BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1
Petani Menurut Rodjak (2006), petani sebagai unsur usaha tani memegang peranan
yang penting dalam pemeliharaan tanaman atau ternak agar dapat tumbuh dengan baik, ia berperan sebagai pengelola usaha tani. Petani sebagai pengelola usaha tani berarti ia harus mengambil berbagai keputusan di dalam memanfaatkan lahan yang dimiliki atau disewa dari petani lainnya untuk kesejahteraan hidup keluarganya. Petani yang dimaksud dalam hal ini adalah orang yang bercocok tanam hasil bumi atau memelihara ternak dengan tujuan untuk memperoleh kehidupan dari kegiatan itu. Apabila ada orang yang mengaku petani yang menyimpang dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bukan petani. Dilihat dari hubungannya dengan lahan yang diusahakan maka petani dapat dibedakan atas : 1) Petani pemilik penggarap ialah petani yang memiliki lahan usaha sendiri serta lahannya tersebut diusahakan atau digarap sendiri dan status lahannya disebut lahan milik. 2) Petani penyewa ialah petani yang menggarap tanah orang lain atau petani lain dengan status sewa. Alasan pemilik lahan menyewakan lahan miliknya karena membutuhkan uang tunai dalam jumlah yang cukup besar dalam waktu singkat, atau lahan yang dimilikinya itu terlalu jauh dari
8
9
tempat tinggalnya. Besarnya nilai sewa lahan biasanya ada hubungan dengan tingkat produktivitas lahan usaha yang bersangkutan, makin tinggi produktivitas lahan tersebut makin tinggi pula nilai sewanya. Namun, dalam prakteknya nilai sewa lahan usaha tani sawah berkisar antara 50 – 60% dari produktivitasnya, misalnya apabila per hektar hasilnya sebesar 1 – 1,2 ton gabah kering per tahun, maka nilai sewanya harus senilai gabah tersebut pada waktu terjadi transaksi. Lamanya waktu sewa biasanya minimal satu tahun untuk selanjutnya dapat diperpanjang kembali sesuai dengan perjanjian antara pemilik tanah dan penyewa. 3) Petani penyakap (penggarap) ialah petani yang menggarap tanah milik petani lain dengan sistem bagi hasil. Produksi yang diberikan penyakap kepada pemilik tanah ada yang setengahnya atau sepertiga dari hasil padi yang diperoleh dari hasil lahan digarapnya. Biaya produksi usaha tani dalam sistem sakap ada yang dibagi dua dan ada pula yang seluruhnya ditanggung penyakap, kecuali pajak tanah dibayar oleh pemilik tanah. 4) Petani penggadai adalah petani yang menggarap lahan usaha tani orang lain dengan sistem gadai. Adanya petani yang menggadaikan lahan miliknya, karena petani pemilik lahan tersebut membutuhkan uang tunai yang cukup besar dalam waktu mendesak, tanah miliknya tersebut tidak mau pindah ke tangan orang lain secara mutlak. Namun, adanya hak gadai tersebut secara berangsur-angsur pindah haknya menjadi milik penggadai. Hal ini terjadi apabila uang gadai yang pertama tidak dapat dikembalikan
10
pada waktu yang telah ditetapkan atau uang gadainya terlalu besar, sehingga tidak mungkin lagi untuk dikembalikan. Dalam keadaan demikian biasanya penggadai menambah uang gadainya sesuai dengan nilai atau harga tanah pada saat masa gadainya berakhir. Menurut UndangUndang Pokok Bagi Hasil (UUPBH, 1960) dalam suatu pasalnya tercantum bahwa apabila masa gadai telah melewati tujuh tahun, secara otomatis penggadai harus menyerahkan kembali tanah yang digadai kepada pemiliknya tanpa meminta uang gadaiannya. Besarnya uang gadai per tahun untuk luas lahan tertentu tidak ada ketentuan yang pasti, tetapi bergantung kepada si pemilik tanah berapa besar yang diperlukannya. Lamanya masa gadai tergantung pada kesanggupan yang menggadaikan lahan biasanya yang menentukan masa gadai itu adalah penggadai sendiri. 5) Buruh tani ialah petani pemilik lahan atau tidak memiliki lahan usaha tani sendiri yang biasa bekerja di lahan usaha tani petani pemilik atau penyewa dengan mendapat upah, berupa uang atau barang hasil usaha tani, seperti beras atau makanan lainnya. Hubungan kerja di dalam usaha tani tidak diatur oleh suatu perundang-undangan perburuhan sehingga sifat hubungannya bebas sehingga kontinyuitas kerja bagi buruh tani yang bersangkutan tidak terjamin. Dewasa ini mungkin tidak ada lagi petani yang subsisten penuh atau komersial penuh, sekarang sebagian besar kelompok tani pada tahap semi komersial (Johnson, 1981). Petani dalam usaha agribisnis mempunyai dua peranan ganda yaitu :
11
1. Sebagai produsen komoditas agribisnis. Petani berfungsi sebagai penghasil produk agribisnis yang berupa tanaman, ikan, ternak, serat-seratan dan kayu untuk memenuhi keluarganya maupun untuk pasar (domestik dan pasar ekspor). 2. Sebagai konsumen. Petani akan membutuhkan komoditas yang tidak dihasilkannya terutama hasil industri yang bahan bakunya dari produk pertanian dan juga dari hasil pertanian sendiri. Menurut Egbert de Vries (1985) dalam Ilham (2007) kondisi empiris mengenai petani dan sektor pertanian akan lebih dipahami oleh petani sendiri dibandingkan orang luar. Oleh karena itu, untuk menganalisis profil petani dan persoalannya harus dilihat dari sudut pandang petani sendiri. Petani beserta keluarganya, usahanya, tenaga kerjanya, konsumsinya, hartanya dan hutangnya, rencana-rencananya, harapan dan kekhawatirannya yang memberikan arah dan karakteristik kepada sistem pertanian saat ini. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi dari petani dan lingkungannya. Data dan informasi yang dikumpulkan berkaitan dengan aspek ekonomi dan yang tidak berkaitan dengan variabel ekonomi, yaitu variabel sosial dan budaya seperti keamanan, kenyamanan, kejayaan dan kasih sayang menurut Stevens dan Jabar (1988) dalam Ilham (2007). Kajian perlu dilakukan lebih mendalam yang berkaitan juga dengan peubah sosial budaya karena keragaman pertanian yang cukup tinggi. Jenis komoditas yang diusahakan petani
12
