lainnya sehingga tercipta komunikasi yang efektif. Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai kesiapan membicarakan
dengan
terbuka
setiap
hal
dalam
keluarga
baik
yang
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, juga siap menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam kesabaran dan kejujuran serta keterbukaan (Friendly: 2002; 1) Terlihat dengan jelas bahwa dalam keluarga adalah pasti membicarakan hal-hal yang terjadi pada setiap individu, komunikasi yang dijalin merupakan komunikasi yang dapat memberikan suatu hal yang dapat diberikan kepada setiap anggota keluarga lainnya. Dengan adanya komunikasi, permasalahan yang terjadi diantara anggota keluarga dapat dibicarakan dengan mengambil solusi terbaik. Bentuk-bentuk Pola Komunikasi dalam Keluarga Pola komunikasi keluarga merupakan salah satu faktor yang penting, karena keluarga merupakan lembaga sosial pertama yang dikenal anak selama proses sosialisasinya. Menurut Devito (1986 : 157) ada empat pola komunikasi keluarga yang umum pada keluarga inti komunikasi keluarga yang terdiri dari pola persamaan, pola seimbang-terpisah, pola tak seimbang-terpisah, pola dominasi.
26 http://digilib.mercubuana.ac.id/
1.
Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern) Pola individu berbagi hak yang sama dalam kesempatan berkomunikasi.
Peran tiap orang dijalankan secara merata. Komunikasi berjalan dengan jujur, terbuka, langsung, dan bebas dari pembagian kekuasaan. Semua orang memiliki hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan. Keluarga mendapatkan kepuasan tertinggi bila ada kesetaraan. 2.
Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern) Kesetaraan hubungan tetap terjaga, namun dalam pola ini tiap orang
memiliki daerah kekuasaan yang berbeda dari yang lainnya. Tiap orang dilihat sebagai ahli dalam bidang yang berbeda. Sebagai contoh, dalam keluarga normal / tradisional, suami dipercaya dalam urusan bisnis atau politik. Istri dipercaya untuk urusan perawatan anak dan memasak. Namun pembagian peran berdasarkan jenis kelamin ini masih bersifat fleksibel. Konflik yang terjadi dalam keluarga tidak dipandang sebagai ancaman karena tiap individu memiliki area masing-masing dan keahlian sendiri-sendiri. 3.
Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern) Satu orang mendominasi, satu orang dianggap sebagai ahli lebih dari yang
lainnya. Satu orang inilah yang memegang kontrol, seseorang ini biasanya memiliki kecerdasan intelektual lebih tinggi, lebih bijaksana, atau berpenghasilan lebih tinggi. Anggota keluarga yang lain berkompensasi dengan cara tunduk pada seseorang
tersebut,
membiarkan
orang
yang
mendominasi
memenangkan argumen dan pengambilan keputusan sendiri.
27 http://digilib.mercubuana.ac.id/
itu
untuk
4.
Pola Komunikasi Dominasi Satu orang dipandang sebagai pemegang kekuasaan. Satu orang ini lebih
bersifat memberi perintah dari pada berkomunikasi. la memiliki hak penuh untuk mengambil keputusan sehingga jarang atau tidak pernah bertanya atau meminta pendapat dari orang lain. Pemegang kuasa memerintahkan kepada yang lain apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Maka anggota keluarga yang lainnya meminta izin, meminta pendapat, dan membuat keputusan berdasarkan keputusan dari orang tersebut. Pembedaan pola komunikasi ini menggambarkan pembagian peran dan kedudukan masing-masing individu dalam sebuah keluarga. pola komunikasi keluarga turut berperan dalam penerimaan pesan dan umpan balik yang terjadi antar anggota keluarga. Sebagai contoh dalam pola komunikasi dominasi, hanya satu orang yang berhak mengambil keputusan dalam keluarga. Hal ini menyebabkan anggota keluarga yang lain tidak berhak menyuarakan pendapat atau turut berperan dalam pengambilan keputusan, yang mengakibatkan komunikasi keluarga cenderung menjadi komunikasi satu arah saja. Demikian juga dalam penanaman dan pengembangan nilai-nilai yang ditanamkan oleh pemegang kekuasaan mutlak diikuti oleh anggota keluarga yang lainnya karena komunikasi yang berlangsung hanya bersifat instruksi atau suruhan. Keluarga sangat besar peranannya dalam mengajarkan, membimbing, menentukan perilaku, dan membentuk cara pandang anak terhadap nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Keluarga layaknya memberikan penanaman nilai-nilai
28 http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang dibutuhkan anak melalui suatu pola komunikasi yang sesuai sehingga komunikasi berjalan dengan baik, tercipta hubungan yang harmonis, serta pesan dan nilai-nilai yang ingin disampaikan dapat diterima dan diamalkan dengan baik.