dapat memengaruhi profil petani yang meliputi aspek demografi, penguasaan aset, ketenagakerjaan, teknologi dan kelembagaan. Aspek demografi yang dapat digunakan untuk melihat profil petani adalah usia, pendidikan, asal daerah dan lama tinggal penduduk di suatu daerah. Aspek penguasaan aset yang bisa dikaji dalam melihat profil petani yaitu dilihat dari luas lahan dan kepemilikan lahan. Aspek lainnya yang memengaruhi profil petani adalah ketenagakerjaan yang dapat dilihat dari sisi lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan yang tersedia dan menyerap tenaga kerja atau dengan kata lain penduduk yang berusaha di bidang (sektor), terbagi menjadi sembilan sektor lapangan pekerjaan yaitu Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri, Listrik Gas dan Air, Konstruksi, Perdagangan, Transportasi dan Komunikasi, Lembaga Keuangan dan Jasa. 2.1.2
Motivasi Pada hakikatnya sekarang semua orang baik orang awam dan para pelajar atau
mahasiswa mempunyai definisi masing-masing mengenai motivasi. Secara teknis istilah motivasi dapat diketemukan pada istilah latin movere yang artinya menggerakkan menurut Moekijat (1990) dalam Dewandini (2010). Istilah motivasi, seperti halnya kata emosi, berasal dari bahasa latin, yang berarti bergerak. Mempelajari motivasi, sasarannya adalah mempelajari penyebab atau alasan yang membuat kita melakukan apa yang kita lakukan. Menurut Winardi (2004), motivasi adalah suatu kekuatan potensial yang ada di dalam diri seorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri atau
13
dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya berkisar sekitar imbalan moneter dan imbalan non moneter, yang dapat memengaruhi hasil kinerjanya secara positif atau secara negatif, tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang yang bersangkutan. Proses motivasi terdiri dari : identifikasi atau apresiasi kebutuhan yang tidak memuaskan, menetapkan tujuan yang dapat memenuhi kepuasan dan menyelesaikan suatu tindakan yang dapat memberikan kepuasan (Johannsen dan Terry dalam Winardi, 2004). Motivasi dapat terjadi dan timbul dari dalam. Rangsangan dari luar mempengaruhi motivasi seseorang terhadap motivasi dan dorongan untuk bertindak mencerminkan seseorang terhadap rangsangan dari: tujuan-tujuan pribadi (bersifat materi dan psikologis) dan teori pengharapan (Maulana, 1992 dalam Winardi, 2004). Mardikanto dalam Winardi (2004), menyatakan bahwa motivasi dipengaruhi oleh status sosial ekonomi petani dan persepsi petani terhadap inovasi. Menurut Rogers dalam Winardi (2004), parameter dalam pengukuran status sosial ekonomi adalah kasta, umur, pendidikan, status perkawinan, aspirasi pendidikan, partisipasi sosial, hubungan organisasi pembangunan, pemilikan lahan, pemilikan sarana pertanian serta penghasilan sebelumnya. Melly G. Ten dalam Wianrdi (2004), status sosial ekonomi seseorang itu diukur lewat pekerjaan, pendidikan dan pendapatan. Konsep kedudukan status sosial ekonomi seperti dalam pengetahuan masyarakat sudah lumrah mencakup tingkat pendidikan, faktor pekerjaan, dan penghasilan. Umur responden dapat mempengaruhi kecepatan petani dalam menerapkan teknologi budidaya tanaman pertanian. Petani yang berusia lanjut tidak mempunyai
14
gairah lagi untuk mengembangkan usahataninya. Sedangkan pada umur muda dan dewasa petani berada pada kondisi ideal untuk melakukan perubahan dalam membudidayakan tanaman pertanian. Hal ini dikarenakan pada usia muda petani mempunyai harapan akan usahataninya. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir yang sistematis dalam menganalisis suatu masalah. Kemampuan petani menganalisis situasi ini diperlukan dalam memilih komoditas pertanian. Petani yang mempunyai tingkat pendapatan lebih tinggi akan mempunyai kesempatan yang lebih untuk memilih tanaman daripada yang berpendapatan rendah. Bagi petani yang mempunyai pendapatan yang kecil tentu tidak berani mengambil resiko karena keterbatasan modal (Yatno, et all, dalam Winardi, 2004). Menurut Moekijat dalam Winardi (2004), ada dua pengaruh yang paling penting pada proses motivasi yaitu pengaruh dari diri sendiri berupa memahami diri sendiri, bayangan dan ide-ide yang dimiliki. Pengaruh penting lainnya dalam proses motivasi adalah bagaimana individu-individu melihat lingkungan dimana mereka berada. Pengaruh lingkungan berupa interaksi atau hubungan individu dan lingkungannya. Menurut Yatno, et all, dalam Winardi (2004) motivasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi petani responden. Faktor-faktor sosial ekonomi petani dalam penelitiannya terdiri dari umur, tingkat pendidikan, pendapatan rumah tangga, dan tingkat kosmopolitan. Terdapat hubungan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95% antara umur dengan tingkat motivasi ekonomi, artinya semakin bertambahnya umur seseorang maka semakin tinggi tingkat motivasi ekonomi
15
seseorang. Antara tingkat pendidikan dengan tingkat motivasi ekonomi terdapat hubungan yang nyata pada taraf kepercayaan 95%. Antara tingkat pendapatan dengan motivasi ekonomi mempunyai hubungan yang nyata, maksudnya semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka semakin tinggi pula motivasi ekonominya. Menurut Wicaksono dalam Winardi (2004), keberadaan motivasi tidak dapat dipisahkan dengan faktor yang mempengaruhinya. Terdapat hubungan yang nyata antara pendidikan formal dan pendidikan non formal dengan motivasinya. Sedangkan menurut Yusnidar dalam Winardi (2004), terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik pribadi, lingkungan ekonomi dengan motivasi kebutuhan ekonomi dan sosiologis. Menurut Maslow (1994), seseorang berperilaku atau bekerja karena adanya dorongan untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan. Maslow berpendapat, bahwa kebutuhan manusia berjenjang, artinya bila kebutuhan yang pertama telah terpenuhi maka kebutuhan tingkat kedua akan menjadi yang utama. Selanjutnya jika kebutuhan kedua telah terpenuhi maka muncul kebutuhan ketiga tingkat ketiga dan seterusnya sampai pada tingkat kebutuhan kelima. Manusia mempunyai sejumlah kebutuhan beraneka ragam yang pada hakekatnya sama. Kebutuhan manusia diklasifikasikan pada lima tingkatannya atau hierarki (hierarchy of needs) yaitu: a) Kebutuhan fisik (physiological needs), adalah kebutuhan biologis yang langsung berhubungan dengan kelangsungan hidup, seperti kebutuhan akan rasa lapar, rasa haus, sex, perumahan, dan sebagainya.
16
b) Kebutuhan akan rasa aman (safety needs), adalah kebutuhan keselamatan, perlindungan dari bahaya, ancaman dan perampasan atau pemecatan dari pekerjaan. c) Kebutuhan sosial (social needs), adalah kebutuhan akan rasa cinta, kepuasan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, kepuasan, dan perasaan memiliki serta diterima dalam suatu masyarakat dan diterima dalam suatu kelompok, rasa kekeluargaan, persahabatan, dan kasih sayang. d) Kebutuhan penghargaan (appreciation needs), adalah kebutuhan akan status atau kedudukan, kehormatan diri, reputasi, dan prestasi. e) Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization), adalah kebutuhan pemenuhan diri, pengembangan diri semaksimal mungkin, kreatifitas, dan melakukan apa yang paling cocok serta menyelesaikan pekerjaan sendiri. Sesuai dengan apa yang dikemukakan diatas oleh Maslow (1994) dengan teori hirarki kebutuhanya, tujuan utama bagi seorang petani adalah bagaimana dia dapat memenuhi kebutuhannya. Dapat disimpulkan bahwa motivasi bertani adalah dorongan pada petani melaksanakan teknik bercocok tanam dengan benar untuk memenuhi kebutuhannya yakni kebutuhan dasar, rasa aman, cinta kasih (keinginan untuk tetap berada dalam kelompok tani), penghargaan (keinginan untuk dihargai), dan percaya diri atau self actualization (keinginan untuk tetap sebagai petani).
17
2.1.3
Pengertian Usaha Tani Alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan disebut faktor-faktor produksi
yang memiliki tugas dan fungsi dalam produksi pertanian. Tanpa salah satu faktor tersebut produksi tidak akan diperoleh dengan memuaskan. Adapun ciri-ciri usaha tani di Indonesia menurut Soekartawi et.al (1986) adalah: 1) Sempitnya lahan yang dimiliki petani. 2) Kurangnya modal. 3) Pengalaman petani yang masih terbatas dan kurang dinamis. Berdasarkan cara penguasaan unsur-unsur produksi dan pengelolaannya, usaha tani dapat digolongkan menjadi usaha tani perorangan, usaha tani kolektif, dan usaha tani kooperatif. Usaha tani perorangan unsur-unsur produksi dimiliki oleh seseorang dan pengelolaannya dilakukan oleh seorang. Usaha tani kolektif adalah suatu bentuk usaha tani yang unsur-unsur produksinya dimiliki organisasi kolektif dengan cara membeli, menyewa, menyatukan milik perseorangan atau berasal dari pemerintah. Sedangkan usaha tani kooperatif merupakan bentuk peralihan antara usaha tani perseorangan dengan kolektif dimana tidak seluruh unsur-unsur produksi dan pengelolaan dikuasai bersama menurut Soeharjo dan Patong (1973) dalam Suratiyah (2006). Selanjutnya menurut penulis yang sama usaha tani berdasarkan coraknya terbagi dua yaitu usaha tani pencukup kebutuhan keluarga (selfsufficient farm) dan usaha tani komersial (commercial farm). Usaha tani pencukup kebutuhan keluarga mempunyai motif untuk memenuhi kebutuhan keluarga, baik melalui atau tanpa
18
melalui peredaran uang. Sedangkan usaha tani komersial memiliki motif yang didorong oleh keinginan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Menurut Suratiyah (2006), petani Indonesia pada umumnya dibagi dalam tiga kelompok rumah tangga menurut luas usaha taninya, yaitu: 1) Usaha tani yang memiliki luas lahan 0,5 hektar atau lebih. 2) Petani kecil dengan luas lahan rata-rata di bawah 0,5 hektar. 3) Petani tuna lahan yang hanya memiliki sedikit lahan pekarangan di sekitar rumahnya yang sederhana. Petani yang mempunyai usaha tani yang luas biasanya mempunyai modal, kemudahan terhadap kredit dan fasilitas lainnya serta mempunyai cukup surplus uang tunai yang dapat diinvestasikan kembali. Kelompok kedua mengalami nasib yang kurang beruntung karena mengalami defisit akibat dari usahatani yang terlalu sempit untuk menghidupi keluarganya. Kelompok ketiga hidupnya selalu diliput rasa khawatir. 2.1.4
Faktor Produksi Usaha Tani Menurut Rodjak (2006), pertanian merupakan kegiatan produksi yang
hasilnya berupa tanaman dan dan ternak. Faktor produksi adalah bahan-bahan yang biasa dapat dilakukan untuk menghasilkan tanaman dan ternak. Faktor produksi usaha tani tersebut terdiri dari lahan, tenaga kerja, modal, dan keterampilan mengelola atau manajemen.
19
1.
Lahan Usaha Tani Pengertian lahan sebagai unsur usaha tani, lahan sebagai modal, dan lahan
sebagai faktor produksi berbeda. Lahan sebagai unsur usaha tani mengandung pengertian bahwa lahan tersebut berperan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan bercocok tanaman dan memelihara ternak, tidak dipersoalkan apakah lahan tersebut mempunyai pengaruh terhadap tanaman dan ternak yang dipelihara petani. Lahan usaha sebagai modal tetap mengandung pengertian bahwa lahan tersebut dapat dipakai beberapa kali produksi meskipun lahan tersebut tidak menghasilkan produksi yang berupa tanaman atau ternak tetap mempunyai nilai. Pemilik lahan dapat memperoleh modal dengan jaminan lahan yang dimilikinya itu. Lahan sebagai faktor produksi usaha tani mengandung pengertian bahwa lahan tersebut harus dikombinasikan dengan faktor produksi lainnya (tenaga kerja, modal, dan keterampilan), baru dapat menghasilkan produk berupa tanaman atau ternak. Besarannya peranan lahan mempengaruhi produk usaha tani tergantung pada tingkat kemampuan lahan tersebut menghasilkan produk yang disebut produktivitas lahan. Syarat-syarat lahan usaha tani yang ideal agar usaha tani berhasil dengan baik dan biayanya rendah antara lain adalah : 1) Luas lahan usaha, adalah luas minimum bagi suatu perusahan pertanian atau suatu usaha tani, harus memenuhi skala usaha tertentu agar usaha tani tersebut dapat memberikan hasil yang cukup bagi petani dan pengelola.