2.2.5. Remaja Monks dkk. (2001), mengemukakan bahwa remaja berada pada kisaran umur 12-21 tahun, yang terbagi dalam tiga kelompok umur, yakni remaja awal pada kisaran umur 12-15 tahun, remaja tengah pada kisaran 15-18 tahun, dan remaja akhir pada kisaran 18-21 tahun. Tiap-tiap kelompok umur tersebut memiliki kriteria perkembangan yang unik dan berbeda. Masa remaja akan berakhir ketika telah terjadi kematangan pada aspek fisik, psikis, dan sosial. Menurut Mappiare (1982) yang dikutip Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir. Menurut hukum di Amerika Serikat saat ini, individu dianggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 18 tahun, dan bukan 21 tahun seperti ketentuan sebelumnya (Hurlock, 1991). Pada usia ini, umunya anak sedang duduk di bangku sekolah menengah. Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber
29 http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mancakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1991). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1991) yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya barada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih atau kurang dari usia pubertas. Remaja juga sedang mengalami perkembangan pesat dalm aspek intelektual. Transformasi intelektual dari cara berpikir remaja ini memungkinkan mereka tidak hanya mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam masayarakat dewasa, tapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua periode ;perkembangan (Shaw dan Costanzo, 1985). Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Remaja ada di anatara anak dan orang dewasa. Oleh karen itu, remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai”. Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya (Monks dkk., 1989). Namun, perlu di tekankan di sisni adalah bahwa fase remaja merupakan
30 http://digilib.mercubuana.ac.id/
fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik. Perkembangan intelektual yang terus – menerus menyebabkan remaja mencapai tahap berpikir operasional formal. Tahap ini memungkinkan remaja mampu berpikir secara lebih abstrak, menguji hipotesis, dan mempertimbangkan apa saja peluang yang ada padanya daripada sekadar melihat apa adanya. Kemampuan intelektual seperti ini yang membedakan fase remaja dari fase-fase sebelumnya (Shaw dan Costanzo, 1985). Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan masa remaja, menurut Hrlock (1991) adalah berusaha : 1.
Mampu menerima keadaan fisiknya;
2.
Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa;
3.
Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis
4.
Mencapai kemandirian emosional
5.
Mencapai kemandirian ekonomi;
6.
Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masayarakat;
7.
Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan oran tua;
8.
Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa;
31 http://digilib.mercubuana.ac.id/
9.
Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan;
10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan perkembangan
kognitifnya,
yaitu
fase
operasional
formal.
Kematangan
pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembngannya itu dengan baik. Agar dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan, diperlukan kemampuan kreatif remaja. Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai oleh perkembangan kognitifnya.
2.2.6. Broken Home Broken Home itu adalah sebuah fenomena yang terjadi pada remaja karena kurangnya perhatian, kasih sayang, pendidikan, dan pelatihan mental dari orangtua nya sehingga menimbulkan pribadi yang dinilai kurang baik karena sedikit menyimpang dari norma dan aturan yang ada, seperti itulah Broken Home menurut peneliti. Menurut para ahli, beberapa faktor penyebab timbulnya broken home adalah sebagai berikut: 1. Terjadinya perceraian 2. Ketidak dewasaan sikap orang tua 3. Orang tua yang kurang memiliki rasa tanggung jawab 4. Jauh dari Tuhan 5. Adanya masalah ekonomi
32 http://digilib.mercubuana.ac.id/
6. Kehilangan kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak 7. Adanya masalah pendidikan Menurut Hather Sall (dalam Elida Prayitno 2006 : 96) “Emosi merupakan situasi psikologi yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh”. Perceraian adalah suatu hal yang harus dihindarkan, agar emosi anak tidak menjadi terganggu. Perceraian adalah suatu penderitaan atau pengalaman traumatis bagi anak (Singgih,1995:166). Adapun dampak pandangan kelurga broken home terhadap perkembangan emosi remaja menurut Wilson Madeah (1993 : 42) adalah : Perceraian orang tua membuat terpramen anak terpengaruh, pengaruh yang tampak secara jelas dalam perkembangan emosi itu membuat anak menjadi pemurung, pemalas (menjadi agresif) yang ingin mencari perhatian orang tua / orang lain. Mencari jati diri dalam suasana rumah tangga yang tumpang dan kurang serasi Sedangkan menurut Hetherington (Save M.Degum 1999:197) “Peristiwa perceraian itu menimbulkan ketidak stabilan emosi”. Ketidak berartian pada diri remaja akan mudah timbul jika peristiwa perceraian dialami oleh kedua orang tuanya, sehingga dalam menjalani kehidupan Anak merasa bahwa dirinya adalah pihak yang tidak diharapkan dalam kehidupan ini. (Alex Sobur, 1985:282). Anak yang kebutuhannya kurang dipenuhi oleh orang tua emosi marahnya akan mudah terpancing. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (didalam Elida
33 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Priyitno. 2006 : 74) “Hubungan antara kedua orang tua yang kurang harmonis terabaikannya kebutuhan remaja akan menampakkan emosi marah”. Jadi keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan emosi Anak karena keluarga yang tidak harmonis menyebabkan dalam diri anak merasa tidak nyaman dan kurang bahagia.
34 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bagan Kerangka Pemikiran
35 http://digilib.mercubuana.ac.id/