20
2) Lahan usaha harus merupakan suatu kesatuan (tunggal) dan sehamparan karena tanah usaha yang tunggal akan menjamin pekerjaan efisien, penggunaan sumber-sumber akan cermat, dan pengawasan akan mudah. 3) Bangun hamparannya sebaiknya berbentuk bujur sangkar, sehingga akan memberikan kemudahan dalam pengerjaannya. 4) Jarak dari tempat tinggal/rumah sebaiknya dekat, agar memudahkan untuk melakukan pengawasan. 5) Kesuburan harus tinggi dan stabil serta keadaan sumber air cukup. 6) Ke lokasi lahan harus ada prasarana jalan cukup memadai sehingga akan memudahkan mengangkut hasil usaha tani dan mengangkut sarana produksi. 2.
Tenaga Kerja Tenaga kerja sebagai faktor produksi mengandung arti bahwa tenaga kerja
tersebut merupakan subsistem produksi, dalam pengertian apabila faktor tenaga kerja itu tidak ada, maka produksi suatu barang atau tanaman dan ternak tidak akan terjadi, atau sistem produksi tidak akan berjalan. Besar kecilnya peranan tenaga kerja terhadap hasil produksi usaha tani akan dipengaruhi oleh keterampilan kerja yang tercermin dari tingkat produktivitasnya. Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani umumnya produktivitasnya rendah, sebab kualitas tenaga kerja yang ada pun memang rendah. Jenis tenaga kerja yang biasa digunakan dalam usaha tani dibedakan atas tenaga kerja manusia, tenaga ternak, dan tenaga mesin. Sumber tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani umumnya berasal dari tenaga keluarga petani. Petani
21
berlahan garapan sempit sebagian besar atau seluruh kebutuhan tenaga kerja untuk usaha tani dipenuhi oleh tenaga kerja keluarga, sedangkan petani berlahan garapan luas sebagian besar tenaga kerja berasal dari tenaga upah atau tenaga sewa. Petani akan menyewa tenaga kerja buruh, apabila tenaga kerja keluarga tidak mencukupi. Meskipun menyewa tenaga kerja, untuk petani berlahan garapan sempit biasanya terbatas pada pekerjaan-pekerjaan tertentu saja, misalnya dalam penggarapan lahan atau waktu menanam. Hubungan sewa-menyewa tenaga kerja dalam usaha tani ada beberapa sistem yaitu: a. Sistem upah harian tidak tetap, adalah pemakaian tenaga kerja buruh tani oleh seorang petani, apabila buruh tani tersebut pada hari yang bersangkutan bekerja maka pada hari itu pula ia mendapat upah, dan si buruh tani keesokan harinya dapat saja tidak bekerja lagi pada petani yang menyuruhnya. b. Sistem upah harian tetap, adalah suatu sistem hubungan kerja antara buruh tani dan petani tidak putus apabila pekerjaan telah selesai dan upahnya dibayar setiap hari sesuai dengan tingkat upah yang berlaku. c. Sistem upah borongan, jika pekerjaan selesai maka upahnya akan dibayar sekaligus sesuai perjanjian. Biasanya petani yang melakukan sistem upah borongan ini menetapkan waktu pengerjaannya agar pekerjaan selesai dengan cepat dan tepat. d. Sistem upah kontrak, biasanya banyak dilakukan di perkebunan-perkebunan besar pada zaman Belanda. Dalam usaha tani yang mirip dengan sistem upah ini adalah sistem ceblokan. Sistem ceblokan ini adalah pekerja mengadakan
22
perjanjian dengan petani tertentu untuk mengerjakan beberapa pekerjaan dalam usaha tani misalnya mulai dari mengolah tanah sampai berakhirnya pemeliharaan tanaman. Upahnya dibayar pada saat panen sebesar seperempat dari hasil padi yang diperoleh dari luas lahan tertentu. 3.
Modal Menurut pengertian ekonomi, modal adalah sebagian dari hasil produksi yang
disisihkan untuk dipergunakan dalam produksi selanjutnya. Modal sebagai faktor produksi memiliki pengertian bahwa modal tersebut merupakan subsistem produksi usaha tani, sebab apabila modal ini tidak ada atau terganggu maka akan mempengaruhi keseluruhan produksi yang sedang bekerja. Menurut sifatnya, modal dapat dibedakan menjadi modal tetap dan modal tidak tetap. Modal tetap ialah modal yang dapat dipergunakan beberapa kali produksi tertentu. Modal tetap ini diantaranya lahan usaha yang dimiliki, bangunan yang ada di atas tanah usaha dan bisa dipakai untuk kegiatan usaha tani seperti penyimpanan hasil, traktor dan bajak, tanah budidayam ternak, alat-alat pembasmi hama, dan jalan serta pagar. Terhadap alat-alat dan barang-barang seperti disebutkan di atas perlu diadakan penyusutan atau depresiasi. Nilai depresiasi akan tergantung nilai pembeli awal, umur ekonomis, dan nilai sisa pada saat alat tersebut tidak ekonomis. Besarnya nilai penyusutan per tahun dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Nilai Depresiasi (ND) = Keterangan:
(
)
23
NP = nilai pembelian awal, satuan dalam rupiah NS = nilai sisa pada saat alat tersebut tidak dapat dipergunakan lagi secara ekonomis, dalam satuan rupiah UE = usia ekonomis, jangka waktu alat-alat dapat dipakai secara ekonomis, satuan dalam tahun Petani dapat memperoleh modal untuk kegiatan usaha tani dengan beberapa cara, yaitu : a. Menjual sebagian kekayaan yang dimilikinya seperti penghasilan atau menjual sebagian hasil usaha tani. b. Meminjam dari lembaga kredit, baik yang bersifat resmi atau tidak resmi. c. Bantuan dari pemerintah atau pihak swasta yang sifatnya cuma-Cuma tanpa ada beban petani untuk membayarnya. 4.
Keterampilan Faktor keterampilan sebagai faktor produksi usaha tani pengaruhnya tidak
langsung, meskipun untuk hal-hal tertentu pengaruh keterampilan tersebut bersifat langsung, misalnya seorang pemetik daun teh yang ahli dan terampil akan berbeda dengan pemetik teh yang tidak ahli, ahli tersebut dapat dilihat dari hasil teh yang dipetiknya. Besarnya peranan keterampilan manajamen sebagai faktor produksi secaea ekonomis akan tercermin dalam komponen biaya produksi usaha tani yang berupa upah tenaga kerja. Namun, di dalam kegiatan usaha tani yang bersifat subsisten hal tersebut tidak terlihat nyata, sebab tenaga kerja yang dipakainya ratarata memiliki keterampilan yang sama. Sedangkan pada usaha tani yang sudah
24
bersifat komersial tenaga kerja sudah terspesialisasi dengan jelas dan perbedaan tingkat upah pun nyata.
2.1.5
Analisis Usaha Tani Menurut Rodjak (2006), analisis usaha tani ini terdiri dari analisis biaya dan
pendapatan usaha tani yang berguna untuk mengukur dan sebagai alat evaluasi keberhasilan usaha tani, untuk mengetahui biaya produksi per unit produk usaha tani yang dihasilkan, untuk bahan perencanaan usaha tani periode berikutnya, untuk mengetahui keuntungan usaha tani, untuk dasar pengajuan kredit usaha tani ke bank, dan untuk mengetahui rentabilitas usaha tani. Menurut Hadisaputro dalam Rodjak (2006), suatu usaha tani dapat dikatakan berhasil apabila usaha tani itu memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a) Usaha tani harus dapat menghasilkan pendapatan yang dapat dipergunakan untuk membayar biaya semua alat-alat yang diperlukan dalam usaha tani, atau penerimaan lebih besar daripada biaya produksi. b) Usaha tani harus dapat menghasilkan pendapatan yang dapat dipergunakan untuk membayar bunga modal dalam usaha tani tersebut, baik modal petani sendiri maupun modal pinjaman. c) Usaha tani harus dapat membayar upah petani dengan keluarganya secara layak. d) Usaha tani yang bersangkutan harus paling sedikit berada dalam keadaan semula.
25
e) Usaha tani harus dapat pula membayar tenaga petani sebagai manajer yang harus mengambil keputusan. f) Usaha tani harus dapat memupuk modal untuk investasi dan menambah cabang usaha tani baru, g) Usaha tani harus dapat memperoleh kepercayaan dari pihak lain. h) Usaha tani harus mampu mengembangkan teknologi yang lebih baik dan lebih efisien dalam pemakaian faktor produksi. 1)
Biaya Usaha Tani Biaya adalah nilai dari semua korbanan ekonomi yang dapat diperkirakan dan
dapat diukur untuk menghasilkan suatu produk. Biaya usaha tani dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak mempengaruhi pada hasil produksi. Biaya tetap tersebut antara lain pajak, sewa tanah, dan penyusutan alat-alat pertanian yang tahan lama. b. Biaya tidak tetap atau biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya mempunyai pengaruh langsung pada hasil produksi. Biaya tidak tetap itu diantaranya biaya sarana produksi, upah tenaga kerja, dan pestisida. Jumlah biaya tetap ditambah biaya variabel disebut biaya produksi total, atau secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut : TC = TFC + TVC Keterangan : TC
= biaya produksi total
26
2)
TFC
= biaya tetap
TVC
= biaya variabel
Penerimaan Usaha Tani Penerimaan usaha tani adalah nilai semua produk yang dihasilkan dari suatu
usaha tani dalam satu periode tertentu atau satu musim tanam atau dalam satuan tahun kegiatan usaha, dengan rumus penerimaan usahatani P = QxP, dimana P adalah penerimaan, Q adalah jumlah produk usaha yang dihasilkan dalam satu musim tanam atau dalam satu tahun, dan P adalah harga jual produk per unit (kg, ton atau kuintal, dll). 3)
Pendapatan Petani Pendapatan petani adalah jumlah pendapatan petani dari usaha tani yang
diperoleh dalam setahun (Rp). Pendapatan petani ada beberapa konsep seperti berikut : a. Pendapatan petani sebagai pengelola (PP). Rumusnya PP = (P) – [ (A + B + C + D + biaya usaha tani)] b. Pendapatan tenaga kerja petani adalah pendapatan pengelola ditambah upah tenaga kerja petani yang dihitung (PTKP). Rumusnya [ (A + B + C + D + biaya usaha tani)] c. Pendapatan tenaga kerja keluarga tani yaitu pendapatan pengelola ditambah upah tenaga kerja petani dan anggota keluarga tani yang dihitung (PTKK). Rumusnya P – (C + D + biaya usaha tani)
27
d. Pendapatan pengusaha adalah pendapatan tenaga kerja ditambah bunga modal milik sendiri. e. Pendapatan anggota keluarga tani adalah pendapatan tenaga kerja keluarga tani ditambah bunga modal miliki sendiri (PTK). Rumusnya P – (biaya usaha tani). Keterangan : A = biaya tenaga kerja petani yang dihitung B = biaya tenaga kerja keluarga petani yang dihitung C = nilai sewa tanah sendiri D = bunga modal milik sendiri PU = nilai penerimaan usaha tani (jumlah produk x harga) BU = biaya-biaya lain + biaya keseluruhan usaha tani 2.1.6 Kendala Usaha Tani Menurut Rodjak (2006), adanya masalah-masalah manajemen usaha tani di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh perbedaan taraf perkembangan teknologi pertanian, agroklimat dan tersedianya sumber-sumber lokal di wilayah masingmasing. Masalah yang lazim memengaruhi efisiensi dan efektivitas dalam mengembangkan usaha tani adalah : 1) Mengecilnya unit-unit usaha tani akibat banyaknya lahan pertanian digunakan untuk kepentingan non pertanian, misalnya untuk kepentingan pemukiman
28
penduduk, mendirikan pabrik atau fasilitas-fasilitas sosial kemasyarakatan yang terus meningkat. 2) Usaha tani sebagai bagian dari rumah tangga, keadaan ini akan sulit untuk menerapkan manajemen yang modern, sehingga apabila diadakan usaha efisiensi akan sulit. 3) Kebanyakan petani kekurangan modal, sehingga akan menghambat petani memperoleh teknologi baru sebab teknologi baru yang canggih membutuhkan banyak modal, karena pada dasarnya setiap teknologi baru biasanya mengakibatkan penambahan modal usaha tani. 4) Adanya pengangguran tersamar yang disebabkan oleh kecilnya usaha tani, tenaga keluarga yang berlebihan dan kurangnya kegiatan sektor industri yang dapat menyerap tenaga kerja petani. 5) Rendahnya tingkat kecakapan mengelola, yang erat hubungannya dengan tingkat pendidikan petani yang rendah serta terbatasnya kemampuan untuk mendapatkan informasi teknologi pertanian. 6) Pemasaran hasil usaha tani yang kurang lancar, sehingga harga hasil usahatani yang diterima petani rendah. 7) Masalah konversi kepemilikan lahan dari petani kecil kepada petani kaya. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya “erosi kekayaan” dari desa ke kota, terutama jika hasil usaha tani tersebut diinvestasikan ke kota.
29
8) Pada masa reformasi banyak penyerobotan tanah-tanah milik negara dan penjarahan secara liar oleh masyarakat sekitar hutan yang dampaknya terjadi longsor dan banjir. 9) Banyak lahan usaha tani yang terkena polusi akibat limbah industri, sehingga lahan tersebut tidak dapat digunakan untuk kegiatan pertanian secara produktif atau tidak dapat diusahakan sebagai lahan pertanian (lahan mati dan lahan tidur). 10) Keadaan prasarana transportasi dan komunikasi untuk sebagian besar pusatpusat produksi pertanian masih kurang. Keadaan ini mengakibatkan biaya usaha tani menjadi tinggi dan pemasaran sulit. 11) Kurang tersedianya bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan, biasanya hal ini terjadi akibat buruknya keadaan prasarana transportasi. 12) Kesukaran dalam penerapan teknologi baru pertanian, yang disebabkan oleh pendidikan yang rendah, modal yang kurang, media komunikasi yang masih kurang terutama untuk daerah-daerah pertanian yang terpencil. Sedangkan masalah-masalah dalam usahatani menurut Fadholi (1991): a) Kurang rangsangan. Masalah kurang rangsangan karena sikap puas diri para petani yang umumnya petani kecil. Ada semacam kejenuhan dan putus asa karena sulitnya meningkatkan taraf hidup dan pemenuhan kebutuhan keluarganya. Akibat berikutnya akan berpengaruh terhadap kemampuan untuk meningkatkan pendidikan dan tersedianya dana yang cukup untuk biaya operasional
30
usahataninya. Rendahnya tingkat pendidikan akan berpulang kepada rendahnya adopsi teknologi, apalagi kurangnya dana tadi akan sulit untuk membeli teknologi. b) Lemah tingkat teknologinya. Dalam hal ini, kami menyebutnya dalam kelompok Late Majority. Yaitu kelompok yang lambat dalam hal menerima informasi ataupun teknologi terbaru. Sehingga mereka tetap berada di situ saja. Tetapi kelompok ini lebih skeptic dan lambat dalam hal mengadopsi sesuatu hal baru yang asing bagi mereka, meskipun mereka punya kemauan untuk mengadopsi atau menerapkan suatu teknologi tersebut. Mereka hanya mengikuti teknologi yang baru jika telah disetujui oleh pendapat umum dan telah diterapkan oleh kebanyakan orang. c) Langkanya permodalan untuk pembiayaan usaha tani. Terbatasnya modal, maka penyediaan fasilitas kerja berupa alat-alat usaha tani semakin sulit dipenuhi. Akibatnya intensitas penggunaan kerja menjadi semakin menurun. Ketergantungan keluarga akan modal menyebabkan petani terjerat sistem yang dapat merugikan diri sendiri dan keluarganya, seperti adanya sistem ijon. d) Masalah transformasi dan komunikasi Upaya pembangunan termasuk membuka isolasi yang menutup terbukanya komunikasi dan langkanya transportasi. Hal itu menyulitkan petani untuk menyerap inovasi baru dan bahkan untuk memasarkan hasil usaha taninya.
31
Isolasi ini akan menutup setiap informasi harga yang sebetulnya sangat diperlukan oleh petani. e) Kurangnya informasi harga Aspek-aspek pemasaran merupakan masalah diluar usaha tani yang perlu diperhatikan. Seperti kita ketahui petani yang serba terbatas ini berada pada posisi yang lemah dalam penawaran persaingan, terutama yang menyangkut penjualan hasil dan pembelian bahan-bahan pertanian. Penentu harga produk tidak pada petani. Petani harus terpaksa menerima apa yang menjadi kehendak dari pembeli dan penjual. Makin ia maju, ketergantungan akan dunia luar akan semakin besar. Tengkulak memegang peranan yang besar pada aspek penjualan hasil usaha tani. f) Adanya gap penelitian terpakai untuk petani Bahan penelitian yang mampu menggerakkan teknologi terkadang lambat diubah dalam bahan penyuluhan oleh penghantar teknologi. Terjadi kesenjangan antara peneliti dan petani. Terjadi kelambatan dan adanya proses adaptasi hasil penelitian, memerlukan penanganan yang lebih mantap terhadap sistem maupun pelayanan pengukuran. g) Luasan usaha yang tidak menguntungkan Dengan lahan usaha tani yang sempit, akan membatasi petani berbuat pada rencana yang lebih lapang. Keadaan yang demikian akan membuat petani serba salah, bahkan menjurus kepada keputusasaan. Tanah yang sempit dengan kualitas tanah yang kurang baik akan menjadi beban bagi petani
32
pengelola usaha tani. Akibat lanjutan dari sempitnya luasan lahan usaha tani adalah rendahnya tingkat pendapatan petani. Besarnya jumlah anggota yang akan menggunakan pendapatan yang sedikit tadi, akan berakibat rendahnya tingkat konsumsi dan ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan kecerdasan
anak,
menurunnya
kemampuan
berinvestasi,
dan
upaya
pemupukan modal. h) Belum mantapnya sistem dan pelayanan penyuluhan Memang penyuluh telah ditambah, tetapi jumlah petani cukup banyak sehingga imbangan petani-penyuluh menjadi besar. Belum lagi lokasi dan tingkat pengetahuan petani yang beragam membuat sulit dalam mekanisme penghantaran teknologi. i) Aspek sosial, politik, ekonomi yang berkaitan dengan kebijakan bagi petani Petani dituntut mengadakan pangan, bahan baku industri, dan melestarikan sumber daya alam. Ada pembebanan yang tinggi terhadap sektor ini. Kondisi sosial menempatkan petani pada posisi sulit, meskipun berperan besar. Ini adalah fakta sosial petani, termasuk nelayan, bagian yang terbesar jumlah petani pada posisi lemah. Posisi kuat dimiliki sektor lain, kebanyakan di luar petani. Ini aspek ekonomi, di pihak lain petani memberikan konstruksi tinggi terhadap pendapatan nasional. Pemasaran hasil usaha taninya di luar kekuasaannya. Meraka belum dan bahkan tidak dilibatkan dalam penetapan kebijakan pasar, mereka lemah posisi bersaingnya.
33
2.1.7
Lahan
1.
Pengertian Lahan Lahan memiliki beberapa pengertian yang didefinisikan oleh para ahli.
Menurut Purwowidodo (1983) lahan mempunyai pengertian suatu lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai pada batas tertentu akan mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Definisi lain yang dikemukakan oleh Arsyad, yaitu lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi dan juga hasil yang merugikan seperti yang tersalinasi (FAO dalam Arsyad, 1989). Permasalahan lahan yang sering terjadi dalam mempengaruhi efisiensi usahatani diantaranya: a) Perpecahan b) Perpencaran c) Luasan yang kecil-kecil, yaitu petani pemilik lahan sempit yang tahap demi tahap menjadi petani penggarap, lalu penyakap, kemudian buruh tani, merupakan proses pemelaratan yang berjalan terus menerus. Solusi untuk menangani permasalahan lahan tersebut bisa melalui konsolidasi lahan, konsolidasi manajemen, dan pembatasan minimum luasan kepemilikan.
34
2.
Penggunaan Lahan Menurut Hoover (1975) dalam Nurmalinda (2002), umumnya lahan dapat
digunakan untuk berbagai kegiatan. Bahkan daerah yang tidak dapat didiami oleh manusia, dapat menimbulkan persaingan misalnya sebagai tempat penimbunan sampah atau sebagai cagar alam. Pemakaian lahan di dalam masyarakat diatur melalui sistem harga, maka harga dari penggunaan lahan itu diidentifikasikan sebagai sewa. Selanjutnya dikatakan bahwa lahan merupakan salah satu faktor produksi yang menghasilkan jasa dalam proses produksi. Pembayaran atas jasa produksi ini disebut sewa lahan. Kebutuhan lahan tercermin pada kemungkinan penggunaan lahan untuk memenuhi tujuan tertentu. Penggunaan lahan adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan dengan cara menetap atau berkala dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan materi dan spiritualnya. Penggunaan lahan dapat menjadi kegiatan utama yang dilakukan manusia di atas lahan itu menurut Arsyad dan Nasoetion (1984) dalam Nurmalinda (2002). Berdasarkan jenis kegiatan yang dilakukan oleh manusia, penggunaan lahan diklasifikasikan dalam beberapa macam. Barlowe (1972) dalam Pellokila (2005), membagi penggunaan lahan untuk : 1) Lahan permukiman 2) Lokasi industri dan perdagangan 3) Lahan pertanian 4) Ladang rerumputan dan penggembalaan
35
5) Hutan 6) Pertambangan 7) Rekreasi 8) Perhubungan 9) Lahan untuk pelayan umum 10) Lahan gersang dan yang tidak dapat difungsikan Penggunaan lahan untuk suatu usaha dipengaruhi tiga faktor menurut Barlowe (1972) dalam Pellokila (2005) : 1) Faktor-faktor fisik dan biologi, mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. 2) Faktor-faktor ekonomis, dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi/letak lokasi. 3) Faktor kelembagaan, dicirikan oleh hukum pertanahan yang berlaku di masyarakat, keadaan politik, keadaan sosial dan lainnya yang melembaga di masyarakat dan secara administratif dapat dilaksanakan. Ketiga faktor tersebut secara bersama-sama mempengaruhi kegiatan baik perorangan, kelompok masyarakat, pengusaha dan pemerintah dalam penggunaan lahan. Penggunaan untuk lahan pertanian ditinjau dari tujuan pemakaian (kebutuhan lahan) berbeda untuk tiap komoditi. Lahan yang berdekatan dengan pusat-pusat pertumbuhan atau dekat dengan fasilitas lainnya seperti jalan raya atau tempat rekreasi lainnya terus meningkat walaupun tanpa korbanan dari pemilik lahan tersebut. Banyak penelitian menyimpulkan adanya pemekaran kota selalu diikuti
36
dengan pemecahan hak atas tanah menjadi bagian yang kecil dan pemiliknya menjadi terpecah-pecah. 3.
Pengolahan Lahan Tidur Pengertian lahan tidur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanah
terbuka yang tidak digunakan oleh pemiliknya secara ekonomis. Pengolahan lahan tidur adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam memanfaatkan ketersediaan lahan yang belum digunakan oleh pemiliknya dengan melakukan kegiatan usaha di bidang pertanian. Pemanfaatan lahan tidur pada umumnya dilakukan oleh masyarakat di sekitar lokasi untuk bercocok tanam. Menurut Najiyati dan Danarti (1999) dalam Pellokila (2005), tanaman yang diusahakan pada lahan tidur sebaiknya tanaman berumur pendek yang sifatnya sekali panen. Hal ini akan sangat membantu terutama untuk lahan yang diusahakan dengan masa pakai atau waktu penggunaan lahan yang tidak dapat dipastikan. Selama ini pemanfaatan lahan tidur belum dilakukan secara formal dalam suatu perjanjian atau dibuatkan secara tertulis, akan tetapi diketahui oleh pemiliknya. Masa penggunaan lahan sifatnya sementara selama belum dipergunakan oleh pemiliknya. Pengolahan lahan tidur dalam ilmu pertanian menurut Salikin (2003) dalam Pellokila (2005) adalah pengolahan lahan pertanian yang berkelanjutan dengan menggunakan sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras dan seimbang dengan lingkungan. Pertanian berkelanjutan sangat dianjurkan untuk memberdayakan sumber daya alam dengan pertimbangan kegiatan yang dilakukan tidak merusak alam, tidak mengakibatkan pencemaran, dan dilakukan tidak
37
menimbulkan kerugian dalam jangka pendek maupun jangka panjang baik dari hasil produknya maupun limbahnya serta dapat diterima oleh masyarakat karena selaras dengan norma-norma sosial dan budaya yang ada pada masyarakat sekitar. Persiapan masa produksi berkaitan dengan luas lahan yang dikelola dan besarnya modal yang tersedia untuk dioperasikan serta jenis tanaman yang akan dibudidayakan dengan mengukur kemampuan tenaga kerja yang ada. Faktor-faktor yang dimaksud adalah : 1) Lahan yang dikelola Luas lahan yang disiapkan untuk memulai produksi dan kemampuan tenaga kerja yang tersedia, sangat menentukan jenis tanaman yang akan dipilih untuk dibudidayakan. Selain itu harus dipertimbangkan modal yang tersedia dan hasil akhir yang diharapkan. Jenis tanaman yang cocok dibudidayakan pada lahan tidur adalah tanaman jangka pendek sehingga sudah dapat dipanen oleh petani dalam waktu yang relatif singkat. 2) Persediaan Modal Modal merupakan alat pengukur kemampuan yang dibentuk dari dana yang tersedia. Modal usaha yang digunakan untuk mengelola lahan dapat berasal dari dua sumber, yaitu modal sendiri (Equity Capital), yang berasal dari tabungan keluarga dan modal pinjaman non bank yang berasal dari pihak lain dengan suatu perjanjian akan dibayar kembali pada waktu yang telah disepakati dan perhitungan bagi hasil yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
38
3) Tenaga Kerja Kegiatan yang dilakukan petani dengan memanfaatkan tenaga kerja yang tersedia, dapat dikatakan telah membuka lapangan kerja dengan memanfaatkan tenaga kerja yang ada di sekitar lokasi sehingga menciptakan lingkungan menjadi lebih produktif. Efisiensi sumber daya dapat diartikan bagaimana cara menciptakan dan menggunakan sumber daya itu dengan baik untuk memaksimalkan kesejahteraan masyarakat. Faktor lahan, modal dan tenaga kerja merupakan sesuatu yang mutlak harus tersedia dalam suatu usaha dan masing-masing faktor produksi tersebut mempunyai fungsi yang berbeda, namun penggunaannya saling terkait satu dengan yang lainnya. Penggunaan alokasi sumber daya dikatakan efisien apabila sumber daya tersebut tidak bisa ditransfer pada penggunaan lain, sehingga mengakibatkan seseorang menjadi lebih baik atau sejahtera menurut Yakin (1997) dalam Pellokila.
2.1.8
Penelitian Terdahulu Berikut ini beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
pemanfaatan lahan tidur di kota. 1.
Penelitian dengan metode deskriptif yang dilakukan oleh Nurmalinda (2002)
di Bekasi, tentang petani miskin di pinggiran perkotaan dan strategi bertahan hidup rumah tangga, menunjukkan bahwa penciptaan peluang kerja baru dalam batas penyediaan lahan tidur untuk bisa diolah oleh masyarakat belum ke arah peningkatan jaminan berusaha dan pemberdayaan petani.
39
2.
Penelitian dengan metode deskriptif yang dilakukan oleh Rina Riana Manu
Pellokila (2005) di Bekasi, tentang pemberdayaan lahan tidur oleh masyarakat pada Kelurahan Jatimekar, menunjukkan bahwa ada peluang bagi pelaku untuk mengelola lahan yang tidak aktif menjadi produktif dan hasil produknya dapat dipasarkan.
2.2
Kerangka Pemikiran Luas lahan pertanian di Jakarta selalu mengalami penurunan setiap tahunnya
seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan sarana penunjang kehidupan penduduk kota Jakarta. Lahan pertanian di Jakarta berkurang karena sebagian besar lahan pertanian sudah menjadi permukiman, perkantoran, hotel dan bangunan lainnya. Melihat luas lahan pertanian yang sempit di Jakarta, sulit dibayangkan untuk melakukan kegiatan usaha tani di Jakarta. Petani yang memiliki lahan pertanian di Jakarta sudah sangat jarang, lahan-lahan yang tersisa di Jakarta kebanyakan dimiliki oleh pihak swasta yang akan digunakan untuk proyek pembangunan. Akan tetapi, lahan-lahan yang dimiliki swasta ternyata ditelantarkan begitu saja tanpa ada pemanfaatan secara maksimal. Lahan yang belum dimanfaatkan secara maksimal ini kemudian digunakan oleh penduduk untuk melakukan kegiatan usaha tani. Pemanfaatan lahan tidur menjadi lahan pertanian di perkotaan memiliki karakteristik pertanian yang berbeda dengan pertanian di perdesaan. Baik dari segi profil petani maupun kendala yang dihadapi oleh petani. Apabila di perdesaan, usaha tani merupakan hal yang biasa sebab biasanya merupakan usaha turun temurun dari
40
keluarga. Lain halnya dengan pertanian di perkotaan, tentu ada faktor-faktor yang membuat penduduk kota melakukan usaha tani dengan memanfaatkan lahan tidur. Profil petani di lahan tidur yang melakukan usaha tani padi dapat dilihat dari aspek demografi, penguasaan aset, ketenagakerjaan dan motivasi. Sedangkan kendala yang dihadapi petani di lahan tidur dapat dilihat dari kendala teknis, ekonomi dan sosial.
41
Lahan Pertanian di Jakarta yang Sempit
Terdapat Lahan yang Belum Dioptimalkan Penggunaannya (Lahan Tidur) Petani Mengelola Lahan Tidur
Kendala yang Dihadapi Petani
Profil Petani
- Demografi - Penguasaan Aset - Ketenagakerja an - Motivasi
- Ekonomi - Teknis - Sosial
Deskripsi Petani yang Melakukan Usaha Tani di Lahan Tidur
Gambar 1. Kerangka Pemikiran